Intelijen[1]: —“Taboo” dan Beberapa Pendekatan Terkinikan ?
—Intelligence is now no longer a forbidden subject…[2]
Oleh: Budiman Djoko Said
Pendahuluan
Bergabungnya organisasi terrorisme dan kriminal lain, global dan transnasional ditambah rapuhnya (fragility) rantai pasokan serta penyakit bisa menjebak negara[3] dalam isu keamanan yang serius. Sekarang; pemimpin, elit, negarawan dan militer mencari jawab agar tantangan tersebut bisa dipahami dan diatasi. Bocornya rahasia dan kegagalan negara mengatasi terrorisme dan radikalisme, membuat intelijen bukan lagi “taboo”. Intelijen bukan lagi dominasi militer yang kapabel melakukan kontrol produk intelijen. Performa intelijen dipertanyakan dan menjadi subyek (skandal) manuevra ancaman serta subyek penelitian akademik dan riset. Di-ikuti meningkatnya debat publik terbuka tentang intelijen dikaitkan tata-kelola pemerintahan yang berjalan[4]. Sulit menolak hadirnya isu keamanan yang mengglobal, regional, lokal dan aspek ekonomi, kesehatan, sosial, dll, dan memberikan dampak sama halnya dampak perang konvensional antara unit militer-ke-militer[5].
Aktor pengancam, operator dan mekanisme kerja ancaman sulit di-kontrol oleh pemerintah—penting ada kejelasan unit lawan kejahatan (counter-threats) yang dikontrol pemerintah. Negara atau pemerintah[6] harus melawan dan belajar dari situasi yang kompleks serta tidak pasti—membangun strategi intelijen nasional. Pengetahuan intelijen menjadi kritis untuk membangun profesionalisme dan memahami perilaku ancaman. Ihwal keluhan Sherman Kent, ilmuwan dan pionir intelijen AS; 50 tahun lalu tentang minimnya literatur intelijen professional[7], melemahkan respons ancaman dan pengetahuan modern bagi operator intelijen. RI sebagai pemilik domain maritim yang begitu luas menuntut konsekuensi hadirnya profesionalisme unit intelijen maritim[8]. Guna mendukung strategi pertahanan maritim dan strategi nasional ‘tuk keamanan maritim (maritime’s homeland security) agar mempersempit akses keluar/masuk domain maritim RI dan memitigasi isu keamanan dan keselamatan maritim. Dibutuhkan juga bagi Strategi pertahanan maritim sebagai rujukan kekuatan maritim (Angk Laut) versus aktor negara di-domain maritim dan strategi nasional ‘tuk keamanan maritim menjadi rujukan Bakamla[9] versus keamanan dan keselamatan maritim, periksa gambar dibawah ini.
Hint: duo kekuatan yang hadir di-domain maritim bisa saling membantu, misal: Coast Guard menjadi kekuatan maritim cadangan diwaktu perang dan sebaliknya Angkatan Laut bisa membantu Coast Guard dimasa damai apabila diperlukan.
Duo strategi diatas menjadi pengawal utama proses berjalannya “policy”, “strategi” dan “operasional” (necessary condition) yang di-amanahkan kantor Menko maritim menuju “terwujudnya” negara maritim RI.
Pengetahuan dan pembelajaran serangan mendadak (surprise)
— Knowledge, if it does not determine action, is dead to us [10].
Risiko secara umum dapat diformulasikan sebagai berikut:
—- Risk = (threat + vulnerability) – capability [11].
Besar-nya ancaman, kelemahan penduduk, dan lemahnya kapabilitas pemerintah memperbesar risiko. Risiko bisa dikontrol pemerintah melihat formulasi di-atas dan sukses yang dramatik adalah pendadakan. Kegagalan intelijen di-artikan gagal menatap tantangan analitik, organisasi, dan pemberian informasi awal—gagalnya kepemimpinan kebijakan publik[12]. Di-era tradisional variabel risiko jarang di-diskusikan atau bisa jadi risiko termasuk “taboo” yang tidak boleh diketahui umum. Sukses/gagalnya suatu kegiatan mudah ditunjukkan dengan rasio biaya yang telah dikeluarkan dengan output/outcome atau effektifitas yang dihasilkan. Mengontrol risiko adalah kesadaran (awareness) melalui analisis berbasis pengetahuan dan ketrampilan modern.
Analisis adalah suatu fondasi seluruh proses produksi intelijen menghadapi ancaman. Membuat penilaian (assessment) intelijen strategik adalah kegiatan penting dan memerlukan pengetahuan. Pengetahuan guna menjawab ”apa” respon terbaik atau saran peringatan/antisipasi yang di-keluarkan pengambil kebijakan. Pengetahuan diharapkan bisa mengatasi “cerdik”-nya operator pengancam dalam situasi komplek bahkan kaos. Biaya pengetahuan ini merupakan biaya relevan (relevan costs) dan ini sangat mahal. AS membayar “biaya” intelijen berlipat kali biaya pertahanan dan Inggris membayar jauh lebih banyak dibandingkan ongkos diplomasi. Biaya menjadi jauh lebih mahal, mulai dari computer super canggih dengan proses ber-kecepatan super tinggi dan penginderaan satelit serta model monitoring elektronik miniatur. Begitu pentingnya intelijen sehingga pantas menjadi salah satu elemen instrumen kekuatan nasional (MIDLIFE)[13]. Semenjak tugas intelijen untuk memperoleh informasi sedini mungkin, maka kegagalan terbesar adalah ketidak mampuan membaca “lawan” melakukan pendadakan dan ketidakmampuan pemerintah melindungi warga sendiri. Intelijen bukanlah tipikal sain yang memiliki methoda berfikir yang andal—wajar kalau intelijen berpeluang gagal dari waktu ke-waktu[14].
Penyebabnya adalah methoda berfikir, perangkat analisis, pengetahuan yang terbatas, pengelabuhan diri, bias dan kepemimpinan yang “jalan ditempat”. Padahal dewasa ini praktisi, mahasiswa dan pelajar intelijen mudah terjebak oleh trauma gagal intelijen yakni pendadakan yang dilakukan pengancam. Pendadakan menjadi materi yang sering diperdebatkan, dikembangkan[15], dan berbeda dengan “kabut” peperangan Clausewitz (the fog of war)—“kabut” sebelum peperangan. Terjebaknya kegiatan intelijen pada isu taktik/operasi selama perang dunia ke-II, misal: mencari jawab di-mana kekuatan musuh berada, profil kekuatan yang ada… dan apa intensinya? “Gagal” membaca pendadakan dikarenakan hadirnya rasa percaya diri yang berlebihan bagi AS, sama halnya perang Yom Kippur bagi Israel.
Jepang sebagai negara industri yang tidak siap, mencoba melawan raksasa kekuatan ekonomi dan industri mesin perang AS yang berkualitas. Peperangan Korea tahun 1950 dan Yom mendemonstrasikan pendadakan dan kelangkaan kesiapan yang sesungguhnya, kedua-nya bisa disebabkan oleh kekeliruan asumsi politik[16]. Jend McArthur bersikeras bahwa Korut tidak menyerang balas dan China tidak intervensi—nyatanya berbeda dengan asumsi MacArthur. Peperangan Yom dan Pearl adalah produk pemikiran “terlalu percaya diri”[17]. Laqueur berpendapat bahwa ada ketidakjelasan intensi serangan mendadak meski kapabel melakukan pendadakan (misal) oleh Jepang maupun koalisi Arab[18]. Pendadakan dan upaya keras untuk membalikkan capaian lawan menuntut biaya yang sangat mahal. Karena itu disarankan untuk tidak mengesampingkan pembelajaran tentang pendadakan. Dengan kekuatan kecil, bisa saja melontarkan serangan mendadak, sebagai upaya sia-sia atau satu-satunya alternatif yang bisa dilakukan kekuatan yang lebih lemah atau kalkulasi risiko yang keliru oleh aktor pendadakan. Sebagian besar operator pendadakan sukses ditahap awal, dan di-tahap berikut-nya berbalik bahkan bernasib buruk—pendadakan bukan isyarat yang menentukan (decisive).
Serangan Hitler ke Russia, invasi Jepang ke Pearl, Korut dan China ke Korea selatan, dan perang Yom—bukti lebih sering serangan mendadak dibandingkan tidaknya dan merupakan senjata aktor yang lebih lemah atau satu-satunya yang menjanjikan untuk di-nikmati sesaat[19]. Pendadakan militer seringkali muncul tak terelakkan, sebaliknya pendadakan politik sangat jarang terjadi. Pendadakan militer bisa saja tidak meyakinkan, karena itu informasi serangan militer ini harus di kaji ulang dalam kontek politik saat informasi ini muncul. Di-dalam kasus Pearl dan invasi Korut sebenarnya ada celah solusi tentang keinginan damai dipihak lain. Sepertinya tidak cukup pengetahuan untuk merasionalisasikan tindakan balasan aktor yang diserang mendadak.
Padahal Jepang dan Korut memahami kekuatan dan dukungan industri AS[20]. Pengalaman seperti ini, merupakan pengetahuan bagi politisi-politisi untuk membaca isyarat negara lain. Perubahan radikal jarang terjadi dalam kontek politik, namun jangan terjebak oleh pernyataan ini—karena bisa saja muncul di tengah-tengah prediksi tidak terjadi perubahan radikal[21]. Pengetahuan intelijen tradisional sepertinya hanya mengejar informasi militer dan politik sebagai ujud keinginan tahunya kekuatan militer dan “apa” intensi pemimpin lawan. Termasuk agregasi intelijen ekonomi, sain serta teknologi selama ini dipercaya berperan penting mendukung proses munculnya produk intelijen[22]. Sama halnya intelijen Inggris yang memahami kualitas lini produksi industri penerbangan Jerman yang digadang sebagai prioritas utama. Jerman membangun intelijen militer berbasis ilmu pengetahuan dan dibantu korporasi dan perguruan tinggi. Hitler lebih menyukai intelijen ekonomi dibanding sain dan teknologi intelijen. Inggris memanfaatkan sain & teknologi untuk mengatasi Jerman[23] dan mencari solusi yang effisien bagi sumber daya-nya. AS nampaknya melupakan sain & teknologi yang potensial membantu menyelesaikan masalah, terutama effisiensi alokasi sumber daya. Di-akhir PD-II, AS telah membentuk OSS (office of strategic services)—cikal bakal CIA dengan mengadop MI6 organisasi intelijen Inggris. Alhasil Intelijen perlu analisis dan teknik yang kapabel untuk memperoleh produk intelijen dibidang itu. Sedangkan Intelijen Ekonomi bukanlah problema, banyak produk sumber terbuka (OSINT)[24].
Perkembangan organisasi intelijen
—Intelligence writing begins with conclusions, then explores their implications [25]
Komuniti intelijen belajar dari literatur intelijen yang berkembang cepat semenjak tahun 1975[26] dan di-pacu skandal dan kegagalan intelijen a.l: Kontra-Iran tahun 1987, kasus spesifik FBI tahun 1994, tahun 2001, “shok” serangan teroris tahun 2001, dan salah informasi kepemilikan senjata pemusnah massal Iran tahun 2002. Gelombang skandal dan tragik meningkatkan jumlah literatur diikuti dengan tulisan, buku, dan kertas karya. Kebanyakan menawarkan mulai produk biasa ke-produk yang lebih ilmiah dan mengerucut menuju bangkitnya intelijen dari kegelapan[27]. Evolusi besar-besaran terjadi di-Perancis, Inggris, Canada, Jerman, Israel, Italia, Austria, Yunani, Skandinavia dan Australia. Bagi AS definisi intelijen nasional (lengkapnya intelijen keamanan nasional) adalah “pengetahuan dan peramalan tentang dunia disekitar kita ini”—untuk mendahului keputusan dan atau aksi Presidensial. Definisi ini lebih berbau “kesadaran situasional” (situational awareness) yang harus di-pahami negarawan, pembuat kebijakan, diplomat dan militer. Pengertian informasi bagi intelijen relevan dengan formulasi pemerintah dan implementasi-nya mengait “maunya” kepentingan nasional dan menangani “maunya” “lawan” potensial ataupun aktual (aktor “teman” bisa saja menjadi “lawan” dalam kontek sedang bernegosiasi)[28]. Isu ini bisa saja menyebar dalam urusan (affairs) politik dalam negeri dan isu perkembangan sosial kritikal, sama halnya dengan isu ekonomi dan demographik. Sentra intelijen nasional adalah menyelamatkan bangsa dan negara (negara plus sistem nilainya ~ nasional) dengan memperoleh informasi maksimal tentang si” pengancam” yang menyelinap dan menerkam negara ini. Ekspektasi kerja unit intelijen nasional mengait pada kepentingan [i] perlindungan (national defense) ataupun [ii] kesejahteraan (economic well-being) bangsa dan negara. Kedua-duanya (i & ii) sebaiknya didesignasikan sebagai elemen kepentingan nasional yang ter-dokumentasikan dan berstatus prioritas. Koleksi dan penilaian (assessment) isu global, regional ataupun lokal sebaiknya di-tempatkan sebagai variabel masukan dalam blok sistem pengambilan keputusan keamanan nasional (national security dec-making process) dan masukan ini dirasakan yang paling effektif[29]? Injek atau input tersebut kedalam proses pengambilan keputusan keamanan nasional adalah produk agresif yakni hasil aksi tertutup (covert action)[30]. Aksi tertutup adalah sentuhan tersembunyi dan tersamar[31] dengan jumlah, posisi serta waktunya sebagai contoh periksa tabel dibawah ini.
Referensi: Kristen.N Wood, Maj USAF, Covert Action: A System Approach, (Thesis US NPS, Master of Science in Defense Analysis, Dec 2014), halaman 14. Fokus tabel adalah saat damai—saat yang dipahami bebas dari aksi kekuatan militer.
Aksi ini [32] ini menciptakan sistem senjata rahasia untuk propaganda, politik, ekonomi dan operasi paramiliter. Peran-nya sebagai lawan intelijen (counter intelligence) membuat ajensi intelijen nasional terpanggil menjadi “perisai” versus serbuan “clandestine” dinas rahasia lawan, terrorisme, dan subversi (+radikalisme) dalam negeri (isu homeland security). Tidak heran kalau Cyber semakin ekspansif di gunakan untuk tujuan diatas bahkan keperluan lain dan mudah menyerang setiap negara (isu Kroasia, dll)—sebaiknya divisi peperangan cyber/anti-cyber berada dibawah kontrol unit intelijen nasional. Damai adalah momentum yang tepat dan cara terbaik untuk mempelajari dan memahami konsep “lawan”—melalui cyber. Cyber kapabel mencuri basis data dengan masuk kedalam komputer dengan berbagai cara dan mencuri informasi tentang kapabilitas “lawan”. Intelijen merupakan himpunan misi dengan berkiblat pada strategi keamanan nasional (baca KamNas) dan (injek) “policy” intelijen nasional maka misi pertama serta utama intelijen adalah koleksi data[33]. Misi kedua adalah analisis dan diseminasi. Proses ini memiliki derajad kesalahan yang bisa diterima[34]. Misi ketiga adalah lawan intelijen (counter intelligence)—pertanggungan jawab unit dinas rahasia untuk mengganggu “lawan” dan dinas rahasia intelijen luar negeri atau dialamatkan pada organisasi terorisme dengan cara effektif. Misi ke-empat, adalah aksi tertutup (covert action)[35]. Empat (4) misi intelijen ini menjadi muatan dan menjadi rekomendasi kuat komisi penilaian intelijen AS tahun 1995 yang dipimpin Les Aspin. Di-simpulkan bahwa intelijen adalah bentuk klaster manusia dan organisasi yang menjalankan misi koleksi—analysis–lawan intelijen–aksi tertutup. Loch K Johson dalam Journal Studies Intelligence, berjudul Assesing an Earlier Panel on Intelligence: The Aspin – Brown Intelligence Inquiry: Behind the Closed Doors of a Blue Ribbon Commision[36], membahas komisi intelijen yang dipimpin Aspin dan Harold Brown. Komisi membuahkan rekomendasi sebagai pendalaman studi atau kajian lebih lanjut melalui pertanyaan pokok berbasis pandangan Les Aspin, a.l [37]:
—1. What are the intelligence needs of the United States in the post–Cold War world?
—2. What are the intelligence capabilities required to collect, analyze, and disseminate such information?
—3. To what extent do the existing capabilities compare with those needed to satisfy future requirements for intelligence?
—4. To the extent that existing capabilities fall short, what changes—organizational, managerial, programmatic, or budgetary—should be made?
Ke-empat (4) pertanyaan ini menjadi obyektif yang dicari solusinya. Meski sebaiknya fokus intelijen lebih pada ancaman dari luar, prakteknya muncul kontradiksi dan dilemma dalam kehidupan berdemokrasi—konsen kepada lingkungan internal dan warganya sendiri. Perilaku intelijen[38] ini lebih dipengaruhi “maunya” kekuasaan regim dan terjadi di-negara berkembang bahkan negara majupun mengalami hal yang sama[39]. Loch.K Johson menyebut bahwa intelijen AS ditahun 1970-an mematai-matai penduduk yang memprotes perang Vietnam (CIA dan FBI) dan NSA melacak dan memata-matai tilgram yang dikirimkan dari/keluar negeri[40]—dibentuk komisi tahun 1975 di-Senat dan Parlemen untuk mengawasi[41] resim kerja intelijen. Banyak Intelijen di-negara berkembang dengan tugas lebih sebagai unit intelijen domestik. Unit intelijen menjadi ineffisiensi bila hanya mengamati personil sendiri (domestic intelligence)[42]. Sebab obyek (personil sendiri) memiliki peluang sangat kecil untuk menciptakan “serangan mendadak”. Mengapa tidak memanfaatkan unit intelijen untuk “outlward looking”. Pernyataan menarik Michele Flournoy dan Shawn Brimley usai penilaian[43] perang lawan terrorisme[44] yang mengatakan “ineffective-nya” strategi lawan terrorisme (counter terrorism) menggiring militer didayagunakan termasuk perangkat aksi tertutup (covert actions) oleh instrumen kekuatan nasional lainnya meskipun menuai sukses dengan aksi lawan terrorisme ini”[45]. Beragamnya organisasi intelijen meskipun dibawah control satu (1) badan intelijen nasional, tidak menjamin “sharing information” berjalan mulus. Program ini merupakan satu ekses kerjasama atau kooperasi. “Sharing information” adalah kerjasama yang mudah di-tawarkan tapi sesungguhnya adalah program yang “gagal” khususnya antar militer. Aldrich dan Svendson menunjukkan kuatnya “sharing information” antar negara Anglo-American (AS, Inggris, Canada, Australia, Selandia Baru)[46]. Berbeda dengan negara diluar, semisal AS dengan Jerman. Situasi ini[47] menjadi isu kegagalan kepemimpinan komuniti intelijen. Contoh “sharing information-intelligence” pasukan bela diri Jepang dengan Belanda dalam operasi ekspeditionari di-Iraq tahun 2003-2005 menunjukkan kegagalan yang signifikan[48]. Dua (2) negara berbeda mandat yakni Belanda dengan operasi stabilisasi & rekonstruksi sedang Jepang dengan operasi kemanusiaan & rekonstruksi. Relatif mirip, nyatanya menimbulkan masalah di-lapangan. Dalam konteks ini[49] komisi intelijen AS Aspin-Brown memberikan rekomendasi ke-2 dan ke-3 kepada pemerintah yakni “gunakan methoda kolaborasi ilmiah” dan “method komunikasi ilmiah”. Di-yakini, tingkat kolaborasi (bukan koordinasi) dan komunikasi adalah kunci sukses menghadapi kompleksitas dunia yang berubah cepat. Kolaborasi (bukan koordinasi) berhasil mengajak semua unit, periksa ilustrasi hirakhi resim kerja-sama seperti dibawah ini.
Referensi: … selama ini kerjasama yang dilakukan sebatas hanya memperoleh obyektif yang sama dibungkus dengan kata “koordinasi” (orientasi ke “output”), (periksa gambar) — hanya mencapai capability dan objective di level bawah, tidak lebih tidak kurang dan belum mencapai “desired outcome” yang hanya bisa dicapai dilevel kolaborasi[50].
AS membangun model[51] pengawakan komuniti intelijen (workforce) seperti gambar berikut. Di-bawah office of director of national intelligence (ODNI) ada guidance berupa strategi intelijen nasional yang memudahkan terciptanya kerangka kerja yang prioritas—absen-nya strategi ini sulit memunculkan prioritas fungsi serta misi komuniti intelijen.
Referensi: Nemfakos, cs; Workforce Planning in the Intelligence Community; A Restrospective. Perhatikan; sama halnya dengan semua perencanaan jangka panjang selalu mengacu dan diawali dari petunjuk, direktif dan strategi yang lebih superior (strategi keamanan nasional). Strategi keamanan nasional (pojok kiri atas) selalu di-nyatakan sebagai concerted national effort (upaya yang teroskestra).
Model (pendekatan) terkinikan yang sering digunakan
Berkembangnya intelijen setiap negara sangat dipengaruhi lingkungan strategik, tipikal resim penguasa, organisatoris, dan hubungan sosial[52]. Performa unit intelijen ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut; a.l: unit analisis intelijen, definisi posisi & peran analisis, dan disiplin intelijen. Sesi ini lebih membahas tentang unit analisis intelijen. Unit analisis intelijen negara berkembang/sedang berkembang cenderung bekerja tradisional dan lebih banyak mengawasi warga sendiri yang berperilaku radikal, anarkhis, insurjensi, pendeknya yang mengganggu pemerintah. Kata analisis intelijen sendiri membawa konsekuensi pada suatu proses yang cukup luas dan dalam serta melibatkan pengumpulan data (begitu banyak), analisis, interpretasi, dan pertimbangan (spekulatif) tentang perkembangan situasi mendatang, pola, ancaman, risiko dan peluang[53].
Dua (2) fokus pemerintah guna menatap ancaman adalah pertahanan atau penangkalan sebagai konsekuensi pilihan[54], kata Crenshaw. Bagi penegak hukum, fokus ditafsirkan menjadi cegah dan tangkal[55]. Aksi pencegahan ini berbasis estimasi intensi dan “kapabilitas” lawan dan konsep ini masih relevan. Termasuk salah satu pengancam domestik adalah organisasi kriminal pembenci pemerintah (organized hate crime) dan terorisme. Proses memahami dan mengeksplor gerakan yang mungkin membahayakan di-lingkungan sendiri memerlukan teknik analitik terkinikan, diantara-nya “koneksi antar titik” (connecting the dots). Komuniti intelijen bisa saja menerima signal setiap hari, begitu beragam, besar jumlahnya dari berbagai sumber—asimetrik, tidak sistematik, dan berupa “titik-titik” (dots) informasi[56]. Sedikit petunjuk saja cukup berpeluang menghubungkan aliran data yang begitu besar dengan kegiatan terorisme atau kegiatan perlawanan lain. Tinggi-nya ketidak pastian arti signal itu ditambah hadirnya sedikit indikator serta kesulitan menghimpun data yang begitu besar dalam satu ikatan yang berperilaku sama—komuniti intelijen bisa mengalami kelelahan dan kehilangan indikator atau signal yang justru kritik atau penting. Butuh inovasi pendekatan baru membuat analisis intelijen. Di-masa lalu, komuniti intelijen mencari operator yang membahayakan keamanan nasional dengan cara menuai data yang besar dari semua penjuru sumber data. Komputer dan analis kemudian menyaring data ke setiap bungkahan informasi dengan perilaku yang berbeda dari setiap kelompok yang dicurigai. Pendekatan ini cukup berhasil waktu itu, mengingat jumlah dan tipikal pengancam terbatas, tidak terlalu “cerdik” bermanuevra dan biasanya selalu menyerang dengan pola yang sama. Bagaimana dengan operator pengancam yang cukup besar baik jumlah, diversifikasinya dan dengan sejumlah besar titik-titik kejadian. Model dibawah (ASAP) ini barangkali bisa menantang tipikal ancaman ini. Ideanya mengawasi signal yang “tidak biasanya” muncul (out of ordinary) dan menyimpang dari status quo. Blok paling kiri (information pool) menjadi perhatian utama dan pintu masuk para agen untuk mencermati masuknya signal yang lain dari biasanya.
Referensi: ibid, halaman 2 à model ASAP ( Atypical Signal Analysis and Processing). Analisis ASAP adalah iterative dan prosesnya multidireksional. ASAP lebih cocok untuk menghadapi pengancam asimetrik.
Analisis koleksi signal mulai yang paling lemah sampai kuat bisa diplot dalam suatu graphik respons seperti gambar dibawah ini. Signal bisa saja berbentuk tulisan atau lisan serta memerlukan analis intelijen khusus yang sanggup menghubungkan kaitan antar kata-kata[57]. Antara S’ dan E’ menuju S dan E merupakan waktu kritikal guna persiapan (lead-time for action) menghadapi puncak kejadian S dan E. Signal paling kuat (S) dan E saat kejadian muncul digambarkan tepat di-batas garis “nol” dan di-luar garis ini respon dinyatakan terlambat. Membaca signal yang paling lemah sampai yang paling kuat memerlukan tabel koneksi (connection table). Secara phisik tabel dipetakan dalam komputer yang kapabel memetakan satu kata dengan kata lain tanpa harus menghubungkan-nya baik semantik atau tidak.
Referensi: Ibid, halaman 30. Ruang antara S’ dan E’ dengan S dan E merupakan ruang fleksibel untuk mengadakan persiapan menghadapi letusan kejadian sesungguhnya (Event). Graphik dibaca dari kiri ke-kanan ssuai fungsi waktu.
Dua (2) kata yang terhubung via garis penghubung empirik, misal: kata ASTAR Singapore dan Ethanol bagi analis ada hubungannya[58]. Teknik ini mungkin cocok dengan data signal yang tidak begitu besar. Sekarang kita hidup di-samodra informasi “titik”—persepsi titik sebagai kejadian, fakta, hubungan, dan/atau interpretasi lain yang berpeluang untuk saling dihubung-hubungkan atau saling bertentangan. Harapannya bisa membantu menjelaskan sesuatu yang tadinya masih samar-samar menjadi lebih terang benderang, dengan cara menyatukan semua gambaran setiap titik yang tersebar. Kunci sangat penting di-awal proses adalah mencoba menghubung-hubungkan semua fakta yang tersebar dalam suatu ikatan yang lebih kuat untuk membantu analis intelijen mendeteksi pola yang signifikan atau hubungan yang lebih faktual[59]. Pekerjaan yang teramat sulit untuk menghubungkan dan memilih serta memilah titik-titik yang cocok dari sekian koleksi titik dan mencoba merenung serta interaksi terus menerus sampai menemukan suatu rasionalisasi hubungan. Dalam banyak hal, diharapkan terjadi hasil yang mengerucut—titik-titik akan memberikan temuan guna mengawali suatu pendalaman, pemahaman, dan petunjuk yang lebih menunjukkan kejelasan dibandingkan hanya mengandalkan satu titik kejadian (collecting the dots). Temuan mengerucut ini semakin menggembirakan dengan hadirnya sejumlah informasi pendukung pola ini atau pendukung titik-titik yang ditemui, semakin menampilkan indikator, tipikal atau kepantasan konfigurasi “untuk didalami”. Karena mata dan pikiran (kognitif) berperan besar untuk menyatakan perspektif dan kontek sesuai alur gambaran yang tercipta, diharapkan bisa ditarik kesimpulan yang lebih logik[60]. Bentuk dan gambaran kompehensif ini bisa terjalin dengan kedekatan [i] kombinatorial (combinatorial proximity)—dua (2) fakta menjadi cukup berarti bila di-hubungkan satu sama lain. [ii] kedekatan jejaring (network proximity)—dua (2) fakta yang berasal dari dua (2) orang yang cenderung memelihara informasi. [iii] kedekatan spasial (spacial proximity) bila dua (2) fakta terjadi di-lokasi sama—patut diduga ada kesengajaan bertemu dan sudah saling mengenal[61]. Model koneksi titik, butuh koleksi titik, artinya titik-titik tersebut bisa terhubung (koleksi titik mendahului koneksi titik) apabila tersedia himpunan koleksi titik yang akan dihubungkan—bank data yang sangat besar, utamanya menghimpun titik titik-nya (collecting the dots). Beberapa contoh berikut[62]. [i] dalam kasus 9-11, tahun 2001, agen khusus FBI memperhatikan siswa Sekolah Penerbangan Phoenix (Az), asal Arab adalah pendukung sentimen anti-America dan agen lain di-Minneapolis (Mn) heran mengapa siswa Zacarias Moussaoui lebih tertarik mengemudikan dibandingkan lepas landas dan mendarat. Seandainya kedua-nya bertemu akan semakin mengerucut kecurigaan hadirnya rencana perbuatan jahat. Respon kewaspadaan segera dilaksanakan[63]—bencana bisa dicegah. Secara hirarkhis laporan ini berjenjang keatas, dan tidak kesamping (teman atau partner setingkat)—kompartemenisasi data (terpisah) dan hadirnya ancaman tidak dinilai serius. Pembelajaran; sebaiknya informasi ini dikirim kesamping juga—siapa tahu ada manfaatnya[64]? [ii] Kasus identifikasi penyakit. Banyak penyakit muncul tanpa didukung dengan gejala unik—bisa nampak mirip tetapi tidak identik (misal: flu). Dokter yang mengamati penyakit baru ini merasakan sesuatu diluar biasanya, tetapi ragu mengambil tindakan khusus. Seandainya para dokter di-mana mana mencatatnya; pasti menemukan gejala yang ganjil—disarankan sebagai penyakit baru atau perkembangan baru penyakit lama. Hantavirus, West Nile atau HIV sekalipun tidak akan dikenali kecuali dua (2) kasus muncul sekaligus didepan seorang dokter. Pembelajaran: proses temuan sistematika perlu dilakukan. Contoh berikut; [iii] Pemboman kedutaan China di Beograd[65], selama kampanye Kosovo, Maret 1999. Merujuk posisi peta unit logistik Yugoslav di-Beograd dan informasi kunjungan atase pertahanan NATO ke-Kedutaan besar China yang baru, maka perancang pemboman dan atase bisa bertemu, pemboman bisa dihindari. Pembelajaran: asumsi bisa meyesatkan, terpenting mencari tahu informasi sebenarnya yang dibutuhkan. Secara umum pembelajaran dilihat secara kolektif sebagai kejadian utuh. Analis mencermati dengan teliti bagaimana antisipasi, diagnose, dan pencegahan mendatang. Berikut rincian-nya a.l: mempertimbangkan batas antara koleksi titik dan koneksi titik, mencari hubungan satu sama lain, fakta penting yang memungkinan munculnya gambaran utuh tentang koleksi titik-titik dan mencari solusi. Pengalaman selama ini dirasakan membutuhkan ilmu multidisiplinair dengan domain ilmu sebagai berikut: Sosiologi, khususnya analisis jejaring dinamik—mencermati komunikasi antar orang, mengukur serta menimbang bobotnya. Psikologi (kognitif) melatih orang menilai informasi dan kejadiannya, menyimpan informasi dalam memori, dan bisa menghubung-hubungkan potongan informasi. Ilmu informasi (khusus-nya manjemen pengetahuan)—mencermati bagaimana pengetahuan dijabarkan, diorganisir, dan didistribusikan. Statistik, mencermati dan mengenal anomali dan situasi yang tidak lazim. Ilmu computer serta rekayasa perangkat lunak—mencermati desain teknologi informasi yang terbaik guna berkomunikasi. Ilmu kripto yang didukung matematika yang kuat. Tetapi melatih dan membangun tim yang kokoh dan terlatih jauh lebih penting. Komentar Treverton tentang tantangan multidisiplinair sebagai berikut; … Intelligence analysis is a cross-cutting discipline – multiple types of information[66].
Kesimpulan
Rekomendasi tim Les-Aspin adalah “benchmark” mempertajam fungsi dan penugasan intelijen. Di-sarankan penggunaan teknik modern, kuantitatif dan digabung dengan jejaring kondisi sosial misal: analisis jejaring social dan multidisiplinair lainnya. Besar kecilnya organisasi intelijen nasional tergantung ambisi negara (orientasi maritim beda dengan continental?) dan obyektif kepentingan nasional. NKRI adalah negara poros maritim (sekurang-kurangnya) atau “pas”-nya adalah negara Maritim, sepantasnya memiliki posisi intelijen Maritim (atau cukup PAM saja?). Pelatihan/pendidikan tidak serta merta menjamin tingkat profesionalisme unit intelijen—komit ‘tuk berkarir panjang[67] (belajar, membaca, berlatih, dan diskusi) lebih penting. Personil terbaik ini mestinya tidak ditugasi sebagai pengamat penyimpangan perilaku, moral, dll, yang dilakukan anggota sendiri. Serahkan saja pada fungsi perawatan personil. Dibawah dikutip kriteria analis Intelijen (sebagian kecil) dalam periode waktu[68]—sebagai “benchmark” sekaligus tantangan.
Sekian, semoga bermanfaat.
[1] Loch K Johnson, The Oxford Handbook of National Security Intelligence, (Oxford University Press,2010), halaman 70, …. by “Intelligence” is meant generally the institutions, people, and process that are involved with the four classic functions of intelligence: collection, analysis, covert action, and counterintelligence.
[2] Michael Herman, Intelligence power in peace and war, (The Royal Institute of International Affairs, Cambridge University Press, 1999), hal xii.
[3] Definisi keamanan negara jarang sekali disebut dalam literatur asing, hampir semuanya menggunakan definisi (kata) keamanan nasional (lebih besar dari keamanan negara dan keamanan negara cenderung lebih ke homeland security/internal affairs ~ kamdagri. Kamnas lebih outward looking mengawal tercapainya obyektif kepentingan nasional dan promosi keluar).
[4] Abram N Shulsky, Gary J. Schmitt, Silent Warfare; Understanding the World of Intelligence, (Potomac Book, Third edition, 2002), halaman xi.
[5] Thomas Quiqqin, Seeing the Invisible; National Security Inteligence in an Uncertain Age, (World Scientific Pub & Rajaratnam Strategic Studies, Singgapore, 2007), foreword.
[6] … strategi harus memiliki obyektif (bukan maksud dan tujuan) atau end-state (status akhirnya seperti apa?), tepatnya … without these ends in vew, action is superficial and likely to lead to “strategic failure”. Thus national strategy formulation also can be defined as a pragmatic, action-oriented, and goal-driven process of transforming current national status (AS IS) to the desired status (TO BE) based on mental cosntructs (e.g; vision, values, and motivation) of individuals with governing and policy-making responsibilities. This has to take place within the constrain of relevant material, social, cultural, constitutional, and legal frameworks.
[7] Roger Z George & James B Bruce, Analyzing Intelligence; Origins, Obstacle, and Innovations, (Georgetown University Presss, 2008), halaman 1.
[8] Dua (2) prasyarat tegaknya negara maritim yakni hadirnya strategi pertahanan maritim (dengan jantungnya Angkatan Laut dan bisnis lebih ke krisis, konflik atau perang) dan strategi nasional ’tuk keamanan maritim dalam domain maritim (maritime homeland security dengan bisnisnya lebih ke isu keamanan domestik di-domain maritim/wilayah sendiri) dengan jantungnya adalah proyeksi dan deploy kekuatan pengawal pantai (Coast -Guard).
[9] Bakamla atau Bakammar?
[10] Ibid, hal 45… yang mengutip kata-kata Robert Jervis; Perception and Misperception in International Politics, Princeton Univ Press, 1976, hal 32.
[11] Paul Shemella (ed), Fighting Back, (Stanford University Press, 2011),
——Risk Assesment; by James Petroni, hal 119.
[12] Thomas Copeland, Fool Me Twice; Intelligence Failure and Mass Casualty Terrorism, (Nijhoff Pub, 2007), halaman 1…arti kegagalan kepemimpinan kebijakan publik lebih kepada proses penganggaran dan kekeliruan penilaian ancaman serta penilaian lingkungan serta kedalaman dan pendalaman pengetahuan KI (komuniti intelijen).
[13] Michael Herman; Intelligence Power In Peace and War, (RIIA, Cambridge University Press, 1999), hal 2, … dan sebutan MIDLIFE berasal dari military, informational, diplomacy, legal, intelligence, finance, dan economics (pen).
[14] Walter Laqueur, The Uses and Limits of Intelligence, (Transaction Pub, 1995), hal 255
[15] Ibid, hal 255.
[16] Ibid, hal 256.
[17] Ibid, hal 257.
[18] Ibid,
[19] Ibid, hal 259.
[20] Ibid, hal 259.
[21] Ibid, hal 267.
[22] Perlu dicatat bahwa produk intelijen tidak perlu harus menjadi bahan “matang” , kadang – kadang bahan mentahnya bisa dipercaya sudah mengandung substansi penting intelijen.
[23] Tim analisis operasi atau tim operasi riset yang sangat membantu Ingggris dan Sekutu memecahkan masalah keselamatan konvoi, peperangan anti kapal selam, anti udara, dll.
[24] OSINT = open source intelligence.
[25] James S Major, Writing Classified and Unclassified Papers in the Intelligence Community, (Scarecrow Press,2007), halaman 38.
[26] Loch K Johnson, The Oxford Handbook of National Security Intelligence, (Oxford University Press,2010), halaman 2.
[27] Ibid, halaman 4.
[28] Abram N Shulsky & Gary J. Schmitt, Silent Warfare; Understanding the World of Intelligence, (Potomac Book, Third edition, 2002), halaman 1. … penjelasan ini benar-benar tegas (tidak ada “sahabat” “mitra” atau “teman” mutlak). Kata kata tidak ada lawan potensial/aktual ~ konsep “zero enemies” — sulit ditemui dilapangan.
[29] Robert Rover, et-all, Routledge Companion to Intelligence Studies, (Rutledge,2014), halaman 2. … dan motto ini “menciptakan keputusan yang menguntungkan “ (creating decision advantage), dituliskan (dinding-dinding tembok gedung) besar-besar sebagai motto DNI (director of national intelligence-AS).
[30] Craig Eisendrath, National Insecurity; US Intelligence After the Cold War, (Temple University Press, 2000), halaman 76. Isu covert actions atau dikenal sebagai “blowback” problem. Halaman 76, membahas kasus blowback satu demi satu.
[31] Robert Rover, et-all, Routledge Companion to Intelligence Studies, (Rutledge,2014), halaman 2. … dan motto ini “menciptakan keputusan yang menguntungkan “(creating decision advantage), dituliskan (dinding-dinding tembok gedung) besar-besar sebagai motto DNI (director of national intelligence-AS). halaman 3.
[32] Penulis lebih suka menggunakan kata nasional (intelijen nasional) dibandingkan negara, (negara ~ lebih bersifat phisik ~ unit/badan/organisasi … negara) dan nilai serta arti nasional jauh lebih berharga untuk dipertaruhkan (lebih ke outward looking) versus apapun juga dan kata ini sepertinya hampir digunakan bagi seluruh negara (intelligence national bukan intelijen negara).
[33] Policy akan mencerminkan jawaban “what” apa sebenarnya yang diinginkan pemerintah tentang produk intelijen nasional yang akan datang. Sedangkan bagaimana caranya “what” pemerintah tercapai didukung dengan stratgei yang disusun sebagai agregasi policy yang terbangun. Policy menjadi superior dan strategy menjadi subordinasinya.
[34] Loch K Johnson, The Oxford Handbook of National Security Intelligence, (Oxford University Press, 2010), halaman 6.
[35] Ibid, halaman 6.
[36] Loch K Johnson, Assesing an Earlier Panel on Intelligence: The Aspin – Brown Intelligence Inquiry: Behind the Closed Doors of a Blue Ribbon Commision, (Studies in Intelligence, vol 48, no.3), Halaman 3.
[37] Norman Balikie, Analyzing Quantitative Data; From Description to Explanation, (SAGE Pub, 2003), halaman 12, 13…pen, bentuk pertanyaan selalu menjadi ciri-ciri, mesin penggerak awal tulisan riset, bagus tidaknya (kualitas) kajian atau riset sangat tergantung kepada bentuk pertanyaan yang dimengawalinya (untuk mengksplor, memahami, mendalami, intervensi, dll ~ pertanyaan bagi masing-masing keinginan tersebut akan berbeda).
[38] Robert Dover, et-all, (3 persons), Routledge Companion To Intelligence Status, (Routledge, London, 2014), halaman 35.
[39] Bahkan begitu kuat tarik menarik pendayagunaan unit intelijen terutama militer dan hasilnya “hanya” digunakan (in-cost effective bukan?) untuk mengawasi dengan ketat personil sendiri yang mungkin saja lebih banyak porsi pelanggaran ethika, moral atau perilaku (serahkan saja pada unit sumberdaya manusia/personil yang akan merawatnya?) jauh lebih besar di-bandingkan porsi membuat ancaman terhadap keamanan nasional (ineffisiensi bukan?). Akibatnya porsi mengamati kapabilitas dan effektifitas (MOE measures of effectiveness) alut sista musuh atau calon musuh menjadi terkurangi yang mestinya harus jauh lebih besar diberikan perhatiannya.
[40] NSA = National Security Agency, adalah ajensi kriptographi, bentukan Pres Truman.
[41] Loch K Johnson, The Oxford Handbook of National Security Intelligence, (Oxford University Press, 2010), halaman 12.
[42] Brian A. Jackson, (eds), et-all, The Challenge of Domestic Intelligence in a Free Society; A Multidiplinary Look at the Creation of a US Domestic Counterterrorism Intelligence Agency, (RAND,2009), halaman 3,4, … domestic intelligence…As effort by government organizations to gather, asses, and act on information about individuals or organizations in the US persons elsewhere that are not related to the investigation of a known past criminal act or specific planned criminal activity.
[43] WOT, war on terrorism.
[44] Loch K Johnson, The Oxford Handbook of National Security Intelligence, (Oxford University Press, 2010), halaman 12.
[45] Michael D. Bayer, Research Fellow, The Blue Planet; Informal International Police Networks and National Intelligence, (National Defense Intelligence College, Feb 2010), halaman 4, … tertulis RAND dengan singkat & tegas menyatakan … after 11 Sept 2001, the US strategy against al-Qaeda centered on the use of military force. Indeed, US Policymakers and key national security documents referred to operations against al-Qaeda as the War on Terrorism. Other instruments were also used, such as cutting off terrorist financing, providing foreign assistance, engaging in diplomacy, and sharing information with foreign goverments. But military force was the primary instruments. … hanya dengan kata-kata War, militer langsung dilibatkan.
[46] Irina Goldenberg, et-all (3 peoples), Information Sharing in Military Operations, (Springer, 2017), halaman 4,5.
[47] National Research Council of the National Academies, Inteligence Analysis for Tomorrow; Advances from the Behavioral and Social Sciences; (The National Academies Press, Washington, DC,www.nap.edu, 2011), halaman 16. Kolaborasi adalah suatu bentuk kerjasama yang bisa dijamin bahwa “orientasi goal” akan didukung bersama unit yang bekerjasama, berbeda dengan kooperasi, atau (lebih-lebih) koordinasi yang sangat lemah sekali ikatannya, pen.
[48] Irina Goldenberg, et-all (3 peoples), Information Sharing in Military Operations, (Springer, 2017), halaman 147 sd 150.
[49] Scott F Breor, LCDR USN; “Mantaining Course and Speed…”, Command and Control for Maritime Homeland Security and Homeland Defense, (Thesis US NPS, Master of Arts in Security Stucies, June 2004), halaman 5. Perhatikan judul thesis dibuat sederhana, menarik, dan terkesan lebih santai. Gambar sepertinya diambilkan dari National Strategy for Homeland Security/(sama dengan)National Strategy for Maritime Security (lama ? , pen) di-halaman 3, 4.
[50] Ibid, halaman 5. Perhatikan judul thesis dibuat sederhana, menarik, dan terkesan lebih santai. Gambar sepertinya diambilkan dari National Strategy for Homeland Security/ (sama dengan)National Strategy for Maritime Security (lama ? , pen) di-halaman 2.
[51] Charles Nemfakos; et-all, 11 persons, Worksforce Workforce Planning in the Intelligence Community; A Restrospective, (RAND, 2013), halaman 34.
[52] Robert Dover, et-all, (3 persons), Routledge Companion to Intelligence Status, (Routledge, London, 2014), halaman 35.
[53] Don McDowell, Strategic Intelligence; A Handbook for Practitioners, Managers, and Users, (Scarecrow Press, 2007), halaman 5.
[54] Michael R Ronczkowski, Terrorism and Organized Hate Crime: Intelligence Gathering, Analysis, and Investigations, (CRC Press, 2012), Halaman 11 … in meeting a threat, government has two basic alternatives: defense and deterrence. Meskipun fokus buku ini adalah terrorisme, rasanya bisa diperlakukan secara umum, pen. Suatu pernyataan yang dibuat Marthen Crenshaw, tahun 1988 dan tambahnya, hal ini masih relevan bagi penegak hukum dan pemerintah sampai sekarang.
[55] Ibid, halaman 11, … However, for law enforcement agencies the alternatives are often construed as prevention and deterrence.
[56] John Holywood, et-all (4 persons), Connecting the Dots” in Intelligence: Detecting Terrorist Threats in the Out-of-the-Ordinary, (RAND, Research Brief, 2005), halaman 1.
[57] Humbert Lesca & Nicolas Lesca, Weak Signals for Strategic Intelligence; Anticipation for Managers, (Wiley & Sons, 2011), halaman 30, … bahkan bagi analis signal, maka kata ASTAR Singapore dengan kata Ethanol ada kaitannya (halaman 206).
[58] Ibid, halaman 206, bahkan bagi analis signal, maka kata ASTAR Singapore dengan kata Ethanol ada kaitannya.
[59] Martin C. Libicki, Shari Lawrence Pfleeger, Collecting the Dots: Problem Formulation and Solution Elements, (RAND, January, 2004), halaman 2.
[60] Ibid, halaman 3.
[61] Ibid, halaman 3.
[62] Ibid, halaman 6.
[63] Ibid, halaman 7.
[64] Ibid, halaman 7.
[65] Ibid, halaman 10.
[66] Gregory F Treverton & C Bryan Gabbard, Assesing the Tradecraft of Intelligence Analysis, (RAND, National Security Research Division, 2008), halaman 34.
[67] Committee on Behavioral and Social Science Research to Improve Intelligence Analysis for National Security, Intelligence Analysis for Tomorrow; Advances from the Behavioral and Social Sciences, (National Research Council, National Academic Press, 2011), halaman 52.
[68] Gregory F Treverton & C Bryan Gabbard, Assesing the Tradecraft of Intelligence Analysis, (RAND, National Security Research Division, 2008), halaman 34.