Oleh : Willy F . Sumakul
Latar belakang pengertian
Kita akan mengawali tentang konsep kepentingan nasional dari pengertian dasarnya lebih dulu secara singkat. Awal mulanya istilah “kepentingan nasional” (national interest) mengacu pada bahasa Perancis raison d’Etat, atau dalam bahasa Inggris, reason of the state, yang secara sederhana diartikan sebagai, alasan-alasan utama eksistensi suatu negara. Pengertiannya tidak berhenti disitu, akan tetapi tersirat di dalamnya apa tujuan yang akan dicapai oleh negara tersebut serta ambisi-ambisi yang terkandung di dalamnya, apakah mengenai ekonomi, militer, budaya dan sebagainya. Jadi, negara (nation state) haruslah ada lebih dahulu, baru ada kepentingan nasional. Dengan kata lain, tidak ada negara, maka tidak ada kepentingan nasional. Sedangkan ide awal yang kemudian diakui secara internasional tentang munculnya suatu sistem Nation State (negara bangsa) yang modern disebut “Westphalian System”, karena mengacu pada perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Karakteristik utama sistem ini adalah pemeliharaan keseimbangan kekuatan (balanced of power),adanya suatu pemerintahan yang terpusat dan diakui/sah, teritori dengan batas-batas yang jelas, rakyat yang umumnya memiliki asal usul yang sama, bahasa yang sama serta berbagai bentuk budaya yang mengikat. Negara bangsa menjadi instrumen dari kesatuan nasional, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan budaya dan lain sebagainya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kepentingan nasional suatu negara bangsa berkembang juga menjadi sangat beragam, namun yang paling umum dan utama yang secara pasti dianut oleh banyak negara adalah; eksistensi dan kelangsungan hidup negara, kesejahteraan rakyat/bangsa serta keamanan. Aspek lain yang penting adalah menggapai kekayaan (negara), pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan kekuatan. Di era globalisasi saat ini banyak negara menganggap pemeliharaan dan penyebaran budaya serta nilai-nilai universal seperti halnya demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) juga menjadi tonggak kepentingan nasionalnya. Contoh, Amerika Serikat dengan promotion of values telah sejak lama menjadi salah satu pilar dalam kepentingan nasionalnya.
Awal sejarahnya, kepentingan nasional suatu negara, pada jaman itu menjadi subordinat dari agama dan moralilty, khususnya di negara-negara Eropa di abad pertengahan. Artinya bahwa segala sesuatu yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara para pemimpin haruslah mempertimbangkannya dan memperoleh keabsahan dari segi agama (Kristen), termasuk bila negara akan terjun dalam perang. Faktor agama adalah yang terpenting, sedangkan kepentingan nasional menjadi nomor dua. Hal ini disebabkaan karena hubungan antara agama dan negara sangat erat, belum ada pemisahan yang tegas. Para pemimpin negara adalah juga tokoh-tokoh agama yang sekaligus pengambil keputusan di bidang politik serta berbagai hal yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun berangsur-angsur pemahaman ini berubah utamanya ketika beberapa tokoh pemikir politik muncul seperti Niccolo Machiavelli, Cardinal Richelieu dari Perancis yang dengan berani mengintervensi agama Protestan waktu itu, mengemukakan pendapatnya bahwa reason of a state adalah satu-satunya sarana yang memenuhi syarat hati nurani bangsa dan untuk mencapai tujuan-tujuan yang akan dicapai. Disinilah awal dari munculnya paham kepentingan nasional mendominasi alam pemikiran para pemimpin politik, yang dalam perkembangan selanjutnya bahkan terjadi kompetisi yang luas. Salah satu aplikasi yang jelas terlihat dari perobahan ini misalnya di bidang politik adalah ketika negara maju berperang, alasan utamanya adalah untuk mempertahankan atau mewujudkan kepentingan nasionalnya, dan bukan didasarkan pada moral keagamaan. Di bidang ekonomi misalnya, muncul paham Mercantilisme sebagai pembenaran untuk mengejar kesejahteraan ekonomi sebesar-besarnya demi untuk mencapai kepentingan nasional.
Pada hakekatnya kepentingan nasional mempunyai ciri outward looking, dimana suatu negara memposisikan dirinya, mencapai tujuan-tujuannya, mempertahankan eksistensinya, membela hak-haknya serta melaksanakan kewajibannya dalam hubungan dan interaksi dengan negara lain. Oleh karena itu kebijaksanaan politik luar negeri menjadi faktor utama kegiatan untuk mencapai kepentingan nasional. Faktor ini pulalah yang menjadi dasar pembentukan sekolah yang berkaitan dengan hubungan internasional yang kita saksikan sampai saat ini. Kepentingan nasional menjadi mata pelajaran pokok dalam studi Hubungan Internasional karena para pengikutnya akan mempelajari dan melatih diri bagaimana merumuskan politik luar negeri suatu negara.
Beberapa perkembangan konsep.
Dewasa ini konsep kepentingan nasional lebih banyak diaplikasikan sebagai realitas politik ketimbang mengemukakan hal-hal yang bersifat idealistik. Artinya bahwa unsur-unsur utama yang ditetapkan dalam perumusan kepentingan nasional, hendaknya yang bersifat nyata dan dapat dicapai (tentunya melalui upaya) dengan sarana yang dipunyai di dalam waktu yang dapat diukur juga. Sebagai contoh rumusannya adalah melindungi identitas fisik misalnya teritorial negara, kemerdekaan politik serta budaya dari gangguan atau rongrongan bangsa lain. Sebaliknya menghindari perumusan yang idealis (di awang-awang) yang sulit diwujudkan bahkan mustahil, contoh dalam hal ini adalah perdamaian abadi di antara bangsa-bangsa, mencapai masyarakat adil dan makmur gemah ripa loh jinawi (di Indonesia?). Menurut H.J Morgenthau hakekat kepentingan nasional adalah power yaitu pengaruh, kekuasaan dan kekuatan. Sangat jelas dalam pendapatnya ini suatu upaya yang ditujukan keluar (outward) dengan sasaran pihak lain atau negara lain dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki. Karena itu menurut dia kepentingan nasional tidak lain adalah usaha negara untuk mengejar power, dimana dengan power akan dapat mempengaruhi bahkan mengendalikan negara lain. Pakar geostrategi Nicholas Spykman menambahkan bahwa kepentingan nasional juga mencakup kepentingan moral, religi, kebudayaan dan sebagainya. Tetapi untuk mengejar itu semua tetap diperlukan power yang mencukupi. Singkatnya, bahwa kepentingan nasional sudah menjadi penentu utama yang menggerakkan negara-negara dalam menjalankan hubungan internasional atau politik luar negerinya. Dari pemahaman ini pula dengan sendirinya kepentingan nasional suatu negara haruslah dirumuskan secara jelas dan tegas oleh pemerintahnya, dituangkan dalam satu produk tertulis, yang kemudian akan dijadikan acuan dalam perumusan serta penentuan Strategi Besar (Grand Strategy) ataupun strategi keamanan nasional di bawahnya, yang berisikan apa-apa yang akan dibangun dan dilaksanakan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Umumnya di setiap negara, “kepentingan” mempunyai intensitas yang beragam, yang satu mungkin lebih penting dari yang lain, atau masih dalam batas-batas dapat dikontrol atau tidak dan sebagainya. Semuanya tergantung dari seberapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan negara bersangkutan, serta keadaan lingkungan dimana dia berada. Prof. Donald E. Nuechterlain (Federal Executive Institute in Charlottesville, Virginia) merumuskan intensitas kepentingan dalam empat kategori besar yaitu: survival, vital, major, dan peripheral. Dia juga mendiskripsikan “Basic Intrest at Stake” yaitu pengkategorian kepentingan secara berurutan dari yang tertinggi sampai ke yang terendah yang menjadi taruhan negara. Lihat gambar dibawah ini[1]
Intensity of Interest
Basic Interest at Stake | Survival | Vital | Major | Peripheral |
Defense of HomelandEconomic Well-being
Favorable World Order Promotion of Values |
||||
Tabel : Matriks Kepentingan Nasional
Dari matrix di atas, intensitas kepentingan disusun dari kiri ke kanan, dimana yang paling kiri lebih tinggi dari yang di sebelah kanannya, demikian seterusnya. Kemudian dihadapkan dengan kepentingan dasar yang dipertaruhkan, masing-masing disusun dengan urutan dari atas ke bawah, dimana yang paling atas lebih tinggi dari yang di bawahnya, demikian seterusnya. Sebagai gambaran dari konsep Nuchterlain, intensitas kepentingan dalam kategori pertama, Survival, adalah dalam hal sesuatu, yang bagi Negara tidak dapat dikompromikan, misalnya ancaman terhadap integritas teritorial, kemerdekaan dan kedaulatan negara. Ancaman atau pelangggaran terhadap kepentingan ini, menyebabkan negara akan rela untuk berperang mempertahankannya. Ciri lain dari kepentingan yang paling tinggi ini adalah tidak diarahkan ke dalam (domestik) akan tetapi hanya diarahkan kepolitik internasional dalam hubungan dengan negara berdaulat yang lain, ataupun aktor non-negara. Secara spesifik dia mengatakan, kepentingan yang bersifat survival, adalah yang menyangkut eksistensi fisik negara yang sedang berada dalam keadaan bahaya besar (jeopardy) disebabkan karena adanya serangan dari luar atau terdapatnya ancaman nyata serangan dari pihak lain. Jelasnya, inilah kepentingan paling mendasar dari suatu negara, sebab jika suatu negara runtuh, maka tidak ada lagi kepentingan apa-apa di dalam negara tersebut. Tingkatan kedua dari intensitas kepentingan yaitu kepentingan Vital, dimana suatu keadaan lingkungan yang membahayakan negara yang hanya dapat dihilangkan atau ditanggulangi melalui pengambilan tindakan-tindakan yang keras, termasuk penggunaan kekuatan (militer). Tingkatan ketiga, adalah kepentingan yang bersifat Major, adalah ketika situasi berkembang sedemikian rupa sehingga memberikan pengaruh kuat terhadap kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya negara secara keseluruhan. Namun, untuk mengatasinya dipandang belum perlu mengerahkan kekuatan Angkatan bersenjata. Tingkatan keempat adalah yang bersifat Peripheral, dimana situasi lingkungan membawa pengaruh terhadap beberapa kepentingan nasional, namun negara secara keseluruhan tidak terganggu oleh keadaan tersebut.
Dalam definisi lain, menurut DR Richmond M. Lloyd, “National Interests are the ‘Wellspring’ from which national Objectives and a Grand strategy flow. National Interests are the most important wants and needs of a nation.”[2] Definisi lain menyebutkan, National Interests is “The ultimate Goal of a nation.” Dari definisi ini jelas terlihat bahwa kepentingan nasional akan menjadi sumber penentuan dan perumusan tujuan nasional (National Objectives) dan Strategi Besar (Grand Strategy), bahkan terus sampai kepada penyusunan National Military Strategy. Di Amerika Serikat misalnya, Strategi besar sebenarnya tidak lain dari Strategi Nasional atau juga disebut Strategi Keamanan nasional yang oleh Dr Lloyd diartikan sebagai: “The overall approach or master plan for accomplishing national objectives through a combination of political, economic, military, diplomatic or psychological means.”[3] Akan tetapi terdapat sedikit perbedaan antara keduanya, yaitu Grand Strategy lebih menekankan pada pengerahan seluruh potensi nasional untuk tujuan pertahanan/militer, sedangkan National Strategy memperoleh pengertian yang lebih luas, karena penggunaan secara terkoordinasi seluruh potensi kekuatan nasional untuk mencapai tujuan nasional. Jadi di dalam hirarki pengambilan keputusan dalam suatu negara, kepentingan nasional (Tingnas) menduduki tempat tertinggi dimana strategi maupun kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang lebih rendah, haruslah mengacu kepadanya. TingNas menjadi bingkai ruang lingkup penentuan kebijaksanaan sekaligus memberikan arah dan pegangan bagi penyelenggara negara. Dengan perkataan lain, tanpa adanya kepentingan nasional maka sebenarnya mustahil ada stategi pembangunan bidang-bidang lain yang mencakup seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia
Sebagai suatu negara bangsa yang berdaulat, maka sangatlah janggal bila Indonesia tidak memiliki kepentingan nasional. Konfigurasi negara yang berbentuk kepulauan terbesar, kedudukan geopolitik, luas wilayah dan jumlah penduduk terbesar keempat didunia, tentulah memiliki kepentingan nasional yang besar pula. Lebih dari itu, bukan hanya memiliki, akan tetapi dibutuhkan adanya pemahaman yang sama/seragam dari seluruh komponen rakyat dan bangsa Indonesia tentang apa itu kepentingan nasional Indonesia. Mengapa? Karena sampai saat ini tidak dapat dipungkiri masih terdapat berbagai macam pemahaman baik menyangkut istilahnya, maupun dalam substansinya. Di berbagai lembaga pendidikan baik sipil maupun militer, diajarkan bahwa Indonesia mempunyai apa yang disebut “cita-cita nasional” yang tidak lain adalah mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sedangkan “tujuan nasional” adalah yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Pertanyaannya lalu dimana kepentingan nasionalnya dan dimana kedudukannya terhadap kedua konsep bernegara di atas? Salah satu rumusannya terdapat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahan Negara yang dikeluarkan oleh Presiden pada tanggal 26 Januari 2008. Dalam Perpres tersebut kepentingan nasional kelihatannya sudah diposisikan pada tempatnya yang sebenarnya, karena selain menjadi landasan pertahanan Negara, juga menyatakan: Dalam kurun waktu 2004-2009, Tingnas dinyatakan sebagai: Visi dan Misi Pembangunan Nasional Jangka Menengah, yakni Indonesia yang adil dan demokratis, dan Indonesia yang sejahtera.[4] Namun dalam pengertiannya, seolah-olah menyamakan arti antara cita-cita nasional, tujuan nasional dan kepentingan nasional, yaitu seperti apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Disebutkan dalam Perpres tersebut bahwa “Tujuan Nasional disebut sebagai kepentingan nasional yang abadi.”[5] Artinya ada pencampuradukan pengertian di sini. Sebenarnya tidak ada salahnya negara menetapkan cita-cita ataupun tujuan nasional (yang abstrak) asalkan rumusannya berbeda dengan rumusan kepentingan nasional. Hal ini kira-kira analog dengan konsep yang dianut oleh Amerika Serikat yang disebut National Purpose, (tercantum dalam Preambul Konstitusi AS), yang sama sekali berbeda dengan national interests dan bukan pula diartikan sebagai national objectives. National Purpose lebih cenderung kepada sesuatu konsep yang abstrak, bahkan banyak analis mengatakan bahwa hal itu sulit didefinisikan. Disebutkan sebagai: “The expression of the enduring values in which a nation is rooted.” [6] Pengamat lain mengatakan: “A Nonverbal consensus of the chief values of the people.” [7] Di dalam aplikasinya maka national purpose menjadi “sumber inspirasi” bagi perumusan national interests sehingga kedudukannya dalam hirarki seakan-akan paling atas. Demikian pula hendaknya kita menempatkan Pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan nasional dalam pengertian sebagai national purpose yang dapat dijadikan sumber inspirasi. Jadi karena tercantum dalam pembukaan UUD 1945, maka tentu tidak mudah berubah kecuali kalau konstitusi itu berubah. Sedangkan kepentingan nasional yang kita inginkan haruslah sesuatu yang dinamis dan realistis mengikuti perkembangan lingkungan yang senantiasa berubah. Penetapannya seyogiyanya diumumkan secara luas dan terbuka oleh pemerintah/Presiden di awal pemerintahannya.
Dalam Perpres No. 7 tahun 2008 tersebut, telah ditetapkan kepentingan nasional Indonesia dalam tiga strata yaitu:
- Mutlak, kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, berupa integritas teritorial, kedaulatan nasional dan keselamatan bangsa Indonesia.
- Penting, berupa demokrasi politik dan ekonomi, keserasian hubungan antar suku, agama, ras dan golongan (SARA), penghormatan terhadap hak azasi manusia, dan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
- Pendukung, berupa perdamaian dunia dan keterlibatan Indonesia secara meluas dalam upaya mewujudkannya.[8]
Idealnya bila negara konsisten dalam pengaplikasiannya maka dari kepentingan nasional inilah kemudian diturunkan kedalam tujuan nasional yang kemudian dijabarkan ke dalam strategi nasional atau bisa juga disebut strategi keamanan nasional. Dari strategi keamanan nasional inilah kemudian dijabarkan lagi kedalam strategi bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi, militer,iIntelejen, sosial budaya dan sebagainya. Strategi militer nasional akan menjadi dasar penyusunan atau perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan/militer dengan pengertian bahwa kekuatan militer negara adalah kekuatan inti pertahanan. Sayangnya hingga saat ini penjabaran lanjut dari kepentingan nasional di Indonesia, belum exist. Sebagai gambaran dari proses pembangunan kekuatan dapat dilihat pada diagram yang dibuat oleh John M. Collins dibawah ini :[9]
Minimum Essential Force
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia telah menetapkan bahwa postur pertahanan tahun 2010-2029 diarahkan untuk membangun kekuatan yang bertaraf “Minimum Essential Force”(MEF). Terjemahan bebasnya barangkali menjadi; kekuatan pada tingkat minimum yang dapat diandalkan. Kekuatan (Force) disini berkonotasi pada jumlah Alat Utama Sistem Senjata (alutsista) TNI termasuk personilnya serta pendukungnya dari ketiga Angkatan Darat, Laut dan Udara. Sudah barang tentu banyak faktor dan pertimbangan yang melatar belakangi sehingga muncul kebijaksanaan ini. Tidak ada suatu ketentuan baku atau perhitungan yang pasti seberapa besar kekuatan yang “minimum” tersebut, tiap negara tentu berbeda dalam perhitungannya disesuaikan dengan kemampuan negara bersangkutan. Tapi semua akan memahami, bahwa faktor dominannya adalah keterbatasan anggaran pemerintah untuk membangun suatu kekuatan ideal bagi TNI. Penulis tidak akan membahas lebih dalam tentang apa dan bagaimana substansi dari MEF ini, akan tetapi lebih kepada bagaimana kekuatan yang MEF ini melaksanakan fungsi utamanya.
Setiap negara di dunia ini dapat dipastikan akan membangun kekuatan militer (angkatan bersenjatanya) untuk sesuatu tujuan yang jelas. Tujuan yang dimaksud adalah untuk mengamankan dan untuk mencapai kepentingan nasional negara masing-masing. Proses pembangunan kekuatan yang ditempuh bisa beragam pendekatan, sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku di negara tersebut, misalnya melalui pendekatan top-down, bottom-up, scenario, threat dan lain sebagainya. Di setiap pendekatan, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Sebagai contoh, pada pendekatan top-down, akan diawali dengan memberikan gambaran besar tentang situasi, mulai dari kepentingan nasional, tujuan nasional dan terus dijabarkan ke bawah sampai kepada strategi militer. Sedangkan pada pendekatan bottom-up, (cat: banyak dianut negara-negara), lebih banyak menekankan pada kemampuan yang dimiliki saat itu serta ancaman yang dihadapi. Banyak ahli militer mengatakan bahwa pendekatan ini memiliki keuntungan karena mengacu pada “real world”, karena para perencana kekuatan akan berfokus pada musuh nyata yang dihadapi dihadapkan dengan kekuatan yang dipunyai. Ciri lain dari pendekatan ini adalah terlalu fokus pada kegiatan operasional, akibatnya seolah-olah mengabaikan pencapaian tujuan jangka panjang. Seperti diungkapkan oleh DR Henry C, Bartlett: “Another pitfall of the Bottom-Up focus is a tendency to lose sight of the Big Picture”.[10]
Di Indonesia sendiri, secara jujur harus diakui tidak jelas mengikuti pendekatan yang mana. Namun tidak berarti Indonesia tidak dapat membangun kekuatan, buktinya sampai saat ini penambahan Alutsista TNI terus dikembangkan baik melalui pembelian dari luar negeri maupun produksi dalam negeri. Dapat dipastikan Indonesia tidak menganut pendekatan top-down, karena belum ditetapkannya strategi keamanan nasional dan dengan sendirinya ketiadaan strategi militer nasional yang dapat dijadikan acuan pembangunan. Sepertinya Indonesia menganut pendekatan bottom-up, walaupun tidak sepenuhnya lengkap karena ada langkah-langkah dalam proses yang seharusnya ditempuh, misalnya, analisis tentang ketersediaan sumber daya, teknologi yang tersedia, perhitungan tentang risiko (bila hanya mempunyai kekuatan tertentu). Dalam praktek, kebutuhan kekuatan diajukan oleh masing-masing angkatan, kemudian diajukan ke Kementerian Pertahanan, seterusnya diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperoleh persetujuan. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa, karena keterbatasan anggaran (semua negara mengalami), serta perkembangan lingkungan keamanan global yang telah berubah, mengakibatkan pendekatan pembangunan kekuatan militer saat ini tidak lagi didasarkan pada ancaman (threat based planning) yang dihadapi, akan tetapi sudah beralih pada pembangunan kemampuan yang diinginkan (capability based planning). Hal ini sudah banyak diulas dalam penerbitan Quarterdeck FKPM. Dengan kata lain bahwa, bukan seberapa banyak kekuatan yang akan dibangun/diperoleh, akan tetapi kemampuan apa yang diinginkan, sehingga dibutuhkan suatu kekuatan tertentu. Atau dengan kalimat lain: “What do we need to do”, dan bukan “What equipments are we replacing.” Konsep pembangunan kekuatan yang berorintasi pada pengembangan kemampuan (capability based planning [CBP]) dikembangkan, karena tuntutan perkembangan lingkungan strategis. Dunia dewasa ini sedang menghadapi ancaman dan peperangan baru yang disebut ancaman non-tradisional dengan aplikasi asymmetrical warfare. Spektrum ancaman begitu luas mulai dari kemungkinan serangan senjata nuklir, perang konvensional, konflik regional, terorisme, perdagangan narkoba, pembajakan, perompakan di laut, bantuan kemanusiaan, penanggulangan bencana alam, dan lain sebagainya. Para ahli politik dan militer mengatakan bahwa dunia sekarang sedang memasuki perang generasi ke-empat (fourth generation warfare) yang ditandai dengan perubahan radikal dalam hal siapa yang melakukan perang, grup, bagaimana mereka melakukannya dan apa alasannya. Mereka mengatakan bahwa perang masa depan tidak akan dilancarkan oleh tentara /militer tapi oleh sekelompok orang, mungkin kita sebut teroris, oleh gerilya, bandit bahkan oleh perampok. Itulah sebabnya untuk menghadapi masa depan seperti itu, para perencana menempuh suatu pendekatan baru untuk membangun kekuatan Angkatan Bersenjatanya, yaitu bertumpu pada kemampuan apa yang dapat dilakukan. Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan yang sangat beragam, mulai dari hard capability sampai kepada soft capability. CBP menurut Dr Paul K Davis, “Planning under uncertainty, to provide capabilities suitable for a wide range of modern-day challenges and circumstances while working within an economic framework that necessitates choice.[11]
Sebagai konsekuensi ditetapkannya kepentingan nasional Indonesia sesuai dengan Keppres di atas, maka segenap potensi kekuatan pertahanan dimana TNI adalah kekuatan inti, haruslah diarahkan untuk melindungi dan mengamankannya. Kekuatan TNI Angkatan Laut (baca: kapal perang) akan memainkan peranan yang penting mengingat konfigurasi negara kita sebagai negara maritim yang berbatasan laut dengan 10 negara tetangga. Dikaitkan dengan kekuatan TNI yang berpostur MEF, maka seyogiyanya seberapapun jumlah “minimum” kekuatan dan kemampuan yang dimiliki, harus dapat melindungi dan mengamankan kepentingan nasional Indonesia sesuai prioritas. Sedangkan sampai saat ini belum ada suatu analisis perhitungan secara terperinci dan baku berapa besar sesungguhnya kekuatan riil minimum masing-masing angkatan yang dibutuhkan. Hal ini memang tidak mudah dilakukan mengingat banyak sekali faktor yang mempengaruhi baik internal maupun external. Karena itu banyak yang berpendapat bahwa MEF lebih bermuatan politis dari pada arti yang sebenarnya. Namun suatu realita tuntutan nyata bagi kekuatan TNI yang MEF, haruslah mampu mengamankan dan mencapai kepentingan nasional. Penyusunan strata kepentingan menjadi “Mutlak, Penting dan Pendukung” (dalam uraian di atas) secara langsung juga sudah menunjukkan skala prioritas kepentingan, akan tetapi bukan dalam hal intensitas. Sebagai contoh, kekuatan MEF, dihadapkan dengan kepentingan Mutlak, harus mampu mempertahankan kedaulatan negara, kemerdekaan dan integritas teritoritorial tanpa kompromi terhadap rongrongan maupun ancaman pihak asing. Misalnya pencaplokan sebagian wilayah, pulau atau penggeseran wilayah perbatasan, menjadi prioritas untuk dipertahankan, kalau perlu siap berperang untuk itu. TNI Angkatan Laut dengan kapal-kapal perangnya harus mampu mengamankan wilayah perbatasan laut, pulau-pulau terluar termasuk penduduknya, terutama di wilayah-wilayah yang masih disengketakan dari kemungkinan pelanggaran oleh pihak asing. Yang perlu dikategorikan dalam strata Mutlak juga adalah, kelancaran dan keamanan lalu lintas perdagangan laut interinsuler, wilayah-wilayah eksplorasi dan exploitasi sumber daya laut, mengingat jalur perhubungan laut kita adalah lifeline bangsa Indonesia. Pada strata di bawahnya yaitu Penting, dengan sendirinya dikategorikan sebagai prioritas kedua, antara lain mempertahankan sistem demokrasi, menanggulangi konflik antar suku, ras, kelompok masyarakat, agama dsb. Namun bukan tidak mungkin pada level ini situasi berkembang sedemikian rupa, misalnya konflik antar suku menyebar ke berbagai daerah (sedang menggejala dewasa ini seperti di Lampung, Poso, NTB ), sehingga dinilai akan membahayakan eksistensi bangsa dan negara, maka kepentingan ini akan berubah menjadi kepentingan Mutlak, sehingga TNI dituntut untuk melaksanakan tugasnya, menyesuaikan kemampuan yang dimilikinya untuk dapat menanggulanginya. Tentunya kemampuan yang dikerahkan pada strata ini berbeda dengan yang dikerahkan pada strata Mutlak diatas. Sedangkan pada strata paling bawah yaitu Pendukung, boleh dikatakan tidak terlalu berkaitan atau berpengaruh langsung pada eksistensi bangsa dan negara, seperti misalnya ikut serta dalam pasukan perdamaian PBB, sehingga kekuatan dan kemampuan TNI yang disiapkan juga akan menyesuaikan.
Aplikasi penggunaan Kekuatan Laut.
Dalam hal penggunaan Kekuatan Laut (baca: Angkatan Laut) ada baiknya kita soroti dari tugas Angkatan Laut RI sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU RI No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Pada pasal 9, disebutkan bahwa tugas TNI Angkatan Laut pada hakekatnya dibagi ke dalam empat tugas pokok yaitu; tugas militer, constabulary, diplomasi serta pembinaan dan pengembangan potensi maritim. Dihadapkan dengan strata kepentingan nasional, maka untuk strata Mutlak yaitu prioritas pertama sepenuhnya dilaksanakaan dalam tugas militer dan bukan dalam tugas constabulary. Kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk meniadakan ancaman, melalui operasi tempur untuk proyeksi kekuatan yang antara lain meliputi operasi terhadap kekuatan laut musuh, operasi pendaratan amfibi, operasi membantu pelaksanaan operasi di darat dan operasi evakuasi. Operasi lain adalah pengendalian laut termasuk di dalamnya melindungi jalur laut untuk perdagangan. Karena itu untuk tugas ini dibutuhkan kapal-kapal perang kombatan seperti jenis fregate,korvete, kapal pendarat ataupun kapal selam. Sebagai gambaran, sebuah kapal perang jenis fregate modern dengan persenjataan yang mutakhir, didukung oleh sensor yang canggih akan lebih efektif dan mampu melaksanakan tugas tempur di perbatasan dibanding dengan lima buah kapal patroli dengan persenjataan konvensional. Pada strata Penting, antara lain dengan tugas-tugas constabulary, yaitu mampu menanggulangi pembajakan di laut, penyelundupan, perompakan, perlindungan terhadap armada perikanan, anti-terorisme maritim serta tugas penegakan hukum di laut lainnya. Dalam tugas ini dibutuhkan kapal-kapal patroli cepat berbagai jenis dibantu oleh pesawat udara intai maritim taktis yang andal. Untuk melipatgandakan tugas TNI-AL di bidang ini, Coast Guard Indonesia (ISCG) perlu segera dibentuk karena dapat dipastikan ISCG akan memiliki “bargaining power” yang lebih kuat dari pada kapal-kapal patroli yang dipunyai oleh beberapa instansi pemerintah seperti sekarang ini. Sebaliknya pada strata ini, kapal-kapal patroli cepat lebih efektif dan mampu daripada kapal jenis Fregate. Kemampuan selanjutnya yang dibutuhkan oleh kekuatan Angkatan Laut RI adalah untuk melaksanakan tugas yang lebih “lunak” atau Benign Function. Tugas ini meliputi; membantu menanggulangi akibat bencana alam, bantuan terhadap pengungsi di laut, penyelamatan dan pencarian (SAR), pengendalian pencemaran laut, survei hidrografi dan sebagainya. Untuk melaksanakan tugas ini diperlukan kapal-kapal berbagai jenis yang umumnya bukan kapal-kapal kombatan. Sebagai tambahan informasi, dibeberapa negara maritim besar, tugas diplomasi, digolongkan pada tugas militer, dan tidak berdiri sendiri. Hal ini mungkin bertolak dari pemikiran bahwa tujuan dari fungsi diplomasi Angkatan Laut, salah satunya adalah menunjukkan daya tangkal kepada pihak lain, sehingga diperoleh kesan bahwa si pemilik mempunyai kekuatan yang harus diperhitungkan. Oleh karena itu kapal-kapal perang yang mengemban tugas diplomasi AL, misalnya muhibah ke negara lain, umumnya adalah kapal-kapal perang kombatan dan bukan kapal patroli kecil.
Penutup.
Kepentingan nasional suatu negara bangsa akan menjadi dasar dan acuan dalam penentuan tujuan nasional serta strategi keamanan nasional, dimana dari dalamnya disusun strategi-strategi pembangunan dari semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Penentuan strata kepentingan nasional bangsa Indonesia sesuai urutan, Mutlak, Penting dan Pendukung seperti dalam uraian di atas, hendaknya diartikan juga sebagai urutan prioritas dalam upaya menjaga dan mempertahankannya. Pembangunan kekuatan TNI yang diarahkan pada tingkat MEF, seyogiyanya didasarkan pada kemampuan apa yang dapat dilakukan dan bukan pada berapa jumlah alutsista misalnya berapa pesawat tempur, tank ataupun kapal perang yang akan diadakan. Pada strata kepentingan Mutlak, maka seberapapun “Minimum” kekuatan TNI, haruslah mampu melaksanakan tugasnya, mengingat pada strata ini keutuhan wilayah teritori, kedaulatan dan kemerdekaan bangsa dan negara dipertaruhkan. Penggunaan kekuatan adalah kekuatan militer penuh dan bukan tugas constabulary (bagi AL), atau tugas-tugas lainnya, sehingga tidak ada kompromi dalam hal ini. Khususnya untuk menanggulangi kegiatan-kegiatan pelanggaran hukum di laut, sudah saatnya Coast Guard Indonesia diwujudkan, sehingga kekuatan pokok TNI-AL dapat lebih dikonsentrasikan di perairan-perairan perbatasan dan ZEE. Jadi sangat logis disimpulkan bahwa kekuatan pertahanan RI yang MEF, ukurannya adalah mampu melaksanakan tugas untuk mencapai dan mengamankan kepentingan nasional RI sesuai dengan strata dan prioritasnya.
[1] Fundamental of Force Planning, Vol I: Concepts, US Naval War College.
[2] Fundamentals of Force Planning, Vol I Concepts, US Naval War College.
[3] Ibid.
[4] Peraturan Presiden RI No 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
[5] Ibid.
[6] Fundamental of Force Planning, vol I concepts. US Naval War College.
[7] Ibid.
[8] Peraturan Presiden RI No 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Ummum Pertahanan Negara.
[9] John M. Collins, Defense Planning Steps, Fundamental of Force Planning , US Naval War College.
[10] Henry C Bartlett, Fundamental of Force Planning, US Naval War College.
[11] Guide to Capability Based Planning, Joint systems and Analysis Group.