KEAMANAN (STRATEGI) MARITIM :
PERANG DINGIN SAMPAI SEKARANG
Oleh : Budiman Djoko Said
Maritime security is a non-doctrinal term defined as those tasks and operations conducted to protect sovereignty and maritime resources, support free and open seaborne commerce, and to counter maritime-related terrorism, weapons proliferation, transnational crime, piracy, environtmental destruction, and illegal seaborne immigration.
Naval Operations Concept, DoN, 2010, bab-5,
halaman 35.
Perang Dingin Dan Paska Perang Dingin
Perang dingin benar-benar dinikmati oleh pengikut mashab strategi (perang) Maritim. Struktur bi-polar dijadikan basis demonstrasi distribusi kekuatan laut NATO yang signifikan dengan K2 (komando dan kontrol)[1] dengan penekanan kepada kontrol (bukan kendali, pen) di laut yang offensif (offensive sea-control) versus kekuatan Russia serta ekskalasi horizontal dengan menggunakan tangan Komando dilaut oleh Angkatan Laut AS (misal : menyerang Gugus tempur Russia di wilayah Russia timur jauh, apabila Russia menyerang Eropa).[2] Contoh dinamika dan realitas perencanaan penggunaan dan pembangunan (force planning) kekuatan maritim NATO menghadapi Russia dengan menggunakan konsep strategi maritim AS tahun 1986 (Mahanisme) berbasis TBP (threat-based planning) dan bersinarnya pemikiran baru Angkatan Laut tentang “perairan Biru“.
Metodologi ini boleh dikata relatif stabil (selama perang dingin), dengan skenario yang lebih realistik.Metodologi yang dapat dipahami dengan jelas, terdefinisi dengan baik (well-defined), terorkestra serta dimainkan seluruh anggota NATO dengan gamblang dan jelas. Peran yang sangat disadari anggota NATO untuk memainkan strategi penangkalan yang agresif aktif ditambah dengan semangat tempur dan kesiagaan yang tinggi (70-80 % kekuatan)[3], serta kesiapan offensif. Konfigurasi ancaman Pakta Warsawa distatuskan HIC (high intensity conflict), dengan konsekuensi berupa “biaya” yang sangat mahal.[4] Konsep keamanan bagi NATO lebih bersifat “kolektif” (collective security), sedangkan organisasi dunia lainnya seperti PBB, Uni Eropa, Uni Eropa Barat hanya menyentuh peran marginal dalam isu keamanan Timur-Barat[5] saat itu. Usai perang dingin di-tahun 1989, ditandai dengan goyahnya isu keamanan Maritim yang awalnya didominasi oleh pemikiran strategi maritime.[6] Pengertian keamanan maritim meskipun masih samar-samar, namun masih meliput (sementara) keinginan agar rute perdagangan, perniagaan dan enerji benar-benar terasa nyaman dalam tatanan baru (good order). Gambar dibawah merupakan pembagian wilayah keamanan (RSC) baik masa maupun paska perang dingin. Sebaliknya pola pembagian wilayah keamanan maritim masih belum ada, meskipun hadirnya kerangka pikir legal keamanan maritim dan hangat–hangatnya rejim khusus ini mestinya bisa dihadirkan[7], paling tidak.
Gambar no.1 . Pola wilayah keamanan masa perang dingin.
Referensi: “Regions and Powers. The Structure of International Security“, Barry Buzan dan Ole Waever, Cambridge University Press, 2003, halaman xxv. RSC adalah kependekan Regional Security Complex.
Berikutnya pola pembagian wilayah paska perang dingin. Metodologi pemetaan RSC tidak dibicarakan, mengingat konsep membangun RSC tersebut cukup panjang dan pola distribusi RSC bukanlah suatu hal yang permanen.
Gambar no.2 . Pola wilayah keamanan usai perang dingin.
Referensi: “ Regions and Powers.The Structure of International Security“, Barry Buzan dan Ole Waever, Cambridge University Press, 2003, halaman xxvi . Perhatikan perubahan (dibandingkan pola RSC masa perang dingin) RSC di Southern African yang semakin membesar, munculnya European RSC dan menyatunya RSC timur laut Asia dengan RSC Asia tenggara dan RSC Australia.
Usai perang dingin; bagi anggota NATO yang tidak banyak terlibat dalam isu Maritim akan menoleh kembali kepada habitatnya yakni strategi kontinental. Namun tidak bagi negara yang masih menaruh perhatian kepada isu Maritim (dan lebih pantas disebut negara maritim) sebagai promosi dan media kepentingan nasional, lokal maupun regionalnya. Negara-negara ini masih memerlukan strategi maritim sebagai kepanjangan tangan kebijakan maritim (Maritime’s policy)[8]dengan prasyarat hadirnya regim maritim yang stabil (stable regime) atau bisa disebut hadirnya keamanan maritim. Regim maritim yang tidak stabil misalnya, konflik di SLOC, pertengkaran perbatasan maritim (boundaries maritime’s disputes) maupun isu dalam regim khusus (ZEE, landas kontinen, zona tambahan, zona perikanan, penambangan, dll) dalam hukum laut internasional, dan itu diduga akan banyak terjadi di negara Asia Pasifik. Belum lagi kehadiran negara dengan kekuatan (laut) perairan Biru baru seperti China, India yang tentu akan menimbulkan konsekuensi dalam isu keamanan maritim regional. Pemaknaan keamanan sudah sangat bergeser dengan adanya kerangka legal yang diliput bagi kepentingan supranasional, regional, transnasional, lokal, dan masih banyak lagi sempalan-sempalan muatan isu keamanan dan itu terjadi masing-masing dalam domain maritim. Bila dikonfrontasikan dengan instabilitas paska perang dingin, paradigma perencanaan penggunaan dan pembangunan kekuatan militer sudah bergeser jauh dari sekedar kontrol dilaut (sea-control) dan atau penolakan dilaut (sea-denial) akan tetapi lebih didekatkan kearah pantai (littoral) dalam rangka mendukung kekuatan darat versus peperangan kecil (small wars)[9]atau peperangan panjang (long wars) — sebagai penugasan utama Angkatan Laut dalam operasi gabungan dimasa mendatang. Untuk sementara mitra keamanan maritim yakni “a good maritime’s governance” tidak dibahas sama sekali dalam makalah ini.
Upaya Perundang-Undangan Kekuatan Maritim
Sejarah hukum laut internasional di laut sampai dengan pertengahan abad 20 sebenarnya didominasi oleh bangsa Eropa waktu itu. Eropa dengan teknologinya maritimnya tidak saja kapabel menjarah wilayah sampai semua penjuru dunia, namun juga membangun jejaring aliran perniagaan dan perdagangan. Kapasitas seperti ini tidak tumbuh begitu saja tanpa kehadiran kekuatan maritim dalam hal ini kekuatan lautnya. Kekuatan (jumlah dan daya rusaknya) sebagai mesin pengatur aktivitas dilaut didukung dengan teknologi maju. Dampaknya kekuatan laut diandalkan pemiliknya guna mengontrol (damai-penangkalan, blokade, kompel dan perang-kontrol dilaut, penolakan, proyeksi kekuatan, periksa tabel no.1 dibawah ini) dan mengatur akses menuju dan masuk perairan yang mereka kontrol baik guna kepentingan perang maupun kepentingan lain-lain.[10]
Tabel no.1. Berbagai peran per masing masing kategori Angkatan Laut di dunia
Referensi: Geoffrey Till, “Seapower, A Guide for the Twenty-First Century”, halaman 117.
Munculnya “mare liberum“ tahun 1608 ajaran Grotius tentang kebebasan menggunakan laut dengan berbagai alasan[11], merupakan ajaran yang memaknai kebebasan menggunakan laut, bebas bernavigasi keseluruh penjuru; nyaman membangun perdagangan dan mendapatkan keuntungan, benar-benar dimanfaatkan negara kolonial Eropa yang signifikan membangun dirinya sebagai negara maritim yang capabel dengan dukungan Angkatan Laut yang kuat — perlombaan antara negara maritim Eropa (baca kekuatan Angkatan Lautnya) khususnya pembangunan kekuatan lautnya tidak terbendung lagi.
Perkembangan situasi ini paralel dengan pertumbuhan industri — domain maritim dengan elemen lautnya benar-benar diunggulkan sebagai poros perniagaan dan perdagangan sekaligus membuka pasar baru di daerah yang tadinya tertutup.[12] Lebih dari dua dekade lamanya hukum maritim internasional berusaha keras mengembangkan aturan main guna menghindarkan terjadinya perang antar negara di-laut. Berbagai kesulitan selama periode tersebut, namun hukum maritim internasional berusaha mempengaruhi penggunaan kekuatan Angkatan Lautnya dengan mempertahankan cara-cara yang normatif. Dewasa ini sepertinya keinginan menghindari peperangan di laut telah mengerucut dan mengarahkan kekuatan maritim masing-masing negara menuju tatanan baru yang lebih baik (good order) dengan memfasilitasi keamanan maritim. Pergeseran yang tidak mudah, berbasis pengalaman setiap negara maritim mengelola kemaritiman yang berbeda kemudian diarahkan ke-suatu arsitektur yang lebih kooperatif, konstruktif, dan prospektif seperti membangun kemitraan dalam bidang keamanan pelabuhan, pantai/pantai pedalaman, sungai, teluk, dan perairan yang bisa dilayari pada umumnya, memperluas jangkauan kesadaran domain maritim[13], dan menjaga kemungkinan terjadinya serangan ataupun ancaman yang berasal dari laut. Sungguh kontras dengan penonjolan hukum yang dibuat terhadap kuasa laut (sea-power) semenjak konvensi tahun 1899, meluas dan berkembang sampai dua (2) peperangan besar, dan diakhir perang dingin memfokuskan ke materi regim kontrol pembatasan persenjataan ke Angkatan Lautan (naval arms control) dan memperhalus hukum peperangan laut (naval warfare) seolah-olah membangun dinding pembatas antara dua (2) atau lebih kekuatan laut yang berseberangan.
Peraturan atau UU tentang maritim dirancang untuk memelihara perdamaian atau mencegah ekspansi meluasnya peperangan dilaut dengan mengontrol jenis serta jumlah sistem senjata dan mengurangi perilaku provokasi yang mengundang risiko peningkatan ekskalasi. Sekarang ini, peraturan diupayakan mengarah kepada pengurangan friksi dan membangun kepercayaan antar aktor — perjanjian tentang regulasi maritim internasional guna menebarkan keselamatan dan keamanan melalui jejaring (network) dan koalisi. Kelembagaan hukum telah menjadi katalis untuk membulatkan koordinasi antar aktor dan distribusi kuasa laut[14]dan menyebarkan peraturan atau hukum laut — konsekuensinya secara strategi, operasional dan landskap politik laut telah berubah dengan pasti. Konsekuensi lain, laut telah dijadikan subyek dari perubahan atau perbaikan hukum, peraturan, dll, namun kehadiran teknologi akan sulit dibendung perkembangannya dan menahan keinginan pengguna teknologi untuk menjadikan laut sebagai mandala peperangan laut modern. Teknologi selain bisa dimanfaatkan oleh aktor bahkan non-aktor pun memanfaatkannya, yang terakhir ini memanfaatkan sebagai sistem senjata asimetrik melawan aktor yang memiliki kekuatan lebih unggul. Serangan asimetrik yang dilakukan teroris paska 9-11, sepertinya mengeksploitasi peringatan keras kedunia industri maritim (agregat keamanan maritim) yang umumnya jauh lebih lemah terhadap serangan asimetrik dibandingkan rekannya dari dunia industri penerbangan. Ditambah ketergantungan kepada isu perdagangan global lewat laut dengan indikator sampai saat ini masih banyak negara maritim (atau yang menyatakan dirinya maritim) yang memiliki masalah kesiapan dan capaian tingkat keamanan yang rendah seperti: sertifikasi awak kapal, sertifikasi pelabuhan (ISPS), kesulitan memonitor setiap kapal yang berlayar dari dan menuju pelabuhan lainnya dalam waktu riil (real-time), dll.[15]
Situasi ini banyak menimpa beberapa negara di Asia mengingat bangsa Asia lebih banyak tinggal didaerah maritim dan dekade ini diprediksi Asia akan menjadi pemain penting dalam pasar enerji dunia dan internasional enerji politik. Sehingga perlu dipertimbangkan kaitannya dengan regim kerangka pikir legal — mulai dari keamanan maritim global, regional, lokal, dan domestik, misal aplikasi kewaspadaan domain maritim (MDA), ISPS code, dan SUA. Padahal mengikuti kerangka legal seperti itu tentu saja akan membutuhkan upaya dan “biaya” yang luar biasa besarnya. Konsekuensinya Asia harus mewaspadai kenaikan permintaan enerji dan harus memiliki inisiatif pengamanan terhadap jalannya pasokan enerji dunia.Akhirnya upaya regulasi tentang pelaksanaan kerangka legal keamanan maritim sepertinya akan menjadi agenda utama setiap negara maritim, suka atau tidak suka.
Konsep Keamanan
Selama perang dingin, komentator atau pengamat strategi maritim lebih sering mengkritisasi salah satu ajaran Mahan yang menyatakan bahwa capaian (performance) tingkat keamanan dicapai melalui komando dilaut[16](command at sea) dengan strategi yang lebih offensif dan fokus untuk menggulung kekuatan “perairan Biru“ lawan yang memiliki Armada Tempur di-laut yang lebih terbuka dan diruang yang lebih luas. Mengecilnya peluang terjadi pertempuran besar dilaut terbuka usai perang dingin dan bergesernya potensi konflik kearah domain maritim, membuat pengertian keamanan maritim sangat tergantung kepada siapa pengucapnya (yang menggunakannya) atau dalam konteks apa digunakan pengertian tersebut. Dari kacamata militer, keamanan maritim secara tradisional akan difokuskan kepada isu keamanan nasional dan kepentingan nasional khususnya pengertian tentang proteksi kedaulatan dan integritas teritorial terhadap siapa saja aktor yang akan memproyeksikan kekuatannya. Bahkan perspektif pertahanan nasional terhadap keamanan nasional dalam publikasi yang dikeluarkan AL – AS lebih tegas lagi untuk menyatakan aksi mendukung keamanan maritim dengan kalimat “operasi keamanan maritim“.[17]
Bahkan dalam promosi ke dunia luar tentang strategi nasional menyebutkan persepsinya tentang keamanan maritim adalah sebagai “end-state“ produk dari strategi nasionalnya dengan menyebutkan; the national strategy for maritime security.[18] Tidaklah semudah itu awal-awalnya menekankan konsep keamanan maritim. Apabila ditinjau dari sifat konsep keamanan yang bisa dilihat sebagai sesuatu yang bisa berkembang kemana-mana, bisa kedalam (dari keamanan nasional ke keamanan individu) atau keluar (dari keamanan nasional, regional, ke-keamanan global) atau horizontal (dari militer ke politik, ekonomi, dll), tidak heran definisi keamanan sendiri sungguh sulit dikerangkakan. Malangnya kebanyakan teori tentang keamanan awal-awalnya belum pernah ada yang memfokuskan dirinya kepada maritim, sehinggga perlu menempatkan (sementara) pengembangan konsep keamanan maritim dalam konteks debat sehingga berpeluang melebarkan konsep keamanan.
Melebarnya konsep ini, dapat dikenali implikasinya terhadap kebijakan (policy), terhadap kekuatan maritim, kekuatan Angkatan Laut atau terhadap strategi maritim. Melebarnya konsep tersebut diharapkan akan dikenali mana-mana yang bisa kurangi agar dapat memfokuskan dirinya kepada konsep keamanan yang dicari — keamanan maritim. Kesulitan lain; meskipun ide/inisiatif keamanan maritim telah digunakan secara meluas namun masih sebatas diindahkan sebagai salah satu isu keamanan non-tradisional yang hadir di regional tertentu. Alhasil tidaklah bisa disalahkan sementara ini kalau pengertian keamanan maritim telah memberikan arti berbeda-beda pada orang, kepentingan organisasi, kepentingan politik dan lebih-lebih pada ideologi yang “bias”.[19] Meskipun Till, pertengahan tahun 1990, pernah menulis bahwa “… ada kebutuhan kuat untuk bisa menjelaskan kenapa diperlukan keamanan dan kesejahteraan maritim dimasa mendatang? Beliau menambahkan ”…jauh dari kemudahan untuk menemukan phrasa “keamanan maritim” dengan pengertian yang sangat jelas“. Awalnya definisi keamanan maritim memang direfleksikan dalam pengertian yang lebar dan luas untuk diperdebatkan dalam ruang (dimensi) keamanan[20], dengan konsekuensi semakin mengaburkan artian keamanan maritim itu sendiri. Akhirnya kembali dicoba didekati dengan pengertian yang lebih sederhana, lebih mengerucut memenuhi harapan untuk lebih dimengerti dan dipahami. Bisa saja muncul pengertian melihat dimensi keamanan dan atau dari elemen maritimnya, kemudian diaplikasikan dalam ruang maritim, misal: “keamanan lingkungan maritim“, atau “keamanan maritim yang komprehensif“ atau “keamanan maritim yang kooperatif[21]“ atau “keamanan terhadap entiti/elemen domain maritim“.
Cara ini kalau diikuti pasti akan menimbulkan daftar definisi yang sangat panjang. Till, akhirnya mengajak untuk mengembangkan ide untuk menjawab pengertian keamanan maritim yakni menuju “tatanan yang baik dilaut” (good order at sea). Mengingat laut adalah sumber daya, medium untuk berniaga dan pertukaran informasi serta sebagai lingkungan dan tentu saja akan menghadapi risiko dan ancaman terhadap berlangsungnya tatanan yang baik di-laut itu. Apabila ini berhasil diatasi, dipastikan akan menjamin kelangsungan hidup manusia dan sekaligus maritim akan menjadi tempat bergantungnya kelangsungan hidup manusia[22], bahkan menjadi “tradition…that those who use the oceans should do so in peace and security”. Universitas di Dalhousie menegaskan ajakan Till sebagai pembulatan bahwa konsep keamanan maritim adalah suatu proses untuk menjamin dan mempertahankan stabilitas dalam sistem internasional diatas, di, melalui, dibawah dan dari laut.[23] Ide pak Till semakin mengerucut kepada definisi yang semakin kokoh, dan menjadi tugas besar[24] yang melibatkan banyak entiti dari internasional, publik dan sektor privat yang mengarah ke-bagaimana melindungi atau menjamin kekebasan di-laut, memfasilitasi dan melindungi perniagaan dengan memelihara aturan, atau regulasi atau tata kelola[25] (govern-governance) di-laut. Tentu saja kekuatan transnasional dan tidak beraturan (irregular forces)[26]sebagai kelompok pengancam tidak akan berdiam diri dan akan terus menerus mencoba mengalahkan tatanan baru dilaut demi kepentingan mereka sendiri. Kekuatan asimetrik inilah menjadi ancaman utama dewasa ini dan sungguh mudah ditebak dimasa depan akan terus mengancam semua aktivitas elemen domain maritim. Definisi keamanan maritim semakin membulat dengan pernyataan bahwa keamanan maritim adalah suatu kombinasi preventif dan responsif yang terukur guna memproteksi elemen doman maritim menghadapi ancaman dan niat serta tindakan yang melawan hukum.
Sedangkan elemen-elemen yang dianggap bagian dari keamanan maritim adalah perdamaian internasional, dan nasional serta keamanannya, kedaulatan, integritas teritorial dan kebebasan politik, keamanan SLOC, perlindungan kejahatan yang dilakukan di-laut (semua kendaraan diatas air, nelayan), keamanan sumber daya temasuk aksesnya ke sumber daya di-laut dan dasar laut, perlindungan lingkungan maritim beserta infrastrukturnya.[27] Setelah berhasil mendefinisikan pengertian keamanan maritim dan menyimpulkan langkanya definisi yang universal, lebih baik memikirkan hal-hal yang lebih penting atau diprihatinkan bersama yakni melalui pendekatan “komprehensif”. Sesuai saran Sam Bateman[28], agar muncul referensi atau persepsi yang relatif sama, sebagai acuan tindakan preventif maupun reponsif yang sama versus ancaman. Dengan disadarinya karakter laut dan elemen domain maritim telah berubah. Mulai dari ruang terbuka dan kebebasan sebagai suatu “aturan”, sekarang bergeser dalam satu ruang yang sama, dipakai bersama, dalam domain yang sama, luas dan besar serta dalam namun mudah retak, tentu saja sangat membutuhkan (necessary) manajemen mendunia dan tindakan proteksinya. Harus disadari bahwa pendekatan emosional sektoral hanya akan memberikan keterbatasan “sukses“ maka pendekatan “komprehensif” jauh lebih bermanfaat. Pendekatan ini akan melibatkan juga pelibatan kolaborasi. Kolaborasi kewenangan nasional dan internasional yang memiliki kepentingan dan harapan yang sama dalam ruang domain maritim. Semua pihak dituntut untuk bertanggung jawab untuk meminimalkan, menghentikan, atau setidak-tidaknya mengontrol ancaman dalam domain maritim dengan cara yang paling efektif — melalui MDA (atau maritime domain awareness).
Kesimpulan
Menarik untuk mengikuti perkembangan keamanan maritim. Negeri ini dengan begitu luas dan lengkapnya elemen domain maritim yang hadir, sungguh disayangkan untuk tidak diberdayakan semaksimal mungkin.Mencermati hanya satu (1) elemen domain maritim yakni laut, atau kelautan sendiri sungguh begitu besarnya potensi yang dapat digunakan, apalagi ditambah yang lain seperti sungai, teluk, pantai, dll. Kelangkaan policy maritim dan strategy maritim (apalagi dengan format strategi nasional untuk keamanan maritim) dan peran pemangku yang mengontrol semua elemen domain maritim (bukan hanya kelautan saja) akan menjadikan elemen DM menjadi potensi kesejahteraan yang terpinggirkan.
Potensi untuk mensejahterakan akan sama besarnya dengan potensi ancaman tidak beraturan (irregular threat) dengan serangan asimetriknya (asymmetric warfare) untuk memecah-memecah potensi tersebut bagi kepentingan mereka. Menarik hubungan kausal antara hadirnya keamanan maritim dengan “maritime law enforcement“ dan “maritime law operational“ sekaligus menyimak ulang saran[29] pak Dirhamsyah a.l: Maritime law enforcement in Indonesia is confronted by several challenges, incl: lack of funding, facilities, trained personnel, interagency coordinating mechanism, environtmental awareness, the absence of integrated laws, dan terakhir yang paling kritikal; lack of political will and commitment. Rangkaian penalaran dari hadirnya keamanan maritim — hadirnya law enforcement dan law operational enforcement — kemudian hadirnya a good maritime governance [30]— dan hadirnya kesejateraan rakyat, sepertinya masih menjadi impian bangsa. Hadirnya strategi keamanan nasional dan strategi nasional per bidang instrumen kekuatan nasional (yang dipilih) juga masih samar-samar. Tidak hadirnya upaya menginstrumenkan maritim (membuat strategi nasional bagi kepentingan keamanan maritim yang terdokumentasikan dan disetujui DPR) barangkali akan menunda bukan saja impian pak Dirhamsyah bahkan pak Rohmin Dahuri yang bercita-cita membangun negara maritim dalam waktu dekat.[31] Seharusnya disadari bahwa keselamatan dan ketahanan ekonomik bergantung kepada “jaminan keamanan dan keselamatan“ laut[32]sebagai elemen DM. Sekedar sisipan betapa pentingnya domain maritim bagi kelangsungan hidup bangsa hadir dalam kalimat dibawah ini.
Because the maritime domain — (yakni) the world’s ocean, seas, bays, estuaries , islands, coastal areas, littorals, and the airspace above them — supports 90 % of the world’s trade, it carries the lifeblood of a global system that links every country on earth. – Introduction,“ A Cooperative Strategy for the 21 st Century Seapower “ (US DoN, USCG,USMC[33])
[1] Penulis lebih suka menyebut komando dan kontrol sebagai singkatan K2, daripada komando dan kendali, mengingat fungsi dan perilaku kendali lebih banyak diliput dalam pengertian kosa kata Komando.
[2] Andrew Dorman, Palgrave & McMillian, 1999, “The Changing Face of Maritime Power “, edit oleh Andrew Dorman dalam bab-1 dengan judul, ”Tradition and Innovation In Maritime Thinking“, oleh Mike Lawrence Smith dan Matthew R H Uttley, halaman 1.
[3] Dengan menyiapkan kekuatan guna mendukung strategi penangkalannya, dengan catatan kekuatan yang sudah siap diarea penangkalan akan segera siap bertarung (komit) apabila penangkalan ternyata gagal.
[4] Budiman Djoko Said, FKPM, QD, www.fkpmaritim.org “Evolusi methodologi perencanaan kekuatan militer: belajar dari negara lain”, … pilihan TBP membuat “biaya” menjadi sangat mahal, dikarenakan jumlah asset tempur yang disiapkan merupakan produk pelibatan satu lawan satu sampai dengan kelompok lawan kelompok (group-on-group engagement), hasilnya jumlah kekuatan agar “menang” per setiap area pelibatan. Logikanya pelibatan ini hampir pasti akan dimenangkan apabila jumlah asset yang digunakan lebih besar dari kekuatan Pakta Warsawa — terjadilah perlombaan besaran-besaran jumlah kekuatan dan konsekuensi “biaya” menjadi sangat besar. Boleh jadi pakta Warsawa melakukan hal yang sama, sehingga “biaya” yang disiapkan menjadi sangat besar (kedodoran) akhirnya “terpaksa” menghentikan konflik perang dingin ini.
[5] Andrew Dorman, Palgrave & McMillian, 1999, “The Changing Face of Maritime Power“, edit oleh Andrew Dorman dalam bab-1 dengan judul,”Tradition and Innovation In Maritime Thinking “, oleh Mike Lawrence Smith dan Matthew R H Uttley, halaman 1.
[6] Ciri-ciri by literatures, a.l:paper, atau tulisan yang membawakan konsep atau substansi teori Mahan, sudah sangat jarang sekali hadir.
[7] LOSC, Law Of the Sea Convention.
[8] Strategi merupakan turunan dari policy (kebijakan).
[9] Small Wars atau Peperangan kecil (atau pendek?) menurut Wilkipedi adalah operasi yang resmi dilakukan, bisa saja digabungkan dengan kekuatan diplomasi guna ikut menekan kelompok “pemberontak” ini baik dari luar maupun dalam negeri. Bagi USMC digunakan untuk melakukan prosedur perang gerilya (Small Wars Manual). Sebaliknya Long Wars diusulkan istilahnya sebagai pengganti GWOT(general war on terrorism). TNI/Kemhan perlu suatu kamus umum pertahanan nasional, agar memiliki persepsi yang sama,
[10] Rothwell, Donald R, dan Stephens, Tim, Oxford, 2010, “The International Law of the Sea”, halaman 2. Till, lebih menjelaskan kekuatan laut dengan kelasnya yang kapabel menjalankan perannya, periksa juga gambar dari halaman 99 dengan judul buku “Seapower, A Guide for the Twenty-First Century”, CAAS, 2004, halaman 99.
[11] Ibid, halaman 3. .. thn 1635, muncul ajaran John Selden yakni “mare clausum“ (laut yang tdk bebas mutlak) sebagai konsep yang melawan mashab Grotius.
[12] Ibid, halaman 250.
[13] Menurut kamus DHS (US Dept of Homeland Security/DHS AS), maka definisi Domain Maritim (DM) adalah area atau benda yang ada, di, dalam, dibawah, berdekatan, berkaitan dengan, berbatasan dengan laut, kelautan (termasuk dasar lautnya tentu saja),sungai, teluk, pantai, delta, sungai, selat, atau semua perairan yang dapat dilayari , termasuk kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas maritim, infrastruktur, orangnya, kargo, kapal/perahu dan semua alat angkutnya. Sedangkan kesadaran domain (MDA/maritime domain awareness) dapat didefinisikan sbg suatu cara yang effektif untuk mengatasi ancaman terhadap elemen DM dalam bentuk kolaboratif.
[14] Sementara belum ada kamus standar, sea-power diterjemahkan kuasa laut – untuk tidak membingungkan. Menurut Till, bicara tentang kuasa laut akan bicara seputar kekuatan maritim (maritime power) dan kekuatan angkatan laut (naval power) — sea-power = maritim-power + naval-power.
[15] Tan, TH, Andrew, Palgrave, 2011, “Security Strategies in the Asia –Pacific : The US “Second front in Southeast Asia””, halaman 59-60. Konon kabarnya di Indonesia baru mencapai kl 4 (?) pelabuhan besar yang memiliki ISPS kode, dan tambahan beberapa pelabuhan lagi 2-3 tahun mendatang.
[16] Dorman, Andrew, Senior Lecturer Defense Studies Dept, Joint Service Command and Staff Coll dan Smith, Mike Lawrence, Lecturer, Dept of War Studies, King’s College, London “The Changing Face of Maritime Power“, halaman 5. Ajaran Mahan ini benar-benar diikuti dengan konsekuensi isu usai perang dingin dengan tidak perlu hadirnya kekuatan besar Armada tempurnya dilaut tebuka, dan kekuatan Armada AS dan sekutu lebih digeser ke arah perairan dangkal atau pantai (littoral).
[17] Klein, Natalie dan Mossop, Joanna, dan Rothwell, Donald R, Routledge, 2010, “Maritime Security, International Law and Policy Perspectives from Australia and New Zealand“, halaman 5-6.
[18] Perhatikan bahwa instrumen yang digunakan untuk mengatasi keamanan maritim adalah seluruh strategi nasional (terorkestra) tidak lagi menjadi dominasi strategi domain maritim, namun dengan penjurunya adalah semua strategi nasional atau … strategi keamanan nasional. …… the national strategy for maritime security, artinya strategi nasional (strategi keamanan nasional) akan medukung tercapainya salah satu kepentingan nasional (a.l: regim maritim yang stabil atau a good maritime’s governance).
[19] Christopher Rahman, University of Wolongging, Research on Line, 2009, “Concepts of Maritime Security : A Strategic Perspective on Alternative Visions for Good Order and Security at Sea, with Policy Implications for New Zealand“, CSS diskusi, halaman 29.
[20] Ibid, halaman 29.
[21] Ibid
[22] Ibid, hal 29.
[23] Ibid, halaman 29, a Dalhousie University study defined maritime security as “a process of maintaining stability in the international system on, over, under and from the sea.”
[24] Lutz Feldt, et-all, ISPSW, Germany, 2013, “Maritime Security—Perspectives for a Comprehensive Approach“
[25] Good order, atau good governance, vice-versa relatif sama artinya, beberapa literatur menggunakan kalimat good order, beberapa menggunakan good governance , sementara penulis menterjemahkan dengan kata “ tata-kelola “.
[26] Opcit,….transnational forces and irregular challenges continue to be the primary threat to day and in the foresee able future, especially in the maritime domain.
[27] Ibid, halaman 3.
[28] Rolls, Mark, Dr, Waikato University, New Zealand, paper, “Maritime Security in the Asian Region : A New Perspective“, dalam India-New Zealand, Track-II, dialogue, IDSA, New Delhi, Dec 2011.
[29] Dirhamsyah, Paper, 2005, Journal Maritime Studies, “Maritime Law Enforcement and Compliance in Indonesia: Problems and Recommendations”, halaman akhir / saran, sekarang ybs Doktor di IIS, Research Centre for Ocenaography, Jl Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakut. Menarik juga didalam tabel ada 11 agensi yang tumpang tindih peran dan fungsinya di Indonesia versus isu maritim … belum ada solusinya sampai sekarang, bayangkan ada 11 agensi/infrastruktur/insitusi yang saling melibatkan diri satu sama lain.
[30] Merupakan jantung dari regim maritim yang stabil, konteknya adalah politik internasional dan kerangka legal (legal framework) , dipayungi oleh LOSC .
[31] Dr Rohmin Dahuri, Harian Kompas, Jumat tanggal 17 Jnauari, 2014, “Siapa Kuasai Lautan, Kuasai Dunia“, halaman 7.
[32] Department of Homeland Security, Sept, 2005, “The National Strategy for The Maritime Security“, halaman 1.
[33] DoN = Dept Of The Navy. USCG = US Coast Guard, USMC = US Marine Corps.