KEBANGKITAN KEKUATAN CHINA DI AWAL ABAD 21

KEBANGKITAN KEKUATAN CHINA DI AWAL ABAD 21

Oleh: Amelia Rahmawaty

 

Pendahuluan

Setiap kawasan memiliki karakteristik masing-masing, tapi bagi Asia, ekonomi adalah raja. Hubungan antar negara di kawasan ini diwarnai dengan ketegangan dan perselisihan, serta dibayangi sejarah pertarungan berdarah. Namun, hal tersebut dikesampingkan dan lebih mengedepankan kerjasama perdagangan dan investasi demi integrasi ekonomi negara masing-masing. Sebut saja Korea Selatan yang merupakan mitra dagang terbesar keempat bagi China, meskipun China adalah aliansi utama Korea Utara sejak lebih dari setengah abad lalu. Kemudian, meskipun belakangan ini, investasi perusahaan Jepang kepada China merosot hingga 45%, China adalah investor dan mitra dagang strategis bagi Jepang, disamping perselisihan kedua negara terhadap Pulau Senkaku/Diaoyu. Jika kawasan diperluas hingga Pasifik, kita mengetahui bahwa Amerika adalah mitra dagang terbesar China sekalipun hubungan keduanya diwarnai persaingan.

Dalam teori ekonomi sendiri kita mengenal istilah The Asian Miracle yang menandakan progres pertumbuhan ekonomi Asia yang begitu cepat. Sebelumnya, di pertengahan abad 20, negara-negara di Asia menghadapi situasi yang benar-benar kacau dimana peperangan, kemiskinan, kelaparan melanda negara-negara di kawasan tersebut. China adalah salah satu negara yang tidak beruntung pada waktu itu karena mengalami peperangan, revolusi, dan kelaparan sekaligus. Pada tahun 1960, penghasilan satu orang Jepang sama dengan 1/8 pendapatan satu orang Amerika, Korea Selatan tidak lebih kaya daripada Sudan, Taiwan sama miskinnya seperti Zaire (Rohwer, 1995). Namun pada empat dekade terakhir, ekonomi Asia bertransformasi. Asia kini ialah kawasan dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dibandingkan seluruh kawasan di dunia. Bahkan sekalipun dihantam oleh krisis finansial dan resesi pada akhir 90an, Asia dengan cepat bangkit dan kini merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi dunia.

Fenomena The Asian Miracle ini tidak terlepas dari peran China sebagai ekonomi terbesar di Asia dan kedua di dunia setelah Amerika. China memperluas pengaruh dengan memanfaatkan kekuatan ekonominya melalui kerjasama perdagangan, bantuan infrastruktur, investasi, dan strategi ekonomi. Seiring dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, China kini juga ingin memainkan peran yang lebih dominan dalam Hubungan Internasional. Sebagai emerging power, China mulai membuat inisiatif-inisiatif tatanan baru dimana China tidak hanya ada didalamnya, tetapi juga terlibat didalam proses pembuatan aturan-aturan sistem global yang selama abad modern ini hampir tidak pernah mengikutsertakan China.

 

China Hari Ini

Terhadap China, Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Ici repose un géant endormi, laissez le dormir, car quand il s’éveillera, il étonnera le monde” (Disinilah seekor raksasa tertidur, biarkan dia tidur, karena ketika dia terbangun, ia akan mengejutkan dunia). Bagaimanapun, Bonaparte telah secara cermat memprediksikan China di masa depan. Saat ini, meskipun belum dapat disetarakan dengan Amerika, China adalah emerging power yang tak terbantahkan dalam Hubungan Internasional.

China adalah salah satu eksporter terbesar di dunia. Sejak reformasi pasar pada akhir tahun 70an, ekonomi China telah meningkat empat kali lipat dan diperkirakan akan berlipat ganda pada dekade berikutnya (Ikenberry, 2008). Pertumbuhan China tersebut merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Pada tahun 2009, runtuhnya pasar ekspor internasional yang disertai krisis finansial global telah berdampak pada China, tetapi ekonomi negara ini dengan segera tumbuh kembali (BBC, 2014).

Diberitakan oleh Bloomberg, Washingtonpost, NYTimes, dan The Economist pada Agustus 2010, China akhirnya melampaui Jepang sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, dan dengan demikian terbesar di Asia Timur. Jika China mampu melampaui ekonomi Amerika sebagai kekuatan ekonomi terbersar dunia 10 sampai 15 tahun mendatang, maka untuk pertama kalinya, ekonomi dunia akan dipimpin oleh negara non-barat, non-demokrasi, dan negara yang tidak menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa ibu (Johnson, 2014).

Mengapa pemimpin ekonomi dunia menjadi begitu penting dalam hubungan internasional? Karena ekonomi (bersama dengan militer) adalah fundamental power dalam politik dunia. Berbeda dengan abad 18 hingga 19 dimana perluasan wilayah dan persaingan militer adalah hal krusial untuk menjadi negara yang powerful. Di abad 20 dan 21, perdagangan telah menjadi alat dalam politik dunia, baik sebagai instrument untuk memperkuat aliansi, sekaligus juga untuk memberikan sinyal kepada rival, atau menahan semakin meluasnya pengaruh potential emerging power (Froman, 2014).

Sebagai contoh, Trans-Pacific Partnership (TPP) yang saat ini sedang dinegosiasikan oleh Amerika dengan 11 negara Asia-Pasifik, tidak hanya sekedar untuk memperluas akses pasar Amerika ke kawasan pertumbuhan ekonomi paling cepat di dunia tersebut, tetapi juga mengirimkan sinyal-sinyal kepada China; pertama, menegaskan bahwa Amerika tidak tertinggal oleh China dalam persaingan ekonomi di kawasan vital dunia, kedua, untuk menekankan bahwa aturan sistem perdagangan global akan tetap berada dibawah nilai-nilai Amerika sehingga jika ingin terlibat didalamnya maka harus mengikuti aturan main Amerika, ketiga, mengabaikan China dalam perjanjian perdagangan – yang keuntungan ekonominya diperkirakan hampir mencapai US$ 1 triliun – melalui penerapan standar yang tinggi yang nampaknya belum dapat dipenuhi oleh China.

Mengetahui bahwa dirinya tidak dapat (dan tidak mau) mengikuti standar tinggi yang diterapkan dalam TPP, pada Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Pacific Economic Cooperation (KTT APEC) November lalu, China memanfaatkan momen tersebut untuk mempromosikan bentuk lain perjanjian perdagangan Pasifik dimana China diikutsertakan dan menginisiasi pembentukan Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) untuk memuluskan strategi pengembangan ekonomi China, Maritime Silk Road (MSR). Namun sesungguhnya, isu utama dalam persaingan pakta perdagangan di Asia-Pasifik ini tidak hanya perihal kepentingan ekonomi, tetapi juga merefleksikan seberapa besar pengaruh masing-masing negara yang mana hal tersebut akan memengaruhi pengakuan status power Amerika dan China di kawasan vital ini.

china surpassed japan as second largest economy in the worldBangunnya China, seperti yang dikatakan Bonaparte, juga diutarakan oleh Presiden Xi Jinping dalam pidatonya pada peringatan 50 tahun hubungan diplomatik China – Perancis, “China, the (sleeping) lion, has woken up. But this is a peaceful, amiable, and civilized lion.” Hal tersebut diutarakan China untuk menghindari atau mengurangi sedikit kekhawatiran Amerika yang memandang China berpotensi menantang posisinya sebagai negara hegemon. Mungkin juga untuk menekankan kepada negara-negara tetangga bahwa kebangkitan China tidak dimaksudkan untuk mengintimidasi mereka. Namun yang terjadi di lapangan, perkembangan kekuatan China tersebut telah membuatnya lebih teguh dalam mempertahankan kepentingannya, terutama ketika hal tersebut berkaitan dengan kedaulatan teritori. Sikap agresif China di Laut China Timur dan di Laut China Selatan justru membuat negara-negara yang terlibat perselisihan merasa khawatir. Apalagi ditambah dengan modernisasi militer China yang terus menerus dilakukan tanpa transparansi.

Pertumbuhan ekonomi yang progresif selalu diikuti dengan kebutuhan untuk meningkatkan kekuatan militer. Melalui perbaikan terus menerus, pada tahun 2000 saja, China telah memiliki pesawat terbang, misil, dan kapal selam berteknologi canggih. Serta 17 rudal balistik antarbenua, 70 rudal balistik menengah, dan 12 kapal selam yang mampu meluncurkan rudal. Rudal antarbenua China tersebut mampu menjangkau hingga 8,000 km, atau dengan kata lain, mampu mencapai hingga Moskow dan pantai barat Amerika (Hsu, 2000: 992). Sejak tahun 2010, China juga telah menyebarkan rudal balistik darat yang dapat diluncurkan dengan menggunakan truk dan mampu mencapai jarak hingga 1,500 km. Jika dahulu China tidak menyadari bila ada kapal perang Amerika yang berlayar 5 km dari negaranya, pada beberapa dekade terakhir, dengan menggunakan  radar jarak jauh dan bentuk-bentuk pengintaian lainnya, China mampu secara jelas mengetahui apabila terdapat kapal perang Amerika sedang bernavigasi tidak jauh dari garis pantainya (Thompson, 2014).

Kekuatan ekonomi yang diiringi dengan pembangunan kekuatan militer ini kemudian meningkatkan kepercayaan diri dan keinginan China untuk berperan lebih dominan dalam hubungan internasional. China memperluas pengaruh tidak hanya di kawasan Asia, tetapi juga Afrika, Timur Tengah, Eropa, dan Amerika Selatan. Hal ini terutama dilakukan untuk menghindari China tergantung hanya pada satu kawasan sumber penyuplai energy. Sehingga, jika salah satu kawasan mengalami instabilitas, pergerakan roda ekonomi China tetap aman. China juga telah lebih banyak terlibat dalam tatanan global yang selama ini didominasi oleh Amerika, sekaligus berupaya membuat sebuah tatanan baru yang sesuai dengan nilai-nilai dan kepentingan China. Salah satu indikasi tersebut terlihat dari sikap China yang menginisiasi AIIB untuk menyaingi World Bank yang nilai-nilai dan aturannya dikomando oleh Amerika.

Baca lebih jauh : Quarterdeck Edisi Januari 2015

Kebangkitan China Versus Hegemoni Amerika

Jika mengamati isu China, kita akan mengetahui bahwa terdapat pro dan kontra terkait apakah China mampu menjadi the next superpower menggantikan unipolar Amerika yang telah duduk sebagai penguasa tunggal dalam Hubungan Internasional sejak berakhirnya Perang Dingin, ataukah tidak. Namun untuk mencapai status tersebut, China akan menghadapi banyak tantangan. Bahkan sebelum menghadapi Amerika, China sendiri masih harus berbenah dengan masalah domestik. Disparitas ekonomi di China adalah salah satu masalah utama yang mengancam kestabilitasan dan menimbulkan kekacauan. Meskipun ekonomi China terus tumbuh, sejak reformasi pasar dibuka pada tahun 1978, kesenggangan pendapatan masih menjadi momok bagi China. Bahkan, pendapatan antara wilayah yang dekat dengan pantai dengan wilayah yang berada di daratan justru semakin timpang (Tobin,  2011). Padahal, keseimbangan pertumbuhan ekonomi di seluruh daratan China merupakan poin penting untuk menghindari kerentanan negara yang dapat menghambat pengembangan kekuatan China pada level internasional.

Selain itu, secara geografi China tidak seberuntung Amerika yang memiliki akses langsung ke laut di sisi kiri dan kanannya. Akses laut China terbatas, dan China tidak menguasai akses laut yang menjadi gerbang masuk komoditas ekspor impornya; baik Laut China Selatan, maupun Samudera Hindia. Life line China dikuasai oleh kontrol Amerika Serikat dan dihadang oleh kekuatan angkatan laut India. Di Samudera Hindia, India tidak akan membiarkan China menjadi kekuatan dominan. India telah lama menempatkan Samudera Hindia sebagai kepentingan vitalnya dimana akses energi dan keamanan India bergantung pada kebebasan akses India terhadap Samudera Hindia. Sehingga kehadiran kekuatan China di Samudera Hindia sudah pasti bertentangan dengan kepentingan nasional India.

Sedangkan di Laut China Selatan, China bersengketa dengan lima negara anggota ASEAN dan Taiwan. Amerika sendiri tidak akan membiarkan adanya perubahan status kepemilikan apapun terhadap Laut China Selatan. Kebebasan navigasi di Laut China Selatan adalah kepentingan Amerika, sehingga Amerika tidak akan membiarkan Laut China Selatan jatuh ke tangan China yang akan menyebabkan kontrol terhadap jalur perdagangan tersebut dikendalikan oleh China, atau menimbulkan  suatu aturan baru yang merugikan kepentingan Amerika.

Kontrol terhadap laut merupakan hal signifikan, dan justru semakin vital di era globalisasi. Tidak ada satu negarapun yang mampu memenuhi seluruh kebutuhannya tanpa mengimpor dari negara lain, selain juga hal ini dikarenakan penerapan nilai-nilai ekonomi yang dominan berlaku dalam sistem internasional. Dan seiring dengan semakin meningkatnya sistem pasar bebas dan menjamurnya perjanjian-perjanjian baik bilateral maupun multilateral yang mengacu pada nilai-nilai liberalisasi pasar, arus pengangkutan komoditas ekspor impor melalui laut juga semakin meningkat. Kelancaran aktivitas ekspor impor tersebut selalu menuntut keamanan rute perdagangan laut.

Sepanjang sejarah, tidak ada negara yang mampu menguasai seluruh lautan. Memang, pada masa kejaannya, Inggris menguasai rute perdagangan. Ia mengamankan rute perdagangannya mulai dari Gibraltar, Malta, Port Said, India, Srilanka, Birma, Singapura, hingga Hongkong.  Pada puncak kejayaannya di tahun 1919, kehadiran Britania Raya yang berada di seluruh benua berpenghuni membuatnya dijuluki the empire on which the sun never sets. Tetapi, titik-titik yang dikuasai Inggris adalah rute perdagangan keamanannya, bukan seluruh jalur perdagangan. Sedangkan Amerika menguasai seluruh jalur perdagangan, sehingga pada Perang Dingin, ia mampu menawarkan kepada negara-negara dunia untuk memilih; bersama Uni Soviet dan mendapat bantuan militer, atau bergabung dengan Amerika dan mendapat akses perdagangan hampir di seluruh dunia (Friedman, 2009). Militer pada saat itu memang merupakan simbol kekuatan penting dalam politik dunia, akan tetapi, akses pasar dan jalur perdagangan berarti juga kemakmuran bagi banyak negara yang saat itu baru merdeka.

Diawali dengan ambisi Theodore Roosovelt dan didukung oleh pemikiran Alfred Thayer Mahan, kekuatan Angkatan Laut Amerika jauh lebih maju dibandingkan Angkatan Laut manapun di dunia. Bahkan George Friedman, pendiri Stratfor, menyatakan, jikalaupun seluruh kekuatan laut di dunia digabungkan, masih tidak akan mampu menandingi kekuatan laut Amerika. Dengan kekuatan laut yang demikian besar tersebut, Amerika memiliki kemampuan dan sumber daya untuk melakukan kontrol seluruh rute perdagangan. Untuk dapat menyelenggarakan kekuatan laut diperlukan biaya yang mahal. Sehingga, negara-negara yang tidak memiliki kemampuan demikian akan bergantung kepada Amerika. Hal ini memberi keuntungan politik yang besar bagi Amerika, karena kekuatan lautnya mampu menjamin, mengizinkan, ataupun menolak pergerakan kapal di seluruh rute perdagangan dunia (ibid.).

Sejarahnya, China memiliki dua pilihan; makmur melalui ekonomi terbuka seperti yang terjadi sejak reformasi pasar, atau miskin dengan ekonomi tertutup seperti yang dilakukan oleh Mao Tse-Tung. Dalam menjalankan ekonomi terbukanya, China banyak bergantung kepada ekspor yang mana akses China menuju mitra dagang utamanya dan pasar dunia adalah melalui laut. Dengan kenyataan bahwa seluruh rute perdagangan dunia berada dibawah kontrol kekuatan Angkatan Laut Amerika, maka dengan kata lain, pergerakan kapal-kapal dari dan menuju China berada dibawah pengawasan Amerika dan sewaktu-waktu aksesnya bisa saja ditolak oleh Angkatan Laut Amerika yang kehadiran dan kekuatannya di Asia bahkan semakin ditingkatkan sejak Presiden Obama mencanangkan strategi Pivot to Asia.

 

China: The Next Superpower?

Faktor-faktor yang memungkinkan atau tidak memungkinkan China muncul sebagai pesaing Amerika masih bisa diperdebatkan. Tapi bagaimanapun, kekuatan China di era ini jelas tidak dapat diabaikan. Barry Buzan dan Ole Waever dalam buku mereka Regions and Powers, mengategorikan China sebagai great power yang mana berada setingkat lebih rendah dari Amerika. China digolongkan demikian karena dinilai memiliki potensi ekonomi, militer, dan politik yang mampu menyaingi Amerika sebagai superpower(2003: 35-36). Pengakuan status great power pada China ini penting untuk dapat menilai bagaimana tingkah laku China dalam hubungan internasional.

Sepanjang sejarah sebagai superpower atau pun ketika masih menjadi cikal bakal superpower, Amerika telah menunjukkan betapa negara tersebut tidak mentolerir satu negara pun berusaha menjadi dominan apalagi berusaha menyaingi posisinya, baik di kawasan Eropa maupun Asia. Ketika Jerman muncul, Amerika mencegah dominasi Jerman di Eropa. Ketika Jepang timbul dan ingin mendominasi Asia, Amerika juga bereaksi untuk menghindari kemenangan Jepang di kawasan tersebut (Huntington dalam Hsu, 2000: 994-995). Hal yang sama juga terjadi terhadap Uni Soviet pada Perang Dingin. Setelah keluar menjadi pemenang tunggal, tradisi ini tetap akan dilanjutkan. Hal ini wajar dilakukan oleh superpower untuk mempertahankan posisinya tersebut, meskipun ketika berhadapan dengan China, situasi menjadi sedikit lebih sulit bagi Amerika.

Meskipun demikian, untuk merebut hegemoni Amerika hari ini, kekuasaan apapun yang berambisi demikian berarti harus menggeser Amerika. Di sisi lain, Amerika sebagai superpower tidak akan membiarkan satu kekuasaan pun lebih dominan daripada kekuatannya. Tetapi dengan menyandang status tersebut, Amerika juga harus aktif bermain dan menguasai seluruh kawasan. Jika China berhasil membuat atau mengubah aturan-aturan baru di Asia Pasifik, atau tingkat yang lebih luas, maka dalam beberapa hal harus diakui, bahwa posisi Amerika disusul oleh China.

Sebagaimana tingkah laku superpower di masa lalu, Amerika pasti akan mempertahankan posisinya ini. Apalagi setelah setengah abad memimpin, nilai-nilai, aturan, dan budaya yang dipromosikan Amerika sudah terlanjur melekat dalam sistem internasional.  Amerika sebagai superpower harus menjadi sumber utama dari nilai-nilai universal masyarakat internasional. Legitimasi Amerika sebagai superpower akan tergantung secara substansial pada kesuksesan mereka membangun legitimasi nilai-nilai tersebut (Buzan &Waever, 2003). Sejauh ini, China masih jauh dari diakui nilai-nilainya secara universal, tetapi Amerika juga harus memastikan bahwa nilainya selalu tertanam dan diakui oleh seluruh kawasan, atau membuatnya seolah-olah demikian. Dan meskipun saat ini kekuatan ekonomi maupun politik China sudah semakin meluas, tetapi kesempatan China untuk mengubah dan membuat suatu nilai-nilai yang sesuai dengan kepentingan China pasti akan selalu dirintangi Amerika.

Tapi berbicara abad 21, China mungkin saja dapat mendominasi regional Asia Pasifik. Setelah berakhirnya Perang Dingin, isu ekonomi menjadi sentral dalam Hubungan Internasional. Dahulu senjata dijadikan alat untuk menaklukkan wilayah baru. Pada masa kejayaan Eropa, daerah kekuasaan penting demi kemakmuran negara penjajah. Negara yang mempunyai wilayah kekuasaan terluas (banyak) akan memiliki jumlah penduduk yang banyak dan stok hasil bumi yang besar. Pendapatan dihasilkan baik dari mengeruk sumber daya alam dari negara jajahan, maupun pungutan pajak. Karena dulu belum ada teknologi, maka untuk menjalankan perekonomian negara sangat bergantung pada tenaga manusia, dan dengan demikian, jumlah penduduk memberi keuntungan yang signifikan bagi produktivitas ekonomi negara. Peran senjata disini menjadi amat penting, yaitu memudahkan penjajah atau ekspansionis menundukkan wilayah baru.

Pada era Perang Dingin, nilai senjata bahkan lebih signifikan daripada sebelumnya. Baik Amerika Serikat maupun Uni Soviet sama-sama membangun dan memiliki senjata yang paling mutakhir dan mematikan demi menghalangi lawan untuk menyerangnya, maupun menyerang negara aliansi. Senjata juga menjadi simbol untuk menunjukkan negara mana yang lebih powerful. Karena kepemilikan world mass destruction (WMD) dapat menangkal keinginan lawan melakukan penyerangan. Namun, setelah Perang Dingin berakhir dan Amerika menjadi power tunggal dalam sistem internasional, nilai ekonomi kini lebih dominan.

Negara-negara mulai menyadari, ekonomi merupakan hal utama untuk eksistensi negara dan pergaulan internasional. Senjata tidak dapat memberi makan rakyat, tetapi ekonomi dapat memakmurkan rakyat sekaligus membeli senjata untuk mengamankan negara. Negara-negara saat ini juga tidak perlu melakukan ekspansi wilayah jajahan. Dunia sudah berubah. Banyak batasan-batasan yang tidak mengizinkan negara lain untuk mengeskploitasi sumber daya alam negara lain tanpa persetujuan negara tersebut, seperti Hukum Internasional, maupun Organisasi Internasional.

Selain itu, negara tidak perlu menjajah negara lainnya untuk mendapatkan akses pasar dan tenaga kerja. Liberalisasi pasar telah mengizinkan negara-negara untuk mendapatkan akses pasar yang luas. Prinsip-prinsip World Trade Organization telah memudahkan negara-negara untuk memasukkan barang-barangnya ke pasar di seluruh dunia. Globalisasi telah memungkinkan perpindahan tenaga kerja ke seluruh dunia. Beberapa kawasan bahkan membebaskan perpindahan tersebut, seperti yang disepakati negara-negara anggota ASEAN melalui ASEAN Economic Community yang akan dimulai secara efektif Januari 2016 mendatang.

Sehingga, siapa yang memimpin ekonomi, maka juga memungkinkannya untuk memperluas pengaruh dan kepemimpinan di sistem internasional. Meskipun terdapat hal lain yang perlu diperhatikan. Di jaman seperti demikian, jika China dapat menjaga kekuatan ekonominya hingga beberapa dekade mendatang, bukan tidak mungkin China dapat membentuk aturan main, setidaknya di Asia. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, ekonomi adalah raja di kawasan ini. Kepemimpinan dan pengaruh mengalir dari dompet, bukan dari senjata (Goodman & Ratner, 2014). China memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Pada quarter ketiga lalu, cadangan devisa China sebesar $3.89 triliun. Belakangan Presiden Xi menjanjikan  memberi pinjaman dan investasi luar negeri kira-kira sebesar $100 miliar kepada ASEAN. Negara-negara di Asia Tenggara, terutama, sangat membutuhkan bantuan dana infrastruktur dan investasi untuk perkembangan ekonominya. Situasi tersebut akan memudahkan China memperluas pengaruhnha di kawasan ini.

Akan tetapi, ekonomi bukan segalanya, baik untuk menjadi pemimpin di kawasan, apalagi menyaingi Amerika. Teknologi, kekuatan Angkatan Laut, nilai-nilai, lembaga-lembaga internasional yang diprakarsai Amerika, ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kepentingan Amerika dan tidak dengan China, termasuk pula aliansi Amerika yang tersebar di seluruh penjuru, sulit membuat China menyaingi posisi Amerika.

Meskipun China digadang-gadang memiliki potensi demikian, akan tetapi China cenderung rentan. Kekuatan China amat bergantung pada ekonominya. Jika stagnansi pertumbuhan ekonomi terjadi, berkurangnya akses pasar, atau terjadi krisis finansial dunia, hal ini akan mengancam China. Lemahnya ekonomi China dapat menyebabkan kekacauan dan instabilitas di dalam negeri. Dan tantangan bagi China adalah bahwa ekonomi negara tersebut tidak merata. Kemiskinan masih menyebar di wilayah pedalaman China. Meskipun China adalah ekonomi terbesar kedua di dunia, namun China, berdasarkan data World Bank, tetap tergolong negara berkembang dikarenakan pendapatan per kapitanya yang masih jauh dibandingkan negara-negara maju. Selain itu, teknologi dan kekuatan militer China masih jauh berada dibawah Amerika. Dan jikalaupun China dalam beberapa dekade mendatang berhasil melakukan modernisasi, teknologi dan kekuatan laut Amerika juga pasti telah berkembang lebih maju (Friedman, 2009).

Kemudian, aliansi Amerika di dunia ini kebanyakan bukanlah negara-negara lemah, tidak terkecuali di Asia. Amerika sudah membangun tali aliansi yang erat dengan negara-negara kuat Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan. Lawatan Presiden Obama ke India yang menghasilkan terobosan jalinan kerjasama nuklir antara Amerika – India dan janji empat miliar dolar dalam investasi dan pinjaman dari Amerika kepada India tentu merupakan suatu perkembangan besar bagi hubungan Amerika dan India, dan pertanda penting dalam memahami isu kebangkitan power China. Hal-hal demikian lah yang akan dihadapi dan sekaligus menghambat China untuk menjadi superpower.

 

Kesimpulan:

Harus diakui bahwa kekuatan China di abad 21 ini sangat impresif. Ekonomi China yang terus tumbuh sejak 30 tahun terakhir telah membuat 500 juta orang keluar dari kemiskinan, tetapi juga pada perluasan pengaruh di pergaulan internasional. China juga telah semakin percaya diri untuk terlibat dalam tatanan global, dan siap untuk membentuknya. Meskipun demikian, kekuatan China hingga beberapa dekade kedepan nampaknya belum mampu menyaingi hegemoni Amerika yang sudah terlalu maju hampir di seluruh sektor, terutama militer, teknologi, dan ekonomi. Nilai-nilai dan aturan yang dikomando Amerika juga sudah terlalu dalam melekat dalam sistem internasional. Aliansi Amerika juga tidak mungkin membiarkan China menjadi the next superpower.

China juga masih harus berbenah dalam memperbaiki kesetaraan ekonomi di seluruh daratan negaranya. China, sebagaimana dikatakan oleh Hsu dalam bukunya The Rise of Modern China, memang terlalu besar untuk diisolasi, terlalu kuat untuk ditahan, terlalu penting untuk diasingkan, dan pasarnya terlalu berharga untuk dilewatkan. Namun demikian, tetap, ekonomi bukan satu-satunya alat mecapai status superpower. China masih jauh dari dapat menyaingi atau setara sekalipun dengan Amerika sehubungan dengan tantangan dari dalam, sekaligus hambatan yang siap menghadang dari luar.

 

Referensi:

BBC (2014), ‘China Profile’, BBC News Asia, December 10, tersedia di: http://www. bbc.com/news/world-asia-pacific-13017877 [diakses 15 Januari 2015].

Bloomberg http://www.bloomberg.com/graphics/2016-changing-chinese-economy/

Buzan, B. & Waever, O. (2003) Regions and Powers: The Structure of International Security, Cambridge: Cambridge University.

Friedman, G. (2009) The Next 100 Years, New York: Double Day

Froman, M. (2014) The Strategic Logic of Trade: New Rules of the Road for the Global Market, Foreign Affairs, November/December 2014 Issue.

Goodman, M. & Ratner, E. (2014) China Scores: and What the United States Should Do Next, Foreign Affairs, November/December Issue.

Hsu, I. (2000) The Rise of Modern China, New York: Oxford University Press Inc.

Ikenberry, G (2008) The Rise of China and The Future of The West: Can the Liberal System Survive?, Foreign Affairs,  January/February Issue.

Johnson, C. (2014) Decoding China’s Emerging “Great Power” Strategy in Asia, Center for Strategic & International Studies, June, tersedia di: http://csis.org/files/ publication/140603_Johnson_DecodingChinasEmerging_WEB.pdf [diakses pada 18 Januari 2015].

Matos, R (2010) Chinese Economic Dragon, tersedia di: www.expresso.pt [diakses 23 Januari 2015].

Rowher, J. (1995), Asia Rising: Why America Will Prosper as Asia’s Economy Boom?, New York: Simon & Schuster.

Thompson, M. (2014) ‘World In China’s Sight: A New Missile Threatens the U.S. Navy’s Biggest Warship – and stability in the Pacific’, TIME, 28 July, p. 28 – 32

Tobin, D. (2011) 29 June 2011 ‘Inequality in China: Rural Poverty persists as urban wealth balloons’,  BBC News Business, 29 June, tersedia di:  http://www.bbc.co.uk/ news/business-13945072 [diakses pada 24 Januari 2015].

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

9 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
terbit
terbit
6 years ago

alhamdulillah tulisannya bagus bu, izin share krn saya lg nyusun skripsi ttng TPP dan AIIB, semoga ibu mengizinkan

refvando
refvando
6 years ago

tulisan nya sangat bermamfaat bagi yg membaca saya izin copy buat analisa makalah saya thx sebelumnya

asmuri
asmuri
6 years ago

BU AMEL mohon izin catatan ibu sya manfaatkan, sya berharap bu amel meng ikhlaskan gaar saaya memperoleh mnfaat

Ibrahim Arsyad
Ibrahim Arsyad
6 years ago

Sayang sekali di Kesimpulan disebutkan…Ekonomi China yang terus tumbuh sejak 30 tahun terakhir telah membuat 500 miliar orang keluar dari kemiskinan..Sedangkan penduduk dunia saja baru kisaran mendekati 6 milyar…Ini yang membuat cerita dari awal sampai menuju kesimpulan yang runtut dan indah…Sangat penting untuk membuat kita waspada…hanya saya menjadi agak ragu dengan paparan isi di atas.

iman bintara
iman bintara
6 years ago

tulisan sangat penting untuk diperhatikan bangsa Indonesia. maaf saya komentari dalam facebook saya. penting bagi kita untuk mensikapi. apakah akan mengalir bersamanya , atau mengambil moment dari itu , atau bagaimana . Saya merasakan kita sedang mengambil bagian di dalam nya.

choromaster
choromaster
8 years ago

Bagaimana dengan Indonesia Bu?

Amel
Amel
8 years ago
Reply to  choromaster

Terima kasih atensinya. Mengenai Indonesia, ada di artikel saya selanjutnya pak.

9
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap