Oleh Budiman Djoko Said
1. Pendahuluan
Mundurnya dominasi kekuatan Maritim AS serta hadirnya India dan China dikawasan Asia selatan sebagai kekuatan baru Asia dengan pengaruh global memunculkan situasi unik di kawasan ini. Tiga pemain kekuatan global ini sangat berarti dan sensitif satu sama lain, artinya memainkan satu atau lebih menjadi sangat berpengaruh bahkan dominan memberikan effek kepada yang ketiga bahkan di luar tiga kekuatan besar ini. Angkatan Laut India dengan kelas “kapabel” di kawasan tersebut berambisi mengisi kekosongan ruang di regional Asia selatan bersamaan tumbuh dan hadirnya kekuatan modern maritim China yang berdalih mengawal strategi ekonomi nasionalnya bukan hanya dikawasan tersebut bahkan sampai ke Somalia. India sebagai anak benua yang berkedudukan sepanjang garis yang menghubungkan titik-titik panas (flash-point) yang berbahaya yakni perbatasan Kasmir dengan Pakistan dan China, secara simultan tampil bersama-sama China di kawasan Samudra India.
Di samping itu, krisis yang berkepanjangan di kawasan Kasmir berpotensi menciptakan ketidakstabilan seluruh kawasan dan tetap membutuhkan mediator penengah antara Pakistan dan India, setidak-tidaknya meredam proliferasi sistem senjata (sista) nuklir ataupun konvensional bahkan peluang untuk bertarung dengan aktor asimetrik dalam peperangan panjang (the long war) (McLaughlin, abstract). China konsisten mengejar “ends” kepentingan nasionalnya dengan memanfaatkan negara ketiga seperti Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Vietnam, Thailand dengan memproyeksikan negara tersebut dengan proyek infrastruktur mega raksasa dan kelak akan dimanfaatkan sebagai pendukung kekuatan maritimnya dan program ini bagi China sangatlah menonjol sekali. Sebagai “outcome”nya negara-negara ini diharapkan berperan “untuk mengurangi dominasi AS di kawasan ini dan kegiatan tersebut dikenal sebagai strategi ‘String of Pearl Strategy’ (Rosenfield, 44) sebagai strategi yang diciptakan China dan sebaliknya India meresponnya dengan strategi yang disebut “Necklace of Diamonds Strategy”. Meskipun China disibukkan dengan perhatiannya ke Asia timur laut dan semenanjung Korea yang disebut sebut sebagai zona “panas” namun tetap konsisten dan ngotot dengan klaimnya di Laut China Selatan maupun versus isu Taiwan dan tetap melirik perhatiannya kepada India. Pasang surutnya konflik dua negara ini sama halnya pertikaian antar aktor yang umumnya diawali dari isu perbatasan daratnya yakni ketika pasukan India menduduki teritori yang diklaimnya di perbatasan Himalaya pada tahun 1962. China membalasnya dengan serangan ofensif dan memukul mundur pasukan India, kemudian bergerak ke bagian utara timur laut bagian Arunachal Pradesh dan sebagian Kashmir serta membunuh 3000 pasukan India. Semenjak benturan ini, China dan India tercatat sebagai negara yang terlama dengan isu perbatasan yang tidak terselesaikan, meskipun sesudah itu ada upaya rekonsiliasi sampai dengan tahun 2005, namun belum ada tanda-tanda mencair. Anehnya diluar benturan ini, hubungan perdagangan tetap terjalin baik selama bertahun-tahun bahkan semakin membesar, tercatat sampai akhir tahun 2010 neraca perdagangannya melebihi US$60 million meskipun berpeluang gagal akibat tekanan potensial isu politik-militer.
Hubungan dua negara yang signifikan dengan kondisi yang sama-sama terbebani jumlah penduduk terpadat dan terbesar pertama dan kedua didunia, dan sama-sama berharap tumbuhnya pasar domestik di negaranya masing-masing. Khususnya China yang konsisten dengan strategi perdagangan dan ekonomi nasional dan kedua strategi itu adalah bagian penting dari strategi keamanan nasional yang menjadi fokus perhatian pemerintah dan People Liberation Army Navy (PLAN). Hubungan Sino-India bisa didekati dengan tiga pendekatan, pertama bagaimana perspektif China terhadap India, kedua perspektif sebaliknya dari India terhadap China, dan ketiga perspektif negara sekitarnya dan AS terhadap China. Perspektif ketiga sangatlah wajar mengingat negara sekeliling tentunya mengharapkan adanya transparansi tentang intensi modernisasi PLAN nya dan bagi AS sendiri sekurang-kurangnya tidak mau kehilangan pengaruh di regional Asia selatan. Keempat, sebagai tambahan adalah menilai intensi deploi kekuatan PLAN dan Indian Navy (IN) di kawasan Asia selatan. Makalah ini sementara mengabaikan bayang-bayang proliferasi senjata nuklir India, Pakistan (krisis Kargil, tahun 1999, pen), dan China serta mencoba menggali bagaimana masing-masing aktor memainkan strategi dan bagaimana pengaruhnya di ruang maritim tersebut.
2. Konflik di kawasan Asia selatan
Asia selatan selama ini dikenal sebagai pengekspor instabilitas. Mencermati dua negara raksasa khususnya China yang lebih memandang pragmatik hubungan bilateralnya dengan India dilandasi pemikiran bahwa kemajuan India masih bisa diatasi China (Ibid, hal 2) serta memposisikan India dalam tataran hirarkis kedua yakni sebagai “negara tetangga” (Ibid, hal 2). Konstruksi perbatasan darat China-India secara garis besar disebut garis McMahon atau dikenal sebagai LAC (line of actual control) meskipun Beijing pada tahun 1914 tidak mau menandatanganinya (Kumar, hal 13), yang memanjang dan dibangun dari Ladakh di Kashmir ke selatan dan ke timur sepanjang 2100 mil darat, dipotong Nepal dan Bhutan − merupakan produk isu perbatasan darat yang tidak pernah terselesaikan. Fokus China tentang ekonomi dan perdagangan melalui Sea Lanes of Communication (SLOC) membuat negeri ini sangat peka terhadap kekuatan maritim yang tumbuh sepanjang rute pendekat SLOC tersebut, dan membuat Beijing cepat curiga bila India melakukan manuver laut di luar IOR (Indian’s Ocean Regional) ditambah ambisi modernisasi unit-unit armada IN-nya.
Dua aktor yang nampaknya ingin diakui peranannya di kawasan Asia selatan ini bukan saja mengkuatirkan negara sekitarnya tetapi juga meningkatkan suhu keamanan maritim dan AS tentu saja tidak mau kehilangan dominasi pengaruh meskipun sudah lama meninggalkan kawasan ini. Ada baiknya meninjau secara komprehensif apa yang terjadi di kawasan ini. Kawasan Asia selatan membentang mulai dari Afghanistan, memotong Pakistan, anak benua India, terus ke Nepal, Bhutan dan turun ke Bangladesh dan Sri Lanka (Peters, 1). Masing-masing memiliki sejarah panjang konflik, pertikaian bahkan perang yang tidak kunjung usai. India memiliki isu perbatasan darat yang tak pernah selesai juga pertikaian energi air bersih dengan Pakistan maupun China. Terorisme, insurgensi dan perang saudara berlangsung di Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Nepal, Bhutan, Sri Lanka, India dan Pakistan, dan faktor ini sangat kritikal menambah parahnya isu sekuriti mengingat hadirnya aktor non-negara di dalam maupun di luar yang berinteraksi dan membantu gerakan tersebut. Kehadiran kelompok-kelompok ilegal bersenjata tersebut memonopoli kekerasan di negara tersebut, dan mengkooptasi aparat keamanan untuk melibatkan diri bagi kepentingan kelompok ilegal itu (Ibid,18). Beberapa negara seperti Afghanistan, India, Pakistan, Nepal, Bhutan dan Bangladesh sering disebut-sebut telah melakukan manajemen perbatasan yang tidak semestinya baik terhadap garis batasnya dan bagian teritorinya. Di luar itu semua ada aktor-aktor yang secara tidak langsung bisa mempengaruhi kawasan ini seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Israel , Iran , AS dan lain-lainnya, termasuk Jepang dan Korea selatan, dua aktor terakhir ini lebih banyak terlibat dalam isu komersial (Ibid, hal 3), bahkan China dinilai sebagai tetangga yang potensial mempengaruhi iklim kawasan ini. Pemetaan umum entitas pertikaian dalam tanda lingkaran didemonstrasikan dalam gambar no.1 dibawah ini.
Gambar 1
Peta kawasan Asia selatan
Sumber: Ibid, 28
Analog dengan aktor asimetrik atau aktor non-negara lainnya yang cukup berpengaruh terhadap stabilitas kawasan ini dan boleh jadi sangat dekat dengan isu pertikaian antar aktor. Sesungguhnya setiap aktor di kawasan ini menghadapi beberapa format besar percekcokan etno-religi, terorisme, atau insurgensi, dan semua potensi tersebut mampu melibatkan dirinya lebih dalam ke dalam isu antar aktor dan membuat kawasan ini menjadi semakin berbahaya. Bila dikumpulkan ada beberapa aktor yang berinteraksi dengan kawasan ini baik dengan cara melibatkan diri, atau berkompetisi baik perdagangan maupun militer dengan masing-masing insentifnya. Dikuatirkan bila kelompok-kelompok anti pemerintah tersebut sukses dengan kampanye mereka, maka negara akan turun derajatnya menjadi negara yang gagal (failed-state) atau bahkan runtuh (collapse state) sama sekali dan sebaliknya derajat “khaos” (chaos) seperti itu sangatlah dinantikan sekali oleh kelompok ilegal tersebut seperti teroris, dan aktor non-negara ilegal (traffickers) dan bentuk organisasi kejahatan internasional lainnya (Ibid, hal 24). Bahasan ini dapat divisualisasikan dalam sketsa (model) dinamik yang menggambarkan interaksi destabilisasi seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2
Interaksi aktor non negara yang berpeluang membuat destabilisasi kawasan
Sumber: Ibid, 56
Termasuk di dalam entiti ini adalah kelompok yang hidup bermasyarakat di dalam negara seperti suku, golongan, agama (tribal, clan), yang bisa saja mengatas namakan kepentingan politik atau demokrasi dengan mengangkat isu-isu tertentu seperti Pashtun atau Baloch, dalam situasi tertentu kelompok-kelompok tersebut bisa menggunakan milisia atau kelompok berseragam dan dipersenjatai. Berikutnya di bawah ini menggambarkan hubungan antar aktor yang berpeluang merusak stabilitas kawasan.
Gambar 3
Kooperasi antar Negara yang berpeluang merusak stabilitas kawasan
Sumber: Ibid, hal 60
Meskipun AS belum dilibatkan dalam model ini, bisa saja konflik AS versus Iran sekarang ini dengan skenario terburuk yakni pecahnya perang Iran baik dengan Israel dan atau AS akan memperkaya model ini. Dengan mencermati ‘gambar 2’, dengan pertumbuhan dan interaksi kelompok ilegal ditambah ‘gambar 3’ tentang interaksi kekuatan teknologi dan nuklir memberikan peluang terciptanya instabilitas kawasan Asia selatan.
3. Sino-India
Sino-India menjadi sub-bahasan yang menarik, dengan merujuk laporan dan prediksi Dewan Intelijen Nasional AS yang berjudul “Mapping the Global Future” bahwa menjelang tahun 2020, komunitas internasional akan berhadapan dengan dimensi politik-ekonomi-militer (Pant, 760) sebagai konsekuensi bangkitnya China dan India. Lebih jauh lagi aspirasi, ambisi apapun juga namanya untuk memperoleh status sebagai negara kuat, dan di atas segala-galanya memperoleh jaminan keamanan energi (minyak, makanan dan komoditas perdagangan) memaksa sang “Naga” (China) dan “Harimau” (India) tidak lagi berkutat-kutat diruang anak benua lagi dan suka atau tidak suka mengalihkan pandangan ke ruang maritim (Holmes, et-all, 1). India tidaklah memandang China sebagai pemain legal di Samudra India, dan tidak lebih sebagai tetangga raksasa di sebelah timur yang berperilaku sebagai pesaing yang mencoba mengelilingi anak benua ini (a.l Gwadar di-Pakistan, pen) dan mencoba mengarahkan pengaruhnya ke barat sampai ke pantai Afrika. Asumsi ini bisa jadi benar mengingat China sementara ini masih memandang bahwa Samudra India masih merupakan arah strategik kedua bukan yang utama. Secara tradisional China semenjak tahun 1993, masih menganggap jurusan tenggara dengan isu L aut China Selatannya merupakan jurusan strategik utamanya , termasuk isu kehadiran kekuatan AS dan kemerdekaan Taiwan (Tanner, 6 dan Scobell, 69-140). Namun apapun juga kesadaran dan keberanian dua negara itu merubah pandangan ke ruang maritim merupakan cara pandang dan keputusan nasional yang “cerdas” karena maritim adalah himpunan induk (super-set) yang sangat menjanjikan untuk “diburu” oleh pemilik strategi maritim nasional.
Sewajarnya inti kekuatan maritim (maritime forces), yakni Angkatan Laut haruslah ditonjolkan mengingat deploinya kapabel meliput wilayah di semua perairan khususnya dari perairan “hijau” ke “biru”. Angkatan Laut manapun juga akan beroperasi dalam domain maritim yang terdiri dari elemen “lautan, laut, estuari, pulau, kepulauan, area pantai dan ruang udara di atasnya, termasuk litoral” (Don, 8 dan JP, 3-32). Elemen tersebut berada dalam domain maritim termasuk semua sumber daya yang ada di dalam dan dasar lautnya juga udara di atasnya. Sungguh tidaklah wajar bagi negara yang merasa memiliki domain nasional maritim tidak menempatkan instrumen maritim sebagai instrumen kekuatan nasional sejajar dengan instrumen lainnya seperti diplomasi, ekonomi, militer dan sebagainya. Kumpulan strategi-strategi instrumen tersebut diyakini sinergis terdefinisi sebagai strategi keamanan nasional (KamNas) dan khususnya bagi instrumen kekuatan nasional maritim sendiri akan didefinisikan sebagai strategi nasional untuk keamanan maritim (national strategy for the maritime security), tidak lagi berorientasi pada keamanan pulau, kepulauan, laut atau kelautan saja, mengingat pulau, kepulauan, laut dan kelautan barulah salah satu anggota himpunan maritim (sub-set) atau bagian kecil dari maritim. Realitanya strategi maritim nasional akan sangat mempengaruhi capaian strategi keamanan Nasional. Hal ini dikuatkan dengan analisis Tewes yang membuat hipothesa ada hubungan erat antara strategi nasional untuk keamanan Maritim dengan strategi Angkatan laut dan strategi keamanan nasional (Tewes, hal 20-23). Kedua aktor ini benar-benar menyadari kaitan teoritik dengan aplikasi dilapangan. Mereka menyadari bahwa maritim merupakan ruang kehidupan masa mendatang, sekaligus ruang “tarung” (combat) yang tidak akan lagi berkutat-kutat di anak benua atau kontinental yang sudah penuh sesak lagi. Keputusan strategis yang dimungkinkan dengan mundurnya AS dan Soviet dari kawasan ini dan sepertinya menjadi jawaban alam untuk menghadirkan kedua aktor anak benua itu untuk tampil sebagai aktor maritim.
Meskipun awalnya China tidaklah terlalu memandang penting India, China lebih memberikan atensi kepada AS, Russia, Jepang dan negara-negara Eropa, khususnya semenjak tahun 1997. Namun perhatian ini berubah setelah India melakukan uji nuklir tahun 1998 (Lund, hal 5). Kedua aktor ini sama-sama tampil sebagai pemenang resesi global dan sama-sama agresif mengejar pertumbuhan ekonomi yang impresif dan berbasis demografi yang diproyeksikan beberapa tahun ke depan akan mencapai jumlah yang sama yakni 1.4 milyar penduduk. Kecenderungan kawasan Asia selatan dengan Samudra Indianya semakin menjanjikan sebagai arena kompetisi dan insentif bagi kedua aktor baru ini, lebih-lebih bagi India yang beranggapan Samudra India adalah Samudranya India (Brewster, 1). Perubahan cara pandang India tersebut yang diikuti antusiasme para petingginya untuk memandang maritim sebagai kehidupan mendatang sangatlah membantu mengembangkan kapabilitas IN menuju “Angkatan Laut Biru” mulai pertengahan tahun 1990an dengan kenaikan anggaran pertahanan utamanya bagi IN sampai dengan tahun 2005 sebesar 5 persen Gross Domestic Product (GDP) menjadi 10 persen GDP sampai dengan tahun 2008 (Ibid, 2). Kontras selama ini dengan sebutan ‘Cinderella’ bagi IN atau ‘anak manis’ oleh Angkatan Perang India (IAF) (Ibid, 2). Ambisi ini akan terus dikembangkan melalui gugus tempur laut dengan tiga kapal induknya (proyeksi battle group),pen) dan fokus utama kepada tiga titik utama (choke points) yakni pintu masuk Afrika selatan, semenanjung Arabia, dan penghubung Samudra India dengan Pasifik melalui Indonesia (ALKI ?,pen), aplikasi perkembangan penugasan yang merujuk doktrin maritim India tahun 2004 (Ibid, 3). Sayangnya ada berita kurang sedap internal dalam pemerintahan India yakni hambatan birokrasi belakangan ini terutama dari pihak Departemen luar Negeri India dan angkatan yang lain nampaknya kurang senang dengan pertumbuhan IN, Brewster menyatakan a.l:
“…the IN’s activist role in the Indian Ocean has often been ahead of the views within the other armed services and the goverment…….there is long running tension between the Indian Navy and Foreign Ministry over the Navy’s assertive regional policy, including over the 2008 decision to participate in anti-piracy operations off Somalia.”
Bagaimana sikap Amerika Serikat (AS)? AS lebih menyadari kehadiran India sebagai penanggung jawab keamanan maritim kawasan dan dapat bertindak sebagai kekuatan penyeimbang versus kekuatan China (Ibid, 4).
Kompetisi kekuatan maritim di kawasan ini akan mendorong India semakin berambisi di Samudra India. Meskipun India tetap mewaspadai Pakistan utamanya rezim zona ekonomi eksklusif (ZEE) dalam jangka pendek ini, sementara disadari China akan mengalami kesulitan memproyeksikan kekuatan maritimnya plus dukungan logistiknya sampai Samudra India dalam jangka pangka panjang kedepan (Ibid, hal 5). Faktor terakhir inilah yang mungkin saja dijadikan alasan China untuk segera mengembangkan kekuatan maritimnya dengan unit kapal induk. Ambisi modernisasi kekuatan maritim China jauh lebih awal semenjak tahun 1980an dibandingkan India dan tentu saja didukung suksesnya strategi ekonomi nasional China. Berbeda sedikit dengan India, China lebih mengutamakan kekuatan bawah airnya. Meskipun setiap tahun China selalu menaikkan anggaran belanja pertahanan nasionalnya namun pengamat barat meragukan angka anggaran yang diberikan jauh melebihi apa yang diisyaratkan, bisa saja sudah melebih 11 persen GDPnya, membandingkan begitu impresifnya modernisasi dan realisasi pengembangan kekuatan maritim China dibandingkan India. Kembali pada isu kelemahan China, yakni konsekuensi logistik dengan jarak dari pangkalan terselatan China dan dukungannya sampai ke Samudra India, oleh karena itu China akan tetap memelihara dan terus membangun strategi yang mereka sebut “Untai Mutiara” (string of pearls) yakni mendayagunakan negara ketiga sebagai co-partner yang sewaktu-waktu dapat mendukung kepentingan China memproyeksikan kekuatan maritimnya dikemudian hari. Kedua aktor raksasa ini menyadari bahwa mereka telah memiliki penilaian yang sama oleh komunitas internasional, masalahnya maukah mereka berkooperasi yang bukan saja menguntungkan mereka akan tetapi juga seluruh komunitas dunia (Martin, hal 1). Bila ya, apakah China akan memakai kooperasi ini untuk jangka pendek ataukah akan berubah setelah China benar-benar merasa telah mencapai tingkat keunggulan strategik dalam dimensi politik, ekonomi dan militernya yang lebih dibandingkan India?
Kesimpulan
India akan melihat China sebagai pesaing ekonomi dan saingannya dalam kekuatan maritim kawasan. Perspektif pemerintah India ini juga mempercayai China yang tumbuh kuat ekonominya, begitu juga aspirasi kekuatan adidayanya akan mengubah peta keseimbangan kawasan dan mengancam keamanan nasional India. Untuk mencegah konfrontasi dikemudian hari dengan China, India telah menyiapkan dirinya dengan memasuki era modernisasi dengan harapan, kapabilitas dan kekuatan militernya menjadi perangkat diplomasi untuk bisa menekan China mengadakan dialok bilateral dibandingkan melalui konfrontasi bersenjatanya. Oleh karena itu India menyadari betul bahwa modernisasi harus dilakukan untuk membawa setiap pertikaian dengan apa yang selama ini dipandang sebagai “yang selalu berseberangan” ke jalan negosiasi bilateral. Untuk mencegah peperangan dengan China (atau Pakistan), India percaya bahwa mereka memerlukan kapabilitas *militer untuk mencegah dan menggetarkan “lawan” dengan memodernisasi intelligence, surveillance, and reconnaissance (ISR)-nya, presisi pukulan (strike precision), dan kapabilitas pertahanan anti rudal baik dengan cara pengadaan internal maupun akuisisi sista dari luar (Dewan, hal 62). Sikap ngotot dan usaha keras China merealisasikan potensi ekonomi dan mengawalnya bahkan sampai ke pantai Afrika, menunjukan kesungguhan China dengan PLAN-nya akan memainkan peran utamanya dan menghadirkan dirinya ke Samudra India. Tekad ini didasarkan kesungguhan memodifikasi tradisi Maoisme menuju Angkatan Laut modern dan sesuai dengan modifikasi perubahan peran PLAN lebih ke luar − menjadi Angkatan laut “Biru”. Tuntutan peran aktifnya China versus isu keamanan regional di Samudra India akan menjadi konsekuensi bagi PLAN dimasa depan, plus dukungan co-partnernya diperimeter strategi “untai mutiaranya”, periksa gambar strategi “untai mutira” di bawah ini (Gassaway, 5), tetapi juga menggunakan konsep “kekuatan-lunak” berkooperasi dengan Angkatan Laut di Asia selatan (Good, hal 41 ).
Gambar 4
Strategi “Untai Mutiara” China
Note: Perhatikan garis panjang warna biru adalah SLOC bagi China dan didalamnya perimeter dalam garis hitam adalah garis “Untai Mutiara” yang memanjang sampai Gwadar di Pakistan ke China.
Di sisi lain China akan tetap memandang India sebagai rivalnya, berorientasi kepada modernisasi dan aktivitas perdagangan senjata dan kecondongan keterpihakan AS. Diluar kompetisi militer, Beijing mencoba membendung pengaruh India seperti yang ditunjukkan dengan suksesnya menggagalkan Jepang sebagai anggota tetap PBB dan nampaknya AS masih berjuang menambah satu anggota tetap PBB yakni India, bila ini berhasil akan selangkah lebih maju bagi India menampilkan dirinya sebagai kekuatan global dan Beijing melihat ini juga akan merupakan suatu kegagalan lagi bagi AS (Wangwhite, 73).
Perspektif AS yang merasa memiliki “kepentingan” ekonomi, militer dan politik dihubungkan dengan isu stabilitas Asia selatan, menyadari betapa pentingnya kegiatan promosi keseimbangan kekuatan. Di sisi lain sangatlah komplikasi karena AS juga harus mendukung India dengan kapabilitas teknologi dalam kurun waktu panjang versus China yang telah mengembangkan kapabilitasnya, misalnya tawaran terhadap Angktatan Udara India dengan paket program JSF (Joint Strike Fighter,program pesud pemburu operasi gabungan AS, pen) (DoD’s report, 8). Hal ini sangat tidak realistis untuk menyangka bahwa AS dapat mencegah India untuk pengadaan atau mengembangkan peralatan sistanya dihubungkan dengan pertumbuhan kemampuan pembelian kekuatan militer dan industri pertahanannya (Dewan, 68).
Situasi ini menambah komplikasi masalah apabila dihubungkan dengan proliferasi sista nuklir dengan Pakistan, India dan China yang sama-sama memiliki kapabilitas ini dan dikaitkan dengan promosi keseimbangan kekuatan kawasan. Mencermati pemetaan strategi “Untai Mutiara”, memotong untaian tersebut disalah satu titik kritik yakni di Sri langka, dengan cara berkooperasi dengan Sri Langka bisa menjadi salah satu solusi bagi AS dalam rangka menjaga keseimbangan dan ekspansi China dan memelihara pengaruh AS serta menjamin stabilitas di kawasan Samudra India (Gassaway, 5), dan bagi Indonesia akan berada di posisi area operasi strategi akses AS dan strategi anti akses China.
DAFTAR PUSTAKA
*Kapabilitas dapat didefinisikan dengan kebisaan (ability) ditambah dengan “outcome”. Sedangkan “outcome” adalah harga ekspektasi keberhasilan sistem yang diminati. Terminologi ini biasa digunakan komunitas “operasi riset militer”, oleh karena itu mungkin tidak tepat diterjemahkan langsung sama dengan kemampuan, lebih lebih bagi suatu sistem yang tidak pernah teruji apakah memiliki “outcome” sesuai desain awal dibuat. Misal:bom “A” konvensional yang dijatuhkan pada ketinggian “x” (ability) memiliki kesalahan jatuhnya pada radii “y” yards (outcome) ~ itulah kemampuan (capabilities) bom “A”. Sebaliknya bom “A” bisa dijatuhkan pada ketinggian “x” tanpa diketahui harga outcome-nya, lebih tepat disebut baru “bisa” (able), belum kapabel (capability) atau mampu.
1.Bai, Jie, Thesis Lund University , Master of Arts in Asian Studies, 2006, “Beyond Asymmetry : The Changing Face Of Sino-Indian Diplomatic, Security and Economics Relations (1950-2000s)”.
2.Brewster, David, Journal Security and Chalenges, Spring 2010, volume 6,no.3 ,”An Indian Sphere Of Influence In The Indian Ocean?”.
3.DoD Report, Nov 2011 , “Report to Congress on US-India Security Cooperation”.
4.DoN (Dept of the Navy), USA, 2010, ”Naval Operations Concept” dan definisi domain Maritim dalam JP 3-32.
5.Dewan,Jay.P, Ltn United States Navy, Thesis US NPS, Master Of Arts In National Security Affairs, March 2005, ” How Will The Indian Military’s Upgrade And Modernization Of Its ISR, Precision Strike, And Missile Defense Affect The Stability In South Asia?”.
6.Gassaway,Cory.N,LCDR US Navy,Paper Naval War Coll, Dept Of Joint Military Opts, May 2011, “ A Diamond in the String of Pearls, The Strategic Importance of Sri Lanka from Indian Ocean Regional (IOR) Stability “.
7.Good, Jonathan.T, Ltn US Navy, Thesis US NPS, Master in National Sevurity Affairs, March 2002, ”The PLA Navy Looks To The Indian Ocean”.
8.Holmes,James.R,Yoshihara,Toshi, US Naval War Coll Review, Summer 2008, volume 61,no. 3, ”China and the US in the Indian Ocean, An Emerging Strategic Triangle?”.
9.Kumar, Pranav, L.Col Indian Army,Thesis US NPS, MS In Defense Analysis (Irregular Warfare), June 2011, ”Prospects For Sino-India Relations 2020”.
10.Martin, Craig.A, Maj US Army, US Army War Coll, Monograph, 2011, ”Assessing the Impact of Strategic Culture on Chinese Regional Security Policies in South Asia”.
11.McLaughlin, William.P, LetCol USMC, Strategy Research Project, US Army War Coll, 2003, ”Improving Security Ties With India”.
12.Pant, Harsh.V, Institute for Defence Studies and Analyses, Journal Strategic Analysis , Oct-Dec 2006, ”Indian Foreign Policy and China”.
13.Peters, John.E, et-all , 10 persons, Project US Air Force, RAND, 2006, ”War and Escalation in South Asia”.
14.Rosenfield, Julia.M, Center for US Naval Analyses, 2010, ”Exploring The China-India Relationship, Roundtable Report”.
15.Scobell, Andrew, et-all, 2 persons , US Army War Coll, 2007, “Rightsizing the People’s Liberation Army: Exploring the Contours of China’s Military”. (Carlisle, PA: Strategic Studies Institute, U.S. Army War College, 2007).
16.Tanner, Murray Scot, et-all, 3 persons, Center for Naval Analyses, China Studies, Sept 2011, “Distracted Antagonists,Wary Partners : China and India Asses Their Security Relations”.
17.Tewes, Alex,et-all,Joint Standing Committee on Foreign Affairs,Defence and Trade Inquiry into Australia’s Maritime Strategy, “A Foundation Paper on Australia’s Maritime Strategy”.
18.Wangwhite, Sherry.W, LCDR US Navy, Thesis US NPS, Dec 2007, Master of Arts In National Security Affairs, “ China’s Reactions To The India Deal : Implications For The United States ”.