KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA DI LAUT CHINA SELATAN[1]
Amelia Rahmawaty
“flamingos and mustard both bite. And the moral of that is – Birds of a feather flock together.”
Lewis Carroll –Allice’s Adventures in Wonderland
PENDAHULUAN
Seperti yang dilakukan kebanyakan media di peralihan tahun, TIME edisi 28 Desember 2015 – 4 Januari 2016 mengangkat tema “The Year Ahead”.Diantara berbagai isu yang diangkat majalah tersebut, satu yang menarik ialah analisa Ian Bremmer yang memprediksi geopolitik dunia satu tahun mendatang. Asia Timur, sebagaimana Timur Tengah dan Eropa yang mendominasi geopolitik sepanjang 2015, dinilai Bremmer relatif tenang dibandingkan dua kawasan lainnya. Bahkan Bremmer berargumen China tidak tertarik untuk mengisi kekosongan kepemimpinan internasional karena kebijakan politik luar negeri China dirancang untuk memecahkan masalah China, dan bukan dunia.[2]
Boleh jadi ini adalah berita baik bagi negara-negara di kawasan, mungkin terutama bagi Asia Tenggara.Atau justru tidak.Walau ditengah turun naik tensi di Laut China Selatan, keadaan memang nampak cenderung aman terkendali; kebebasan navigasi terjamin, negara pengklaim tidak saling meluncurkan rudal untuk mempertahankan klaimnya, dan dengan kata lain, masih kecil kemungkinan meletusnya pertempuran berskala besar.Tetapi, tidak ada keamanan yang absolut[3], sehingga di situasi apapun, tidak ada jaminan bahwa kepentingan nasional selalu bebas dari ancaman. Ketika terhanyut oleh situasi yang seolah-olah menampilkan “aman-aman saja”, ada baiknya untuk selalu melihat dari sudut pandang berbeda; adakah kerugian yang perlahan muncul saat kita sedang berpaling?[4]
[1] Artikel ini memadukan dengan perspektif Laksda Robert Mangindaan mengenai sengketa Laut China Selatan
[2] Bremmer, Ian (2016) ‘The Absence of International Leadership Will Shape a Tumultuous 2016’, TIME, 28 Desember 2015 – 4 Januari 2016, halaman: 13 – 15.
[3] Hartmann, Frederick (1978) The Relations of Nations, New York: Macmilan Publishing Co., Inc.
[4]Hartmann, Frederick (1978), ibid.