Intelijen Maritim 2012-2014: Suatu Wacana yang Terpinggirkan

Oleh: Robert Mangindaan

1.       Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan yang terbesar dengan berbagai keunikan geografisnya, sudah sepatutnya Indonesia (berniat) membangun negara maritim yang kuat dan berpengaruh di kawasan Asia Pasifik. Pandangan tersebut perlu dikemukakan secara konkrit oleh karena RPJMN (2010-2014) menetapkan sasaran yang ingin dicapai adalah mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional adalah menumbuhkan wawasan bahari bagi masyarakat dan pemerintah agar pembangunan Indonesia berorientasi kelautan.[1]

Ada tiga kata kunci pada rencana pembangunan tersebut, yaitu (i) negara kepulauan, (ii) wawasan bahari, (iii) berorientasi kelautan.  Ketiga kata kunci tersebut sebaiknya dicerna dengan baik sebelumnya oleh karena ada implikasi politik, hukum, dan yang terutama strategic imperative-nya. Memang benar, konsep tersebut tidak salah seratus persen, oleh karena masih ada kaitannya dengan habitat bangsa Indonesia yang luasnya duapertiga dari daratan. Namun  perlu disadari  bahwa mind-set yang mengkonstruksikan konsep tersebut belum mengedepankan berbagai keunikan yang melekat pada ruang hidup bangsa ini. Ibaratnya sebagai suatu platform—konsep tersebut tidak cukup luas untuk menampung kepentingan dan kebutuhan nasional yang lebih besar (outward looking).

Dampaknya tidak sesederhana seperti yang diperkirakan banyak pihak, oleh karena ada berbagai kepentingan strategis yang (sepertinya) tidak ditinjau, malahan yang terjadi sebaliknya—yaitu kecenderungan pembiaran. Kepentingan tersebut adalah  domain maritim, memang  kurang dipahami secara benar (appropriately). Satu contoh yang sangat jelas adalah, Indonesia tidak punya strategi keamanan maritim. Nah…binatang apa lagi ini?

Strategi keamanan maritim kandungannya adalah kepentingan nasional di laut, bukan didominasi oleh tugas dan kerjaan pihak militer dan atau kepentingan pertahanan nasional.  Intinya akan berada dalam dua spektrum besar yaitu interest (utama, penting, pendukung) dan power (ekonomi, politik, dan militer). Satu di antaranya adalah ekonomi maritim, tetapi lahan tersebut (sepertinya) masih tidur dan tidak banyak pihak yang (mau) memahami potensinya yang sangat besar, misalnya; (i) sebagai sumber devisa yang dapat diandalkan, lihat Korea Selatan, Estonia, (ii) menyediakan lapangan kerja yang sangat besar, diserap oleh industri perikanan, pelayaran, pariwisata, farmasi, pendidikan, (iii) laboratorium alam terbesar di dunia, dan (iv) pasti mampu perkuat bargaining power di fora internasional.

Barangkali, derap langkah pembangunan negara maritim barangkali akan dimulai tahun 2015, atau tepatnya pada tahun 2025, tetapi pilar-pilar strategis sudah harus dibangun sekarang ini, satu di antaranya adalah intelijen maritim. Ada ungkapan bijak yang sangat terkenal—knowledge is power dan intelijen itulah yang menyediakan knowledge. Ironis sekali, bahwa Indonesia tidak punya intelijen matra, yang mana sekarang ini diemban oleh bagian Pengamanan (security—dioperasikan dalam LID, PAM, GAL). Dalam kamus intelijen, tugas pokok Pengamanan berada dalam lingkup counter intelligence (baca: PamPers, PamDok, PamGiat, PamLog). Konstruksi tersebut mengindikasikan bahwa pembinaan kompetensi dan kapabilitas untuk intelijen maritim, tidak akan berkembang sebagaimana tuntutan operasional di lapangan.

Ada beberapa orang (baca: pejabat) yang mengatakan bahwa sekalipun namanya ‘pengamanan’, tetapi beban dan ruang lingkup operasional sudah bekerja di domain intelijen. Barangkali benar pernyataan tersebut,  tetapi yang dikembangkan adalah naval intelligence, dan indikatornya dapat dilihat pada beberapa   hal,   misalnya; (i) sumber  UUK   dari   mana   datangnya,  (ii)  badan pengumpulnya dari jajaran mana dan (iii) kenyataannya pihak penggunanya adalah jajaran Angkatan Laut.  Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia pasti membutuhkan intelijen maritim.

Political message yang perlu dikemukakan ialah—sumber UUK dan pengguna intelijen maritim tidak terbatas pada jajaran Angkatan Laut. Pemangku kepentingan maritim nasional terdiri dari banyak pihak, dan ukuran keberhasilan intelijen maritim adalah produknya dapat dipergunakan oleh pemangku kepentingan maritim. Lalu—pihak mana yang menyiapkan intelijen maritim?

Arsitektur manajemen keamanan maritim nasional memang tidak jelas dan situasinya sekarang ini ada tigabelas instansi dengan dasar hukum yang kuat, bersikukuh untuk melaksanakan tugasnya di laut. Sudah berkembang wacana single agency—multi task, tetapi banyak pihak menterjemahkan sebagai multi function. Pasti ada beda antara multi task dengan multi function, dan pemerintah sedang mengupayakan pembenahannya dengan merealisasi Undang-undang No. 17/2008 tentang Pelayaran yang mengamanahkan untuk membentuk Indonesia Sea and Coast Guard. Tetapi situasinya sekarang ini, amanah tersebut kelihatannya sudah mati suri oleh karena banyak pihak, tidak menginginkan institusi tersebut untuk diwujudkan.

Sebaliknya—ada beberapa inisiatif yang sedang berkembang, misalnya pihak Bakorkamla sudah memposisikan pihaknya sebagai institusi Coast Guard, yang terbukti dengan code of conduct yang diperlihatkan pada berbagai kunjungan ke mancanegara. Lalu, bagaimana dengan instansi Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai? Dalam bahasa asing nama instansi tersebut adalah Sea and Coast Guard, dan sepanjang sejarah republik ini, mereka sudah melaksanakan fungsi dengan baik, sesuai dengan undang-undang, regulasi, dan kondisi yang berlaku. Mereka juga sudah dikenal lama oleh counterpart di ASEAN, bahkan pihak Jepang memperbantukan perwakilan JICA di Ditjen Perhubungan Laut.

Pada sisi lain, wacana untuk membentuk BAKAMLA sudah semakin kuat dan kepada masyarakat luas, ada pihak yang secara intensif memberikan pemahaman bahwa badan inilah yang nantinya akan bertugas mengamankan perairan Indonesia. Argumentasinya  adalah   untuk   kepentingan penegakan hukum dan tidak mengherankan apabila ada pihak-pihak (bukan hanya satu) yang menyiapkan postur operasional dan minta dana untuk beli kapal, rekrut sumberdaya manusia dan membangun pangkalan.  Apakah konsepsi tersebut tidak sama dengan membangun suatu ‘angkatan laut’ yang baru?

Efisienkah membubarkan KPLP (Sea and Coast Guard) dan menggantikan dengan ‘angkatan laut’ yang baru, dan ditugaskan hanya untuk penegakan hukum? Membangun organisasi tentu ada tujuannya, dan pasti ada kalkulasi cost and benefit secara holistik, yang harus mengacu pada bingkai kepentingan nasional, bukan kepentingan sektoral.

Masyarakat internasional (terutama negara pihak UNCLOS 1982) sangat memahami bahwa untuk membentuk kompetensi dan kapabilitas perwira Angkatan Laut, memerlukan pembinaan dalam waktu yang relatif cukup panjang, berjenjang, dan berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang terstruktur dan terukur. Ada agenda BinPers, OpsLat, Intelijen, dan BinLog, Hukum, yang kesemuanya diajarkan dan dilatih secara konsisten, kemudian dieksekusi dalam suatu ‘bingkai’ strategi yang ada pula sekuensnya. Singkatnya—tidak sekedar bisa baris berbaris, latihan penghormatan, pakai seragam dan berikan sprin tugas ke laut.

Bukan rahasia lagi bahwa Indonesia tidak punya strategi keamanan maritim, tetapi bukan berarti negara lalai menyiapkan intelijen maritim. Instrumen tersebut amat penting bagi Indonesia yang bertekad mengembangkan negara kelautan yang maju mandiri (seharusnya baca: negara maritim).  Pengertian mandiri tentunya dalam nuansa inward looking, tetapi terikat dalam kerjasama rumpun bangsa Asia Tenggara. Dalam Komuniti ASEAN, ada lima agenda dalam bidang kerjasama keamanan kawasan, yaitu counter terrorism, maritime security, intelligence, HA—DR, PKO—civilian protection. Dalam lima agenda tersebut, ada dua lingkup kerjasama yang perlu disikapi dengan segera oleh karena terkait erat satu dengan lainnya yaitu maritime security dan intelligence.

Pada sidang AMF-I /2010  di Surabaya, sudah ada pekerjaan rumah yang harus  dikerjakan   yaitu connectivity,   safety of navigation,  marine pollution  dan  SAR. Tidak pula berlebihan untuk memperkirakan bahwa keamanan pelayaran akan menjadi agenda sidang AMF berikutnya. Pekerjaan tersebut membutuhkan intelijen maritim dan beban kerjanya tidak hanya sebatas kepentingan pelayaran, atau urusan rambu-rambu laut,  tetapi meliput seluruh kepentingan nasional di laut, baik di dalam yurisdiksi maupun di luar.

2.       Konstruksi Intelijen Maritim Virtual

Intelijen adalah instrumen negara digunakan untuk membantu pencapaian sasaran nasional (national objective) dengan  mengacu pada kepentingan nasional (national interest) dan dibangun dengan memperhatikan karakternya yang khas yaitu kerahasiaan. Tanpa kerahasiaan namanya bukan intelijen, tetapi jurnalis atau reporter. Setiap negara membutuhkan intelijen dan banyak pihak menetapkan intelligence sebagai first line of defense. Konsekuensinya adalah membangun intelijen sebagai institusi yang andal untuk meraba (sensing) semua bentuk ancaman, yang dalam pengertian Maoz adalah loss (kehancuran, kerusakan, kerugian, kehilangan dan sebagainya) akan terjadi pada semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (political loss, economic loss, social loss, etc).[2]

Intelijen memiliki tiga wujud (trinity) yaitu sebagai pengetahuan (knowledge), sebagai kegiatan (activity) yang mencari pengetahuan yang diinginkan, dan sebagai organisasi (organization) yang menyelenggarakan kegiatan untuk mencari pengetahuan yang diinginkan.[3] Secara teoritis, itulah pemahaman dasar mengenai  intelijen, dan dalam tahapan selanjutnya  jajaran intelijen diberikan penugasan untuk meniadakan ancaman. Dalam pengertian sederhana, kegiatan intelijen dapat dituangkan dalam rumus sebagai  berikut;

T  =  I  x C x C

T (threat), I (intention), C (capability), C (circumstance)[4]

Secara teoritik, ancaman (loss) akan terjadi apabila perkalian antar unsur ada nilainya. Sebaliknya, perkalian akan sama dengan nol, apabila salah satu unsurnya sama dengan nol.  Adalah tugas intelijen untuk mendapatkan pengetahuan tentang intention, capability, circumstance, dan berikutnya menjadikan salah satu unsurnya sama dengan nol.  Besaran ancaman sangat tergantung pada besaran tiap elemen, dan pekerjaan intelijen berikutnya adalah meniadakan ancaman atau memperkecil (minimizing) ancaman sehingga tidak memiliki daya merusak. Misalnya mengupayakan salah satu unsurnya sama dengan nol, sehingga hasil perkaliannya akan sama dengan nol.

Ada beberapa persoalan yang dihadapi oleh pihak intelijen, yang pertama adalah membangun badan pengumpul dengan memanfaatkan semua komponen yang memiliki potensi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Secara tradisional, ada tiga kelompok instrumen yang digunakan yaitu human intelligence, electronic intelligence dan imagery intelligence. Tetapi perkembangan kemudian bertambah dengan measurement and signature intelligence (MASINT), geospatial intelligence (GEOINT), open source intelligence (OSINT). Tidak semua komponen tersebut berada

di bawah ‘satu atap’ pembinaan dinas intelijen, tetapi berada dalam pembinaan instansi lain, bahkan di masyarakat luas dan pihak swasta. Persoalan yang kedua, adalah moda operasi. Pola-metoda-aturan pelibatan intelijen pada tahun-tahun mendatang tidak akan sama persis dengan tahun ini, oleh karena terimbas perkembangan teknologi, pengaruh atmosfir politik, dan critical global issues. Operasi intelijen akan semakin mahal dan di samping itu ada tekanan politik, dan juga menguatnya tuntutan penghormatan terhadap hak azasi manusia, akan menekan pihak intelijen untuk menentukan pola operasi yang tepat untuk setiap area of engagement.

Persoalan yang ketiga, menyangkut jajaran SDM—ibaratnya seperti prosesor komputer, sudah berkualitas kelas icore, menyandang teknologi terkini dan ekonomis. Kata orang, intelijen itu adalah perang akal, artinya hanya yang punya akal lebih cerdas akan memenangkan pertempuran (war of wits). Pada era yang semakin tinggi tingkat ketidakpastian, pihak intelijen perlu memiliki analis-analis yang andal, pada semua bidang—katakanlah pada bidang keuangan, ekonomi dan perdagangan, sistem senjata dan perlucutan senjata, dan sebagainya. Menguatnya industri media massa menjadikan pihak intelijen harus berpacu dengan mereka dalam hal kualitas analisis dan waktu.

Membangun intelijen maritim virtual, bukan perkara yang sulit tetapi bukan pula semudah membalik telapak tangan. Kerangka dasarnya mengacu pada naval intelligence yang dikembangkan secara sistematik agar mampu menampung kepentingan yang lebih besar. Referensinya tidak lagi sebatas military objectives, tetapi sudah pada aras national objective terkait dengan domain maritim.

Pada naval intelligence, yang menjadi pengguna adalah jajaran Angkatan Laut dan paling tinggi adalah Panglima TNI dan Menteri Pertahanan. Tetapi pada intelijen maritim, jajaran penggunanya sudah banyak pihak, yang terkait dengan domain maritim.  Bisa saja Menko Kesra, Bappenas, KADIN, beberapa Komisi di DPR RI. Singkatnya—berbagai kementerian, instansi, lembaga, bahkan swasta, perlu mendapatkan pasokan intelijen maritim yang aktual dan akurat.

Kerangka organisasi akan terbagi dua yaitu positive (intelligence) dan negative (counter intelligence) dan rasionya sangat mungkin akan condong pada sisi negative. Normatif, perimbangan tersebut akan ditentukan oleh strategi keamanan maritim, apakah seimbang atau akan condong pada satu sisi, tetapi penulis berpendapat bahwa intelijen maritim virtual sebaiknya berat pada counter intelligence. Ada beberapa alasan, yaitu (i) struktur organisasi belum terbentuk (real), (ii) dana dan logistik tidak memadai,  (iii) ancamannya (imminent loss)  sudah di depan mata dan ‘musuhnya’ pun sudah jelas.

Menarik untuk dipelajari perkembangan Maritime Domain Awareness (MDA) yang dikembangkan oleh banyak pihak,  intinya adalah  effective understanding of anything associated with the maritime domain that could impact the security, safety, economy, or environment (Wikipedia). Tetapi pihak Amerika Serikat mengembangkan MDA (2005) yang mengedepankan peran jajaran intelijen yang bertugas to collect, fuse, analyze, display, and disseminate actionable information and intelligence. Ada tiga langkah yang harus ditempuh untuk mengembangkan konsep tersebut, yaitu (i) menentukan standar pengumpulan informasi dan distribusinya, (ii) meningkatkan teknologi untuk mendukung kemampuan maritime C4ISR termasuk peralatan sensor, platform dan komunikasi, (iii)  menata organisasi dan pengawakannya, dengan berbagai opsi antara lain membina koalisi dan mitra kerja, meningkatkan kemampuan human intelligence, membina masyarakat maritim global dan membantu pembentukan pusat komando pada aras nasional untuk menangkal ancaman.

Memang ada beberapa pihak yang sudah mengembangkan intelijen maritim, dan konsepsinya dapat dijadikan acuan yang relevan, tetapi Indonesia perlu membangun konstruksinya yang khas Nusantara. Referensi dasar yang perlu dipahami adalah situasi geografi, geopolitik dan kepentingan nasional NKRI.

3.       Maritime Critical Issues Tahun 2012-2014

Referensi dasar yang digunakan untuk membangun kesiapan operasional dua tahun ke depan adalah RPJMN 2010-2014 (national interest) dan intelijen maritim perlu memahami dengan tepat apa sasaran yang ingin dicapai (national objective).

Berikutnya adalah membangun persepsi ancaman yang dipahami oleh banyak pihak terkait, agar ada satu kesatuan bahasa dan tentunya tindakan yang perlu ditempuh. Membangun persepsi ancaman, sepertinya pekerjaan yang mudah oleh karena sudah digunakan oleh banyak pihak, termasuk masyarakat luas. Misalnya ancaman bajak laut, teroris, illegal logging, illegal fishing dan sebagainya, yang langsung diterjemahkan dalam dua bidang penugasan, yaitu penegakan hukum atau keamanan, kepentingan pertahanan atau keamanan.

Pemahaman seperti itu sudah berkembang luas, malahan sudah dikukuhkan dengan dasar hukum yang kuat, dan menjadi pegangan otoritas sipil. Tetapi semantically, pemahaman seperti itu sangat mengaburkan (baca: keliru), dan belakangan ada wacana yang membedakan keamanan dengan k kecil dan KEAMANAN dengan K besar. Tambah kabur lagi dan akan terbukti pada strategic imperative-nya, salah satunya adalah penggunaan intelijen (strategis-operasional-taktik) dalam bingkai keamanan nasional. Bagaimana mungkin membangun kekuatan (BangKuat), kemudian mengerahkan kekuatan (GunKuat) tanpa masukan intelijen? Barangkali ada pihak mengklaim bahwa mereka juga punya divisi intelijen, tetapi belum tentu memiliki data base yang menyimpan basic descriptive elements intelijen maritim.

Sebaiknya—persepsi ancaman dibangun untuk mengukur, mengevaluasi (to assess), apa besaran loss yang akan terjadi, tidak hanya fokus pada modusnya (intelijen operasional). Perlu dipahami dengan baik bahwa kehancuran-kerusakan-kehilangan tidak selalu diukur secara fisik, tetapi pasti ada juga tinjauan secara non fisik, misalnya political loss, societal loss, opportunity loss dan sebagainya (intelijen strategis).

Ada beberapa isu kritis yang dihadapi oleh kepentingan maritim nasional, yang pertama, derasnya tekanan globalisasi masih bergantung pada transportasi laut, artinya—keamanan pelayaran, keselamatan navigasi, polusi karena pelayaran, mendapatkan perhatian yang sangat serius oleh banyak pihak. Mereka menuntut penyelenggaraan keamanan dan keselamatan navigasi harus berstandar internasional, dengan mengacu pada berbagai konvensi yang berlaku.

Salah satunya adalah ISPS Code dan masyarakat internasional sudah melangkah lebih jauh yaitu menerapkan sanksi terhadap kelalaian, bahkan mengirimkan sinyal bahwa mereka (negara besar) akan bertindak, mengamankan kepentingan mereka di manapun lokasinya, termasuk di wilayah yurisdiksi Indonesia. Apakah hal ini dilihat sebagai ancaman? Belum tentu!

Pihak terkait di Indonesia mengklaim bahwa Indonesia sudah menerapkan berbagai konvensi terkait dengan keamanan pelayaran dan keselamatan navigasi, lengkap dengan angka dan prospeknya. Tetapi dari pengamatan intelijen maritim, dengan mudah melihat bahwa kondisi nyata di lapangan tidak sesuai dengan klaim yang dikemukakan. Dalam era globalisasi, port security management merupakan critical point dalam mata rantai kekuatan nasional untuk meningkatkan daya saing. Tidak perlu heran apabila ada pihak-pihak yang menginginkan agar critical point tersebut tidak diperbaiki, dengan targetnya adalah aras daya saing Indonesia tetap di bawah potensi nasional mereka.

Apakah kerusakan pada critical point tersebut dilihat sebagai ancaman? Belum tentu, tetapi justru dari titik itulah dapat digunakan sebagai referensi untuk membangun persepsi nasional bahwa kerusakan terhadap critical point tersebut adalah ancaman (economic loss) dan perlu digalakkan dengan segera. Intelijen maritim harus mampu mengangkat UUK yang mampu mendapatkan informasi mengenai; (i) strategic intention, (ii) potensi kapabilitas dari pihak ‘musuh’yang mampu melakukan ancaman tersebut, dan (iii) circumstance (atmosfir politik, kerawanan pada port security management, kelemahan perangkat hukum, dsb) yang memungkin-kan ancaman itu terjadi.  Jajaran pertama para pengguna dari produk intelijen tersebut antara lain; Menko Ekonomi, Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan, Menteri BUMN, Komisi DPR-RI dan pasti ada pula jajaran kedua yang perlu mendapatkan pasokan intelijen maritim untuk isu yang sama.

Isu kritis yang kedua, adalah realisasi Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), barangkali terkait erat dengan sistem logisitik nasional, barangkali   juga  terkait   dengan  distribusi  BBM.  Konsep  tersebut  mengandung beberapa kelemahan, dua di antaranya adalah kesiapan pelayaran dan daya dukung ekonomi daerah. Bagi Indonesia yang terdiri dari belasan ribu kepulauan maka transportasi (utamanya laut) merupakan tulang punggung yang sangat penting. Apabila kalimat tersebut di balik, maka dapat dikemukakan dengan jelas-tegas bahwa tanpa tranportasi laut maka MP3EI tidak akan jalan, begitu pula logistik nasional dan distribusi BBM. Apakah semua pihak menganggap bahwa kerusakan sistem transportasi laut sebagai ancaman terhadap kelangsungan NKRI untuk hidup dan berkembang?  Seharusnya sudah, yang melihat dengan satu persepsi—ancaman!.

Kajian intelijen maritim akan mengungkapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa sistem transportasi laut yang andal, tidak akan stabil, berada di ambang cerai berai dan 17.499 pulau hidup terpisah pisah. Mengelola pemerintahan di rangkaian pulau-pulau terdepan tanpa dukungan sistem transportasi laut yang memadai, juga tidak akan berjalan dengan baik, sekalipun dibentuk berbagai badan, komisi atau apapun namanya.

Pada sisi lainnya, tiap daerah kepulauan pasti mempunyai potensi ekonomi yang mendukung kehidupan masyarakat setempat, tetapi gambaran umum dari dari daerah-daerah tersebut memperlihatkan bahwa potensi tersebut belum dieksploitasi secara efisien dan ekonomis. Ada berbagai masalah mulai dari modal dan teknologi, tenaga manajemen yang andal, permintaan pasar dan distribusi. Mobilisasi ekonomi daerah memperlihatkan bahwa critical point berada pada aspek transportasi laut.

Informasi tersebut, menegaskan bahwa critical point dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi Indonesia, adalah sistem transportasi laut. Sadar atau tidak, transportasi laut adalah urat nadi NKRI, dan pasti di sana ada kerawanan yang laten dan sekaligus ancaman yang bakal dihadapi. Bicara soal ancaman dan kerawanan,  domain itu adalah ‘porsi’ intelijen, dan menjadi tugas  primer intelijen maritim untuk  mengindra semua bentuk ancaman yang akan merusak, menghancurkan, menghambat, pembangunan dan perkuatan sistem transportasi laut,  dan mampu menguraikan strategic intention, capability, circumstance, untuk menjadi masukan yang berguna bagi jajaran pengguna (users) di berbagai kementerian, instansi, lembaga, yang terkait.

Isu yang ketiga, adalah mengenai sea piracy and armed robbery. Kajian intelijen maritim pada aras operasional akan mengungkapkan mengenai modus, para pelaku, jumlah kerugian, dan sebagainya. Tetapi kajian intelijen maritim pada aras strategis akan mengindra seberapa jauh kerusakan pada aspek politik, kebijakan publik, ekonomi dan sosial. Produk intelijen seperti itu akan sangat membantu berbagai pemangku kepentingan di bidang transportasi laut, misalnya kalangan industri dan jasa maritim, pendidikan dan perbankan.

Memahami masalah sea piracy and armed robbery merupakan kebutuhan yang mendesak, oleh karena isu tersebut terkait dengan berbagai isu strategis yang tidak kalah penting. Periksa agenda ASEAN Maritime Forum tanggal 17-19 Agustus 2011 di di Pattaya, yang membicarakan beberapa topik, yaitu; (i) safety of SLOCs di kawasan ini, (ii) enhance Maritime Domain Awareness di kawasan ini, (iii) strengthening Maritime Security and Safety di kawasan ini. Tanpa memahami persoalan di lapangan secara jernih (strategically), Indonesia tidak akan mungkin keluar dengan konsep-konsep pelibatan yang tepat untuk ‘bertanding’ dengan konsep pihak lain di pertemuan AMF. Adalah tugas intelijen maritim untuk mengumpulkan informasi terkait, baik pada aras operasional maupun strategis, dan mengolahnya untuk disampaikan pada pihak pengguna (misalnya Menko Polhukam, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Riset dan Teknologi).

Sebetulnya, sudah cukup banyak referensi, misalnya (i) kasus bajak laut Somalia, (ii) kasus 2500 Marinir Amerika Serikat di Darwin, (iii) perubahan iklim, yang kesemuanya mengisyaratkan bahwa Indonesia perlu segera mengembangkan intelijen maritim. Namun perkembangan keadaan memperlihatkan bahwa kepentingan tersebut sepertinya tenggelam dan larut dalam gelombang sentimen anti intelijen. Hal ini terbukti dengan keberhasilan upaya segelintir pihak, yang trauma dengan kinerja intelijen di masa lalu, sebagian lagi karena pesan sponsor, yang memang bertekad menjadikan intelijen nasional sebagai instrumen negara yang tumpul.

Rugi  besar apabila  kepentingan  nasional  yang  amat  penting  diganjal  oleh kepentingan segelintir pihak, yang tidak menginginkan Indonesia menjadi negara maritim yang kuat dan jaya. Sebaiknya, para pemangku kepentingan intelijen, khususnya naval intelligence, diharapkan tidak berpangku tangan menunggu terciptanya atmosfir yang kondusif, tetapi berbuat sesuatu untuk mewujudkan intelijen maritim dan hal itu bukanlah dosa bagi republik ini.

 

 

 


[1]. Perpres No.5 /2010 tentang RPJMN 2010-2014.

[2]. Maoz, Seev. ”Path to Conflict-International Dispute Initiation, 1816-1976”, A Westview Replica Edition, Westview Press/Boulder, Colorado, 1982.

[3]. Dulles, Allen. ”The Craft of Intelligence”, Harper & Row, Publishers, New York, 1963.

[4]. Lloyd, Richmond. ”Strategy and Force Planning” Naval War College, Neport, RI, 1996.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap