KONTRIBUSI TNI ANGKATAN LAUT DALAM KEPEMIMPINAN INDONESIA DI ASEAN 2011: TINJAUAN DARI ASPEK KERJASAMA KEAMANAN MARITIM

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan

Indonesia pada 2011 ditetapkan menjadi pemimpin ASEAN, sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-17 di Hanoi pada 28 Oktober 2010. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2011 merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk memproyeksikan kepentingan nasionalnya di bidang politik-keamanan, ekonomi dan sosial budaya ke dalam ASEAN sehingga mampu diadopsi menjadi agenda ASEAN. Proyeksi kepentingan nasional di bidang politik-keamanan, ekonomi dan sosial budaya didasarkan pada acuan tiga bidang kerjasama ASEAN dalam ASEAN Community yang diharapkan terwujud pada 2015.

ASEAN Political-Security Community (APSC) sebagai wadah kerjasama ASEAN di bidang politik-keamanan telah mengamanatkan berbagai kerjasama, satu di antaranya adalah di bidang maritim. Untuk itu, telah terbentuk ASEAN Maritime Forum (AMF) yang telah bersidang untuk pertama kalinya di Surabaya pada medio 2010. Sebagai pemilik wilayah perairan terbesar di Asia Tenggara, Indonesia seyogyanya untuk menjadi pemimpin (setidaknya de facto leader) ASEAN dalam bidang kerjasama maritim. Untuk memenuhi aspirasi tersebut, sudah menjadi keharusan bagi Indonesia untuk mengambil inisiatif dalam mengisi agenda AMF.

TNI Angkatan Laut sebagai kekuatan utama kekuatan maritim Indonesia sudah sewajarnya berkontribusi sebanyaknya dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2011, khususnya dalam bidang kerjasama maritim. Guna mewujudkan harapan itu, TNI Angkatan Laut dituntut mampu untuk mengidentifikasi isu-isu kritis maritim di kawasan dari perspektif kepentingan nasional Indonesia. Hasil identifikasi tersebut selanjutnya diolah sedemikian rupa sehingga pada akhirnya menghasilkan keluaran berupa sikap Indonesia dalam berbagai isu tersebut dan inisiatif kerjasama maritim yang ditawarkan Indonesia kepada ASEAN. Tulisan ini akan mengulas tentang arsitektur keamanan kawasan Asia Pasifik, posisi ASEAN, isu-isu kritis maritim di Asia Tenggara dan alternatif kerjasama maritim yang dapat dikontribusikan TNI Angkatan Laut ke dalam ASEAN melalui kepemimpinan Indonesia di organisasi regional itu selama 2011.

2. Arsitektur Keamanan Kawasan Asia Pasifik 

Keamanan kawasan Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari bingkai keamanan kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan. Sebab apa yang terjadi di kawasan Asia Pasifik pasti akan mempengaruhi dinamika keamanan di Asia Tenggara, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, sebelum mengupas lebih lanjut tentang kerjasama ASEAN khususnya di bidang maritim, perlu terlebih dahulu dibahas tentang arsitektur keamanan Asia Pasifik.

Arsitektur keamanan di kawasan Asia Pasifik dipengaruhi oleh beberapa aktor negara, yaitu Amerika Serikat, Cina, Jepang, Australia dan kini ada India. Dari kelima aktor tersebut, sebenarnya telah tercipta dua kubu yang saling berhadapan karena perbedaan kepentingan nasional yang cukup ekstrem. Kubu pertama dipimpin oleh Amerika Serikat dan beranggotakan Jepang, Australia dan India. Adapun kubu kedua adalah Cina yang bermain secara tunggal. Di luar dua kubu tersebut, setidaknya masih ada dua aktor negara yang perannya belum terlalu signifikan, yaitu Korea Selatan dan Rusia.

Isu yang menjadi titik ketidaksepakatan antara Amerika Serikat dan Cina di kawasan meliputi pembangunan kekuatan militer Cina, Taiwan, kebebasan bernavigasi dan Semenanjung Korea. Isu-isu tersebut merupakan hal yang masih sulit disepakati di bidang politik dan keamanan, belum lagi sejumlah isu di bidang ekonomi yang juga menjadi kerikil dalam interaksi kedua kekuatan penting di kawasan ini. Menyangkut ketidaksepakatan tersebut, Amerika Serikat aktif menggalang negara-negara lain di kawasan untuk mendukung posisinya. Penggalangan tersebut dilaksanakan melalui berbagai forum, baik pada tingkat kebijakan maupun operasional.

Pada sisi lain, sekumpulan negara-negara Asia Pasifik menyadari pula peran Amerika Serikat yang strategis di kawasan dalam rangka perimbangan kekuatan. Hal ini bisa dilihat dalam konteks ASEAN yang sejak beberapa tahun silam telah menggagas The East Asia Summit (EAS) dengan beranggotakan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur. Namun dalam perkembangannya muncul kesan kuat bahwa peran Cina sulit ditandingi oleh negara-negara yang anggota EAS lainnya, maka muncul gagasan untuk menyeimbangkan konstelasi dalam EAS dengan mengundang Amerika Serikat dan Rusia bergabung di dalamnya. Dengan kata lain, ASEAN secara sadar mengundang Amerika Serikat untuk menjadi anggota EAS guna mengimbangi Cina.

Adapun untuk memahami perilaku Cina di kawasan Asia Pasifik, perlu dipahami tentang Strategi 24 Karakter yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping. Strategi itu merupakan tuntunan bagi pemerintah Cina dalam politik keamanan internasional. Yaitu, “Observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”. Berdasarkan pada strategis tersebut, secara sekilas tergambar bahwa meskipun Cina memiliki ambisi untuk menjadi kekuatan utama di kawasan dan global, akan tetapi ambisi itu dikemas sedemikian rupa. Akan tetapi apabila memperhatikan dengan seksama perilaku politik, ekonomi dan keamanan Cina terhadap negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik, pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan antara Cina dengan Amerika Serikat.

Sebagaimana halnya Amerika Serikat yang selalu menekan negara-negara lain agar mengikuti kemauannya, begitu pula dengan Cina. Yang berbeda adalah pola penekanan dilaksanakan dan memakai instrumen apa. Misalnya, Cina sering menggunakan instrumen ekonomi sebagai senjata untuk menghadapi negara-negara lain yang dinilai tidak mengakomodasi kepentingannya, semisal terhadap negara yang tidak menganut Kebijakan Satu Cina. Sementara Amerika Serikat mengedepankan instrumen militer guna menekan negara-negara lain.

Kebangkitan Cina di kawasan Asia Pasifik tidak lepas pula dari aspek militer. Kekuatan militer Cina yang lebih kuat di kawasan di masa depan masih menjadi tanda tanya bagi negara-negara kawasan. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana tindak-tanduk militer Cina, khususnya Angkatan Laut, dalam tahun-tahun ke depan seiring makin kuatnya militer Cina ke depan. Tidak sedikit kekhawatiran di kawasan bahwa Cina nantinya tidak akan jauh berbeda dengan Amerika Serikat, yakni mengedepankan otot militer untuk mencapai kepentingannya. Dalam konteks inilah bisa dipahami mengapa banyak negara di kawasan, termasuk ASEAN, secara eksplisit maupun implisit masih membutuhkan peran Amerika Serikat dalam keamanan dan stabilitas kawasan.

Amerika Serikat sendiri terus memperkuat pembangunan kekuatan beberapa negara di kawasan, khususnya terhadap Jepang, Australia dan India. Ketiga negara memperoleh perlakuan khusus dalam mengakses teknologi maupun sistem senjata terbaru buatan Amerika Serikat. Misalnya adalah ratifikasi Defense Trade Cooperation Treaty (DTCT) antara Amerika Serikat dan Australia oleh Senat Amerika Serikat baru-baru ini. Begitu pula dengan dibebaskannya India untuk mengakses teknologi sensitif Amerika Serikat, sehingga India dapat membeli berbagai alutsista buatan Amerika Serikat.

Belum terhitung lagi makin meningkatnya aktivitas militer bersama antara Amerika Serikat dengan ketiga negara di kawasan. Sebagai ilustrasi, dalam komunike bersama AUSMIN 2010 pada 8 November 2010 di Melbourne menyepakati bahwa Australia menyokong U.S. Global Posture Review. Menindaklanjuti AUSMIN 2010, Panglima U.S. Pacific Command (U.S. Pacom) Laksamana Robert Willard berkunjung ke Australia pada 6-8 Desember 2010 untuk membahas peningkatan akses militer Amerika Serikat terhadap pangkalan-pangkalan militer Australia.

3. ASEAN Di Tengah Pusaran 

Arsitektur lingkungan strategis yang telah dijelaskan sebelumnya sangat jelas menggambarkan persaingan ketat antar dua kekuatan di Asia Pasifik, yaitu Amerika Serikat versus Cina. Dalam situasi demikian, tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa posisi ASEAN kini berada di tengah pusaran antara dua kekuatan besar. ASEAN dituntut mampu untuk “berselancar” di tengah pusaran tersebut. Situasi ini pula yang hendaknya dipahami dalam konteks kepemimpinan Indonesia di ASEAN 2011.

ASEAN kini menjadi sasaran lobi politik Amerika Serikat maupun Cina dalam persaingan antar mereka. Sebagai contoh, ASEAN-China Free Trade Area (CAFTA) “diimbangi” Amerika Serikat dengan peningkatan interaksi ekonominya dengan negara-negara ASEAN, termasuk di dalamnya Kemitraan Komprehensif Indonesia-Amerika Serikat. Terlebih lagi ekonomi Amerika Serikat sejak 2008 mengalami turbulensi, sehingga peningkatan ekspor ke luar negeri merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kinerja ekonomi negara itu. Memang secara individual terdapat beberapa negara ASEAN yang memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Amerika Serikat, seperti Singapura dan Thailand, akan tetapi perjanjian itu telah berlaku jauh sebelum terwujudnya CAFTA.

Pada sisi lain, nampak jelas pula betapa ASEAN terjepit dalam pertarungan antara Amerika Serikat dan Cina. Hal ini bisa dilihat dari tindakan ASEAN yang di satu sisi merangkul Cina, namun di sisi lain tidak bisa mengabaikan Amerika Serikat. Mengutip istilah Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Jauhari Oratmangun, ASEAN berupaya untuk menciptakan ekuilibrium baru di kawasan Asia Pasifik dengan merangkul kedua kekuatan besar. Upaya penciptaan ekuilibrium baru ini terlihat dari usulan Indonesia untuk memasukkan Amerika Serikat dalam EAS dan usulan itu telah disepakati dalam KTT ASEAN Ke-17 di Hanoi pada 28 Oktober 2010 lalu.

Kondisi ini menggambarkan pula betapa cita-cita dan aspirasi ASEAN untuk menjadi penata stabilitas dan keamanan Asia Tenggara jauh api dari panggang. Sebab pada dasarnya ASEAN belum kokoh untuk menata keamanan kawasan Asia Tenggara tanpa melibatkan kekuatan ekstra kawasan, khususnya Amerika Serikat. Dengan meningkatnya peran Cina dalam keamanan kawasan, nampaknya sulit bagi ASEAN untuk tidak “mengundang” Cina untuk menata keamanan kawasan Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan. Masalahnya adalah “undangan” tersebut dipastikan menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu garis depan pertarungan geopolitik Amerika Serikat menghadapi Cina dan situasi ini akan merugikan bagi ASEAN secara keseluruhan.

Secara internal, sampai saat ini ASEAN bukanlah suatu organisasi kawasan yang solid. Sejumlah masalah bilateral masih mempengaruhi hubungan antar negara, khususnya masalah perbatasan, bahkan sampai pada beberapa insiden kontak senjata secara terbatas. Eksistensi kekuatan militer asing masih pula menjadi isu sensitif bagi negara negara tertentu, padahal isu pangkalan militer asing telah menjadi salah satu isu yang mempengaruhi dinamika hubungan antar negara Asia Tenggara sejak awal 1960-an. Walaupun ASEAN telah mengadopsi Bali Concord II pada 2003 yang menjadi dasar dari APSC, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa soliditas ASEAN masih jauh dari harapan.

Dari aspek pertahanan, interaksi bilateral dan multilateral antara Angkatan Bersenjata negara-negara ASEAN dengan Amerika Serikat semakin intensif. Secara bilateral, terdapat beragam latihan militer antar negara ASEAN dengan Amerika Serikat. Adapun secara multilateral, di kawasan ini setidaknya ada SEACAT dan COBRA GOLD yang disponsori oleh U.S. Pacom dan diikuti oleh sebagian negara ASEAN.

Sementara itu, Cina tidak mau ketinggalan melebarkan kerjasama militernya dengan negara-negara ASEAN secara bilateral, suatu hal yang baru karena selama ini belum pernah Cina terlibat latihan militer dengan negara-negara ASEAN. Hal ini bisa dilihat dari mulai intensifnya kunjungan petinggi militer Cina ke beberapa negara ASEAN dalam beberapa waktu terakhir, termasuk ke Indonesia. Dalam kunjungan tersebut, petinggi militer Cina bukan sekedar menawarkan penjualan alutsista kepada negara-negara ASEAN, tetapi mencakup pula kemungkinan latihan militer bersama.

Dihadapkan pada kondisi ASEAN yang berada di tengah pusaran pertarungan dua kekuatan besar kawasan Asia Pasifik dan kondisi internal ASEAN yang tidak solid serta upaya kedua kekuatan besar untuk merangkul negara-negara ASEAN ke dalam orbit mereka, menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk memimpin ASEAN pada 2011. Tantangan makin bertambah dengan kewajiban Indonesia untuk mampu memproyeksikan kepentingannya sehingga diadopsi sebagai agenda ASEAN.

4. Isu-isu Kritis

Meskipun ASEAN telah eksis sejak 8 Agustus 1967 di tengah berkecamuknya Perang Dingin dan baru usainya pertikaian politik dan militer antar beberapa negara Asia Tenggara, namun sampai saat ini belum ada kesamaan sikap politik ASEAN dalam menyikapi berbagai isu politik-keamanan di kawasan ini. Hal itu dilatarbelakangi oleh berbagai kontradiksi dan anomali dalam hubungan antar negara ASEAN, di samping masih kuatnya pengaruh kekuatan ekstra kawasan dalam mempengaruhi penataan keamanan kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, kesepakatan negara-negara ASEAN dalam Bali Concord II yang menjadi landasan bagi terbentuknya ASEAN Community merupakan sebuah langkah besar dengan segenap peluang dan tantangan yang dihadapi.

Sebagai kawasan yang didominasi oleh lautan, isu kerjasama dan konflik di Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari domain maritim. Agenda kerjasama maritim yang telah ditetapkan dalam APSC sesungguhnya merupakan agenda strategis di tengah semangat ASEAN untuk menciptakan kawasan yang mampu mengelola konflik. Sebagai bagian dari pengelolaan konflik, ASEAN akan berfokus pada tiga isu sekaligus yaitu conflict prevention, conflict resolution dan post-conflict building.

Dikaitkan dengan kontribusi yang dapat diberikan oleh TNI Angkatan Laut dalam kerjasama maritim ASEAN pada 2011, perlu diidentifikasi terlebih dahulu isu-isu kritis maritim apa yang tengah menjadi kecenderungan di kawasan Asia Tenggara dalam beberapa tahun terakhir. Isu-isu kritis keamanan maritim di Asia Tenggara sebagai berikut.

Pertama, perompakan dan pembajakan. Perompakan dan pembajakan di laut masih terus mengemuka di kawasan Asia Tenggara, meskipun secara faktual kasusnya sudah menurun drastis dibandingkan enam tahun silam seiring kerjasama antar negara pantai Selat Malaka. Dengan nilai strategis Selat Malaka dalam pelayaran internasional, negara-negara maju akan terus berkepentingan terhadap keamanan maritim di Selat Malaka. Kekuatan ekstra kawasan tetap memberikan perhatian terhadap keamanan perairan tersebut melalui beberapa inisitiatif keamanan seperti RMSI, CSI dan ReCAAP, sementara Cina sebagai kekuatan baru yang tengah meluaskan pengaruhnya hingga ke Samudera India berkepentingan pula terhadap keamanan di chokepoint tersebut.

Kedua, alur laut kepulauan. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dan Filipina merupakan dua negara yang berstatus kepulauan yang berkonsekuensi pada penyediaan alur laut kepulauan oleh kedua negara kepada pengguna perairan mereka. Indonesia resmi menerapkan ALKI utara-selatan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu ALKI I, II dan III setelah Maritime Safety Commite (MSC) IMO Sesi ke-69 1998 menerima proposal Indonesia yang telah direvisi tentang penetapan alur laut kepulauan yang menurut IMO bersifat parsial. Sementara Filipina belum menerbitkan aturan tentang lintas alur laut kepulauan maupun proposal kepada IMO untuk penetapan alur laut kepulauan di Kepulauan Filipina, dengan alasan bahwa alur lintas kepulauan yang melintasi wilayahnya sebenarnya cukup dangkal dan kekhawatiran akan isu lingkungan, di mana terdapat kekhawatiran bahwa jalur pelayaran internasional yang melintasi kepulauannya akan melalui perairan yang kaya akan ikan dan biodiversitas laut.

Ketiga, sengketa perbatasan. Kawasan Asia Tenggara, sejumlah negara kawasan sampai kini masih terlibat sengketa batas maritim dengan ASEAN lainnya. Kasus yang menonjol selain di Laut Cina Selatan yang melibatkan Brunei,Malaysia, Vietnam dan Filipina adalah di Laut Sulawesi antara Indonesia dan Malaysia. Hingga kini belum ada tanda-tanda persengketaan tersebut menemukan solusi akhir, meskipun dalam kasus di Laut Sulawesi tengah ditempuh upaya perundingan.Namun dilihat dari peluang terjadinya konflik terbuka antar negara ASEAN menyangkut sengketa perbatasan maritim, peluangnya cukup kecil karena masing-masing pihak cukup menahan diri.

Keempat, penataan good order di laut. Isu good order di laut di kawasan Asia Tenggara menjadi salah satu isu penting karena terkait dengan keamanan maritim. Menurut Sam Bateman, isu good order di laut di Asia Tenggara mencakup rezim maritim keamanan maritim dan keselamatan maritim. Mayoritas negara Asia Tenggara belum mengadopsi dan mengimplementasikan secara penuh berbagai aturan hukum internasional yang terkait dengan keamanan maritim, seperti UNCLOS 1982.

Lengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel No.1
Ratifikasi Konvensi Laut Internasional Di Asia Tenggara

Kelima, maritime awareness. Isu maritime awareness memiliki keterkaitan erat dengan keamanan maritim, sebab meningkatnya ancaman terhadap keamanan maritim harus direspon dengan berbagai pendekatan, satu di antaranya adalah maritime awareness. Yang menjadi masalah, di kawasan Asia Tenggara maritime awareness belum memiliki konstruksi yang jelas. Awareness satu negara dengan negara lain dalam isu keamanan maritim maritim dalam praktek di lapangan belum semuanya sama dan sebangun.

5. Kontribusi Agenda

Bertolak dari identifikasi sejumlah isu-isu kritis yang terkait dengan keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara, tergambar dengan jelas agenda apa saja yang dapat dikontribusikan oleh Indonesia ke dalam AMF sehingga diharapkan dapat diadopsi menjadi agenda bersama ASEAN. Terkait dengan hal tersebut, beberapa hal berikut dapat menjadi kontribusi TNI Angkatan Laut ke dalam ASEAN melalui kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2011. Dalam hal ini, kontribusi TNI Angkatan Laut disalurkan melalui hirarki nasional yang tersedia, khususnya melalui Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri. Adapun agenda yang dapat dikontribusikan oleh TNI Angkatan Laut sehingga menjadi agenda resmi delegasi Indonesia adalah sebagai berikut.

Pertama, isu perompakan dan pembajakan. Untuk menghadapi isu perompakan dan pembajakan di kawasan dengan Selat Malaka sebagai center of gravity–nya, dipandang perlu peningkatan kerjasama yang bersifat preventif. Satu di antaranya merealisasikan information sharing antar negara-negara pantai yang selama ini berjalan dengan kesan ketidaksetaraan. Maksudnya, kapasitas penguasaan informasi keamanan maritim hanya didominasi oleh negara tertentu saja, sedangkan negara-negara lain terkesan sebagai aktor lapangan saja. Untuk itu, ASEAN perlu membuat suatu information sharing center (ISC) baru yang hanya melibatkan negara ASEAN dan bertempat di negara ASEAN yang kepentingannya di domain maritim lebih besar.

Eksistensi ISC selama ini di Singapura melahirkan ketidaksepakatan antar beberapa negara ASEAN, sehingga dipandang perlu untuk menggagas suatu ISC baru yang sepenuhnya berada di dalam bingkai ASEAN. Agenda ini bisa menjadi salah satu program AMF ke depan, karena terkait dengan butir kedua dalam Aksi AMF yang berbunyi “Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community”. Untuk mengatur keamanan maritim di Asia Tenggara, ASEAN tidak dapat hanya membatasi diri pada aspek kebijakan tanpa terlibat dalam aspek operasional. Keberadaan suatu ISC dalam payung ASEAN akan lebih memberikan kontribusi positif terhadap upaya preventif menghadapi perompakan dan pembajakan di kawasan sekaligus mengurangi saling curiga antar negara ASEAN lain.

Kedua, penataan good order di laut. Untuk menciptakan perairan kawasan Asia Tenggara yang memenuhi aspek keselamatan, keamanan dan lingkungan, isu penataan good order di laut harus menjadi agenda AMF. Melalui AMF, semua negara ASEAN (khususnya yang memiliki laut) hendaknya “dikondisikan oleh suatu keadaan” untuk menandatangani dan meratifikasi semua konvensi yang terkait dengan keselamatan dan keamanan di laut. Dengan demikian, ASEAN sebagai organisasi mempunyai dasar hukum yang sama untuk bersikap terhadap tindak yang membahayakan keselamatan dan mengancam keamanan di laut.

Khusus bagi Indonesia, tidak ada ancaman kerugian apabila menandatangani dan meratifikasi SAR Convention, SUA Convention dan SUA Protocol. Justru sebaliknya, tindakan itu mengurangi keprihatinan pihak asing terhadap Indonesia dalam penangangan berbagai kasus keselamatan dan keamanan di laut yang selama ini dasar hukumnya hanya berdasarkan hukum nasional yang efektivitasnya diragukan. Merupakan hal yang aneh apabila selama ini Indonesia sebagai negara dengan perairan terluas di Asia Tenggara justru belum meratifikasi sejumlah konvensi yang bersifat strategis terkait dengan keselamatan dan keamanan maritim.

Ketiga, maritime awareness. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat maritime awareness antar negara ASEAN masih belum sama, sementara pada sisi lain maritime awareness merupakan tuntutan dunia internasional yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, isu maritime awareness perlu menjadi agenda AMF untuk mengikat semua negara ASEAN. Penguatan kesadaran maritim bersifat mendesak di kawasan Asia Tenggara, karena secara geografis wilayah ini lebih didominasi oleh perairan, selain adanya beberapa isu keamanan non tradisional yang bisa mempengaruhi keamanan maritim regional.

Dalam rangka penguatan maritime awareness, negara-negara ASEAN perlu membangun sistem nasional masing-masing yang nantinya akan diintegrasikan dalam sistem ASEAN. Untuk membangun sistem itu, dibutuhkan keterpaduan antara unsur Angkatan Laut, Coast Guard, otoritas pelabuhan, perusahaan pelayaran, perusahaan ekspedisi dan lain sebagainya. Dengan masing-masing negara ASEAN memperkuat sistem penginderaan yang terkait kesadaran maritim, sistem ini nantinya harus diintegrasikan pada tingkat ASEAN.

6. Penutup 

Dalam rangka kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN tahun 2011, sudah sepatutnya Indonesia mampu berkontribusi banyak dalam memproyeksikan agenda kepentingan nasionalnya untuk diadopsi menjadi agenda ASEAN. Terkait dengan kerjasama keamanan maritim, salah satu peluang yang tersedia bagi Indonesia adalah mengisi agenda AMF sebagai wadah tunggal kerjasama maritim ASEAN. Berdasarkan hasil analisis terhadap dinamika keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara, setidaknya terdapat tiga agenda kerjasama yang dapat dikontribusikan TNI Angkatan Laut kepada pemerintah untuk menjadi sikap resmi Indonesia di ASEAN. Ketiga agenda tersebut mencakup isu perompakan dan pembajakan, good order di laut dan maritime awareness.

Agar dapat diadopsi menjadi agenda resmi Indonesia dalam AMF, perlu dilaksanakan brainstorming yang intensif antara TNI Angkatan Laut dengan unsur pemerintahan, khususnya Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri. Sehingga diharapkan melahirkan satu persepsi yang sama dalam memandang isu keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara dan selanjutnya ada kesamaan pandangan dalam merumuskan kontribusi Indonesia dalam AMF nantinya.

. US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2006, hal.7
. Lihat, http://www.foreignminister.gov.au/releases/2010/AUSMIN-Joint-Communique.pdf
. Lihat, “US Seeks Access to Keys Australian Military Bases”, http://www.brisbanetimes.com.au/national/us-seeks-access-to-key-australian-military-bases-20101207-18og3.html
. Lihat “Fact Sheets: The United States and Indonesia – Building a 21st Century Partnership”, http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2010/11/09/fact-sheets-united-states-and-indonesia-building-a-21st-century-partners
. Ceramah di depan Seminar Akhir Pasis Dikreg-48 Seskoal, Jakarta 2 November 2010.
. Lihat, Severino, Rudolf C, Southeast Asia in Search of an ASEAN Community: Insight from the Former ASEAN Secretary-General, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2006, hal.9
. Lihat, “Guo Boxiong’s visit will enhance China’s military ties with Australia, New Zealand and Indonesia”, http://eng.mod.gov.cn/Opinion/2010-05/11/content_4155141.htm
Lihat, Robert Beckman, “Archipelagic Sea Lanes Passage in Southeast Asia”, dalam Guan, Kwa Cong and Skogan, John K (et.all), Maritime Security in Southeast Asia. London: Routledge, 2007, hal.124
Ibid, hal.128.
Lihat, Sam Bateman, “Building Good Order At Sea in Southeast Asia”, dalam Guan, Kwa Cong and Skogan, John K (et.all), Maritime Security in Southeast Asia. London: Routledge, 2007, hal.97-113
Ibid, hal.99-106.
. ASEAN Secretariat, Roadmap for an ASEAN Community 2009-2015, Jakarta, 2009, hal.11

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap