1. Latar Belakang
Diresmikannya Koopskam Sulteng baru-baru ini, menarik untuk dicermati dengan memperhatikan arsitektur organisasinya dihadapkan dengan tujuan penugasannya seperti apa yang diungkap Menko Polhukam (Kompas, 6 Januari 2006). Menarik dari kacamata kewenangan (baca pusat dan daerah), kacamata efisiensi organisasi yang sudah tergelar di daerah dan kacamata legal.
Struktur organisasi baru, tentunya mengikuti maunya pemiliknya, dalam hal ini pemerintah pusat. Dari tiga (3) harapan tugas seperti: percepatan penyelesaian isu kekerasan,kejahatan dan teror, fokuskan aktor yang paling berbahaya yakni teroris dan kata kunci pernyataan ini adalah percepatan. Tugas lainnya seperti efektivitas operasi intelijen, cegah dini terorisme, tangkap pelaku terror dan dukungan intelijen untuk investigasi.
Di sini pun aktor kunci adalah terorisme. Secara teoritis tugas ini semua masuk dalam liputan perlawanan terorisme/PT (combating terrorism) yang didukung tindakan lawan terorisme/LT (counter terrorism) dan anti terorisme/AT(anti terrorism). Sebagai catatan penulis menghindari definisi Gultor, di mana sebagian orang menyebutnya sebagai PT, sebagian LT dan atau AT saja.
2. Kewenangan Pusat dan Daerah
Pemimpin Koopskam sekaligus bukan kepala daerah bisa saja memberikan kesan adanya intervensi pusat. Dalam teori komando dan kontrol, kecuali sangat berisiko, unit di atasnya bisa saja mengambil alih kewenangan. Dalam skala situasi tidak sangat berbahaya, porsi keluwesan putusan dan aksi unit di bawahnya sangat tinggi, namun unit di atasnya bisa saja memveto apa yang diputuskan unit di bawahnya. Hubungan ini disebut kontrol positif.
Sudahkah Sulteng mencapai angka skala konflik tertinggi? Kalau betul, akan berbeda dengan premisnya yakni percepatan saja. Premis percepatan ini memberikan tetapan bahwa skala konflik tidak terlalu tinggi. Kalau ini benar lantas kenapa kepala daerah justru diposisikan sebagai unit samping yang berperilaku koordinasi saja. Sudah hilangkah kewenangan pengamanan daerah?
Tidak bisakah ditentukan skala konflik tertentu, kapan Menko Polhukam menjabat atasan Koopskam, kapan Mendagri saja, bahkan langsung oleh kepala daerah saja. Premis lain yang harus dipikirkan, dalam alam demokrasi otoritas sipil menjadi penting, apapun juga tingkat atau skala konflik yang ada. Bukan dengan diselesaikan dengan definisi skala darurat, yang mengingatkan kita jaman perang kemerdekaan, di mana pemerintah pusat dan daerah berlarian kesan kemari.
3. Penunjukan Panglima TNI
Kalau didefinisikan organisasi ini berharap bisa mengatasi terorisme, maka unit utama di bawahnya adalah unit LT dan AT. LT lebih cenderung mulai deteksi awal, lokalisasi, penangkapan dll. Sebaliknya AT cenderung bekerja pada tahap terjadinya insiden paska serangan terorisme. Bukan langsung Satgas, unit ini kalau benar sebagai petugas lapangan, kumpulkan saja dalam unit “kekuatan siap” (standby forces) dikerjakan sebagai unit bantuan AT.
Secara teoritik penggunaan pasukan khusus cocok dalam unit LT, karena spesialis LT umumnya ada di unit pasus ini. Contohnya Angkt Darat AS ada di unit SOF dan Rangers,di Angkatan Laut ada di Navy Special Warfarenya yakni SEALS. Penempatan unit AT dari Pasus juga tepat, mengingat ketrampilan perkelahian dan menembak jitu dibutuhkan sekali. Termasuk unit AT adalah pemadam kebakaran,tim handak,medik dll. Sebaiknya Unit Intelijen membantu Ka Koopskam sebagai stafnya. Kurang jelas apakah Satgas Poso dan Palu tersebut bertindak selaku LT dan sekaligus AT, kalau ini benar sebaiknya unit intelijen sudah termuat dalam unit LT saja.
4. Legalitas
Sketsa organisasi tersebut, dipastikan akan menimbulkan inefisiensi kinerja organisasi pemerintahan, sekurang-kurangnya Pemda akan lebih mengurusi Koopskam daripada rakyatnya sendiri. Sketsa ini dapat dijadikan uji keabsahan UU yang sudah ada, utamanya yang meliput isu keamanan, isu militer nasional, pertahanan dan darurat sipil-militer. Kalau Kapolri merupakan petinggi dalam keamanan negara, kenapa Koopskam yang harus bertanggung jawab kepada Menko Polhukam?
Sebaliknya Panglima TNI per definisi bertanggung mengerahkan kekuatan di suatu mandala perang atau konflik tertentu kenaapa harus berkoordinasi dengan Menko Polhukam? Ka BIN sebagai bos intelijen negara kenapa tidak langsung memberikan “informasi” mentah atau matang kepada Koopskam saja? Suatu eksperimen tentang operasi gabungan sipil-militer yang mungkin justru dapat menghilangkan kesan adanya suatu operasi militer di daerah. Di luar itu semua, ada kepentingan pejabat daerah perlu segera dilatihkan kegiatan perlawanan terorisme, bukan menjadi monopoli militer saja seperti yang terjadi selama ini.
5. Penutup
Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan masukan.