INDONESIA DARI PERSPEKTIF KEPENTINGAN CHINA: SUATU TINJAUAN

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan 

Indonesia dari sudut pandang kepentingan negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik dipandang penting dan strategis. Penilaian demikian bukan semata karena aspek ekonomi seperti hampir 240 juta penduduk yang potensial bagi kepentingan pasar negara-negara itu, tetapi mencakup pula aspek politik dan keamanan. Penting dan strategisnya Indonesia bukan semata karena posisi geografisnya, pula karena peran yang dimainkan Indonesia di kawasan Asia Pasifik, termasuk peran kepemimpinan de facto Indonesia dalam ASEAN. Oleh karena itu, negara-negara besar di kawasan Asia Pasifik senantiasa berkepentingan untuk merangkul Indonesia dan kalau memungkinkan menarik posisi Indonesia untuk condong kepada kepentingan mereka.

Dewasa ini, sulit untuk menepis kesan akan persaingan antara Amerika Serikat dan China di kawasan. Persaingan kedua kekuatan besar pada umumnya terjadi pada bidang politik, ekonomi dan keamanan, sementara pada aspek sosial budaya justru banyak kalangan terdidik China yang menimba ilmu di Amerika Serikat. Dalam persaingan itu, merupakan hal yang tidak terhindarkan pula munculnya imbas terhadap negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Baik Amerika Serikat maupun China berupaya untuk terus menggalang dukungan dari negara-negara lain di kawasan agar memihak pada kepentingan masing-masing atau minimal bersahabat dengan satu dari dua kekuatan besar tersebut.

Indonesia kini telah menjadi ajang perebutan kepentingan politik, ekonomi dan keamanan bagi Amerika Serikat maupun China. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara gencar meningkatkan lobi dan bantuan di berbagai bidang kepada Indonesia, termasuk dalam bidang politik dan keamanan. Baik Amerika Serikat maupun China memiliki perjanjian kemitraan strategis dengan Indonesia yang menjadi landasan bagi kedua negara untuk memikat Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan mengulas tentang Indonesia ditinjau dari perspektif kepentingan China. Dibandingkan dengan Amerika Serikat, pandangan China terhadap Indonesia dari aspek politik dan keamanan belum terlalu dikenali oleh banyak pihak, padahal hal demikian sangat penting bagi Indonesia untuk menentukan sikap, khususnya dalam bidang politik dan keamanan terhadap China khususnya dan pada tingkatan tertentu pula terhadap Amerika Serikat.

2. Kebijakan Luar Negeri 

Interaksi intensif China dengan negara-negara lain, termasuk di kawasan Asia Pasifik, dimulai pada akhir 1970-an ketika pemimpin negeri itu Deng Xiaoping mengadopsi kebijakan reformasi dan pintu terbuka. Kebijakan reformasi pintu terbuka yang dimaksud adalah di bidang ekonomi yang menjadi pendorong kemajuan ekonomi yang dicapai China saat ini, di mana negeri itu membuka kerjasama di berbagai bidang dengan negara-negara lain sepanjang saling menguntungkan. Melalui kebijakan reformasi dan pintu terbuka, perlahan tapi pasti China berintegrasi ke kawasan Asia Pasifik dan global.

Guna mendukung kebijakan reformasi dan pintu terbuka, China menganut kebijakan luar negeri yang salah satunya bertujuan untuk menciptakan dunia yang harmonis.[i] Terciptanya dunia yang harmonis tersebut penting bagi kepentingan China untuk tercapainya lingkungan internasional yang damai dan akses negeri itu terhadap bahan mentah untuk menjamin pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.[ii] Kebijakan luar negeri yang demikian merupakan warisan dari era Deng Xiaoping dan kini diteruskan oleh para pemimpin China sebagai bagian dari upaya China untuk menjadi aktor yang diperhitungkan dalam percaturan antar bangsa.

Memperhatikan secara sekilas garis besar kebijakan luar negeri China, cukup jelas bahwa kebijakan itu dirancang bukan semata-mata dari kepentingan di bidang politik dan keamanan, tetapi pula mengacu pada kepentingan ekonomi negara itu.

Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi China akan dapat terjaga apabila hubungan ekonomi dengan negara-negara lain berjalan lancar tanpa ancaman dan gangguan berarti. Sementara mesin penggerak ekonomi China yaitu minyak sebagian besar didatangkan dari negara-negara lain, khususnya dari wilayah Timur Tengah, sehingga sangat penting bagi China untuk menjaga pasokan minyak tersebut untuk mengalir lancar.

Kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang harmonis memiliki keterkaitan pula dengan kebijakan dalam negeri yang ingin menciptakan masyarakat yang harmonis. Untuk mencapai tujuan kebijakan dalam negeri itu, salah satunya adalah menjaga hubungan ekonomi China dengan negara-negara lain, sebab hubungan ekonomi itu memberikan lapangan kerja bagi masyarakat China. Apabila hubungan ekonomi dengan negara-negara lain terganggu, akan mempengaruhi pula situasi politik dalam negeri China yang pada dasarnya rawan akan guncangan. Kemajuan ekonomi yang begitu cepat dalam waktu singkat ternyata memunculkan masalah-masalah sosial di dalam negeri China sendiri, selain masih adanya sejumlah wilayah di negeri itu yang bergolak secara politik.

Oleh karena itu, terdapat benang merah antara kebijakan luar negeri dan kebijakan dalam negeri China. Bagi pemerintah China, kemampuan menjaga harmoni baik di dalam negeri maupun di luar negeri akan berkaitan langsung dengan kelangsungan pemerintahan Partai Komunis. Terlebih lagi dewasa ini tuntutan dari beberapa kalangan di dalam negeri China terhadap kebebasan berpolitik kian menggema, yang mana tuntutan itu bertentangan dengan garis kebijakan partai yang berkuasa sejak 1949.

Dalam konteks hubungan antar bangsa, China kini berupaya meningkat peran dan pengaruhnya di dunia internasional. Masuknya negeri itu dalam ASEAN Regional Forum (ARF) pada 1993 menandai integrasi negeri itu ke dalam sistem multilateral kawasan. Sebelum krisis ekonomi Asia 1997, partisipasi China dalam sistem multilateral kawasan bersifat pasif dan tentatif.[iii] Hal itu didasari kekhawatiran China bahwa partipasi dalam institusi multilateral akan mejadikannya target atas sejumlah isu, seperti hak asasi manusia.[iv]

Partisipasi aktif negeri itu baru dimulai ketika krisis ekonomi Asia 1997 melanda, di mana pada Kongres Kelimabelas Partai Komunis China pada September 1997 Presiden Jiang Zemin menegaskan bahwa China harus mengambil bagian aktif dalam diplomasi multilateral.[v] Seiring dengan hal tersebut, peran dan pengaruh China terus meningkat di kawasan Asia Pasifik, ditandai dengan diperhitungkannya sikap China dalam berbagai isu keamanan kawasan. Hal demikian tidak lepas dari rasa percaya diri China yang meningkat dalam perannya di dunia internasional, sehingga negara itu kian sadar akan peran dan tanggungjawabnya.[vi] Terlebih lagi setelah China tergabung dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001 yang memberikan peluang besar bagi China untuk berperan besar dalam pengaturan perdagangan dunia.

Kemunculan China di kawasan pada sisi lain memunculkan pula kekhawatiran sejumlah negara, termasuk sejumlah negara ASEAN. Kekhawatiran itu didasarkan pada masih adanya sengketa wilayah perbatasan antara China dan beberapa negara ASEAN di Laut China Selatan, begitu pula antara China dan Jepang di Laut China Timur, yang mana dalam sengketa itu China senantiasa menunjukkan sikap yang asertif. Selain itu, pembangunan People’s Liberation Army (PLA) yang terus berlanjut yang didukung oleh peningkatan anggaran yang cukup signifikan setiap tahunnya memunculkan kecurigaan dari negara-negara lain terhadap niat China di kawasan.

Lepas dari kecurigaan negara-negara di kawasan Asia Pasifik terhadap niat China, negara itu kini telah menjadi pemain aktif di kawasan. Selain tergabung dalam ARF, China pula berpartisipasi dalam ASEAN-China Summit, ASEAN Plus Three dan ASEAN Defense Minister Meeting Plus (ADMM Plus). Menyangkut isu nuklir Korea Utara, China adalah satu dari enam negara yang terlibat dalam Six Party Talks. Dari perspektif China, partisipasi aktif mereka di kawasan adalah bagian dari peran China sebagai jawaban atas tuntutan Amerika Serikat agar China menunjukkan diri sebagai aktor yang bertanggungjawab.

Terkait dengan pelaksanaan kebijakan luar negeri China yang bertujuan untuk menciptakan dunia yang harmonis, tidak dapat dibantah kontribusi kebijakan tersebut terhadap stabilitas kawasan saat ini. Akan tetapi banyak pihak di luar China yang melihat adanya keterputusan (missing link) antara kebijakan luar negeri dengan kebijakan pertahanan China. Kasus-kasus sengketa wilayah yang disikapi secara asertif oleh China senantiasa menjadi rujukan bagi negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik dalam mempertanyakan kebijakan nasional China terkait hubungannya dengan negara-negara lain di kawasan. Tidak dapat dibantah kesan bahwa kebijakan luar negeri kurang didukung oleh kebijakan pertahanannya.

Pada titik inilah muncul kekhawatiran dari negara-negara di kawasan Asia Pasifik terhadap kebangkitan China seperti telah disinggung sebelumnya. Sampai pada titik tertentu, kebijakan luar negeri yang menginginkan dunia yang harmonis menjadi dipertanyakan keabsahannya. Di sinilah salah satu butir krusial dalam perdebatan tentang kebijakan luar negeri China dikaitkan dengan perilaku negara itu terhadap negara-negara lain yang dipandang tidak akomodatif terhadap kepentingannya.

3. Indonesia Di Mata China 

Hubungan diplomatik Indonesia-China telah terbangun sejak 1952. Setelah sempat menjadi “sekutu” Indonesia dalam poros Jakarta-Peking-Pyongyang pada era 1960-an, hubungan diplomatik kedua negara terputus pada periode 1967-1990. Perbedaan kepentingan politik yang tidak dapat dipertemukan antar kedua negara menjadi alasan terjadinya kevakuman hubungan selama 23 tahun.

Perubahan konstelasi politik dan keamanan internasional pasca Perang Dingin mendorong dibukanya kembali hubungan diplomatik Indonesia-China. Meskipun demikian, peningkatan yang cukup signifikan dalam hubungan kedua negara baru terjadi pada 2005 ketika Presiden Indonesia dan Sekretaris Jenderal Partai Komunitas China menandatangani Kemitraan Strategis. Melalui kemitraan strategis itu, kedua negara sepakat bekerjasama di berbagai bidang, termasuk bidang keamanan dan pertahanan.

Seiring kebangkitan China, beberapa aktor di kawasan Asia Pasifik yang sudah lama menjadi pemain utama dalam urusan keamanan kawasan memberikan perhatian khusus terhadap kebangkitan itu. Amerika Serikat selaku negara yang sejak akhir Perang Dunia Kedua telah memberikan payung keamanan terhadap kawasan tidak dapat dipungkiri memiliki kekhawatiran yang besar terhadap kebangkitan China, sebab hal itu dipandang dapat mempengaruhi peran yang telah lama dimainkan. Oleh karena itu, kebijakan politik dan keamanan Amerika Serikat dalam satu dekade terakhir mencurahkan perhatian yang cukup besar terhadap peningkatan peran China di kawasan pada semua bidang.

Hubungan Amerika Serikat-China senantiasa mengalami fluktuasi sejak 1949, yaitu terhitung setelah Jenderal Chiang Kaisek dan pemerintahan Partai Kuomintang yang didukunng oleh Amerika Serikat dipaksa untuk melarikan diri dari daratan China dan mendirikan pemerintahan di Taiwan. Meskipun pada 1971 Amerika Serikat mengakui RRC sebagai satu-satunya wakil China di dunia internasional yang berarti pula penegasan terhadap One China Policy, akan tetapi negara itu tetap membantu Taiwan untuk mempertahankan diri dari kemungkinan agresi China. Hal itu diatur pada Taiwan Relation Act yang disahkan oleh Kongres pada 1978. Sampai saat ini, masalah Taiwan senantiasa menjadi salah satu isu hangat yang setiap saat dapat berpotensi mengganggu hubungan kedua negara.

Selain isu Taiwan, isu aktivitas militer Amerika Serikat di perairan internasional di sekitar China adalah isu sensitif berikutnya. Tabrakan antara pesawat mata-mata Angkatan Laut Amerika Serikat EP-3 Aries dengan pesawat tempur China ketika melaksanakan misi di wilayah udara internasional di sekitar Pulau Hainan pada 2001 adalah salah satu contoh kasus yang mempengaruhi hubungan kedua negara. Dua tahun sebelumnya, Amerika Serikat “secara tidak sengaja” membom Kedutaan Besar RRC di Beograd dalam rangka operasi anti Serbia. Dalam perkembangan terakhir, hubungan Amerika Serikat-China seringkali diwarnai ketegangan diplomatik karena perbedaan kepentingan menyangkut isu Laut China Selatan.

Sejak era Perang Dingin, Amerika Serikat menganut kebijakan pembendungan (containment) terhadap China. Pasca Perang Dingin, kebijakan itu dimodifikasi dari segi terminologi menjadi encirclement. Kalau memperhatikan dengan seksama posisi sejumlah pangkalan militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, dapat dilihat adanya rangkaian pangkalan militer tanpa putus mulai dari Asia Timur hingga Asia Tenggara. Terciptanya rangkaian pangkalan militer tanpa putus itu bukan suatu hal yang kebetulan, akan tetapi memang sudah dirancang demikian oleh Amerika Serikat.

Walaupun China kini terus memperkuat posisinya dalam urusan politik, ekonomi dan keamanan dunia dan kawasan, akan tetapi tidak dapat dibantahkan fakta bahwa negara itu memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor energi, khususnya minyak dan gas bumi. Hal ini merupakan salah satu faktor krusial bagi negeri itu yang menjadi salah satu pendorong pembangunan kekuatan Angkatan Lautnya. Perlindungan SLOC kini telah menjadi prioritas bagi Angkatan Laut China.[vii]

Terkait dengan perlindungan SLOC, penting untuk dipahami bahwa SLOC China mengalami “keterputusan” di kawasan Asia Tenggara. “Keterputusan” itu terjadi karena daya jangkau operasional Angkatan Laut China secara nyata baru sebatas Laut China Selatan, di samping karena wilayah Asia Tenggara secara politik berada dalam wilayah pengaruh keamanan Amerika Serikat. Beberapa negara ASEAN merupakan sekutu dan sahabat dekat Amerika Serikat dan terlibat pula dalam sengketa Laut China Selatan dengan China.

Oleh karena itu, partisipasi aktif China dalam kegiatan terkait ASEAN seperti ARF, ASEAN-China Summit dan lain sebagainya tidak lepas dari strategi China untuk memperkuat pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara sehingga diharapkan secara tidak langsung dapat membantu melindungi SLOC-nya. Namun berdasarkan fakta di lapangan, sebagian besar negara-negara ASEAN yang berkepentingan dengan domain maritim merasa tidak nyaman dengan China. Sebagai contoh adalah Vietnam, Filipina dan Malaysia yang terlibat dalam sengketa Laut China Selatan dengan China, sementara Singapura citranya identik dengan kepanjangan tangan kepentingan Amerika Serikat.

Partisipasi aktif China dalam kegiatan terkait ASEAN merupakan implementasi dari kebijakan nasional negeri itu yang salah satunya kini difokuskan pada kawasan Asia Tenggara. Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan pemimpin de facto ASEAN adalah harapan utama China untuk meningkatkan pengaruh dan kehadirannya di kawasan ini. Dari sudut pandang kepentingan China, posisi Indonesia kini menjadi lebih penting (more important) bagi RRC karena posisi geografis dan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang berbeda dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.[viii] China secara khusus memberikan apresiasi terhadap peran Indonesia di kawasan yang dalam pandangan mereka dinilai bersikap mild and always in the middle.[ix]

Sikap Indonesia yang demikian dianggap ‘bersahabat’ terhadap kepentingan China dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan yang dipandang konfrontatif. Oleh karena itu, telah menjadi kebijakan nasional China saat ini yang memprioritaskan peningkatan kerjasama di bidang politik dan keamanan dengan Indonesia.[x] Keputusan pemerintah China beberapa waktu lalu untuk memberikan bantuan jaringan radar pengamatan maritim kepada Indonesia merupakan realisasi dari prioritas peningkatan kerjasama itu.

4. Isu Krusial 

Berdasarkan uraian sebelumnya, kondisi politik dan keamanan kekinian memaksa China untuk merangkul Indonesia. Kemitraan Strategis Indonesia-China merupakan pintu masuk bagi China untuk mengamankan kepentingannya, termasuk di bidang politik dan keamanan, di kawasan Asia Tenggara. Dari sudut pandangan pragmatis, apa yang dikehendaki oleh China terhadap Indonesia adalah suatu hal yang lumrah belaka. Namun di sisi lain, Indonesia sebagai suatu negara bangsa juga mempunyai kepentingan nasional yang tidak selamanya selaras dengan kepentingan China.

Terkait  dengan hal tersebut, terdapat beberapa isu krusial yang perlu diperhatikan oleh Indonesia dalam melaksanakan kerjasama dengan China, khususnya di bidang politik dan keamanan.

Pertama, niat strategis China. Dewasa ini, cukup sulit untuk menebak apa sebenarnya niat  strategis China di kawasan, termasuk terhadap Indonesia. Sebab baik secara budaya maupun sistem politik, China sejak ribuan tahun lalu hingga sekarang pada dasarnya adalah masyarakat yang tertutup. Meskipun negara itu secara konsisten menggemakan harmoni kawasan dan kebangkitan China secara damai, akan tetapi jargon-jargon tersebut sampai pada tingkatan tertentu masih sulit untuk diterima begitu saja.

Dikaitkan dengan Indonesia, salah satu pertanyaan krusial yang perlu dicari jawabannya adalah seberapa mampu Indonesia memasukkan agenda kepentingan nasionalnya dalam hubungan dengan China. Pertanyaan ini terkait dengan niat strategis China yang sangat mungkin tidak selaras dengan kepentingan nasional Indonesia. Indonesia sebaiknya tetap harus waspada terhadap kebijakan China yang memberikan bantuan jaringan radar maritim dan asistensi teknis untuk produksi rudal C-705, sebab masih belum jelas ‘imbalan’ apa yang nantinya dituntut oleh negeri itu. Hal ini penting untuk digarisbawahi karena dalam hubungan antar negara pada dasarnya tidak ada makan siang gratis.

Kedua, posisi Indonesia. Hubungan Indonesia-China saat ini dari perspektif kepentingan nasional China berada dalam bingkai persaingan Amerika Serikat-China. Situasi ini harus dipahami oleh pihak-pihak terkait di Indonesia, karena kini dan ke depan Indonesia menjadi salah satu prioritas dalam hubungan luar negeri China. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, latar belakang Indonesia menjadi prioritas dalam pengembangan hubungan luar negeri China adalah karena sikap politik Indonesia yang dinilai mild and always in the middle. 

Dari bidang politik dan keamanan, China membutuhkan Indonesia untuk menghadapi kebijakan encirclement Amerika Serikat. Dari istilah lain yang lebih keras, menurut hemat penulis Indonesia seperti hendak dijadikan bumper bagi RRC dalam persaingan geopolitiknya terhadap Amerika Serikat. Sehingga tidak aneh bila kalangan-kalangan terkait di China, baik dari kalangan pemerintahan maupun akademisi secara kompak menyatakan bahwa negeri mereka siap membantu Indonesia, termasuk dalam hal pembangunan kekuatan pertahanan. Kalau ditarik dalam konteks ini, menjadi mudah dipahami mengapa China beberapa waktu silam setuju untuk memberikan bantuan jaringan radar pengamatan maritim kepada Indonesia, begitu pula dengan kesepakatan produksi rudal anti kapal C-705 di Indonesia.

Ketiga, kerjasama Indonesia-Amerika Serikat. China saat ini dan ke depan akan terus memberikan perhatian mendalam terhadap kerjasama Indonesia-Amerika Serikat, khususnya di bidang pertahanan. Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, para akademisi di negeri itu memantau secara seksama berbagai bentuk kegiatan kerjasama Indonesia-Amerika Serikat. Misalnya bantuan Amerika Serikat dalam rangka meningkatkan maritime domain awareness Indonesia lewat Integrated Maritime Surveillance System (IMSS), begitu pula latihan-latihan militer Indonesia-Amerika Serikat.

Dari satu sudut pandang, pantauan China terhadap kerjasama Indonesia-Amerika Serikat di bidang pertahanan adalah suatu hal yang wajar karena negeri itu memang terus memantau manuver Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Akan tetap dari sudut pandang lain, hal itu merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mengelola kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kerugian terhadap Indonesia sendiri maupun Amerika Serikat sebagai mitra kerjasama. Sebab walaupun Indonesia cuma berstatus mitra di mata Amerika Serikat, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kerjasama pertahanan kedua negara selama ini sampai pada titik tertentu cukup berarti bagi Indonesia.

5. Penutup

Hubungan Indonesia-China saat ini yang berada dalam kerangka kemitraan strategis kedua negara sampai pada tingkatan tertentu telah memberikan dampak positif terhadap Indonesia. Dalam bidang politik dan keamanan, kerjasama kedua negara terus mengalami peningkatan, termasuk kerjasama pertahanan. Terkait hal tersebut, Indonesia perlu memahami bagaimana China memandang Indonesia dari perspektif kepentingan nasionalnya.

Tidak dapat dipungkiri fakta bahwa China memandang Indonesia berstatus lebih penting sehingga menjadi salah satu prioritas dalam kebijakan luar negerinya.

Fakta demikian hendaknya dilihat secara jernih, karena sulit untuk dibantah bahwa China memandang penting Indonesia dalam bingkai persaingannya dengan Amerika Serikat. Posisi geografis Indonesia mau tidak mau membuat China harus lebih merangkul Indonesia, karena Indonesia secara politik dan geografis bisa menentukan ‘warna’ dan ‘arah’ kawasan Asia Tenggara. Dalam konteks itu, Indonesia dituntut untuk mencermati sejumlah isu krusial dalam hubungannya dengan China, agar kerjasama dengan China kini dan ke depan tidak berada dalam pusaran kepentingan nasional negeri itu.

[i]. Lihat, Kissinger, Henry, On China, New York: The Penguin Group, 2011, hal.490
[ii]. Ibid
[iii]. Lihat, Xiaoming, Zhang, “The Rise of China and Community Building in East Asia”, dalam Asia Perspective, Vol.30, No.3, 2006, hal.132
[iv]. Ibid
[v]. Ibid, hal.133
[vi]. Ibid
[vii]. Lihat, US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military and Security Developments Involving the People’s Republic of China 2011, hal.17
[viii]. Hasil diskusi penulis dengan para ahli dari Guangdong Research Institute of International Strategies (GRIIS), Guangzhou 17 Januari 2012.
[ix]. Hasil diskusi penulis dengan para ahli dari Guangdong Research Institute of International Strategies (GRIIS), Guangzhou 13 Oktober 2011.
[x]. Hasil diskusi penulis dengan para ahli dari Guangdong Research Institute of International Strategies (GRIIS), Guangzhou 17 Januari 2012.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
i nyoman sukasana
i nyoman sukasana
6 years ago

sangat bagus untuk menambah wawasan

2
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap