Kebijakan sama dengan pengambilan keputusan atau regulasi?

 

Oleh Budiman Djoko Said

 

Pendahuluan

________________________________________________________

—- Bagaimana kebijakan yang sudah berjalan(lancar sekali, lancar, tersendat-sendat, lamban, dll)? atau … Apakah ada kebijakannya?… Oh, sudah tertuang dalam UU,Perpres, Permen, Perda, dll…Dan, Pang, Ka atau Manajer sudah menuangkan dalam insruksi nomer…,dll.

  ________________________________________________________________

 

… sama-sama beragendakan “kebijakan”, bandingkan dengan pernyataan dibawah ini[1];

Policy analysis is concerned with “who” gets “what” in political and, more important, “why” and “what differences it makes”— di-demonstrasikan (dalam gambar dibawah) dengan siapa pemegang kebijakan-nya (policy maker), pilihan kebijakan (policy choice), bagaimana implementasi-nya (implementation), dan bagaimana “outcomenya” (policy outcome).

Penjelasan diatas adalah diskusi atau percakapan tentang isu kebijakan sehari-hari dan bisa disandingkan dengan konsep atau teori. Diskusi[2]yang menyangkut kebijakan (policy) sementara ini mudah ditebak dan hampir pasti berkembang atau mengerucut pada hal-hal yang menyangkut isu regulator; seperti peraturan, per-undang-undangan, perpu, perpres, keppres, dan semacam itu, singkatnya  bagaimana aturan mainnya. Benarkah ungkapan atau kalimat kebijakan adalah aturan mainnya atau regulasi—sementara ini selalu menjadi jawaban diskusi tentang kebijakan? Dampaknya (mungkin) timbul mithos yang mengatakan masalah apapun yang timbul perlu kehadiran payung hukum—alhasil payung hukum dianggap obat mujarab penyelesaian masalah(?). Mungkinkah satu (1) payung hukum sanggup menghadapi beragam tipikal masalah, baik dengan single-objective atau multiple objectives diketahui (given) single constrain atau multiple constrains. Ruang kebijakan bisa saja menyentuh ruang publik (mengait public interest) atau public policy dan nasional (national interest/national security) —ulasan lebih menyentuh substansi konsep atau teori yang mendasar, yakni konsep sebenarnya tentang kebijakan.

Aturan main atau perundang-undangan yang terlibat disini (kalau ada) akan menjadi pendorong (driver) kelambatan, kelemahan atau tersendatnya berjalannya kebijakan atau subordinasinya yakni strategi dan turunan strategi yakni operasional sampai ke-bawah. Regulasi (sebagai driver) lebih berperan unuk memuluskan jalan kebijakan.Regulasi tidak pernah bisa menjawab dengan lugas apa sebenarnya yang di-inginkan pemerintah, kebijakan-lah yang lugas menjawabnya. Suatu negara (contoh) berambisi menjadi negara ber-teknologi, akan membangun kebijakan pendidikan dengan mengijinkan perguruan tinggi-nya mencetak tingkat doktoral (S-3) bidang humanisme dan sosial dengan porsi lebih kecil, di-bandingkan teknik (engineering) dengan porsi lebih besar.

Tentunya kebijakan ini (bila dipetakan) akan mengalir kebawah …terbaca berapa porsi (peta jumlah dan kualitas) S-2 untuk bidang teknik(engineering) dan sosial (ekonomi, dll), proses ini akan membantu pemerintah mengontrol ketat mutu, jumlah, dan porsi perguruan tinggi sampai ketingkat SMU kebawah. Fungsi (core function)[3] Kemhan sebagai Policy’s maker struktur kekuatan militer (force structure); termasuk kekuatan manusia-nya baik regular dan cadangan berbasis skenario pertahanan nasional (bukan pertahanan negara)[4]. Skenario adalah suplemen kebijakan yang dibangun Kemhan. Sulit tanpa skenario untuk membangun kalkulus struktur kekuatan dan bagaimana memilih dan memilah esensial yang maksimum sampai paling minimal esensi-nya? Skenario adalah basis menurunkan kapabilitas kekuatan militer, jumlah, jenis kekuatan baik manusianya, kapal, pesawat yang dibutuhkan untuk dibangun dan digunakan sepanjang usia pakai (TLCC ~ total life cycle cost) termasuk kekuatan cadangan.

Konsep kebijakan — dan analisis kebijakan (policy analysis)

Sebagian literatur mengartikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang menuntun menuju kearah pengambilan keputusan[5]. Rasionalisasi Kebijakan di-yakini akan sukses mencapai “outcome” sosial yang diharapkan. Kebijakan adalah pernyataan umum atau pengertian yang menuntun kedalam lorong pemikiran atau aksi dalam pengambilan keputusan atau rencana aksi yang di-adop individu atau kelompok sosial[6]. Birkland menawarkan beberapa definisi kebijakan publik dan penulis untuk dibandingkan dan di-pahami dalam satu tabel dibawah ini[7]:

Selanjutnya Birkland membuat daftar atribut peryataan kebijakan seperti dibawah ini[8]:

  • Policy is made in response to some sort of problem that requires attention.
  • Policy is made on the “public’s” behalf.
  • Policy is oriented toward a goal or desired state, such as the solution of a problem.
  • Policy is ultimately made by goverments, even if the ideas come from outside government or through the interaction of government and non-govermental actors.
  • Policy is interpreted and implemented by public and private actors who have different interpretations of problems, solutions, and their own motivations.
  • Policy is what the government chooses to do or not to do.

Di-tegaskan dalam studi kebijakan, sebaiknya memandang lebih luas dan tidak meyempit pada aturan atau hukum[9]. Dye nampaknya sepakat dengan titik terakhir definisi Birkland—pemerintah harus memilih apa yang harus dilakukan. Mirip Dye dan Birkland, Prof Liotta & Llloyd sepakat dengan mengawali “kata” apa (what) maunya pemerintah untuk memilih[10]… mana yang disukai (dan tidak disukai) dan mengapa (why) dia melakukan ini—dibidang kesejahteraan, pertahanan nasional, keamanan, kesehatan, lingkungan dan dan seterusnya[11]. Mengait isu hidup matinya bangsa (survival)[12] maka maunya pemerintah di-kategorikan sebagai kepentingan nasional (national interest). Pemilik kebijakan masing-masing instrumen kekuatan nasional yang mengait dengan kepentingan nasional adalah anggota strategi keamanan nasional (baca KamNas). Aliran mulai kepentingan nasional dengan obyektif-nya masing-masing (sasaran) atau national objektif(national objectives bisa lebih dari satu tergantung banyaknya kepentingan nasional-nya). Himpunan kepentingan nasional beserta obyektif masing-masing akan di-promosikan dan di-kawal oleh strategi keamanan nasional yang ber-anggotakan strategi para instrumen kekuatan nasional seperti strategi politik, strategi ekonomi, strategi pertahanan nasional/militer, dll. Strategi keamanan nasional (national security strategy) selalu berorientasi keluar, periksa penggalan gambar dibawah ini. Strategi-strategi yang mengait kepentingan domestik adalah strategi keamanan dalam negeri (kamtibmas, kamdagri, atau homeland security).

Analisis kebijakan akan mencari tahu mengapa pemerintah berbuat ini (memilih kebijakan), dan apa bedanya dengan yang lalu.Tanpa kebijakan yang jelas, konkrit, dan kokoh (clear, concrete, robust) maka orkestra strategi instrumen kekuatan nasional tidak “bisa di-nikmati”, sekedar musik yang tidak jelas genre-nya sambil mengiringi lagu yang “gaduh”. Analisis dampak kebijakan adalah evaluasi kebijakan. Misalnya: perbedaan subsidi anggaran yang lebih besar ke-daerah khusus misal RI bagian timur seperti Papua atau Timor Leste setelah sekian tahun apakah kapabel meningkat-kan kualitas (skor rata-rata murid) atau cukup banyak-kah (prosentase) murid atau mahasiswa asal Papua yang menjadi mahasiswa di PTN atau SMU favorit di luar Papua. Kebijakan berperan sebagai variabel bebas sedangkan faktor politik, sosial, ekonomi, dll menjadi variabel tergantung. Dye menjelaskan pentingnya perbedaan analisis kebijakan dan advokasi kebijakan. Analisis kebijakan menjelaskan penyebab dan konsekuensi-nya, sedangkan advokasi kebijakan fokus pada apa yang seharusnya di-kerjakan pemerintah atau bisa membawa perubahan dengan apa yang telah di-kerjakan[13]. Analisis kebijakan bisa disebut lebih sebagai seni dan ketrampilan. Seni di-karenakan butuh kedalaman, kreatifitas, dan imajinasi dalam membawakan phenomena sosial dan bisa menjelaskan serta meyakinkan bahwa kebijakan ini akan berakhir pada sesuatu yang lebih baik (atau lebih buruk)[14]. Formulasi Kebijakan memerlukan turunannya lebih lanjut yakni strategi. Strategi bertugas mengawal kebijakan agar obyektif kebijakan dapat dicapai.Strategi plus sumber daya nasional (means) yang dimiliki-nya akan bekerja diatas jalan terbaik (ways) agar status ends-nya tercapai (yakni tercapainya obyektif kebijakan). Hirarkhis hubungan kerja ini digambarkanLiotta dan Lloyd, dalam pertanyaan sebagai berikut[15]:

  • What do we want to do? (policy objectives ~ policy ditunjukkan dengan kata What).
  • How do we plan to do it? (strategic execution ~ strategy menjawab dengan kata How untuk menjamin tercapainya obyektif Policy).

Kalimat diatas sejalan dengan pernyataan P. Shemella, Cpt USN (ret)[16]yakni “maunya” policy (strategy adalah subordinasi policy) didukung strategidan strategi adalah jembatan antara kebijakan dan operasi. Strategi adalah kalkulasi relasi (calculated relationship) means, ways dan ends.

Beberapa model kebijakan

Dilihat dari dimensi, kepentingandan peran, kebijakan bisa di-modelkan sebagai berikut:

Ke-satu, dari sisi kegiatan, kebijakan bisa dimodelkan sebagai proses politikal,periksa tabel berikut[17].

Dye menyebutkan bahwa langkah-langkah kegiatan ini sama dengan suatu seri politikal[18]—identifikasi masalah, tetapan agenda, formulasi, legitimasi, implementasi, dan evaluasi. Algoritma ini relatif sama dengan algoritma pengambilan keputusan tingkat nasional, mulai identifikasi masalah, setting-agenda (tentukan obyektif/goal), formulasi masalah (modeling), dan seterusnya.Kedua, dari sisi kelembagaan, maka kebijakan adalah “output” kelembagaan dan tidak akan pernah disebut sebagai kebijakan nasional atau publik, bila tidak diakui, diterima atau dikuatkan oleh lembaga lembaga negara yang ada. Ketiga ,dari sisi rasionalisme,kebijakan harus menghasilkan manfaat sosial yang maksimal dan pemerintah harus menolak kebijakan yang tidak menuju perolehan maksimal[19]. Model ini memerlukan teknik pemodelan “manfaat” dan di-gabungkan pemodelan “biaya” sebagai konsekuensi mendukung manfaat, jelasnya periksa model di-bawah ini [20].

Ke-empat, secara gradual, kebijakan adalah variasi masa lalu yang meningkat perlahan. Alasannya; pembuat kebijakan jarang teringat komitmen masa lalu (lupa?,pen), periksa ilustrasi di-bawah ini[21].

Ke-lima, dari sisi teori kelompok; kebijakan adalah penyeimbang kelompok yang bertikai atau saling berebut pengaruh, periksa ilustrasi dibawah ini [22].

Ke-enam, pendekatan teori elit menyebutkan bahwa kebijakan mengikuti preferensi elit, tepatnya sebagai preferensi dan sistem nilai elit penguasa[23]. Meski di-nyatakan bahwa kebijakan adalah refleksi kepentingan “rakyat”, meski masih sebatas mithos. Teori elit berasumsi bahwa rakyat apatis dan kurang informasi tentang kebijakan publik, membuat elite lebih suka membangun opini massa tentang kebijakan publik. Pejabat publik dan staf hanya bisa menjalankan kebijakan yang diputuskan para elit. Aliran kebijakan selalu mengalir dari satu arah, tidak pernah mengalir dari masa rakyat ke para elit—elitisme menghambat aliran dari rakyat ke-elit, perhatikan gambar bawah [24].

Ke-tujuh, dengan teori pilihan publik, maka kebijakan adalah pengambilan keputusan bersama oleh individual yang berkepentingan sama. Latar belakang motivasi manusia sebagai homo economicus yang mencari keuntungan sebanyak mungkin digabungkan homo politicus yang memaksimalkan kesejahteraan rakyat. Teori ini melihat  individu berpolitik berbeda dengan putusan mereka dalam sistem pasar[25]. Akhirnya teori ini menggabungkan dan mengasumsikan bahwa aktor politik—pemilih, pembayar pajak, kandidat, legislator, birokrat, grup kepentingan, dan pemerintah—berusaha memaksimalkan manfaat pribadi dalam politik sama hal-nya didalam pasar. Akhirnya berkembang dalam format keputusan kolektif yang menggabungkan dua (2) kutub kepentingan tersebut dan berharap secara kolektif dapat memperoleh manfaat. Teori ini paham bahwa pemerintah harus bisa menunjukkan bahwa sebenarnya sistem pasar telah “gagal”, sehingga harus di-perbaiki, caranya? Pertama,  pemerintah harus menyediakan barang, jasa dan dipasok kesemua masyarakat[26]. Pasar tidak mampu menyediakan karena semua individu tidak sanggup membeli. Sama halnya semua individu di-Kemhan;ketidak sanggupan menanggung biaya pertahanan yang begitu mahal—perlu kolektifias (keputusan). Kedua, faktor eksternalitas. Eksternalitas adalah contoh “gagal”-nya sistem pasar dan justifikasi intervensi pemerintah. Eksternalitas adalah kegiatan ekonomi yang memberikan konsekuensi kepada pihak ketiga yang mestinya tidak terlibat langsung—bisa positif atau negatif. Contoh adalah polusi air dan udara, yang memberikan konsekuesi biaya mengatasi lingkungan dan biaya individu akibat kesehatan lingkungan[27].Teori ini berkembang dan menjawab mengapa parpol dan kandidat umumnya gagal memberikan kejelasan tawaran dan alternatif kebijakan selama kampanye pemilu. Partai dan kandidat tidak pernah tertarik pada transparannya prinsip, mereka lebih tertarik bagaimana memenangkan pemilu. Mereka memformulasikan kebijakan kelompok atau individu untuk memenangkan pemilu bukan[28] memenangkan pemilu barulah memformulasikan kebijakan bagi kepentingan rakyat.

Ke-delapan, berbasis teori olah-main (game theory)[29]. Kebijakan adalah pilihan rasional ber-kompetisi. Teori olah-main adalah studi konflik antara dua orang ( 2 persons) atau lebih (n-person) pemain rasional dengan strategimasing-masing serta upah (pay-off) —sesuai pilihan. Pemain; siapa saja, a.l: diplomat, petarung (warrior), kelompok, individu, partai, atau organisasi pemerintah atau non-pemerintah. Siapapun yang memiliki “goal” yang terdefinisi dengan jelas akan kapabel melakukan tindakan rasional. Teori ini di-aplikasikan di-area studi pengambilan keputusan dimana “tidak ada” satupun pilihan terbaik yang independen dan bisa dilakukan pemain. “Upah” terbaik sangat tergantung pilihan strategi lawan. Rasionalisasi pemain tidak tergantung pada keinginan dan kesanggupan-nya tetapi lebih pada ekpektasi manuevra lawan[30]. Konotasi arti “olah-main” sepertinya kurang menguntungkan, se-olah-olah mengharapkan teori ini tidaklah rasional dalam konflik yang serius. Faktanya teori ini sangat aplikatif, bukan saja diwaktu damai bahkan perang. Misal: konflik penggunaan sista nuklir, perang ekonomi, dagang, diplomasi internasional, isu negosiasi perdamaian, dan berbagai isu “panas” dalam situasi politik internasional penting[31].Contoh klasik kategori “non-zero sum games” (contoh popular lainadalah “prisoner dilemma”)—olah main “anak ayam” (chicken game). Caranya dua (2) pemain mengendarai mobil masing-masing dan berhadap-hadapan, serta berusaha untuk di-tabrakan.

Bila pemain menghindar (anak ayam sayur) maka dia kalah (upah minim/minus atau nol). Lawan yang nekad menubruk memperoleh “upah” maksimum[32]. Bila ke-dua-nya “nekad”, sama-sama memperoleh upah minimum danberakibat fatal. Contoh klasik populer olah main “anak ayam” ini adalah krisis antara AS vs Uni Soviet saat pengiriman Rudal ke Cuba, dalam matrik olah main sebagai berikut:

 

Teori olah-main banyak mempengaruhi analis penangkalan (deterrence), diplomaci[33], krisis, dan perang. Bagi Dye keamanan nasional adalah olah main serius[34]. Konsep model kebijakan pertahanan nasional mengalir dari MenHan berkaca pada rasionalisasi proses Decision-Making berbasis Skenario pertahanan nasional (most likely & jangka panjang) diketahui (given) siapa aktor/non-aktor pengancaman serta perkiraan kapabilitas dan pelibatan struktur kekuatan militer gabungan[35](periksa gambar dibawah ini). Memilih yang paling effektif dari alternatif pilihan kekuatan dengan tingkat kapabilitas tertentu, dengan konsekuensi biaya minimum(essential force [36]~ minimum?, pen). Simpulannya, kebijakan memperjelas pilihan struktur kekuatan[37]yang akan dan sedang di-siapkan (struktur kekuatan militer berbasis cost effectiveness &total life-cycle cost) plus kekuatan cadangan dan konsekuensi alokasi anggaran. Produk sistem keamanan nasional adalah decisions, policies, plans, programmes, dan operations, seperti model dibawah ini [38].

Kebijakan yang mengait dengan keamanan nasional

Richard L Kugler[39]membuka diskusi tentang alternatif kebijakan yang terkait dengan keamanan nasional dengan kalimat a.l;

  • How can the US best create a national security strategy to guide its conduct in world affairs in the coming years?
  • How can it best bend its political, diplomacy, military power and foreign economic policies to carry out this national security strategy?
  • How can craft policies for encouraging reform of its alliances in Europe and Asia?
  • What are its best policies for dealing with Russia and China, and for handling tyrants and terrorists in the Middle East and elsewhere?
  • How can it promote economic progress and democracy in poor regions?
  • How can it shape its military postures to carry out national defense strategy most effectively?
  • How should it transforms its military forces for the information age?
  • How can it recognized its ground forces to prepare them for joint expeditionary warfare?
  • How can it afford the expensive but necessary procurement effort required to modernize its air and naval forces?
  • How can it determined its priorities for national missile defense?
  • How can it design an overseas military presence for the future?
  • How can it best develop plans for conducting military interventions in distant crisis spots?

Contoh pertanyaan “berat” (cara membangun kebijakan melalui terciptanya pertanyaan ini bisa di-adop KemHan)diatas tidak mudah dijawab, sehingga di-perlukan kalimat “kebijakan” sebagai alur menuju jembatan yang mempermudah jawaban operasional ditingkat bawah. Pertanyaan tersebut akan memancing terciptanya kebijakan yang diperlukan atau bahkan membuat evaluasi kebijakan yang sudah dijalankan. Kebijakan dibidang pertahanan nasional lainnya adalah penggunaan kekuatan cadangan—di-jembatani pertanyaan bagaimana arsitektur kekuatan cadangan? Konten UU-kekuatan cadangan-pun tidak serta merta bisa menjawab bagaimana arsitektur kekuatan cadangan yang sungguh effisien[40]? Atau bentuk pelatihan kekuatan cadangan Bintara dan Tamtama pelaut perlukah dilatih seperti pasukan darat? Ketidak jelasan ini mempersulit kalkulus Cost Effectiveness-nya (gagalnya effisiensi)—kebijakan harus memperjelas jawaban itu. Opsi lainmisal kebijakankekuatan cadangan di-arahkan sebagai kekuatan bencana nasional atau anti-insurjensi (COIN)[41], aau anti terrorisme atau perbantuan polisi, dll. Dampaknya kebijakan kekuatan cadangan yang diarahkan menjadi basis arsitektur (baca kejelasan) kekuatan cadangan di-daerah, kapan di-mobilisasi. Kebijakan terpilih mempermudah tim pokja (working group) untuk membangun strategi dan operasi yang lebih jelas. Bila kebijakan bagi kekuatan cadangan adalah pengganda (pengganti korban kekuatan regular) berbasis skenario pertahanan nasional, semakin jelas distribusinya, a.l: sekian % kekuatan cadangan AD, sekian % AL atau AU. Bila kalkulasi skenario pertahanan menunjukkan banyak pelibatan di-darat, maka porsi cadangan AD dan Marinir bisa lebih banyak.

Bila skenario memperkirakan kekuatan radikal dan pemaksaan kehendak (semuanya adalah keluarga insurjensi) sangat berpotensi, maka unit pasukan khusus disiapkan jauh lebih banyak.Dampak terhadap kontrol anggaran berbasis total life cycle-cost (TLCC) jauh lebih mudah[42]. Selain itu tidak semua kekuatan cadangan perlu dilatih AD atau Marinir, karena bertugas di-AU atau AL.Effisien sekali bukan? Kugler menyarankan analisis KamNas melaluitiga (3) kategori analisis keamanan nasional, yakni evaluasi strategik, sistem analisis, dan operasi riset. Methoda evaluasi strategik bisa digunakan para analis politik untuk menilai dasar pilihan politik luar negeri dan strategi keamanan nasional[43]. Sedangkan Sistem analisis mendayagunakan analisis ekonomik untuk menunjukkan bagaimana kebijakan dapat diterjemahkan dalam beberapa alternatif perencanaan dan program paling effisien.

Fungsi KemHan sebenarnya menemukan struktur kekuatan gabungan dan memenuhi kriteria kapabilitas dan effektifitas yang diinginkan dengan  konsekuensi biaya yang sebanding dengan produk kapabilitas dan efektifitas-nya—menjadi wajar kalau KemHan yang memiliki sumber daya nasional akan mengendalikan biaya bukan komponen kekuatan tempur dibawahnya. Model kapabilitas dan effektifitas akan dibantu tekniksistem analisis dan operasi riset dengan pelibatan teknik kuantitatif[44]di-dalamnya. Kugler banyak menjelaskan peran analis kebijakan meskipun kesannya kebijakan keamanan nasional seringkali tidaklah transparan dari sisi kalkulasi rasional[45]. Analis kebijakan tidak terlihat peran aktif-nya, namun pengaruh peran tersebut terasa dalam format keputusan nasional dengan kualitasnya. Setelah kebijakan ditetapkan, terjadi implementasi dan proses ini memerlukan waktu panjang, kontrol terus menerus dan mungkin sangat komplikasi[46]. Diikuti dengan program akuisisi atau pengadaan sista baru (bukan investasi)[47], kekuatan pasukan baru (cara dan taktik baru), sistem pangkalan atau organisasi terbarukan. Modernisasi cara terkinikan era McNamarra dengan teknik atau disiplin modern yang tidak pernah dihadirkanseperti halnya tiga (3) saran Kugler tentang format analisis keamanan nasional.

Analisis dengan pendekatan multi-disiplinair yang lebih modern sepertinya cukup “adil” bagi semua pihak. Bisa saja kebijakan ini merubah sedikit atau total atau lebih celaka tidak mengusulkan apapun juga. Isu kebijakan pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri nampaknya menjadi disiplin yang lebih transparan bukan saja bagi akademisi bahkan ajensi swastapun (RAND, Brooking, Heritage Found, dll) berlomba-lomba ikut memikirkan isu kebijakan pertahanan nasional dan luar negeri AS mulai era McNamarra[48].Sebelumnya kekuatan “pengetahuan” dianggap memadai bagi strategi pertahanan nasional dan kebijakan luar negeri, kemudian berkembang dengan faktor teknologi, uang dan kekuatan militer—di-rasakan tidaklah mencukupi. Dengan terbatasnya sumber daya, diperlukan pengetahuan baru yang dianggap bisa memimpin pengaturan (alokasi) sumber daya (diminimalkan) guna memenuhi hasrat pemerintah yang berpeluang sukses (di-maksimumkan) dalam jangka panjang. Situasi ini dipahami oleh KemHan dan KemLu waktu itu, dua (2) instrumen kekuatan nasional yang berpeluang kuat mempengaruhi (diplomasi dan penangkalan) aktor lain. Kebijakan yang dibangun bisa saja menjadi lebih buruk,namun setidak-tidaknya berpeluang besar untuk sukses dimasa mendatangdengan arah yang benar[49]. Contoh buruknya analisis di-akui pak Kluger dengan “gagal”-nya perang Vietnam.

Buruknya strategi ditambah frustasi bertahun-tahun bahkan diikuti dengan sedikit kemajuan,di-perparahdengan ketidakjelasan arah. Perang Vietnam di-akui Kluger sebagai korban kesalahan“kelompok pemikir” dan bias akibat campur tangan pejabat senior[50]. Bila analis dan pemikir strategik berangkat dari ide dan method analitik yang benar, hasil kerjanya lebih banyak membantu pemerintah.Contoh sukses strategi NATO di-tahun 1960-an yang di-sebut“serangan balas masif” (massive retaliation) sehingga menjadi sesuatu yang mengerikan dengan perlombaan sista nuklir. Bisa jadi ini adalah strategi dominan karena total jumlah rudal nuklir NATO lebih besar dibandingkan total rudal Pakta Warsawa.

Analis menyarankan alternatif lain, yakni respon yang flexible berintikan kekuatan konvensional akan jatuh lebih murah. Melalui perdebatan seru, saran tersebut bisa diterima. Konsekuensinya bagaimana NATO mengumpulkan kekuatan konvensional agar melebihi kekuatan konvensional Pakta Warsawa yang selama ini dipahami jauh lebih besar. Dengan cara yang meyakinkan analis kebijakan berhasil membalikkan pandangan, bahwa kekuatan konvensional NATO sesungguhnya jauh lebih besar. Perubahan kebijakan diikuti dengan perubahan strategi dan program yang serius dimonitor membawa perubahan drastik kekuatan konvensional sesungguhnya di-semua medan laga yang diperkirakan muncul antara tahun 1970-1980-an. Strategi dan program sebagai turunan kebijakan baru sukses mempengaruhi Warsawa sehingga mengakhiri perang dingin tahun 1980-an. Demonstrasi analisis kebijakan memainkan peran penting dengan mundurnya Warsawa di-lini pertempuran Eropah timur, suatu fakta yang tidak bisa menyembunyikan kekuatan analisis sebagai mesin perubahan dan pembaharuan. Analis kebijakan telah melakukan “ilmu revolusioner” (revolutionary science) bukan “ilmu normal” (normal science). Contoh yang terakhir ini: Einstein melakukan “ilmu revolusioner” dibandingkan Newton yang lebih melakukan “ilmu normal”, karena Einstein melakukan eksperimen sebagai pengembangan dengan apa yang telah dilakukan Newton[51].

Kesimpulan

Kebijakan adalah kejelasan tentang “apa” (what) yang sebenarnya di-inginkan pemerintah[52] atau pemilik kebijakan (policy’s maker)—memutus mithos bahwa kebijakan adalah regulasi atau aturan main. Kebijakan menjadi rute panjang suatu keinginan pemerintah (long range planning ~ misal: menuju negara Maritim RI). Karena itu kaitan kebijakan – strategi – operasional menjadi signifikan dan erat sekali. Kebijakan adalah keputusan pemerintah yang akan dijalankan kedepan. Model kebijakan menggambarkan algoritma pengambilan keputusan strategik. Kebijakan (nasional) berorientasi keluar dan kebijakan publik berorientasi kedalam (public interest).Teknik manfaat-biaya adalah alat kontrol yang terbaik (turunan kebijakan terbawah akan berbentukprogram-program atau proyek) untuk memonitor seberapa manfaat yang dirasakan publik dan konsekuensi biaya untuk mendukungnya(cukup adil-kah hanya diwakili oleh Pjk Keu saja), artinya proyek apapun juga dirasakan tidak cukup diumumkan tentang kebutuhan biaya[53]saja, juga manfaatnya harus jelas. Semakin modern dan maju publik mempertanyakan berapa besar konsekuensi biaya-nya, disamping seberapa jauh manfaat-nya. Ada benar formulaà No-Polà No-Strategyà No-Acts. Ketidak jelasan dibawah, menunjukkan belum ada kejelasan di-tingkat kebijakan—pertanyaannya kapan akan menjadi jelas?

 

[1] Thomas R Dye, Understanding Public Policy, (Pearson, 2005), Preface, … beda bukan dengan regulasi, regulator, dll?

[2] P.H Liotta & Richmond M Lloyd, From Here to There; The Strategy and Force Planning Framework, (Naval War Coll Review, Spring 2005, vol 58, no.2), halaman 121…Policy …. On the other hand, always deal with the more immediate execution of initiatives to address critical needs and requirements dari Boss besar atau pemerintah.

[3] Fokus perencanaan (fungsi utama) Kemhan adalah membangun force structure yang merupakan produk dari scenario pertahanan nasional (bukan negara) yang dihasilkannya, jelasnya kapabilitas struktur kekuatan. Struktur dengan kapabilitasnya akan ditawarkan kepada Angkatan untuk memilih dan memilah sista mana yang dimaui sesuai spek kapabilitas yang sudah ditentukan dan jumlahnya—berbasis persetujuan dan saran dari Angkatan, Kemhan akan melakukan pengadaan (procurement) berbasis total life cycle cost yang berbeda dengan cara investasi (langsung beli) yang bisa dilakukan RI. Cara investasi akan menyulitkan kontrol pemeliharaan, modernisasi, renovasi, suku cadang,dll. Karena investasi hanya memuat komponen harga beli saja, dan tidak akan menjamin kepabilitas sampai akhir usia sista (book-value = zero). Kapabilitas berbeda dengan pengertian kemampuan yang dikenal, seperti kecepatan tukik, jarak jelajah, dll. Kapabilitas yang benar dalam pengertian militer lebih berorientasi kepada dampaknya terhadap musuh atau lawan, misalnya lingkaran probabilitas error jatuhnya bom (CEP=Circular Error Probability), probabilita mendeteksi, probabilitas menghancurkan diketahui (given) probabilita kena, dll. Kecepatan, jarak jelajah, daya angkut, dll, adalah design pabrik untuk menarik pembeli atau pengguna dan sesungguhnya belum sampai kepada definisi kemampuan. Kapabilitas= abilitas + “outcome” (hint: outcome adalah statistik hasil uji coba atau experiment yang terukur atau simulasi yang berkali-kali).

[4] Berbeda apabila kebijakan bagi kekuatan cadangan di-orientasikan sebagai pengganda atau perkuatan kekuatan regular (reinforcement) — jelas kebijakannya. Di-bandingkan (misalnya) dengan kekuatan yang diperuntukkan untuk merespon serangan teroris (terrorism threat response team) saja atau kebijakan kekuatan cadangan untuk menanggulangi bencana nasional. Kejelasan ini memudahkan kalkulasi anggaran sebagai konsekuensi kebijakan yang akan transparan dan akuntabel. Kalau ada kejelasan kalimat kebijakan yang menyebut struktur kekuatan militer termasuk cadangan digunakan untuk bertempur, maka bisa saja UU untuk militer regular digabungkan dengan kekuatan cadangan dan tidak terpisah. Bisa di-pisahkan dengan tegas, kalau jelas disebut kebijakan untuk kekuatan cadangan tidak digunakan tujuan yang sama seperti militer regular.

[5] Beda Policy dengan Public policy, yang terahir ini lebih terdefinisi sebagai … policy serving as the enabling and guiding framework for government in all sectors and at all levels. 

[6] Search Google — beberapa slide share dengan judul/topik Policy.

[7] Thomas.A Birkland, An Introduction to the Policy Process: Theories, Concepts, and Models of Public Policy Making, (Routledge, 2011, Third edition), halaman 8.

[8] Ibid, halaman 8, 9.

[9] Ibid, halaman 10.

[10] P.H Liotta & Richmond M Lloyd, From Here to There; The Strategy and Force Planning Framework, (Naval War Coll Review, Spring, 2005, vol. 58, no.2), halaman 122. … sepertinya Lloyd dan Liotta relative sama dengan konsep Birkland.

[11] Thomas R Dye, Understanding Public Policy; (Pearson, 2008, 14 th edition), halaman 3.

[12] Kepentingan nasional adalah sesuatu yang didengungkan keluar, dan dipromosikan keluar, agar semua bangsa di dunia tahu seberapa jauh ambisi negara dan bangsa dengan isyarat kepentingan nasionalnya demi kelangsungan hidup-nya. Ujung dari kepentingan nasional, orang-orang biasa menyebut sebagai system nilai, system kehidupan, tujuan mendasar, dll ~ atau ujung capaian obyektif kepentingan nasional adalah fundamental of national goal, the objective of the nation, dll. Yang terakhir ini bagi NKRI adalah masyarakat adil makmur, dst.

[13] Thomas R Dye, Understanding Public Policy; (Pearson, 2008, 14 th edition), halaman 7.

[14] Ibid, halaman 11.

[15] P.H Liotta & Richmond M Lloyd, From Here to There; The Strategy and Force Planning Framework, (Naval War Coll Review, Spring, 2005, vol. 58, no.2), halaman 122.

[16] Paul Shemella, Cpt USN (Ret), Instructur di-US NPS/CCMR, tahun 2015, presentasi slide dengan judul, Strategies for Managing Maritime Violence, dalam ceramahnya di-depan mhs UNHAN. Lebih lanjut dikatakan tentang strategy … strategy must support the policy atau Strategy … provide a clear vision of success and how to achieve it atau a realistic look at how to employ resources, exploiting strengths, and mitigating weaknesses atau a bridge between policy and operations atau the calculated relationship among ends, ways, and means.

[17] Thomas R Dye, Understanding Public Policy; (Pearson, 2008, 14 th edition), halaman 16.

[18] Politikal, artinya yang berkaitan dengan urusan public (public affairs) atau berkaitan dengan pemerintah.

[19] Ibid, halaman 18. Arti “perolehan sosial maksimal” adalah dari sisi manfaat sosial yang diperoleh haruslah lebih besar  dari konsekuensi biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan pilihan kebijakan tersebut.

[20] Ibid, halaman 20.

[21] Ibid, halaman 21.

[22] Ibid, halaman 23.

[23] Ibid, halaman 23.

[24] Ibid, halaman 24.

[25] Ibid, halaman 25.

[26] Ibid, halaman 25.

[27] Ibid, halaman 26.

[28] Ibid, halaman 26.

[29] Game theory, diterjemahkan sebagai olah-main, mengingat kata war-games, atau wargaming sudah diterjemahkan alami dilingkungan TNI sebagai olah-yudha (yudha = war, games = olah) . Penulis memilih kata games diterjemahkan sebagai olah-main, sementara KemHan atau TNI sendiri belum memiliki kamus militer/pertahanan nasional yang baku.

[30] Thomas R Dye, Understanding Public Policy; (Pearson, 2008, 14 th edition), halaman 27.

[31] Ibid, halaman 27.

[32]Ibid, halaman 27.

[33] Deterrence (penangkalan) dan diplomasi (diplomacy), adalah keluarga koersif,bedanya diplomasi hanya mengirimkan isyarat (ada sesuatu yg tdk berkenan) kepada actor lain, persoalan alamat aksi paham atau tidak urusan lain. Penangkalan sama dengan diplomasi tapi unit penangkal siap untuk bertarung. Mithos dengan hanya mengatakan bahwa pembelian alut sista akan memberikan dampak penangkalan. Padahal syarat penangkalan adalah ada yang menangkal, ada yang ditangkal dan ada mekanisme penangkalan.  Kedua aksi tersebut membutuhkan prasyarat (jika dan hanya jika, necessary condition), kekuatan alamat aksi sama/sekurang-kurangnya (relative) atau lebih kecil dari si-pengirim isyarat.

[34] Ibid, halaman 325.

[35] Operasi militer gabungan hampir pasti akan menggunakan kekuatan yang paling effisien.

[36] Bagaimana mungkin membangun kalkulus kekuatan yang dibutuhkan tanpa suatu skenario yang akan meramalkan pelibatan seperti apa, dimana, dan siapa lawannya, dll.

[37] Strukturkekuatan militer adalah jumah pasukan, kapal pesawat terbang dan kekuatan bantu lainnya, termasuk kekuatan cadangan (kalau memang cadangan di tetapkan dalam kebijakan sebagai pengganda (reinforcement) maka cadanganpun harus menjadi satu dalam perkiraan kekuatan yang akan digelar berbasis scenario yang tercipta) dan regulasi serta legitimasinya mestinya menjadi satu juga.

[38] Hari Bucur-Marcu, Philipp Fluri, Todor Tagarev, Defence Management, an Introduction, (DCAF, Geneva, 2009), Halaman 39.

[39] Richard L Kluger, Policy Analysis in National Security Affairs: New Methods for a New Era, (Center for Technology and Security Policy, National Defense University Press, Washington, D.C,2006), halaman 3, 4.

[40] Kalau kekuatan cadangan ditetapkan dalam kebijakan sebagaikekuatan pengganda (reinforcement) maka kejadian (event) kemunculan kekuatan ini parallel dengan event kemunculan kekuatan regular, artinya tidaklah mungkin dalm sautu pertempuran menunggu berpaa jumlah korban baru disiapkan cadangan-nya—UU nya mestinya menjadi satu untuk membangun kekuatan regular maupun cadangan. Kecuali kebijakan kekuatan cadangan disiapkan untuk missi diluar kekuatan milter regular, barulah ada UU lain yang mengatur-nya.

[41] COIN = CounterInsurgencies.

[42] Penggunaan TLCC tidak memungkinkan beralasan untuk “mangkrak” atau kekurangan sucad, atau minim pemeliharaan.

[43] Richard L Kugler, Policy Analysis in National Security Affairs; New Methods for a New Era, (US National Defense University   Press, Washington, 2006), halaman 5.

[44] Operasi riset dewasa ini bisa dikategorikan sebagai dua (2) perangkat, yakni yang keras (hard) seperti system rekayasa, system analisis, dan operasi riset sendiri (plus analisis biaya menjadi bagian disiplin OR yang baru), dan yang lunak (soft) seperti teknik teknik SSM (soft system methodology).

[45] Richard L Kugler, Policy Analysis in National Security Affairs; New Methods for a New Era, (US National Defense University   Press, Washington, 2006), halaman 5.

[46] Ibid, halaman 13. … bayangkan bila opsi kebijakan – A akan meningkatkan biaya dari 10 $ ke 50 $ akan tetapi hanya meningkatkan peluang untuk sukses dari 0.4 ke 0.5, sedangkan opsi kebijakan B meningkatkan biaya dari 10 $ ke 40 $ tetapi meningkatkan peluang sukses dua kali lebih banyak dari 0.4 ke 0.8 mana yang akan dipilih? Peluang untuk sukses akan menjadi cerminan manfaat nantinya. Proyek dihargai bukan hanya karena biayanya, tetapi rasio manfaat dan konsekuensi biayanya. Semakin besar manfaat dan semakin kecil konsekuensi biayanya akan semakin effisien. Sebatas tergantung komponen biaya saja yang akan dicermati akan mudah dimanipulasi.

[47] Akuisisi adalah proses pengadaan yang dimulai dari investasi awal sampai dengan sista tersebut memperoleh nilai buku nol (book value = zero, dan dihentikan kerjanya/tugasnya ~ disposal). Investasi adalah pembelian awal, tdk termasuk harga sucad, pemeliharaan, modernisasi , dll.

[48] Sekian tahun memmberikan kesempatakn pada ajensi diluar sebagai pemikir “think-tank” disisi lain militer sepertinya tidak “sempat” lagi memikirkan pengembangan menthoda teknik, taktik, doktrin, sehinnga peran think-tank” benar benar terasa sekali, dan sekarang sudah bisa dinikmati sebagai ajensi kemitraan  (out of the box) yang jauh lebih berkualitas dibandingkan lenbaga kajian dan perguruan tinggi didalam sendiri (in box).

[49] Ibid, halaman 24.

[50]Ibid, halaman 16…The Vietnam experience was an aberration, not the norm. It occurred not only because flawed analyses were put forth, but also because senior officials chose to discount better analyses that also were in abundance at the time.

[51] Ibid, halaman 18.

[52] Kejelasan apa yang diamui pemerintah tentu saja tidak bisa lepas dari persetujuan parlemen, mengingat konsekuensi kebijakan yang berjangka panjang tentang penggunaan anggaran harus di-relokasikan.

[53]Kebutuhan utama sebenarnya adalah “outcome” berupa manfaat yang akan dirasakan publik. Untuk mencapai manfaat sebesar itu harus memiliki konsekuensi “biaya” yang harus dikeluarkan. Sehingga pertanggung jawaban bukan hanya berupa berapa besar biaya yang dikeluarkan namun capaian manfaat nantinya setelah proyek selesai, keduanya haruslah dipasangkan — barulah transparan dan akuntabel.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap