KONFLIK AMBALAT DAN STRATEGI MARITIM

1. Pendahuluan

PemerintahIndonesiadanMalaysiatelah sepakat untuk menyelesaikan masalah Ambalat melalui jalur politik dan diplomasi, mengedepankan cara-cara damai dan sedapat mungkin menghindari cara-cara kekerasan atau militer. Hal ini ditandai dengan pembicaraan langsung antara kedua Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yaitu Presiden Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawai pada awal Maret 2005 yang lalu. Keputusan ini kemudian  ditindak lanjuti dengan kunjungan Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayudha keMalaysiapada tanggal 9 Maret 2005 untuk membicarakan masalah perbatasan khususnya di LautSulawesi.

Langkah diplomatik ini terkandung niat, bahwa persoalan Ambalat jangan sampai mengganggu hubungan bilateral antaraIndonesiadanMalaysia, dengan harapan suasana bertetangga baik tetap terjaga dan bukan berkonfrontasi. Implementasi ke bawah, telah disepakati untuk membicarakan masalah-masalah yang bersifat teknis melalui pertemuan rutin antara Kepala Staf Angkatan Laut kedua negara.

Namun ditegaskan oleh Presiden Bambang Yudhoyono bahwa penyelesaian diplomatik dengan cara apapun, Kedaulatan dan Integritas wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia (NKRI) haruslah ditegakkan. Inilah sebenarnya salah satu Kepentingan nasional (National Interest) Indonesia, sehingga masalah nasional ini haruslah diselesaikan secara menyeluruh dan integral, melibatkan seluruh komponen bangsa baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh rakyat Indonesia termasuk TNI.

Kepentingan nasional Indonesiatersebut, karena menyangkut masalah integritas wilayah negara, hendaknya ditempatkan sebagai sesuatu kepentingan yang vital, dan oleh karena itu harus dipertahankan dengan segala daya dan upaya. Aneksasi wilayah perairan Ambalat merupakan suatu pelanggaran terhadap “the vital national interest of the state”, dan oleh karenanya negara dan bangsaIndonesia siap berperang untuk mempertahankannya. MemangMalaysia tidak mengambil wilayah Ambalat tersebut dengan cara invasi menggunakan kekuatan militer, melainkan dengan cara mengklaim secara sepihak. Namun tujuannya tetap sama yaitu berniat untuk memiliki walaupun dengan cara yang berbeda.

Hal yang perlu dipertanyakan adalah apakah kepentingan Nasional tersebut (Khususnya wilayah Ambalat) sudah diterjemahkan kedalam Tujuan Keamanan Nasional (National Security Objectives) yang akan dijadikan acuan untuk menyusun Strategi Militer dan khususnya Strategi Maritim sebagai pedoman bagi para pengambil keputusan di bidang Militer, khususnya Angkatan Laut. Di negara demokrasi yang menganut Civilian Supremacy (Supremasi Sipil), maka militer adalah Instrument Politik, sehingga tindakan militer dilakukan untuk mencapai tujuan politik yang telah di tetapkan. Atau dengan kata lain, kegiatan militer apalagi yang ditujukan keluar (negara lain), haruslah sesuai dengan tujuan politik yang telah digariskan oleh pemerintahan sipil. Proses pengambilan keputusan yang jelas dan tegas harus ada, dalam arti proses hubungan pemerintahan Sipil dengan Militer sebagai instrumen harus dibangun untuk menghindari tindakan militer yang keliru atau bahkan bertentangan dengan keputusan politik yang diambil.

Pernyataan Politik Presiden Bambang Yudhoyono diatas, harus mampu diterjemahkan dengan baik oleh jajaran TNI, agar tidak terjadi kesalahan dalam penentuan tindakan militer yang diambil atau yang akan dilaksanakan. Jadi pada dasarnya Instrument National yang sangat berperan dalam penyelesaian masalah ini adalah kebijakan pemerintah dan alat kekerasan (senjata).

2. Upaya Diplomatik

Mencermati proses penyelesaian politik atau diplomasi masalah Ambalat, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atau paling tidak diwaspadai, antara lain:

  1. Apapun solusi yang ditawarkan, harus tetap menempatkan perairan Ambalat adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  2. Mendalami kesungguhan pemerintahMalaysiauntuk menyelesaikan masalah di meja perundingan, karena menurut Menteri Luar Negeri Hasan Wirayudha, ada kesanMalaysiasengaja mengulur-ulur waktu untuk berunding. Proses yang sudah dirintis sejak tahun 2002, belum banyak membawa hasil, dan tidak jarang menimbulkan persoalan baru.
  3. Kesepakatan untuk duduk bersama-sama, namun belum sepakat dalam agendanya, dimanaMalaysiamenganggap pertemuan tersebut hanya sebagai forum tukar menukar pikiran saja.
  4. Malaysiatidak menghargai konsep Negara Kepulauan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara menetapkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)nya dengan berpatokan pada Pulau Sipadan dan Ligitan, sehingga mengklaim wilayah perairan Ambalat sebagai wilayah yurisdiksi nasional Malaysia.
  5. Malaysia telah melakukan beberapa kali tindakan provokatif di lapangan, di mana awak kapal perang Tentera Laut DirajaMalaysiamenyatakan bahwa mereka sedang berpatroli di PerairanMalaysia, ketika mereka berpapasan dengan unsur-unsur KRI yang berpatroli di Perairan Ambalat.
  6. Masalah Ambalat bukan semata-mata masalah ekonomi, penggalian sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi, tetapi merupakan masalah kedaulatan, Integritas wilayah dan martabat bangsa Indonesia.

Point–point tersebut di atas sengaja dikemukakan untuk memberikan gambaran bahwa penyelesaian secara politik diplomatik tidaklah mudah, membutuhkan waktu yang panjang dan enerji yang banyak. Pertanyaan yang logis yang dapat muncul dan perlu diantisipasi dengan cermat dan tepat yaitu:

  1. Sampai berapa lama upaya diplomatik ini ditempuh oleh kedua negara yang bersengketa.
  2. Apa yang akan terjadi bila langkah-langkah diplomatik ini gagal dan menemui jalan buntu.
  3. Penyelesaian dengan cara – cara damai harus jelas kriterianya dan batas-batasnya.

Tuntutan hukum internasional, demokrasi dan kemanusiaan, menghendaki dihindarkannya tindakan kekerasan di mana perang adalah pilihan terakhir (last resort). Namun bila sikap “Lunak” Indonesia seperti sekarang ini berlarut-larut dan dalam keadaan status quo yang tidak jelas, dikhawatirkan kasus Sipadan dan Ligitan akan terulang kembali, dan bukan tidak mungkin di masa yang akan datang kita akan kehilangan dua pulau lain yaitu Pulau Maratua dan Pulau Sambit di Kabupaten Berau, karena situasi demikianlah yang diinginkan oleh pihak Malaysia.

Di saat kita terbuai dalam keadaan “diam”, Malaysia tetap gencar melakukan upaya–upaya diplomatik internasional, upaya ekonomi bahkan upaya militer di lapangan. Di sinilah sebenarnya letak persoalannya. Indonesia yang seharusnya memegang Inisiatif dan bukan sebaliknya. Jangan sampai terjadi ungkapan yang menyatakan: “Kita menari mengikuti gendang orang lain” .

3. Strategi Maritim

Diktum Clausewitz menyatakan bahwa:

a. “War is not merely an act of policy, but a true political instrument, a continuation of political intercource, carried on with other means”

b. “Politics is the Womb in which War develops”

c. “War is only a branch of political activity that is in no sense autonomons”.

Jadi, apabila upaya-upaya politik atau diplomatik gagal, apakah akan pecah perang ?. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut tergantung pada bagaimana tujuan politik kedua negara terhadap wilayah sengketa tersebut dan bagaimana kebijakan politik masing-masing negara diterjemahkan ke dalam strategi militer nasional masing–masing di lapangan.

Proses pengambilan keputusan politik nasional untuk menghadapi situasi tertentu, diharapkan dibangun secara jelas dan tegas melibatkan kekuatan eksekutif dan legislatif dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang ada.

Menurut UUD 1945 Pasal 10, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI. Sedangkan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 14 ayat 1 menyebutkan bahwa Presiden berwenang dan bertanggung jawab atas pengerahan kekuatan TNI untuk menghadapi ancaman bersenjata dan harus mendapat persetujuan DPR. Dijelaskan pula bahwa pengerahan kekuatan TNI tersebut adalah dalam rangka Operasi Militer. Sedangkan yang dimaksud dengan “ancaman bersenjata” adalah berbagai usaha dan kegiatan oleh kelompok atau pihak yang terorganisasi dan bersenjata, baik dari dalam maupun luar negeri yang mengancam kedaulatan Negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.

Proses pengambilan keputusan ini hendaknya tetap bergulir sejalan dengan perkembangan situasi karena antara keputusan politik yang diambil dan penggunaan kekuatan, mempunyai hubungan timbal balik (Reciprocal) yang saling mempengaruhi. Jadi hubungan ini tidak selalu mengikuti hukum “Ends justify the means”.

Secara hirarkhis, Strategi Militer Nasional, harus dielaborasikan ke dalam Strategi Maritim di mana kekuatan Angkatan Laut sebagai intinya, harus dapat disusun dan direncanakan dengan baik agar dapat menjawab tuntutan dari tujuan politik, yaitu mempertahankan integritas wilayah, serta kedaulatan nasional. Oleh karena itu strategi maritim yang kira-kira memadai untuk diterapkan secara bertahap saat ini di daerah sengketa adalah:

a. Crisis Response. Ini adalah pangkal tolak dari strategi maritim yaitu tindakan atau sikap apa yang ditunjukkan bila terjadi krisis. Implementasinya adalah:

  1. Menghadirkan unsur-unsur Angkatan Laut (KRI) serta unsur-unsur lainnya sedekat mungkin dengan daerah krisis. Satu hal yang perlu di pegang teguh adalah bahwa kehadiran unsur-unsur Angkatan Laut tersebut adalah dalam kerangka melaksanakan fungsi militer dan bukan melaksanakan fungsi yang lain, misalnya fungsi constabulary (polisionil). Kekuatan Angkatan Laut harus dapat mempertahankan konsistensi dan kesiap-siagaan yang tinggi dengan dukungan logistik di pangkalan terdekat yang dapat di andalkan. Karena wilayah konflik serta daerah perbatasannya merupakan wilayah laut, maka kekuatan Angkatan Laut lah yang harus pertama-tama dan yang memadai memberikan response terhadap situasi yang berkembang.
  2. Aplikasi penggunaan kekuatan maritim (Angkatan Laut) secara milliter ini adalah untuk melakukan operasi pengendalian laut (Sea control) yang dapat berupa ofensif maupun defensif. Karakteristik penggunaan kekuatan Angkatan Laut yang fleksibel, mampu melakukan control terhadap eskalasi krisis. Namun sebaliknya harus disadari, pelibatan kekuatan laut kedua belah pihak, mengandung resiko terjadinya peningkatan eskalasi konflik.
  3. Kekuatan Angkatan Laut harus dapat melakukan fungsi militer yang lain yaitu fungsi naval diplomacy (Diplomasi Angkatan Laut) sebagai alat pendukung dan kepanjangan tangan dari perundingan–perundingan diplomatik yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Satu hal yang sangat penting, ketika upaya-upaya diplomasi gagal mencapai tujuannya (dalam hal iniMalaysia tetap mengklaim atas perairan Ambalat), kekuatan Angkatan Laut ini harus segera ditransfer ke dalam aksi militer yang sebenarnya, yaitu proyeksi kekuatan.

Penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk mendukung kebijaksanaan politik luar negeri ini harus diarahkan untuk melakukan tindakan sedemikian rupa agar dapat mempengaruhi sikap pemerintah Malaysia, yang pada gilirannya diharapkan akan merubah pendiriannya atas kepemilikan perairan Amabalat. Oleh karena itu agar tujuan dapat tercapai, maka unsur paksaan “(Coercion)” haruslah ditunjukkan dalam setiap aksi kekuatan Angkatan Laut. Situasi menghendaki kita memberikan “pesan” yang lebih “kuat” dan nyata serta tidak sekedar “hadir” di perairan tersebut. “Signal” yang ditunjukkan oleh unsur-unsur KRI, akan dipersepsikan oleh lawan sebagai cerminan dari pendirian dan keinginan pemerintah kita. Untuk itulah suatu kemampuan ofensif terbatas harus dimiliki oleh kekuatan Angkatan Laut kita agar dapat menangkal pihak luar dan memaksanya mematuhi keinginan kita.

b. Tahap berikutnya adalah Deterrence (Penangkalan) atau Transition to War (Peralihan menuju perang). Strategi Penangkalan harus benar-benar memenuhi syarat-syarat Kapabilitas (Capability), Keterpercayaan (Reliability) dan Komunikasi (Comunication) agar tujuan dapat tercapai.

Tujuan utama Penangkalan adalah untuk meyakinkan pihak lawan bahwa jika pihak lawan tetap pada niatnya semula, maka resiko yang akan di tanggung akan jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan di dapat. Dalam kaitan dengan tahap ini, kekuatan TNI Angkatan Laut yang dikerahkan ke daerah konflik hendaknya terdiri dari kapal-kapal perang yang mempunyai kemampuan tempur yang cukup besar dan dapat diandalkan.

Di samping tetap berusaha untuk meningkatkan penangkalan, kita juga harus tetap memperhitungkan bahwa penangkalan dapat gagal. Jadi mempersiapkan diri untuk peralihan menuju perang adalah merupakan bagian integral daripada tahap ini. Kunci sukses dari kedua tahap awal ini dan keseluruhan strategi maritim terletak pada kecepatan para pengambil keputusan tingkat nasional dalam menentukan kebijakan politik berkaitan dengan situasi yang berkembang. Oleh karena itu mutlak diperlukan suatu prosedur dan proses pengambilan keputusan mulai dari pengambil keputusan politik tertinggi (Presiden) sampai dengan kepada Pemimpin Militer atau pengambil keputusan militer secara terpadu pada pada tingkatan lebih bawah.

c. Tahap selanjutnya apabila penangkalan gagal, yaitu “Seizing the Initiative” (Merebut Inisiatif). Kita tidak dapat meramalkan kapan peluru pertama ditembakkan, namun merebut inisiatif adalah sangat vital dalam suatu konflik bersenjata karena dapat melakukan gerakan-gerakan taktis operasional yang tepat dan terarah, dapat memberikan tekanan (Pressure) kepada kekuatan lawan. Sejarah perang laut, membuktikan bahwa memegang inisiatif adalah kunci untuk menghancurkan kekuatan laut musuh.

d. Tahap akhir dari strategi Maritim ini adalah Carrying the fight to the enemy. Tujuannya tidak lain adalah penghancuran menyeluruh dari armada lautlawan dengan menggunakan seluruh kemampuan yang ada.

Selain daripada itu, penghancuran kekuatan lawan memungkinkan kita memberikan ancaman lebih jauh yaitu sasaran-sasaran darat yang vital, dengan mengerahkan kekuatan udara dan kekuatan amfibi. Detail daripada tahap ini dapat direncanakan dan dilaksanakan pada tingkat operasional dan taktik kesatuan-kesatuan tempur. Tahap ini ditempuh bila benar-benar upaya diplomatik telah gagal dan tidak ada cara lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan pendirian masing-masing. Pemerintah dan bangsaIndonesiatidak mengizinkan kita sampai pada tahap ini. Demikian pula dunia internasional tidak akan diam dan pasti akan melakukan langkah-langkah campur tangan untuk mencegah terjadinya perang. Karena itu kita mengharapkan upaya-upaya diplomatik melalui meja perundingan benar-benar membawa hasil sesuai dengan yang kita harapkan.

4. War Termination (Pengakhiran Perang)

Seperti kita ketahui bahwa strategi dirancang untuk menghubungkan sarana dan tujuan. Strategi Maritim untuk menghadapi krisis Ambalat, Sarananya jelas yaitu gabungan seluruh kekuatan laut, darat dan udara yang menggunakan laut sebagai media aksinya. Sedangkan tujuannya, apabila penangkalan gagal, haruslah diarahkan untuk tujuan mengakhiri konflik (Perang) dalam kondisi yang menguntungkan kita sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang di katakan oleh Admiral James D. Watkins US Navy: The goal of the overall maritime strategy is to use maritime power to bring about war termination on favorable terms”. Artinya, apapun yang akan terjadi sebagai akibat dari pelibatan kekuatan maritim dalam konflik ini, harus tetap membawa keuntungan bagi Indonesia, karena tindakan militer tersebut diabdikan bagi pencapaian dan pemeliharaan kepentingan nasional seperti yang sudah di sebutkan di atas. Perang tidak kita inginkan, namun bila terjadi, kekuatan maritim harus diarahkan untuk pengakhiran perang tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak kita.

5. Penutup

Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah berkaitan dengan persoalan Ambalat.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap