Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Pada tanggal 5 Januari 2012, bertempat di Pentagon Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengumumkan kebijakan pertahanan Amerika Serikat terbaru. Kebijakan tersebut diciptakan sebagai respon terhadap situasi dunia internasional yang terus berubah dan pula situasi domestik Amerika Serikat. Dokumen berjudul Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense yang ditandatangani oleh Presiden Obama memuat secara garis besar prioritas-prioritas pertahanan Amerika Serikat hingga akhir dekade ini.
Indonesia sebagai negara yang berada di kawasan Asia Pasifik secara langsung maupun tidak akan akan terkena pengaruh dan imbas dari kebijakan pertahanan Amerika Serikat terkini itu. Terlebih lagi dalam kebijakan itu ditegaskan bahwa fokus perhatian Amerika Serikat kini dan ke depan adalah di kawasan Asia Pasifik. Tulisan ini akan mengulas tentang Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense berikut implikasinya terhadap Indonesia dan kepentingannya.
2. Pokok-pokok Kebijakan
Sebelum membahas lebih lanjut tentang Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, dipandang perlu untuk menjelaskan tentang latar belakang terbitnya kebijakan pertahanan Amerika Serikat terkini tersebut. Hal ini penting mengingat bahwa terdapat benang merah antara latar belakang terbitnya kebijakan itu dengan pokok-pokok prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika Serikat. Adapun latar belakangnya adalah sebagai berikut.
Administrasi Presiden Obama mewarisi kondisi ekonomi yang buruk dari era Presiden George W. Bush, Jr ketika mulai memimpin Amerika Serikat pada Januari 2009. Krisis ekonomi yang dimulai dari sektor keuangan itu menyebabkan tingginya angka pengangguran dan menurunnya kinerja ekonomi Amerika Serikat. Situasi tersebut diperburuk dengan makin meningkatnya utang Amerika Serikat guna membiayai berbagai program ekonomi, sosial dan keamanan yang tidak diimbangi dengan meningkatnya pendapatan dari sektor pajak. Alih-alih meningkat, selama administrasi Presiden Bush terjadi pemotongan pajak terhadap orang kaya di Amerika Serikat sebagai bagian dari kebijakan populis guna meraih dukungan dari para konstituen Partai Republik.
Dalam waktu yang bersamaan, beban anggaran Amerika Serikat tersedot untuk dua perang yaitu di Afghanistan dan Irak. Sejak 2001 dan 2003, setiap tahunnya trilyunan dollar Amerika Serikat harus disediakan oleh pemerintah guna membiayai perang di kedua negara itu. Sebagian dari sumber dana itu berasal dari pembiayaan utang yang didapat oleh pemerintah Amerika Serikat dari pasar keuangan komersial. Semakin tahun, pembiayaan perang di kedua negara tersebut semakin meningkat[i], bukan saja oleh kebutuhan untuk menyediakan berbagai peralatan dan perlengkapan perang yang sesuai dengan ancaman yang berkembang, tetapi juga oleh kebutuhan anggaran untuk merawat personel yang mengalami cedera dan berbagai penyakit psikologis lainnya akibat perang.
Ketika Amerika Serikat disibukkan dengan menggelar perang di Afghanistan dan Irak, di kawasan Asia Pasifik bangkit kekuatan baru di bidang politik, ekonomi dan militer yaitu Cina. Kebangkitan Cina oleh banyak kalangan di Amerika Serikat dijadikan fokus perhatian, termasuk oleh pemerintah Amerika Serikat sendiri. Meskipun secara resmi pemerintah Amerika Serikat tidak memandang sebagai ancaman, akan tetapi hal itu akan mempengaruhi kepentingan ekonomi dan keamanan Amerika Serikat.[ii] Terlebih lagi kebangkitan Cina diikuti dengan tindakan-tindakan asertif negara itu, khususnya dalam sengketa Laut Cina Selatan.
Dengan latar belakang seperti itu, administrasi Presiden Obama dituntut untuk mampu menghadapi ancaman dan tantangan yang sedemikian kompleks.
Situasi global yang berkembang saat ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat tidak lagi menjadi pemain tunggal yang dapat mendominasi perkembangan politik, ekonomi dan keamanan antar bangsa. Sebaliknya, telah lahir kekuatan-kekuatan baru yang menciptakan dunia multipolar. Kondisi demikian nampaknya dipandang sebagai tantangan terhadap kepemimpinan Amerika Serikat pada tingkat global yang telah dinikmati pasca Perang Dunia Kedua.
Oleh karena itu, guna merespon kondisi ekonomi Amerika Serikat yang terpuruk di tengah tantangan untuk tetap mempertahankan kepemimpinan Amerika Serikat pada tingkat global, disusunlah kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang kemudian diumumkan kepada masyarakat pada 5 Januari 2012. Sesuai dengan judulnya, Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense memuat prioritas bagi komunitas pertahanan Amerika Serikat untuk tahun-tahun ke depan.
Setelah mempelajari dengan seksama Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, pokok-pokok kebijakan dalam dokumen itu adalah sebagai berikut.
Pertama, isu terorisme. Kekerasan ekstrimis masih menjadi ancaman bagi keamanan nasional Amerika Serikat meskipun Osama Bin Laden telah berhasil dibunuh.[iii] Kawasan utama munculnya ancaman itu adalah di Asia Selatan dan Timur Tengah. Seiring dengan penyebaran teknologi yang merusak, para ekstrimis memiliki potensi untuk memunculkan ancaman katastropik yang dapat secara langsung mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan Amerika Serikat.
Untuk menghadapi ancaman itu, Amerika Serikat dalam jangka pendek ke depan akan melanjutkan upaya-upaya yang bersifat pendekatan aktif dengan melaksanakan pantauan terhadap kegiatan-kegiatan ancaman non negara di seluruh dunia.[iv] Upaya itu selain dilakukan secara unilateral, pula lewat jalinan kerjasama dengan sekutu dan mitra untuk menciptakan kendali terhadap kawasan yang ungoverned dan menyerang secara langsung kelompok-kelompok paling berbahaya dan individu-individu bila dipandang perlu.
Kedua, kawasan Asia Pasifik. Makin terkaitnya kepentingan ekonomi dan keamanan Amerika Serikat dengan perkembangan di Pasifik Barat dan Asia Timur hingga kawasan Samudera India dan Asia Selatan, yang memunculkan campuran tantangan dan kesempatan yang terus berkembang.[v] Menurut pandangan Amerika Serikat, pemeliharaan perdamaian, stabilitas dan aliran bebas perdagangan dan pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini akan tergantung pada keseimbangan kekuatan militer dan kehadiran.[vi] Kemunculan Cina sebagai kekuatan regional akan mempunyai potensi mempengaruhi ekonomi dan keamanan Amerika Serikat dalam beragam cara.[vii]
Dalam Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense diungkapkan bahwa pertumbuhan kekuatan militer Cina harus disertai dengan kejelasan yang lebih besar pada niat-niat strategis untuk menghindari friksi di kawasan. Untuk itu Amerika Serikat akan terus melaksanakan investasi yang dibutuhkan untuk memastikan terjaganya akses regional dan kebisaan beroperasi secara bebas selaras dengan kewajiban perjanjian yang disepakati olehnya dan hukum internasional.
Ketiga, kawasan Timur Tengah. Dinamika politik di Timur Tengah yang ditandai dengan adanya Kebangkitan Arab, kekerasan ekstrimis dan isu senjata nuklir juga menjadi perhatian Amerika Serikat.[viii] Kebijakan Amerika Serikat adalah menggarisbawahi keamanan Teluk melalui kolaborasi dengan negara-negara Dewan Kerjasama Teluk bila perlu untuk menceah pengembangan kemampuan nuklir Iran dan meng-counter kebijakan-kebijakan destabilisasi Iran. Amerika Serikat akan melaksanakan hal itu bersamaan dengan dukungannya terhadap keamanan Israel dan perdamaian Timur Tengah yang komprehensif.
Keempat, kawasan Eropa. Eropa adalah wilayah di mana terdapat sekutu dan mitra Amerika Serikat yang paling kukuh dan berkorban bersama Amerika Serikat di Afghanistan, Irak dan berbagai kawasan dunia lainnya.[ix] Karena stabilitas kawasan Eropa yang dikelola bersama lewat NATO dan internal Uni Eropa, bercampur dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak dan Afghanistan, menciptakan kesempatan strategis untuk menyeimbangkan investasi militer Amerika Serikat di Eropa. Seiring dengan lanskap strategis yang berevolusi, postur militer Amerika Serikat di Eropa harus berevolusi pula.[x]
Evolusi postur militer tersebut tidak akan mengubah kebijakan Amerika Serikat terhadap komitmen Pasal 5 Piagam PBB terhadap keamanan sekutu dan mempromosikan peningkatan kapasitas dan interoperabilitas untuk operasi-operasi koalisi.[xi] Amerika Serikat akan bekerjasama dengan sekutu-sekutu NATO guna mengembangkan pendekatan “Smart Defense” untuk mengumpulkan, membagi dan memspesialisasikan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk memenuhi tantangan abad ke-21.[xii]
Kelima, pembangunan kapasitas kemitraan. Pembangunan kapasitas kemitraan di seluruh dunia pula tetap penting untuk membagi biaya dan tanggungjawab kepemimpinan global.[xiii] Di seluruh dunia Amerika Serikat akan mencari mitra keamanan berdasarkan pilihan, mengejar kemitraan baru dengan sejumlah negara yang tengah tumbuh, termasuk di Afrika dan Amerika Latin, yang kepentingan dan pandangannya cocok dengan visi bersama terhadap kebebasan, stabilitas dan kesejahteraan.[xiv] Kapan pun memungkinkan, Amerika Serikat akan mengembangkan inovatif, berbiaya rendah dan pendekatan-pendekatan “pijakan kaki” yang kecil untuk mencapai tujuan keamanan nasionalnya yang bertumpu pada latihan-latihan, kehadiran secara rotasi dan kemampuan-kemampuan nasehat.[xv]
Keenam, akses terhadap global commons. Yang dimaksud dengan global commons di sini bukan sekedar wilayah perairan dan udara internasional, tetapi pula mencakup dunia maya. Dari sudut kepentingan nasional Amerika Serikat, global commons memiliki keterkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dalam sistem internasional, sehingga akses tersebut harus dilindungi.[xvi]
Aktor negara dan non negara dipandang potensial memunculkan ancaman terhadap akses di global commons, baik melalui tindakan berlawanan terhadap norma yang ada atau pendekatan anti akses lainnya.[xvii] Untuk menghadapi hal tersebut, Amerika Serikat akan terus memimpin upaya-upaya global dengan sekutu dan mitra yang mampu untuk memastikan akses terhadap dan penggunaan global commons, lewat penguatan norma internasional pada tindakan bertanggungjawab dan memelihara kemampuan militer yang interoperable dan relevan.[xviii]
Ketujuh, proliferasi senjata pemusnah massal. Isu ini senantiasa menjadi perhatian pemerintah Amerika Serikat, sebab dipandang akan mengancam kepentingan Amerika Serikat.[xix] Untuk itu, Departemen Pertahanan Amerika Serikat akan terus meningkatkan kemampuan-kemampuannya, bertindak selaras dengan mitra-mitra domestik dan asing untuk melaksanakan operasi efektif untuk meng-counter penyebaran senjata pemusnah massal.[xx]
3. Implikasi Terhadap Indonesia
Apabila mempelajari secara seksama Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense dan menyandingkannya dengan beberapa kebijakan Amerika Serikat terkait lainnya, dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan pertahanan Amerika Serikat termutakhir berfokus pada kawasan Asia Pasifik. Simak misalnya pernyataan Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat Jenderal Martin Dempsey yang menyatakan, “Semua kecenderungan –demografis, geopolitik, ekonomi dan militer- beralih menuju Pasifik. Sehingga tantangan strategis kami di masa depan sebagian besar akan muncul di kawasan Pasifik, pula di littoral Samudera India”.[xxi] Demikian pula kebijakan anggaran pertahanan yang menegaskan tidak adanya potongan bagi kebutuhan pertahanan di kawasan Asia Pasifik.[xxii]
Sebagai tindaklanjut dari Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense, Angkatan Laut Amerika Serikat melakukan revisi terhadap Total Force Battle Network (TFBN). Menurut TFBN terbaru, postur Angkatan Laut Amerika Serikat akan berfokus pada (pengendalian) choke points strategis, respon terhadap humanitarian disaster dan maritime domain awareness.[xxiii] Untuk itu, Amerika Serikat akan menempatkan Littoral Combat Ships di Bahrain, Yokosuka (Jepang) dan Singapura, kapal tender kapal selam di Diego Garcia dan personel Marinir di Australia dan Guam.[xxiv]
Tentu tidak perlu dibahas lebih lanjut latar belakang mengapa Amerika Serikat kini mengalihkan fokusnya terhadap kawasan Asia Pasifik. Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana implikasi dari fokus Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, khususnya pada domain maritim. Terkait hal tersebut, beberapa hal berikut patut diperhatikan oleh Indonesia.
Pertama, isu pengendalian choke points. Dalam rangka mengimplementasikan fokus pada kawasan Asia Pasifik dan akses terhadap global commons, pengendalian choke points merupakan suatu hal yang imperatif bagi Amerika Serikat. Tidak dapat dibantah kalau letak choke points strategis di kawasan ini berada di wilayah perairan Indonesia, di mana choke points tersebut merupakan jalur pendekat dan penghubung antara kawasan Samudera India dan Asia Timur. Memperhatikan dengan seksama fakta bahwa kebijakan Amerika Serikat di kawasan tidak lepas dari upaya negara itu untuk mewaspadai kebangkitan Cina, maka pengendalian choke points menjadi isu vital bagi Amerika Serikat untuk meminimalisasi strategi anti akses Cina pada satu sisi dan memotong jalur perhubungan laut Cina apabila terjadi konflik terbukan pada sisi lain.
Dalam konteks itu, Indonesia menghadapi suatu tantangan dan sekaligus peluang yang unik. Baik Amerika Serikat maupun Cina terkesan sangat ingin memegang dan memainkan kartu Indonesia bagi kepentingannya masing-masing dan hal itu adalah tantangan bagi Indonesia untuk bagaimana bersikap di antara dua gajah yang tengah bertarung. Adapun peluang bagi Indonesia apabila kondisi itu bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Indonesia tanpa harus terkesan menjadi kepanjangan tangan kedua belah pihak yang berbeda kepentingan tersebut.
Isu pengendalian choke points memiliki korelasi erat dengan maritime domain awareness. Singkatnya, Indonesia harus meningkatkan kemampuannya dalam menjaga keamanan choke points yang berada di wilayahnya. Peningkatan kemampuan dimaksud dapat terlaksana dengan baik apabila ditunjang pula oleh terbentuknya maritime domain awareness secara nasional. Dikaitkan dengan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut, tengah dilaksanakannya modernisasi kekuatan dan sekaligus penataan organisasi melalui pembentukan Komando Wilayah Laut diharapkan dapat merespon tantangan yang kini berkembang sehingga TNI Angkatan Laut dapat melaksanakan tugasnya untuk mengamankan kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim dan sekaligus berkontribusi terhadap stabilitas keamanan kawasan.
Kedua, maritime domain awareness. Maritime domain awareness kini telah menjadi salah satu isu maritim di kawasan dan telah menjadi agenda ASEAN Maritime Forum (AMF). Amerika Serikat yang telah mempromosikan isu maritime domain awareness tak lama pasca serangan 11 September 2001 amat berkepentingan dengan isu tersebut karena sebagian negara di kawasan Asia Tenggara yang menjadi lokasi choke points strategis dipandang masih lemah kemampuannya dalam hal maritime domain awareness. Beberapa paket bantuan dari Amerika Serikat kepada Indonesia, Malaysia dan Filipina yang tercantum dalam Proyek 1206 dan 1207 pada dasarnya terkait dengan maritime domain awareness.
Pertanyaannya bagi Indonesia adalah apakah negeri ini sudah mengukur seberapa jauh kemampuannya dalam hal maritime domain awareness? Pertanyaan demikian penting karena akan terkait langsung dengan isu pengendalian choke points yang berada di perairan Indonesia sendiri. TNI Angkatan Laut adalah komponen keamanan nasional pada aspek maritim yang sudah seharusnya ditunjang oleh pemangku kepentingan maritim lainnya, termasuk dalam hal maritime domain awareness. Artinya, harus ada cetak biru nasional mengenai maritime domain awareness di mana setiap pemangku kepentingan maritim harus mau berpikir integratif dan bukan lagi sektoral, sehingga informasi-informasi terkait maritime domain awareness sudah seharusnya dibagikan pula kepada TNI Angkatan Laut.
Sudah menjadi pengetahuan umum terjadinya tumpang tindih aset dalam isu maritime domain awareness di Indonesia. Sebagai contoh adalah bertumpuknya aset yang terkait dengan maritime domain awareness milik beberapa instansi berbeda di sekitar Pulau Batam, sementara di sejumlah choke points strategis justru masih kekurangan aset itu. Selain itu, ego sektoral dalam hal information sharing masih sangat kuat di negeri ini.
Ketiga, pembangunan kapasitas kemitraan. Dalam kondisi ekonomi Amerika Serikat yang tengah sakit saat ini, Amerika Serikat menganut pendekatan burden sharing dengan negara-negara lain dalam merespon isu global yang terkait dengan kepentingan nasionalnya. Tentu saja dalam burden sharing itu Amerika Serikat tetap menempatkan dirinya berada pada posisi terdepan. Untuk kawasan Asia Pasifik, dapat dipastikan Singapura dan Australia yang bertetangga dengan Indonesia menjadi sekutu dan kawan penting Amerika Serikat untuk kemitraan di bidang keamanan, sebagaimana dapat dilihat dari rencana penempatan Littoral Combat Ships di Singapura dan Marinir di Darwin, Australia.
Terkait dengan hal tersebut, menjadi suatu pertanyaan menarik bagaimana Indonesia merespon kebijakan demikian. Misalnya, bagaimana memberdayakan ASEAN dan forum-forum yang terkait agar dinamika yang terjadi di kawasan Asia Tenggara khususnya benar-benar ASEAN-centric sebagaimana yang diinginkan oleh ASEAN. Dalam konteks kepentingan nasional Indonesia, ASEAN-centric harus senantiasa dimaknai sebagai Indonesia-centric.
Sudah menjadi kesepakatan ASEAN bahwa isu keamanan Asia Tenggara diwadahi dalam ASEAN Security Community. Salah satu bagian dari ASEAN Security Community adalah ASEAN Maritime Forum. Kalau hal ini dikaitkan dengan kepentingan Amerika Serikat, perlu dirancang suatu desain ASEAN-centric yang mana kemitraan Amerika Serikat secara bilateral dengan satu atau beberapa negara ASEAN hendaknya tidak keluar dari bingkai ASEAN-centric. Diakui bahwa untuk mewujudkan hal itu tidak mudah, akan tetapi imperatif untuk ditempuh agar kawasan Asia Tenggara yang didominasi oleh domain maritim tidak menjadi ajang pertarungan kepentingan bagi negara besar.
4. Penutup
Sustaining U.S. Global Leadership: Priorities for 21st Century Defense merupakan penegasan sikap Amerika Serikat untuk mempertahankan kepemimpinan globalnya di tengah dunia yang terus berubah. Krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat berimplikasi pula pada kebijakan pertahanan negara itu, di mana pada kawasan tertentu dunia dilaksanakan penarikan dan pengurangan kekuatan militer Amerika Serikat. Akan tetapi di sisi lain, kawasan Asia Pasifik yang dinilai sebagai kawasan paling dinamis di dunia saat ini, Amerika Serikat berupaya untuk kembali memperkuat kehadirannya guna merespon kebangkitan Cina.
Dalam kaitan dengan fokus kebijakan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, domain maritim mendapatkan perhatian dalam porsi besar. Mengacu pada TFBN terbaru, postur Angkatan Laut Amerika Serikat di kawasan ini akan berfokus pada (pengendalian) choke points strategis, respon terhadap humanitarian disaster dan maritime domain awareness. Hal itu antara lain diwujudkan dengan rencana penempatan Littoral Combat Ships di Singapura, Yokosuka dan Marinir di Darwin, Australia.
Indonesia sebagai negara yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan akan bersentuhan langsung dengan kebijakan terbaru Amerika Serikat itu. Berdasarkan hasil identifikasi, setidaknya ada tiga isu yang perlu mendapat perhatian khusus dari Indonesia terkait dengan kebijakan pertahanan Amerika Serikat terbaru. Ketiga isu tersebut memiliki korelasi yang kuat antara satu dengan lainnya, sehingga belum terlambat untuk diantisipasi sejak dini agar kepentingan nasional Indonesia yang terkait dengan domain maritim tidak dirugikan.
[i]. Lihat, Belasco, Amy, “The Cost of Iraq, Afghanistan, and Other Global War on Terror Operations Since 9/11”, Congressional Research Service, March 29, 2011.
[ii]. Lihat, U.S. Department of Defense, Sustaining U.S. Global Leaderships: Priorities for 21st Century Defense, hal.2
[iii]. Ibid, hal.1
[iv]. Ibid
[v]. Op.cit, hal.2
[vi]. Ibid
[vii]. Ibid
[viii]. Ibid
[ix]. Ibid
[x]. Ibid, hal.3
[xi]. Ibid
[xii]. Ibid
[xiii]. Ibid
[xiv]. Ibid
[xv]. Ibid
[xvi]. Ibid
[xvii]. Ibid
[xviii]. Ibid
[xix]. Ibid
[xx]. Ibid
[xxi]. Lihat, “Obama Looks To Leaner Military, As-Pac Focus”, Jane’s Defense Weekly, 11 January 2012, hal.4
[xxii]. Lihat, “Obama: Asia-Pacific Defence Immune From Budget Cuts”, http://www.theindependentbd.com/international/america/80235-obama-asia-pacific-defenceimmune from-budget-cuts.html, diakses pada 5 Februari 2012 pukul 10.00 WIB
[xxiii]. Lihat, “USN Undersecretary Remains Tight-Lipped Over 313-Ship Goal”, Jane’s Defense Weekly, 25 January 2012, hal.9
[xxiv]. Ibid