… JADI, DOKTRIN YANG MANA?

Images funny’s military doctrines, Google’s Search, 28/2/2018, 2:35.
  — Doctrine is not just what is taught, or what is published, but what is believed… (Army Doctrine Publication; Army Doctrine Primer, MoD British Army,2011).

Oleh Budiman Djoko Said

 

Pendahuluan

Pemahaman sederhana tentang doktrin adalah suatu prinsip, posisi, atau pemikiran bijak atau nasehat yang harus di-ikuti dan di-jalankan. Sedangkan pemahaman tentang doktrin militer adalah … fundamental principles by which the military forces or elements thereof guide their actions in support of national objectives. It is authoritative but requires judgment in application [1]. Doktrin bukan dominasi militer bahkan non – militer-pun sudah mengenalnya, misal: doktrin Katholik, Monroe, Marty (Natalegawa) dll[2]. Era tahun 1970-an, TNI–AL mengenal doktrin operasional yang disebut Purangla (publikasi perang laut)[3] di-ikuti dengan nomer seri yang menunjukkan divisi kepentingannya. Konon kabarnya tahun-tahun sebelum itu, Purangla selalu menjadi rujukan latihan tempur dilaut. Di-lingkungan Kemhan kategorisasi doktrin sudah dikenal dengan doktrin dasar, doktrin operasional, dan doktrin angkatan, dll. Doktrin operasional dilingkungan TNI-AL (seri Purangla) mungkin sampai tahun 1975-an populair digunakan. Doktrin operasional untuk gabungan sepertinya belum ada waktu itu. Setelah tahun 1975, Purangla kalah populair dengan doktrin operasional/taktik laut yang biasa digunakan kekuatan maritim NATO (baca Allied ~ Sekutu) yakni ATP (Allied Tactical Procedures ~ tactical doctrine) [4] dengan urutan nomer serinya tergantung kepentingannya. Kemunculan doktrin TNI-AL, nampaknya kurang tercatat dalam sejarah perkembangan doktrin, bisa saja dikarenakan publikasi yang telah ada tidak di-olah lagi atau sepertinya muatannya mirip-mirip sama. ATP dengan nomer serinya lebih mengikuti irama dan perubahan technology (baca RMA) dan hasil eksperimen ilmiah (teknik operasi riset dan analisis perang laut). Analisis ilmiah dan penggunaan teknik statistik sudah menjadi cara yang populair dan serius dikerjakan untuk membuat effektifitas system senjata atau asset yang di-miliki lebih berdaya guna dan effisien. Hasil riset atau eksperimen tersebut menjadi kapabilitas system baru dan doktrin baru sesuai dengan kecenderungan peperangan (warfare) baru dan kemudahan teknologi (RMA) [5], periksa gambar bawah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ilustrasi sederhana ini menggambarkan doktrin dengan sista dan asset (utamanya asset baru) yang ada harus di-evaluasi [6] (kolom eksperimen & evaluasi), hasilnya akan menjadi doktrin baru yang dievaluasi dengan konsep kapabilitas[7]. Besar kecil harga kapabilitas (penulis memilih kata kapabilitas/bukan kemampuan, mengingat ability bisa disamakan juga dengan kebisaan/ kesanggupan, namun masih belum bisa disebut  kemampuan sebenarnya) perlu membangun model kapabilitas[8]. Isu doktrin dalam makalah ini fokus kepada aktor negara saja. Isu ini bisa saja berkembang lebih jauh membahas doktrin versus aktor non-negara (terrorisme, insurjensi, hybrid, dll), ethika & moral (justifikasinya), moral versus misi peace keeping, peace making atau peace building, otoritasnya dan teori sekedar perang tradisional (just war traditional) dan ekses lain-nya menjadi terlalu luas untuk di-bahas  [9].

Perkembangan doktrin laut di-negara maritim besar,

Dokrin adalah sekumpulan kepercayaan atau prinsip yang dipegang teguh dan di-ajarkan. NATO menterjemahkan sebagai … fundamental principles by which military forces guide their actions in support the objectives[10]. Doktrin militer lebih banyak memuat prinsip fundamental yang menuntun bagaimana kekuatan militer digunakan untuk beraksi [11]… bagaimana professional atau elit bisa mempercayai kalau prinsip yang diisyaratkan tidak membuat orang percaya—tidak beralaskan ilmiah. Tiap Angkatan memiliki doktrin operasional masing-masing, suatu ihwal umum dinegara manapun. Kalimat ini cocok dengan komen basic doktrin USAF … one way to explore good doctrine is to use a ”compare and contrast” model to walk through some key issues… this technique also amplifies the point that doctrine should be written broadly, allowing decision makers latitude in interpretation and flexibility in application, yet be specific enough to provide informed guidance. This technique also illustrate the use of doctrine in explaining contentious issues and how doctrine can be used to think more effectively about the best means to integrate various aspects of military power and organization[12]. Mungkin ini yang paling cocok definisi MoD Inggris, bahwa doktrin adalah instruksi bertarung atau bertempur—fighting power adalah produk dari komponen tersebut diatas[13]. Bila di-gambarkan secara lengkap seperti dibawah ini:

Referensi : Army Doctrine Primer, Question – 1, halaman I – 4, date May, 2011

 

Bagi negara-negara maritim dalam sejarahnya, doktrin Angkatan Laut sudah lama hadir yakni semenjak perang Sepanyol sekitar tahun 1270-an. Meski bukan dalam format atau sebutan sebagai doktrin, lebih kepada sebutan instruksi untuk bertarung (Fighting Instructions) khususnya yang berkembang di negara Eropah. Sepertinya perkembangan doktrin operasi laut dinegara maritim diawal tahun 1900-an justru berkembang menjadi publikasi formal sebagai petunjuk operasi dan taktik bagi unit kekuatan maritim-nya. Alamiah untuk menerima kenyataan bahwa dokrin operasi laut akan lahir berkembang dan terevaluasi mengikuti dan mencontoh organisasi kekuatan negara maritim besar yang memiliki pengalaman tempur riil dilaut dalam jangka panjang. Doktrin didorong kedalam publikasi taktik formal, menjadi bahan bacaan utama elit professional, perwira militer, komandan tempur dan menjadi perhatian serta fokus ilmuwan yang akan memperbaiki doktrin. Meski bisa jadi beberapa doktrin tidak sempat tertulis dengan baik, namun sebagian besar sungguh memiliki kekuatan luar biasa. Mengingat ruh publikasi tersebut memuat kisah pengalaman pertempuran di-laut atau selama latihan yang sungguh sungguh, hasil godokan pemikir di sekolah elit Angkatan Laut atau hasil pemikiran bersama petinggi Angkatan Laut negara negara sahabat. Sungguh luar biasa proses pematangan “ruh” publikasi ini, menjelang perang dan selama peperangan sesugguhnya di-laut, publikasi ini menjadi semacam rujukan “kuat” (bisa saja berperan sebagai inject, input atau influence). Kuat disini mengisyaratkan betapa dalam-nya kepercayaan para elit dan professional di-laut ini untuk mendayagunakan kekuatan “ruh” ini untuk memenangkan pertempuran dan sekaligus menyelamatkan nyawa para professional dan pendukungnya selama pertempuran di-laut ini. Bahkan Dr James J Tritten[14], menyatakan bahwa menjelang perang dunia –II pecah, publikasi perang laut Angk Laut AS telah menjadi rujukan formal, matang dan tersentralisir sebagai “doktrin” yang absah (dan bukan perintah) kepada Panglima Armada sebagai rujukan pelaksanaan pertempuran. Armada Pasifik AS menjalankan pertempuran atau pelibatan sesuai instuksi sentral yang dimuat dalam doktrin yang ada. Instruksi sentral tersebut disebut US Fleet Doctrine and Tactical Orders (USF-10), Current Tactical Orders and Doctrine US Pacific Fleet (PAC-10), dan publikasi lainnya sebagai pelengkap termasuk publikasi cara pelibatan per setiap jenis unit atau kapal yang di-miliki[15]. Bergabungnya kekuatan maritim lainnya dalam suatu kekuatan besar sekutu selama perang dunia – II sungguh menguntungkan termasuk pencerahan dan up-dating publikasi perang laut yang dimiliki kekuatan Sekutu. Contoh: Inggris sepertinya memberikan sumbangan besar a.l dengan publikasi Instruksi Proteksi Konvoi Atlantik-nya  dan nampaknya Angk Laut AS bisa menerimanya sebagai doktrin di-laut[16]. Perang dengan kesibukan para profesional militer dilapangan tetap berjalan terus sedangkan dibarisan belakang professional ilmiah terus berjalan memperbaiki doktrin yang ada. Proses ini nampaknya tidak mengganggu kegiatan dilapangan, justru parallel untuk menjadi lebih baik. Isu PAC-10 memberikan isyarat bahwa Angk Laut AS telah mempertimbangkan benar-benar pengalaman perang di-laut agar terus menerus di-perbaiki dan dapat menjadi pertimbangan sebagai doktrin regional atau gabungan. Di-tahun 1960-an, doktrin resmi tersebut diberi nama NWP-1 (Naval Warfare Pub – 1) dengan judul Strategic Concepts of the US Navy, malah dirasakan oleh Komandan dilapangan tidak gamblang menjelaskan bagaimana Angk Laut AS harus bertempur[17]. Apapun juga perkembangannya, doktrin tersebut ditandatangani dengan resmi di-tahun 1994 oleh petinggi Angk Laut dan Marinir. Sebagai tiang/penjuru (capstone) dokumen, doktrin tersebut telah menjembatani antara komponen strategi pertahanan maritim dengan taktik, dan teknik serta prosedurnya (TTP). Oleh karena muatan dalam doktrin tersebut berisikan penggunaan kekuatan maritimnya disemua tingkat ancaman, serta prinsip-prinsip bertempur dan berperang, tentu saja sangat berpengaruh kuat sebagai kerangka kerja yang patut digaris bawahi dan dirujuk. Doktrin Angkatan Laut menjadi langkah awal sebagai rujukan umum menuju instruksi pertarungan di-laut, sebagai catatan beberapa rujukan tersebut (NWP-1, dan NWP lainnya) telah dimiliki TNI-AL sebagai referensi yang diberikan Angk Laut AS kepada TNI-AL melalui Lemdik (dengan siswa asal TNI-AL) maupun Armadanya (saat lat-ber).

Doktrin vs policy, strategi, operasional, taktik atau administrasi?

Konsep doktrin modern mencoba menghindari terlalu kaku, hal ini dibuat agar tidak cenderung bergerak ke-arah dogmatik [18]. Doktrin tidak semudah ucapan yang muncul, misalnya:doktrin operasi gabungan [19] bisa saja berupaya mensinergikan atau menkolaborasikan semua Angkatan yang terlibat. Tetapi tetap saja masing-masing Angkatan memiliki ciri khas yang sulit disamakan. Misal: konsep pusat gravitas atau COG (center of gravity), yang umumnya di artikan pusat kekuatan lawan yang harus dipukul terlebih dahulu. Namun bagi Angkt Darat barangkali memilih COG diposisi kekuatan lawan yang paling lemah untuk diterjuni diruang yang berdekatan. Marinir relatif sama dengan Angkatan Darat memilih tempat yang lemah untuk didarati dilanjutkan serangan sekuensial di sasaran berikut atau pesawat pembom bisa memilih sasaran ganda (multiple) pada saat yang bersamaan. Beberapa titik perilaku doktrin harus dipahami dari awal sebagai fondasi pemikiran untuk mengupas kaitannya dengan policy, strategy, operasional, maupun taktik dan tentu saja sisanya sebagai administrasi. Perilaku doktrin yang bisa dicermati; pertama doktrin adalah cara pelibatan (warfighting) bukan konsen pada ruang phisik. Kedua, doktrin konsen kepada effek (desired effect) sebagai “outcome” yang diharapkan[20], bukan kepada platformnya[21]. Ketiga, doktrin mengutilisasikan medium, bukan memiliki atau menduduki atau mengendalikan medium (kata mengendaiikan laut atau dirgantara absolut— sungguh sungguh sulit; tetapi kata kontrol masih menungkinkan). Keempat, doktrin adalah organisasi tersendiri bukan mengorganisir. Kelima, doktrin adalah sinergi bukan segregasi, artinya masing masing unit akan memberikan sumbangan kepada performa gabungan. Keenam, doktrin adalah isu integrasi bukan sinkronisasi. Ketujuh, doktrin adalah kekuatan yang tepat bagi obyektif operasi militer, bukan pembagian kekuatan bersama. Bisa saja unit pasukan khusus matra bawah air lebih dibutuhkan suatu saat dibandingkan pasukan khusus umumnya, meskipun bisa saja semua pasukan khusus mengaku “kapabel” melakukan operasi khusus tersebut [22]. Arah doktrin tetap dalam kerangka kerja yang paling effektif untuk dijalankan dalam paket operasi militer. Doktrin sebaiknya menjadi jembatan antara pemikiran dan aksi. Artinya menterjemahkan suatu gagasan tentang perang serta menjawab bagaimana aksi yang di-jalankan bisa memberikan effek serta berperan menggabungkan teori strategi dan perencanaan operasional kedalam suatu petunjuk berperang. Meskipun kadang-kadang masih membingungkan, namun perlu di-klarifikasikan hubungan antara mereka. Colin Gray menyarankan untuk tetap memandang satu sama lain dalam bentuk hubungan yang saling melengkapi. Secara umum policy (dengan obyektifnya) lebih superior dibandingkan strategy. Strategy-strategy under control policy (subordinasi policy) akan mendukung apa maunya obyektif policy agar bisa dicapai. Policy menjadi petunjuk, arah atau instruksi, dan pernyataan apa yang harus dicapai (biasanya bukan jangka pendek)[23]. Policy ditingkat nasional (bisa juga dibawahnya lagi) adalah refleksi pilihan yang rasional dan disadari serta serius untuk dilaksanakan demi mengejar tercapai obyektif policy[24] atau kepentingan nasional. Misal: Strategi keamanan nasional (yang sebaiknya terdokumentasi tiap tahun) atau keinginan Presiden. Dilingkup operasi militer gabungan, policy bisa ditunjukkan dengan “apa maunya” Panglima atau Komandan[25] yang bukan saja sekedar diterjemahkan  dalam obyektifnya (goal, tujuan atau sasaran phisik nyata), tetapi bisa juga dalam bentuk ROE-nya[26] yang akan mengatur boleh melibat atau menembak atau tidak dan dalam kondisi seperti apa. Strategy yang merupakan turunan Policy mendefinisikan caranya (ber-operasi dan ber-proses) dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki (dan diwenangkan) untuk mendukung tercapainya obyektif nasional (atau kepentingan nasional) dengan tetap mempertahankan tingkat risiko tertentu (portofolio)[27]. Tegasnya Policy adalah direktif atau instruktif, yang penting pernyataan kalimatnya harus jelas (What the goverment really pursue)[28]—misal 30 tahun lagi negara maritim harus terwujud (seringnya policy di-sama-ratakan denagn regulator atau peraturan). Sementara itu sifat doktrin lebih berumur lama, di-banding policy yang lebih mudah berubah (mutable), yang terakhir ini sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan nasional. Terminology strategy sering diartikan dominasi properti instrumen kekuatan militer saja, padahal semua instrumen kekuatan nasional sebagai subordinasi strategi keamanan nasional seharus memiliki-nya. Strategy akan mengerahkan semua sumber daya yang dikelolanya (means) guna diarahkan melalui suatu cara (ways) agar tujuan (end-state) mendukung dan mengamankan obyektif policy bisa tercapai[29]. Problem besar bagi pemerintah (biasa-nya) diperburuk dengan tidak dipahami dengan benar definisi instrumen kekuatan nasional[30] sebagai satu kesatuan (kekuatan) strategy. Akibatnya sulit memformulasikan dan membuat kerangka kerja bersama menuju goal yang lebih sinergik. Sebaiknya satuan-satuan strategy ini berorkestra dalam suatu tim mendukung policy nasional menuju tujuan nasional. Bila salah satu satuan strategy instrumen kekuatan nasional yang dipilih adalah militer, maka seharusnya terbit suatu strategy militer. Bagaimana dengan instrumen kekuatan nasional lainnya seperti Ekonomi, Politik dll? Analog dengan instrumen lainnya, kesatuan strategy-strategy instrumen k ekuatan nasional ini akan berorkestra dalam kesatuan yang lebih besar lagi dengan penuh kekuatan yang disebut strategy keamanan nasional. Weiser[31] menjelaskan lebih lanjut, bahwa komuniti pertahanan membutuhkan definisi yang jelas tentang strategy. Strategy adalah teori sukses, solusi suatu problem, dan penjelasan bagaimana suatu rintangan dapat diatasi. Strategy yang bagus menciptakan peluang, mendayagunakan sumber daya, menciptakan sumber daya baru dan terbarukan. Strategy yang baik harus memiliki tujuan yang jelas, menyadari bagaimana memanipulasi kendala yang ada, tetapi juga harus cerdik mengembangkan kreatifitas mengolah sumber daya dan doktrin yang ada. Strategy sebagai satuan pikir, konsep, kekuatan dobrak instrument kekuatan nasional harus kapabel memfasilitasi proses pengambilan keputusan strategik[32]. Proses pengambilan keputusan strategik mestinya didorong dengan evaluasi pilihan strategik berbasis manfaat dan biaya. Pilihan modern menggunakan basis manfaat dan biaya … singkatnya mempertanyakan seberapa jauhkah manfaat dan seberapa minimumkah konsekuensi biaya yang di-gunakan per setiap alternatif strategy yang dibangun[33]? Bukan cara cara tradisional yang hanya memilih satu alternatif dan satu konsekuensi biaya yang selama ini kita lakukan—sejauh ada peluang alternatif lain berarti masih ada peluang mencari konsekuensi biaya yang lebih kecil… dan tidak selalu (harga) manfaat di-cari yang maksimum bukan? Doktrin hanya sekedar mengingatkan dan mengawal kita bagaimana menggunakan kekuatan yang sudah di-siapkan. Kekuatan terpilih artinya kekuatan effektif sesuai strategi pilihan kita dengan konsekuensi biaya yang terendah—problem besar berada bukan pada dokrin tetapi pada proses pengambilan keputusan strategiknya.

Teori “just war” [34] sebagai doktrin ?

Semenjak serangan 9-11 tahun 2001, akademia mulai menoleh kembali kepada kepada teori sekedar perang ini dan membangun kerjasama dengan pakar hukum, militer, akademia internasional membangun konsolidasi aspek teori tentang isu ini. Teori sekedar perang ini menjadi topik populer dalam konten hubungan internasional, ilmu politik, ethika, philosophi dan sejarah bagi para mahasiswa disemua tingkatan[35].  Perang yang melibatkan agresi ini sebenarnya bertentangan dengan nilai peradaban. Hal ini menyerang hak hidup orang, penghidupan, damai dan kemerdekaan. Bagaimanapun, teori sekedar perang (kurang tepat bagi terjemahan just war theory?, pen) menuntut bahwa perang dalam suatu kondisi tertentu, secara moral bisa dibenarkan[36]. Teori sekedar perang mengait dengan justifikasi mengapa peperangan harus di-lakukan? Justifikasi ini bisa saja historik atau teoritikal. Aspek teori terjadi ketika ethika menjustifikasi perang yang boleh dilakukan atau tidak (misal: kejelasan justifikasi perang, namun peperangan kimia tidak dipertimbangkan untuk dilakukan). Sedangkan aspek historik, atau “tradisi sekedar perang (just war tradition)” mengait dengan tubuh aturan persetujuan historik dan sudah dilakukan bertahun-tahun bahkan dari abad ke-abad[37]. Sebagai contoh, konvensi Geneva dan Haque merupakan produk capaian (evaluasi) yang dihasilkan dari pelaksanaan peperangan selama ini dengan masukan para pakar hukum berorientasi kepada ethika dan philosophy yang ada (norma). Bagi pengikut aliran menyukai perdamaian, hal ini tidak pernah dibenarkan sama sekali, sebaliknya aliran realisme; menyebut perang tidak ada kaitannya dengan moral (kurang lebihnya, pen). Secara umum teori ini terbagi dalam tiga bagian, pertama; jus ad bellum—keadilan sudah bergeser ke-peperangan (the justice of resorting to war). Kedua; jus in bello—sekedar menjalankan perang, dan ketiga; jus post bellum—keadilan berada di akhir perang (justice at the end of war). Penjelasan lebih lanjut seperti keterangan berikut. Teori sekedar perang ini (jus bellum iustrum) adalah suatu doktrin, bisa disebut juga tradisi (atau just war tradition)[38], atau ethika militer bagi elit militer, atau theologist, dan pembuat kebijakan[39]. Nampaknya bagian ini mungkin jauh lebih rumit pemahamannya di bandingkan pelaksanaan doktrin sendiri. Tujuan doktrin ini (just war sebagai doktrin) untuk memastikan bahwa perang secara moral dapat dibenarkan melalui serangkaian kriteria dan semuanya mengerucut kepada kontek sekedar (just). Kriteria terpecah dalam dua (2) kelompok, pertama; yakni hak untuk berperang (right to go to war ~ jus ad bellum), kedua, adalah hak yang di-laksanakan dalam perang (right conduct in war ~ jus in bello). Jus ad bellum lebih konsen kepada moralitas perang (morality of going to war) dan jus in bello lebih ke-perilaku moral dalam perang (the moral conduct within war)[40]. Belakangan teori ini berkembang menjadi kategori ke-tiga (3) dari teori sekedar perang—jus post bellum, konsen kepada moralitas penyelesaian pasca perang dan rekonstruksi[41]. Inti teori sekedar perang dan realisasinya adalah moral yang mungkin dibungkus halus dalam pengertian prinsip-prinsip “political”. Sesuai praduga Clausewitz yang menyebut strategy dalam perang memiliki konsekuensi politik dan moral[42]. Dalam kontek ini, definisi moral dan ethika digunakan bisa bergantian dan diartikan sama[43], meskipun bisa saja 2 kata tersebut berbeda dalam situasi tertentu. Teori sekedar perang; mempostulasikan[44] meski perang menyakitkan, tidak selalu merupakan pilihan yang terburuk. Lebih nampak mementingkan pertanggung jawaban, mencegah “outcomes” yang tidak di-harapkan, atau mencegah berlangsungnya kekejaman bisa jadi merupakan beberapa justifikasi perang. Apapun dilematisnya (bahkan kontroversi) kenyataan dunia nyata sudah tidak memperdulikan lagi aturan atau norma yang ada, namun masih upaya diskusi & debat tentang tradisi sekedar perang tetap menunjukkan masih hadirnya itikad baik manusia untuk (terpaksa) melaksanakan peperangan tersebut dengan batasan yang masih bisa diterima atau dalam kerangka pikir bahwa format tradisi sekedar perang mempresentasikan perjoangan para perajurit dalam bentangan capaian kemenangan dan  bertarung tidak “brutal” [45].

Simpulan

Bila kembali kedunia nyata (realitanya) serta mencermati isu perang,  konflik, kriminal dan pelanggaran hak azazi manusia, sepertinya terjadi begitu saja, padahal jelas-jelas sudah diluar norma, ethika, bahkan moral—dilemma academia, ethika, norma atau moral?  Dimana ada pernyataan perang, sepertinya preemptive atau first strike (berbasis murah) menjadi formula wajar, bahkan hanya via medos — just how to win the war. Faktanya negara besar menyerang negara-negara di Tim-teng tanpa kejelasan? Masih bekerjakah mesin doktrin just war tradition, jus in bello, jus ad bellum, jus post bellum, jus bellum iustrum, dll? Mendalami ethika, moral…atau mesin doktrin dasar, strategy, dan operasional…dimana posisi-nya sekarang? Masih berpengaruhkah doktrin (baik sebagai input, inject atau influence) terhadap model struktur perencanaan kekuatan (force structures) atau use of the forces atau pengambilan keputusan keamanan nasional? Masih efektifkah doktrin atau sejauh manakah daya dongkrak (leveraging) terhadap renkam, renops, renkon, atau operasi militer-nya (ukur peran inject, atau input saja atau influence saja, atau dua-nya atau tiga tiganya)? Belum lagi mengkaji doktrin non-militer seperti doktrin Marty—dalam ukuran MOP? [46], tantangan bagi lembaga kajian Kemhan, TNI dan Angkatan-Angkatan, sekian.

Pengantar:

Membahas doktrin negara besar, utilitinya, dan daya dongkrak — tidak semua doktrin sangat effektif, bisa saja berperan sekedar inject, input atau influence saja, bahkan mungkin tidak relevan lagi. Pekanya teknologi militer (baca RMA), lingkungan strategik dan perubahan kepemimpinan nasional (baca policy, strategy dan operasionalnya) — sulit diadaptasi dan dievaluasi utility doktrin (focus ~ doktrin operasi gabungan, mengapa?). Secara hirakhis doktrin mengikuti apa maunya policy—sulit menolak kenyataan bahwa doktrin tidak merujuk policy dan strategy keamanan nasional yang teroskestra. Sampai era perang dingin hampir semua doktrin bernafaskan ancaman sebagai basis skenario pertahanan nasionalnya. Usai perang dingin plus prediksi mengecilnya peluang perang besar besaran di-laut (bergeser menuju perang litoral) menuju orientasi berbasis kapabilitas tentu signifkan merubah muatan doktrin (bahkan ada doktrin yang ditinggalkan) — masihkah membiarkan seperti ini? Sekedar renungan lembaga kajian, pendidikan Kemhan, TNI serta tantangan masing-masing Angkatan.

[1] JP 1-02, Dept of Defense Dictionary of Military and Associated Terms.

[2] Namun tetap saja doktrin non militer lebih sedikit jumlah, kategorinya, kepentingan-nya, usianya dan keluasan sasaran serta wilayah operasinya serta besarnya risiko (portofolio), pantas kalau disebut doktrin militer lebih dominan karena selalu berorientasi bagi kepentingan nasional.

[3] Penulis ingat betul seri pertama —Purangla – 1, petunjuk umum untuk melakukan operasi dilaut. Purangla seri   ke-berapa adalah bisa disebut juga KIMA (Kitab isyarat Armada) adalah isyarat takis untuk melakukan manuevra di laut.

[4] Era tersebut, banyak kalangan yang menilai produk NATO tersebut sekedar juk laks latihan, padahal buku tersebut berisikan produk-produk ilmiah yang sudah teruji dengan teknik optimasi mathematika, misal: bagaimana melakukan pencarian, penyerangan, duel versus unit kapal yang lebih kecil, dll.

[5] RMA = revolution in military affairs. Russia menyebutnya MTR (military technical revolution).

[6] Bert Chapman, Military Doctrine; A Reference Handbook, Praeger, 2009, halaman 14. Angk Udara AS (USAF) nampaknya membuat doktrin yang dievaluasi dengan situasi tempur sesungguhnya. Serangkaian seri AFM 1-1, dari periode ke-periode terus menerus diperbaiki, mulai awal perang Vietnam thn 65-an, di-evaluasi dengan thn 1984 sebagai produk strategy perubahan Uni Soviet dan dan perang Arab-Israel dan menjadi doktrin Basic Aerospace Doctrine of the USAF, yang mencerminkan penggunaan lengkap kekuatan ruang angkasa AS, doktrin ini nampaknya bisa berperan sebagai inject, input bahkan influence dalam setiap (model) policy baru penggunaan kekuatan ruang angkasa AS…simak selanjutnya…which discussed man, machine, and the environtment as interacting war-fighting principles and listed economy of force, manuevre, timing and tempo, command unity, simplicity, logistics, and cohesionas hallmark military principles…this new doctrine stressed that…..     

[7] Pendekatan kapabilitas di-buat sebagai hasil pergeseran pendekatan ancaman (Threat Based Planning) di-era perang dingin lalu. Kapabilitas tidaklah diartikan (selama ini) dengan cara sederhana dan dangkal bahwa setiap sista atau asset pemukul (strike unit) memiliki kemampuan sesuai design teknis yang di-rancang pabrik, misal kecepatan kapal, kecepatan tukik, kecepatan tembak, aksi radius, dll (berapapun juga besarnya harga design teknik ini tidak/belum diyakini  menghasilkan effek langsung terhadap lawan). Komuniti operasi riset militer memformulasikan bahwa Kapabiltas (baca kemampuan yang sebenarnya) = Abilitas (ability = kesanggupan atau kebisaan saja) + “outcome” (pembuktian dilapangan atau hasil riset atau eksperimen lapangan). Konsep kapabilitas modern — design yang dirancang adalah berapa besar effeknya relative terhadap lawan (agregasinya ~ EBO , effect based operations). Misalnya probabilita menghancurkan diketahui (given) kena, atau probabilita deteksi diketahui probabilita diarea tersebut dgn kondisi seperti itu adalah sekian (konsep Bayesian/kondisional),dll tergantung unit tempurnya. Betapa besarnya dan seriusnya militer melakukan eksperimen tidak hanya melalui satu (1) atau dua (2) model saja, namun berbagai model ilmiah dan modern dilakukan secara parallel dan terus menerus.

[8] Model hitung harga kapabilitas (Kemampuan riil ~ Capability = Ability + Outcome).

 

[9] Pengembangan bahasan versus non-negara bisa masuk dalam isu doktrin asymmetric, doktrin COIN (counterinsurgencies), doktrin peperangan Hybrid (dgn doktrin peperangan Proxy), doktrin versus paramiliter (kasus di Ukraine, Georgia, paramiliter PLA(N), dll), dan banyak peperangan lain yang barangkali bisa juga menuntut hadirnya doktrin. BIsa dibayangkan bagaimana dengan doktrin yang meliput isu versus peperangan hybrid dengan aktor yang setiap saat bisa berubah (manuevra) dari perang tradisional, menjadi gerilya kontemporer, perajurit (warrior) perang urban, dll. Bagaimana mentargetkan sipil, paramiliter (vs LOAC/law of the armed confict)? Justifikasi moral & ethika bisa saja berkembang dari just ke unjust war? Bagaimana ethika, moral, legitimasinya dan keputusan nasionalnya — misal: penggunaan drones (sdh berlangsung sebagai intai, penyerang sekaligus mesin pembunuh) dan robot?

[10]  Geoffrey Sloan, Military doctrine, command philosophy and the generation of fighting power: genesis and theory, halaman 242.

[11] US Army Doctrine Primer, Question – 1. Date May, 2011

[12] Curtis E Lemay Center, Volume – 1 Basic Doctrine, … Uses of doctrine, last review 27 Feb 2015.

[13] Geoffrey Sloan, Military doctrine, command philiosophy and the generation of fighting power: genesis and theory, Journal International Affairs, 88: 2, 2012, MoD (Ministry of the Defence, UK), halaman 244.

[14] Dr James J Tritten, Naval Doctrine … from the Sea, halaman 1.

[15] TNI-AL di-era 70-an masih mengenal publikasi Jukpur kapal Fregat Russia, Fregat AS, dll — masing masing kapal memiliki petunjuk tempur masing-masing.

[16] Konvoi ini menjadi obyek penelitian serius yang dilakukan oleh tim operasi analisis yang dipimpin P.M Blackett  (pakar phisika/mathematika Inggris) yang menemukan beberapa teknik optimasi seperti Searching theory, Screening, Anti kapal selam . Arsitektur perlindungan Konvoi versus kapal selam U – Boat, Pola pola zig-zag yang meminimumkan peluang terdeteksi dan didekati U-Boat (random), dll.

[17] Dr James J Tritten, Naval Doctrine … from the Sea, halaman 2.

[18] Geoffrey Sloan, Military doctrine, command philosophy and the generation of fighting power: genesis and theory, halaman 244.

[19] Mengapa Gabungan—sederhana, dokrin militer lebih banyak berrientasi ada ops gabungan beralasan ops gab adalah operasi yang paling effisien.

[20] Oleh karena itu konsep EBO (effect based operations) sebagai produk desired effect dalam setiap operasi agaknya cocok untuk dipikirkan, lebih terukur dibandingkan dengan cara cara yang lebih tradisional.

[21] Oleh karena itu konsep NCO atau network centric operations (atau vs warfare adalah NCW) adalah cara yang effisien, bukan dengan cara mandiri Angkatan (PCO ~ Platform Centric Operations). Policy menuju NCO atau NCW akan mendongkrak (leveraging) kinerja industri sista dalam negeri dibandingkan dengan policy yang tetap membiarkan akuisisi (pengadaan)  dari luar negeri terus menerus, dgn beda asal & buatan dan kualitas teknologi akan menyulitkan penyelarasan system apalagi siskomnya.

[22] USAF, Basic Doctrine, Volume -1, Basic Doctrine, Uses of doctrine , last review , date 27 Feb 2015

[23] Policy adalah pernyataan ditingkat nasional tentang apa maunya pemerintah (dan apa yang harus segera diselesaikan pemerintah, bukan UU atau regulasi, dll—bahwa regulasi itu mempermudah atau mempermulus jalannya pencapaian policy itu benar). Beberapa literatur menyebutnya sebagai what the govt want to do, atau choice dan kalimat semacam itu. Kebijakan bukan jalan pintas menyelesaikan masalah namun lebih berbau impian, vision yang harus dicapai. Obyektif (maunya policy—maunya pemerintah atau maunya kepentingan nasional, atau maunya keamanan nasional) akan didukung dengan strategi strategi semua instrumen kekuatan nasional. Formulainya —- No Pol – No Strat – No Operasional, artinya tidak ada kebijakan yang jelas, maka tidak akan muncul strategi instrumen kekuatan nasional yang jelas, akibatnya juga tidak akan pernah muncul sama sekali bentuk operasionalnya. Peran policy-makers dibantu strategy’s maker sangat berpengaruh sekali…dan harmonisasi antar instrument —- literatur banyak menyebut situasi ini sebagai “orchestrated”.

[24] USAF, Basic Doctrine, Volume -1, Basic Doctrine, Poiicy, Strategy  and Doctrine , last review , date 27 Feb 2015.

[25] Performa yang diinginkan Panglima atau Komandan bisa saja dijadikan obyektif policy, misal: Dan Guskamla menginginkan tahun ini dari sekian jumlah kapal tangkapan diusahakan lebih dari separohya dikirim ke Makamah pelayaran. Atau Dan Seskoal mengharapkan bahwa setiap tahun dari lulusan Seskoal, ada kenaikan prosentase siswa yang memperoleh predikat Taskap yang terbaik. Atau policy Rektor Unhan yang berharap bahwa setiap tahun setiap progdinya bisa mengisi perpustakaannya sejumlah 100 buku-buku terbaru dengan terbitan diatas tahun 2005.

[26] ROE atau aturan pelibatan bagi unit unit di-lapangan. Untuk melapis dan mengontrol terciptanya  konten dalam ROE, diatas ROE secara hirarkhis muncul ROC (rule of conduct) yang akan mengatur lebih umum dan berbeda dengan konten ROE. Misal muatan ROC adalah kategori siapa lawan, teman, sahabat, dan netral atau AOR (area of operational). Sedangkan ROE, urusannya adalah boleh tembak atau tidak…..tinggalkan tempat,dll. Sungguh aneh kalau konten ROE sama mulai tingkat Panglima yang paling atas sampai Komandan unit/kapal sama. ROE dibuat agar tidak menimbulkan keputusan yang ambigu (membingungkan) bagi Komandan unit terbawah untuk tidak perlu berfikir dua tiga kali lagi.

[27] Proses atau operasi dengan mempertahankan tingkat risiko tertentu bisa disebut dengan portofolio.

[28] Budiman Djoko Said, Journal Quarterdeck, dgn judul: Struktur kekutan militer (FS/Force Structure) — Skenario dan beberapa problema didalam,  Forum Kajian Pertahan dan Maritim, vol # 10, no. # 3, Mei 2016, hal 2.

[29] The US Army War Coll Quarterly, vol 46, no 4, Winter 2016-2017, by Jeffery W Meiser, Ends + Ways + Means = Bad  Strategy ?, halaman 90,…The American way of strategy is the practice of means-based planning, avoid critical and   creative thinking and instead focus on aligning resources with goals. Common definitions of strategy, including the ever-present Lykke model (ajaran Lykke menjadi legendari bagi siswa US Army War Coll, periksa Militay Review, vol 69, no 5, May 1989 atau lebih dalam lagi periksa US Army War College Guide to National Security Issue, 2001, hal 7), foster this way of thinking because they don’t clearly describe what makes strategy a distinct concept. Too often definitions are overlay inclusive and smuggle in concepts unrelated to strategy. Other definitions tell us what good strategy should do rather than telling us what it is. These weakness make strategy hard to define and complicate  the  strategy making process.

[30] Ibid, hal 90The problems with our current understanding of strategy are exacerbated (diperburuk) by the whole –of–government approach encouraging us to define national power as a discrete set of intruments that form a convenient acronym. In practice, the whole–of–government approach is often used as a substitute for, rather than an enabler of, strategy. The elements of national power are presented as lines of effort (strategy – strategy, pen) directed toward a goal (national aims/goals, pen) without any clear sense of how exactly these efforts are related (under control national security strategy, pen) or how exactly they will cause the goals (national) to be achieved (from means to ends, pen).

[31] Ibid,

[32] Ibid, halaman 90.

[33] Pilihan strategy, proyek, atau apapun juga kegiatan yang dilakukan dalam rencana kegiatan tahunan sangatlah jarang melihat konsep ini dilakukan dinegara kita. Padahal militer dinegara – negara modern lainnya sudah lama sekali mengunakannya sebagai patokan membuat perencanaan. Periksa dan klik military cost benefit atau guide to military cost benefit, atau military and cost benefit atau cost effectiveness, akan keluar banyak paper, tulisan, tentang ini bahkan resmi masing masing Angkatan telah mengeluarkannya – kapan kita?

[34] Literatur banyak menyebut selain just war theory juga ebagai just war tradition.

[35] IEP (internet Encyclopedia of Philosophy), Google Search, tanggal 27 Feb 2018, jam 01.37.

[36] Taylor & Francis Group, Just War Theory, Routledge.

[37] IEP (internet Enscyclopedia of Philosophy), Google Search, tanggal 27 Feb 2018, jam 01.37.

[38] Tony Pfaff; Peacekeeping and the just war tradition, US Army War College, SSI, Monograph, halaman 4,

[39] WikipediA, Google Search, tanggal 26 Feb 2018, jam 11.23.

[40] Ibid,

[41] Isu pasca perang dan rekonstruksi menjadi doktrin Barat sebagai pembangunan bangsa (nation-building),     rekonstruksi serta stabilisasi.

[42] Albert L. Weeks, The choice of war: the Iraq War and the just war tradition, Praeger, 2010, halaman 3,

[43] David.L. Perry, Ethics in War, Espionage, Covert Action, and Interrogation, Scarecrow Press, 2009, halaman 2.

[44] Postulate – dasar pikiran, alasan.

[45]  Tony Pfaff, Peacekeeping and the just war tradition, (US Army War Coll, Monograph, Sept 2000), halaman 4, …. JWT (just war tradition) is that body of thought that represents the soldiers’ struggle with the tension between winning and fighting well, halaman 4.

[46] MOP adalah measures of policy effectiveness. Seberapa jauh effektifitas suatu policy terhadap sasaran? Hirarkhi di-bawah ukuranMOP adalah MOE measures of effectiveness) seberapa jauh effektifitas sista terhadap sasaran — ujung ujungnya adalah EBO (effect-based operations).

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap