Oleh: Robert Mangindaan
1. Latar Belakang
Kerjasama intra ASEAN bukanlah suatu barang baru, oleh karena sejak terbentuk pada tahun 1967 memang dirancang untuk membangun kerjasama antar negara-negara se-Asia Tenggara. Namun perlu dipahami bahwa pada mulanya ASEAN tidak dirancang untuk kerjasama di bidang keamanan, sekalipun ada beberapa produk politik yang terkait dengan stabilitas kawasan yaitu ZOPFAN dan SEA-Nuclear Weapon Free Zone, di samping itu ada pula kerjasama bilateral yang sudah dikembangkan. Namun pada Bali Summit 2003 (Bali Concord-II) sudah masuk babak baru yaitu munculnya keinginan untuk kerjasama kawasan dibidang keamanan (ASEAN Security Community-ASC).
Perubahan lingkungan strategis yang berkembang demikian pesat, semakin mendesak negara-negara ASEAN untuk melakukan upaya adaptasi agar tidak terlibas didalam pusaran ketidakpastian yang demikian tinggi. Kemajuan Triple-T (transportasi, telekomunikasi, industri turisme—Dorodjatun Kuntjorojakti, 2006) telah membawa perubahan yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara terlebih pula di dalam hubungan antar bangsa. Comprehensive diplomacy sudah berkembang meluas dan salah satu elemen penting di dalamnya yaitu defense diplomacy, yang secara universal fungsi tersebut (masih) melekat pada Angkatan Laut.
Mengembangkan kerjasama Angkatan Laut intra ASEAN, sudah jelas akan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kepentingan yang ingin dicapai (objective), security environment, atmosfir politik dan kesiapan operasional.
2. Kepentingan Yang Ingin Dicapai
Merancang kepentingan yang ingin dicapai (strategic objective), ada baiknya meninjau cardinal principle (Hartmann-1967)[i] yang mengemukakan empat poin yaitu, (i) third party influence, (ii) past-future linkages, (iii) counterbalancing interest, (iv) conservation of the enemy. Acuan tersebut nyatanya masih valid sampai sekarang dan dapat digunakan untuk menguji spektrum kepentingan yang akan dicapai. Memang benar bahwa dalam ASC sudah menggunakan ‘bahasa pergaulan’ yang disepakati bersama yaitu Treaty of Amity and Cooperation, akan tetapi akan sangat riskan apabila kepentingan keamanan 220 juta jiwa Indonesia bergantung pada kesepakatan tersebut. Kata orang—tidak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan sendiri—artinya, harus ada persiapan sepihak untuk menghadapi situasi terburuk.
Nampaknya, semua pihak mempunyai strategic vision yang menjangkau 10-20 tahun ke depan. Ada rancangan pembangunan kekuatan, dukungan logistik, penyiapan SDM yang profesional dan aturan pelibatan yang tentunya melindungi pihak sendiri. Informasi seperti itu, biasanya diungkapkan dalam Buku Putih dan dipublikasikan secara terbuka. Di dalam dokumen tersebut, pasti ada bagian yang secara spesifik (maksudnya—subyektif) meninjau perkembangan lingkungan strategis dan ada formulasi strategi untuk menghadapi situasi tersebut, termasuk kepentingan untuk mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak yang diinginkan.
Dari perspektif militer, tentunya juga sudah menetapkan kepentingan apa yang ingin dicapai (military strategic objectives), dan sudah jelas harus berada dalam bingkai strategi pertahanan (defense strategy). Spektrumnya akan mulai dari upaya penangkalan (showing the muscle), menguji kapasitas untuk semua fungsi peperangan, sampai pada ’menakar’ tingkat profesionalisme SDM dari pihak lainnya. Fokus seluruh kegiatannya mengarah pada peningkatan mutual understanding and interoperability, dalam rangka mencapai tujuan tertentu, misalnya Peace Support Operations dan disaster relief. Kesepakatan yang tercapai akan menentukan area of activities, yang pada umumnya mulai dengan jenis operasi yang ‘kurang sensitif’, dan ada kemungkinan meningkat pada kerjasama yang lebih sensitif, misalnya operasi kapal selam dan intelijen.
Apapun bentuk kerjasama yang akan dikembangkan, sudah jelas perlu berhitung mengenai cost and benefit secara komprehensif. Dan bagi TNI dan khususnya TNI Angkatan Laut, perlu pula meninjau berbagai peluang terjadi hidden cost yang (sepertinya) kurang diperhitungkan.
3. Security Environment
Tidak bisa dipungkiri bahwa stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara dalam dekade ini, nyata terpelihara dengan baik oleh karena ada upaya yang sangat intens dari berbagai pihak, utamanya dari U.S. Pacific Command dan semua jajarannya. Situasinya pasti akan berubah drastis apabila ada kapal, misalnya supertanker atau super cruiser, terbakar dan meledak di Selat Malaka karena ulah bajak laut atau teroris. Tidak mustahil user state akan segera bertindak dan memang mereka sudah punya semacam counter scenario, untuk menghadap tertutupnya choke point tersebut. Kasus pembajakan kapal barang Ukraina (MV.Faina) di Somalia merupakan contoh yang sangat jelas, bagaimana kekuatan internasional yang dipimpin oleh Amerika Serikat segera bertindak.
Ada pihak yang mengungkapkan bahwa dalam hal menghadapi insurjensi (COIN), peperangan modern telah berubah menjadi menjadi peperangan generasi keempat (4th GW).[ii] Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa unsur terorisme semakin kuat digunakan dalam aksi insurjensi, sehingga probalitas skenario peledakan satu tanker di Selat Malaka sudah semakin tinggi.
Pada era globalisasi, keamanan maritim sudah menjadi agenda penting dalam kerjasama antar kekuatan laut internasional. Berbagai konvensi internasional seperti UNCLOS-82, SOLAS, SUA, SUA-Prot, SAR, Marpol, dan terutama SOLAS, menjadi acuan yang sangat penting dalam membangun kerjasama keamanan maritim. Namun perlu disadari bahwa, dari kasus MV.Faina dapat dikemukakan bahwa kekuatan internasional, mengunakan resolusi Dewan Keamanan PBB sebagai acuan untuk bertindak.
Bagi Indonesia, ada juga pengalaman dengan beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB, misalnya yang terkait dengan Proliferations Security Initiatives dan Container Security Initiatives. Inisiatif semacam itu memang dipandang sangat diperlukan oleh komunitas maritim dalam rangka keamanan di laut, dari berbagai ancaman seperti sea piracy, armed robbery, dan maritime terrorism. Ada kekuatiran bahwa ancaman di laut, utamanya aksi teror, kini mengarah pada sasaran ekonomi (centre of economic gravity).
Masih ada inisiatif (baca: ajakan) lainnya yang sedang menanti, yaitu kerjasama untuk mendukung upaya pemeliharaan perdamaian (peace support operation) dan bantuan untuk korban bencana alam (disaster relief). Dari ilustrasi tersebut, dapat dikemukakan bahwa kerjasama Angkatan Laut pada aras multilateral, misalnya ASEAN, maka tema sentral akan berkisar pada tiga kepentingan, yaitu (i) maritime security, (ii) peace keeping operation, dan (iii) disaster relief.
Dari aras strategis, akan berkembang inisiatif untuk meninjau kerjasama yang lebih fokus untuk menangani trans-national crime, oleh karena spektrum ancaman tersebut sudah semakin intens dan membahayakan (lethal). Dalam dunia militer, kegiatan tersebut dikenal dengan military operation other than war (MOOTW), dan sekarang ini moda operasi tersebut semakin intens dikembangkan oleh berbagai pihak.
4. Atmosfir Politik
Memperhatikan kondisi geografis yaitu luasnya perairan, konfigurasi pulau-pulau, keberadaan tiga ALKI dengan empat choke point, sudah mengisyaratkan bahwa kerjasama TNI Angkatan Laut dengan berbagai pihak adalah suatu keniscayaan. Dari pandangan geopolitik, maka kerjasama Angkatan Laut intra ASEAN merupakan pilar utama untuk memelihara stabilitas keamanan perairan Asia Tenggara. Dalam rangka mengembangkan kerjasama intra ASEAN, maka ada beberapa hal yang perlu ditinjau, yaitu; (i) kerjasama keamanan bilateral yang sudah dikembangkan oleh anggota ASEAN dengan pihak luar, (ii) masih ada fakta militer yaitu FPDA dengan dua anggota ASEAN di dalamnya, (iii) aspirasi dan kepentingan ASEAN Security Community dan (iv) politik luar negeri Indonesia yang baku yaitu “bebas aktif”.
Faktor lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah kekuatan laut Amerika Serikat khususnya yang tergabung dalam U.S. Pacific Fleet. Negara adikuasa tersebut sudah memprogramkan berbagai kerjasama dengan semua aktor di kawasan Asia Pasifik, baik secara bilateral maupun multilateral. Ada COBRA GOLD ada pula CARAT,] dan sebagainya yang suka atau tidak—ada ‘pembelajaran’ yang sangat intens terhadap Angkatan Laut negara-negara berkembang di Asia Pasifik.
Bagaimana dengan atmosfir politik dalam negeri? Realita di lapangan memperlihatkan bahwa pembangunan kekuatan laut Indonesia, masih sangat jauh dari memadai bila di ukur dari kekuatan nyata di lapangan, potensi yang disiapkan dan kekuatan industri maritim. Sepertinya, tidak banyak pihak yang menyadari bahwa kerjasama Angkatan Laut adalah mewakili prestise bangsa Indonesia di panggung dunia. Pagu anggaran yang tersedia memang sangat terbatas oleh karena perekonomian nasional masih dalam keadaan ’sakit’. Dampaknya akan sangat terasa pada semua lini, mulai dari operasional, dukungan logistik, sampai pada penyiapan SDM yang profesional.
Dalam kegiatan Naval Engagement Activity (NEA) sudah pasti akan terjadi pertemuan antar sistem di Angkatan Laut yang terdiri dari; unsur manusia, teknologi, dan doktrin. Pada pertemuan tersebut sudah lazim apabila terjadi takar-menakar keunggulan pihak lain, dan sebaliknya—masing-masing pihak akan ’pamer’ keunggulannya.
5. Kesiapan Operasional
Ada ungkapan— new era, new requirement, yang tentunya meliput semua aspek di dalam domain militer. Memang benar ada kebutuhan teknologi baru misalnya untuk penginderaan, fire power, dan seterusnya sampai pada sistem pendidikan. Meskipun demikian, banyak pihak menyadari bahwa new requirement tersebut perlu dielaborasi dan dikembangkan seoptimal mungkin, seefektif-efisien mungkin. Metodanya dikenal sebagai revolution in military affairs (RMA) yang intinya mencakup tiga elemen penting yaitu teknologi, manajemen operasional dan doktrin.
Pengetahuan mengenai RMA seperti sudah menjadi keharusan bagi banyak pihak dan satu contoh yang paling menarik adalah Angkatan Laut India[iii], yang menerapkannya secara sistematik pada bagian-bagian tertentu di dalam sistem manajemen operasional dan pembinaan personil. Di kalangan ASEAN, beberapa pihak sudah pula mengembangkan metoda tersebut, misalnya Singapura dan Malaysia. Begitu pula di bagian selatan yaitu Australia, membangun kesiapan operasional dengan menggunakan RMA, yang intinya adalah efisien, efektif, dengan fiscal reality.
Idealnya memang, pendekatan RMA meninjau ketiga aspek tersebut secara sinkron, akan tetapi tidak semua pihak mampu memiliki sista yang canggih. Teknologi semacam itu sudah semakin mahal bagi Indonesia, lagi pula diikuti dengan sejumlah persyaratan politik yang bertujuan mempersulit pengadaannya. Bila demikian halnya maka faktor teknologi bersifat given dan tidak bisa diutak-atik, sehingga opsinya akan meninjau kedua faktor lainnya yaitu manajemen operasional dan doktrin. Kedua faktor tersebut akan bermuara pada unsur SDM yang diharapkan siap berkiprah di new era.
Bertolak dari pendekatan tersebut, maka tuntutan yang terpenting terhadap SDM adalah memiliki paradigma era baru, yang berkaitan dengan beberapa hal, yaitu;
* Battlespace awareness, suatu paradigma yang menyadarkan bahwa medan perang sekarang ini sudah sangat kompleks, di samping itu ada perubahan sifat ancaman, ada pula perubahan security environment dan seterusnya.
Dulunya belum dikenal non-state actor tetapi perang di Lebanon, kerusuhan di Pakistan, memperlihatkan bahwa non-state actor sangat mampu mengimbangi kekuatan negara. Lalu ada pula peran swasta seperti Blackwater, yang dilibatkan untuk memerangi bajak laut di Somalia.[iv]
* Effect-based approach, paradigma yang menekankan efisiensi dan efektifitas sehingga kinerja setiap unit operasional akan diukur dengan precision engagement yang didukung oleh focus logistic. Pendekatan tersebut sudah merupakan keharusan sehingga ada pihak yang menerbitkan manual handbook[v] yang harus dipedomani oleh setiap komandan.
* Jointness, dalam pemahaman yang baru yaitu gabungan antar capabilities yang disiapkan secara khusus untuk suatu bentuk operasi. Dalam suatu komando ekspedisionari, tidak mustahil ada unit kripto dari lain instansi, mungkin ada pula unit intelijen dan lain sebagainya, yang kapabilitasnya ‘dipinjam’ untuk suskesnya misi operasi. Konsep tersebut relatif sulit dikembangkan apabila ego sektoral dari masing-masing unit masih sangat kuat. Misalnya data base tentang teroris dari unit Angkatan Darat, sepertinya tidak mudah diakses oleh unit militer lainnya, apalagi lintas instansi.
* Capability based planning, suatu pendekatan perencanaan dalam situasi ketidakpastian, untuk menentukan kapabilitas yang sesuai dalam spektrum tantangan dunia manajemen modern dan dalam format kerangka pikir ekonomis mana yang perlu dipilih.[vi] Pendekatan ancaman sepertinya sudah ketinggalan dan bagi Indonesia sudah ada Perpres No. 7 Tahun 2008 yang menegaskan penggunaan pendekatan CBP dalam perencanaan pertahanan nasional.
Mengembangkan kerjasama Angkatan Laut dalam format ASEAN, maka modalitas yang terpenting adalah kesiapan SDM, yang tanggap terhadap perubahan. Artinya—SDM dengan paradigma yang siap dengan perubahan merupakan suatu kebutuhan. Naval Engagement Activity akan mempertemukan SDM TNI Angkatan Laut dengan pihak lain, konon mereka (sepertinya) sudah mapan dengan paradigma ‘new era, new requirement’. Bersiap selagi masih ada waktu.
[i]. Hartmann, Frederick H. “The Relations of the Nations”, Macmillan Publishing Co. Inc,New York. 1967
[ii]. Hammes, Thomas. X – “Insurgency: Modern Warfare Evolves to Fourth Generation warfare”, Strategic Forum, No.214 Jan. 2005, Institute for National Strategic Studies,NationalDefenseUniversity.
[iii]. Baca Helvas, Alman, pada Quarterdeck Vol.2, No.4, Oktober 2008.
[iv]. “Blackwater Worldwide today announced that its 183-foot ship, the McArthur, stands ready to assist the shipping industry as it struggles with the increasing problem of piracy in [Somalia’s]Gulf of Aden,” the firm says in a statement. “As a company founded and run by former Navy SEALs, with a 50,000-person database of former military and law enforcement professionals, Blackwater is uniquely positioned to assist the shipping industry.”
[v]. Contohnya: Commander’s Handbook for an Effects-Based Approach to Joint Operations.
[vi]. Baca : Said, Budiman Djoko pada Quarterdeck Vol.2, No.3, September 2008