Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Indonesia menduduki dua pertiga kawasan Asia Tenggara, di mana wilayah perairan Indonesia jauh lebih luas daripada wilayah daratannya. Bertolak dari konstelasi demikian, tidak dapat dibantah bahwa sebagian kepentingan nasional Indonesia terkait erat dengan domain maritim. Dalam era globalisasi saat ini, tak dapat dihindari adanya pertemuan kepentingan nasional Indonesia dengan kepentingan nasional bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya di kawasan Asia Pasifik.
Strategisnya konstelasi geografis Indonesia senantiasa masuk dalam kalkulasi politik, ekonomi dan keamanan negara-negara lain di kawasan. Dari perspektif mereka, situasi keamanan maritim di perairan Indonesia akan mempengaruhi kepentingan nasional mereka yang terkait dengan domain maritim. Sehingga merupakan hal yang lumrah dan tak terhindarkan apabila negara-negara lain di kawasan ini memberikan perhatian besar terhadap dinamika keamanan maritim di Asia Tenggara dengan perairan yurisdiksi Indonesia sebagai barometernya.
Indonesia bukan tidak menyadari posisi strategisnya di kawasan Asia Pasifik dan peran apa yang dapat dimainkan olehnya, hanya saja kesadaran itu belum merata menjadi sebuah kesadaran nasional. Hal itu bisa dillihat dalam RPJMN 2010-2014 di mana tujuan akhir dari RPJMN tersebut bukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maritim, melainkan negara kelautan. Kalau ditarik ke dalam konteks ASEAN, sejak beberapa tahun terakhir Indonesia telah menginisiasi kerjasama maritim menjadi agenda ASEAN.
The Bali Concord II 2003 menekankan bahwa isu maritim bersifat lintas negara, sehingga negara-negara ASEAN perlu menanganinya secara menyeluruh, terintegrasi dan komprehensif dengan menggalang adanya saling pengertian dan kerjasama yang lebih erat di antara negara-negara ASEAN melalui pembahasan forum-forum ASEAN. Pernyataan dalam The Bali Concord II 2003 tersebut selanjutnya diterjemahkan dalam bentuk ASEAN Community, yang salah satu pilarnya adalah ASEAN Political and Security Community (APSC). Dalam cetak biru APSC, satu dari tiga klusternya adalah a rules-based community of shared values and norms, di mana ASEAN Maritime Forum (AMF) yang kelahirannya digagas oleh Indonesia merupakan bagian dari kluster tersebut.
Pada 29-30 Juli 2010 Indonesia menjadi tuan rumah the 1st AMF yang bertempat di Surabaya. Adapun the 2nd AMF digelar di Pattaya, Thailand pada 17-19 Agustus 2011. Dalam pertemuan the 1st AMF, isu yang dibahas meliputi tiga hal yaitu connectivity, understanding maritime security dan SAR. Pada forum lain di ASEAN, Indonesia mengusung pula agenda ASEAN Connectivity, yang dapat dipastikan bahwa agenda tersebut memiliki benang merah dengan agenda serupa dalam AMF. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas tentang konektivitas ASEAN ditinjau dari perspektif kepentingan maritim Indonesia.
2. Globalisasi dan Keamanan Maritim
“Globalization begins at sea”, demikian tulis Sam Tangredi dalam Globalization and Maritime Power. Inti dari globalisasi adalah pergerakan arus barang dan jasa tanpa hambatan apapun, selain penyebaran informasi yang menembus sekat-sekat kedaulatan negara. Lebih dari 90 persen arus barang di dunia menggunakan laut sebagai wahana perlintasannya, sehingga terjaganya keamanan maritim adalah sebuah persyaratan mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar. Dalam dunia pelayaran, setiap kapal niaga selalu akan mencari rute tercepat dan terpendek dalam pelayaran dari pelabuhan asal menuju pelabuhan tujuan, sebab prinsip itu berdasarkan pada pertimbangan ekonomis.
Negara-negara di dunia mengenal adanya jalur-jalur SLOC yang tidak boleh terputus sedetik pun, sebab terputusnya jalur SLOC itu akan berimplikasi negatif terhadap globalisasi, selain tentunya keamanan maritim global. Dalam jalur-jalur SLOC tersebut, terdapat sembilan chokepoints yang harus dipastikan safe and secure setiap saat sepanjang tahun. Empat dari sembilan chokepoints tersebut berada di perairan Indonesia, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai. Selat Malaka dan Selat Sunda adalah tumpuan bagi negara-negara Asia Timur dalam transportasi laut dengan kawasan Timur Tengah, sementara Selat Lombok dan Selat Ombai adalah pintu keluar masuk terdekat Australia ke kawasan Asia Timur.
Penting untuk dipahami bahwa keempat chokepoints Indonesia itu merupakan bagian dari center of global economic gravity. Ancaman terhadap salah satu atau beberapa chokepoints akan mempengaruhi gravitasi ekonomi global, sebagaimana terlihat dalam kasus perompakan dan pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya. Akibat langsung dari instabilitas di daratan Somalia yang berdampak terhadap keamanan maritim di perairan negara itu dan sekitarnya adalah meningkatnya nilai asuransi kapal dan muatannya yang melintasi perairan tersebut, sehingga berimplikasi pada meningkatnya nilai jual komoditas yang diangkut oleh kapal tersebut.
Pergerakan arus barang dan jasa tanpa hambatan apapun lewat laut ini merupakan bagian dari konektivitas. Untuk menunjang konektivitas, dibutuhkan adanya good order at sea dan maintenance of a maritime consensus. Good order at sea dan maintenance of a maritime consensus adalah dua dari empat misi dari post-modern navy, selain sea control dan expeditionary operations.
Geoffrey Till memberikan perhatian besar terhadap good order at sea dan maintenance of a maritime consensus dewasa ini, sebab keduanya memiliki keterkaitan langsung dengan globalisasi. Menurut Till, laut merupakan sumberdaya, sarana transportasi, sarana pertukaran informasi, sarana dominion dan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, good order at sea dan maintenance of a maritime consensus merupakan kebutuhan mutlak, sebab ketidakamanan di laut akan memunculkan instabilitas kawasan dan berdampak langsung terhadap globalisasi. Padahal di sisi lain, globalisasi seperti ditulis oleh Sam Tangredi, bermula dari laut dan menggunakan laut sebagai tulang punggungnya.
Dalam era globalisasi, kesejahteraan dan keamanan suatu negara memiliki keterkaitan langsung dengan negara-negara lain. Kegagalan suatu negara menjaga keamanan di wilayahnya akan memunculkan perhatian dari negara-negara lain. Di sinilah kemudian akan bertemu dua rezim hukum, yaitu freedom of navigation versus principal of sovereignty. Tarik menarik antar negara terhadap kedua rezim hukum itu terus berlangsung hingga kini di domain maritim.
Adapun Michael Pugh menyatakan bahwa operasi Angkatan Laut pasca Perang Dingin lebih banyak berkutat pada peacekeeping and enforcement dan maintenance of good order. Lebih jelasnya lihat tabel berikut:
Tabel No.1
Penggunaan Kekuatan Laut Pasca Perang Dingin
Berdiskusi tentang globalisasi yang terkait erat dengan domain maritim, peran International Maritime Organization (IMO) hendaknya tidak boleh dilewatkan. IMO yang merupakan lembaga sipil di bawah PBB yang bertanggungjawab atas segala aspek yang terkait dengan domain maritim sipil senantiasa berfokus pada tiga isu yang saling terkait satu sama lain, yaitu safety, security dan environment. Implementasi dari ketiga isu tersebut antara lain berupa lahirnya sejumlah konvensi dan protokol yang terkait dengan domain maritim. Yakni meliputi UNCLOS 1982, SOLAS 1974 and Amendment (ISPS Code), MARPOL 1978, SAR Convention 1979, SUA Convention 1988 dan SUA Protocol 1988.
Karakter IMO adalah sipil, oleh karena itu IMO terus mendorong peran sipil dalam keamanan maritim. Sipil yang dimaksud di sini adalah Coast Guard sebagai lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintah di laut, termasuk penegakan hukum. Bukan berarti Angkatan Laut di dunia tidak didukung oleh IMO dalam rangka menjaga stabilitas keamanan maritim, akan tetapi IMO mendorong agar Coast Guard di berbagai negara untuk berperan lebih besar dalam keamanan maritim. Berbagai program dilaksanakan IMO khususnya di negara-negara berkembang untuk memperkuat peran Coast Guard dalam safety, security dan environment, termasuk di Indonesia.
Sejumlah negara yang memandang vitalnya keamanan maritim dalam era globalisasi meluncurkan pula sejumlah inisiatif terkait keamanan maritim. Sebagai dari inisiatif tersebut berwajah Angkatan Laut, sebagian pula berwajah Coast Guard (sipil). Inisiatif berwajah Angkatan Laut di antaranya dari Amerika Serikat lewat Thousand-Ship Navy/Global Maritime Partnership setelah Regional Maritime Security Initiative (RMSI) ditolak oleh beberapa negara Asia Tenggara. Melalui Thousand-Ship Navy/Global Maritime Partnership Amerika Serikat “meminta” negara-negara maritim kawasan untuk mengadopsi maritime domain awareness (MDA).
Sedangkan inisiatif berwajah Coast Guard dimunculkan oleh Jepang. Jepang sebagai negara industri yang sangat tergantung akan pasokan energi memunculkan ReCAAP (The Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia) dengan pilarnya yaitu information sharing, capacity building, and cooperative arrangements. Sejauh ini telah 14 negara menandatangani dan meratifikasi ReCAAP dan wadah kerjasama ini mempunyai ReCAAP Information Sharing Center di Singapura. Negara itu pula mendorong sejumlah negara Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, untuk mempunyai organisasi Coast Guard, di mana telah ada dua negara Asia Tenggara yang pembentukan Coast Guard-nya tidak lepas dari asistensi Jepang, yaitu Malaysia dan Filipina.
Beragam inisiatif yang dimunculkan oleh berbagai pihak, baik organisasi internasional maupun sejumlah negara pada dasarnya berangkat dari bingkai globalisasi, di mana konektivitas antar negara tidak akan berjalan aman dan lancar tanpa ancaman apapun apabila stabilitas keamanan maritim tidak terwujud. Konektivitas pada domain maritim hanya akan terwujud apabila good order at sea dan maintenance of a maritime consensus dapat ditegakkan.
3. Isu Kritis Konektivitas ASEAN Di Indonesia
Sebelum lebih lanjut mengulas tentang isu kritis konektivitas ASEAN di Indonesia, perlu dipahami terlebih dahulu tentang kekuatan maritim. Menurut Geoffrey Till, anatomi kekuatan maritim terdiri dari sumber (sources) dan unsur (element). Sumber dari kekuatan laut yaitu (i) a maritime community, (ii) resources, (iii) styles of government dan (iv) geography. Adapun unsurnya mencakup (i) merchant shipping, (ii) bases dan (iii) the fighting instrument (baca: Angkatan Laut).
Bertolak dari pemikiran Till, sangat jelas bahwa Indonesia memenuhi sebagian dari hal tersebut. Yang tidak dipunyai oleh Indonesia ada dua, yaitu style of government dan a maritime community yang solid. Karakter pemerintahan di Indonesia pasca 1965 boleh dikatakan sangat kurang perhatiannya terhadap domain maritim. Begitu pula karakter masyarakat Indonesia yang memandang laut sebagai halaman belakang.
Inisiatif konektivitas ASEAN memberikan tantangan yang sangat besar kepada Indonesia, khususnya dalam domain maritim. Mengapa demikian?
Pertama, karakter geografis Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan, sehingga tulang punggung transportasi barang dan jasa adalah lewat laut. Meskipun transportasi udara kian meningkat pertumbuhannya dalam satu dekade terakhir di Indonesia, tetapi hal itu tidak akan mampu menggantikan peran domain maritim sebagai tulang punggung pergerakan barang dan jasa. Artinya, di sini ada peluang asing untuk turut menikmati bisnis transportasi laut di Indonesia apabila pemerintah tidak konsisten dengan penerapan asas cabotage.
Kedua, konsistensi penerapan asas cabotage. Asas cabotage yang diterapkan berdasarkan Inpres No.5 Tahun 2005 mengharuskan semua pelayaran dalam negeri di Indonesia wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih yang terdaftar di Indonesia dan selanjutnya Inpres itu diperkuat oleh Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Penerapan asas cabotage adalah implementasi dari kedaulatan suatu negara dan merupakan hal yang lumrah di manapun di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada pihak tertentu yang dirugikan dengan penerapan asas cabotage di Indonesia, sehingga dibutuhkan konsistensi untuk terus melaksanakan asas itu di tengah upaya-upaya untuk “mengamputasi” kebijakan yang sangat pro kepentingan nasional Indonesia tersebut.
Ketiga, ocean policy. Ocean policy adalah panduan bagi semua pemangku kepentingan maritim dalam melaksanakan aktivitasnya, karena ocean policy adalah sikap dan kebijakan pemerintah dalam mengelola semua potensi dan kepentingan pada domain maritim. Tidak adanya ocean policy menciptakan kekosongan pada ocean governance sebagai turunan dari ocean policy. Dikaitkan dengan konektivitas ASEAN, menjadi tantangan tersendiri bagi sektor maritim Indonesia untuk berbicara banyak di tingkat kawasan ketika sikap dan kebijakan pemerintah terkait dengan domain maritim tidak eksis.
Keempat, strategi keamanan maritim nasional. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa Indonesia hingga kini tidak memiliki strategi keamanan maritim nasional. Penanganan masalah keamanan maritim malah bertambah carut marut, sebab Bakorkamla bersikeras menjadi lembaga operasional. Selain Bakorkamla, terdapat 12 instansi lain yang memiliki kewenangan penegakan hukum di laut, seperti Polisi Air, Bea Cukai, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (cq Direktorat Penjagaan Laut dan Pantai), TNI Angkatan Laut dan lain sebagainya. Mengacu pada Pasal 276 Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, terdapat amanat kepada Kementerian Perhubungan untuk membentuk Indonesia Sea and Coast Guard dua tahun setelah undang-undang itu disahkan, namun hingga kini badan itu belum terbentuk karena adanya hambatan dari instansi tertentu yang juga sangat berambisi menjadikan dirinya Coast Guard.
Kelima, kepatuhan terhadap aturan internasional. Dewasa ini, kepatuhan terhadap aturan-aturan internasional di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran seperti ISPS Code, SOLAS 1974, SUA Convention, SUA Protocol dan lain sebagainya merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Sangat disayangkan bahwa di Indonesia, isu kepatuhan terhadap aturan-aturan itu kurang dipandang vital, misalnya dalam hal penerapan ISPS Code.
Keenam, infrastruktur pelabuhan. Merupakan suatu ironi bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar hingga saat ini tidak memiliki satu pun hub port yang berdampak ketergantungan terhadap pelabuhan Singapura. Selain itu, kendala lainnya yang menghambat daya saing pelabuhan Indonesia adalah keterbatasan alur laut bagi kapal berukuran sangat besar dan ultra besar untuk merapat, karena alur pelabuhannya yang dangkal dengan tingkat sedimentasi lumpur yang besar.
4. Kontribusi TNI Angkatan Laut
Agenda konektivitas ASEAN pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan TNI Angkatan Laut, sebab agenda tersebut sangat terkait dengan keamanan maritim. Terciptanya keamanan maritim merupakan salah satu prasyarat bagi terwujudnya konektivitas ASEAN. Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila TNI Angkatan Laut memberikan perhatian pada isu konektivitas ASEAN.
Pertanyaannya adalah bagaimana kontribusi TNI Angkatan Laut pada agenda konektivitas ASEAN? Setidaknya ada beberapa kontribusi yang dapat dilakukan oleh TNI Angkatan Laut untuk itu.
Pertama, terus mendorong penataan ulang manajemen keamanan maritim nasional. Tidak dapat dipungkiri bahwa TNI Angkatan Laut dalam beberapa tahun terakhir konsisten mendorong penataan ulang manajemen keamanan maritim, sebagaimana tercermin dalam upaya pembentukan Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG). Meskipun dewasa ini gagasan ISCG telah diadopsi dalam Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, akan tetapi implementasi ketentuan itu masih menemui hambatan. Kondisi ini sesungguhnya merupakan peluang bagi TNI Angkatan Laut untuk terus mendorong penataan ulang manajemen keamanan maritim nasional agar Indonesia mampu menjadi pemain utama dalam konektivitas ASEAN.
Kedua, keselamatan navigasi. Keselamatan navigasi mempunyai keterkaitan erat dengan fungsi hidro oseanografi yang diemban oleh TNI Angkatan Laut. Yang menjadi tantangan bagi TNI Angkatan Laut adalah bagaimana memutakhirkan peta-peta laut yang ada sehingga dapat membangun kepercayaan konsumen terhadap peta laut terbitan Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut. Mengingat luasnya wilayah perairan yurisdiksi Indonesia, dibutuhkan suatu pendekatan yang bersifat komprehensif untuk merevitalisasi peran Dinas Hidro Oseanografi TNI Angkatan Laut dalam keselamatan navigasi di Indonesia, termasuk dalam pembuatan electronic navigational chart (ENC) yang dapat digunakan baik untuk kepentingan sipil maupun militer.
Ketiga, information sharing. Ancaman dan tantangan terhadap keamanan maritim bersifat lintas negara. Oleh karena itu, kerjasama information sharing antar Angkatan Laut di kawasan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Kerjasama information sharing dengan negara-negara lain akan lebih efektif apabila TNI Angkatan Laut mempunyai semacam Information Sharing Center yang dapat meliput semua informasi mutakhir mengenai keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia. Hal ini merupakan sebuah tantangan besar bagi TNI Angkatan Laut, tetapi di sisi lain di balik tantangan itu akan muncul suatu harapan agar Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri dalam urusan information sharing di perairannya dan tidak lagi “dikendalikan” dan tergantung pada Singapura.
Keempat, keamanan alur laut dan pelabuhan. Selain ancaman perompakan dan atau pembajakan, perlu diwaspadai pula ancaman seperti peranjauan pada alur laut dan pelabuhan yang dipandang vital. Sebagai senjata yang murah, ranjau laut dapat menjadi senjata perusak dengan daya hancur yang tidak dapat diabaikan begitu saja, selain tentunya dampak politik dan ekonomi dari kinerja sistem senjata tersebut. Dalam hal ini, TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu merespon ancaman demikian agar alur laut dan pelabuhan di Indonesia aman dari segala macam ancaman termasuk peranjauan.
5. Penutup
Dalam konektivitas ASEAN, suka atau tidak suka, domain maritim akan menjadi andalan sekaligus tulang punggung bagi Indonesia.Sekaligus menjadikan domain maritim Indonesia bersaing dengan sektor maritim negara-negara lain yang sudah maju, khususnya Singapura dan Malaysia. Guna memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari kompetisi tersebut, Indonesia harus melakukan pembenahan secara mendasar terhadap domain maritim, baik dari aspek kebijakan, hukum maupun operasional.
TNI Angkatan Laut sebagai bagian dari kekuatan maritim nasional memiliki peluang sangat besar untuk berkontribusi bagi suksesnya konektivitas ASEAN dalam bingkai kepentingan nasional Indonesia. Setidaknya terdapat empat hal yang dapat dikontribusikan oleh TNI Angkatan Laut untuk konektivitas ASEAN. Apalagi TNI Angkatan Laut mampu berkontribusi pada empat hal tersebut, niscaya Indonesia akan berperan besar dalam agenda konektivitas ASEAN yang justru digagas oleh Indonesia sendiri.
. Lihat, Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, Second Edition, New York: Routledge, 2010, hal.7-12
. Lihat, Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. London: Frank Cass, 2004, hal.310
. Lihat, Pugh, Michael, Ginifer, Jeremy and Grove, Eric, “Sea Power, Security and Peacekeeping After the Cold War” dalam, Pugh, Michael (et.all), Maritime Security and Peacekeeping: A Framework for United Nations Operations, New York: Manchester University Press, 1994, hal.24
. Lihat, Till, Geoffrey, Maritime Strategy and the Nuclear Age. New York: St. Martin’s Press, 1982, hal.13