Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Isu humanitarian assistance and disaster relief (HADR) di kawasan Asia Pasifik memperoleh perhatian besar dari kalangan militer pasca gempa dan tsunami di Samudera India yang melanda Aceh dan kawasan lainnya di sekitar perairan tersebut pada 26 Desember 2004. Dalam operasi HADR di Aceh merespon gempa dan tsunami yang menelan korban ratusan ribu jiwa tersebut, peran kekuatan militer khususnya Angkatan Laut sangat besar. Sebagai ilustrasi, Amerika Serikat sampai mengerahkan kapal induk USS Abraham Lincol (CVN-72) dalam Operasi Unified Assistance untuk memberikan pertolongan kepada korban, di samping mengerahkan kapal rumah sakit USNS Mercy (T-AH 19). Pasca operasi tersebut, nyaris tidak ada kegiatan militer multinasional di kawasan Asia Pasifik yang melewatkan isu HADR sebagai salah satu topik bahasan dan program latihan.
Indonesia sebagai negara yang terletak di wilayah subduksi antar lempeng Eurasia dan Indo-Australia dan sekaligus berada di zona ring of fire tentu saja harus mengenal apa yang dimaksud dengan HADR, bukan semata dari aspek operasional militer namun mencakup pula aspek politik yang melatarbelakanginya. Sebab dalam operasi HADR kekuatan utama akan senantiasa bertumpu pada kekuatan militer dan penyebaran dan penggunaan kekuatan militer tidak akan pernah lepas dari bingkai politik. Dengan sarana yang dimiliki oleh Angkatan, penyebaran dan penggunaan kekuatan laut untuk melaksanakan operasi HADR selalu menjadi pilihan ketika bencana yang terjadi berada dalam jangkauan operasional kapal perang beserta unsur yang onboard di atasnya.
Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud mengupas tentang HADR secara umum dan peran Angkatan Laut di dalamnya secara khusus dengan mengambil referensi beberapa negara maju. Dari kupasan tersebut, dapat diidentifikasi peluang dan tantangan bagi TNI Angkatan Laut dalam mengantisipasi dan melaksanakan operasi HADR di waktu-waktu mendatang. Sebab dinamika lingkungan strategis menunjukkan bahwa HADR merupakan salah satu isu yang mengedepan, sehingga TNI Angkatan Laut diharapkan mampu menyiapkan konsep operasi HADR yang mengacu pada kepentingan nasional Indonesia.
2. Latar Belakang HADR
Pada dasarnya, operasi HADR sejak lama telah dilaksanakan oleh militer berbagai negara di dunia, termasuk oleh TNI Angkatan Laut. Hal ini bisa dilihat ketika terjadi bencana alam dan atau adanya konflik politik di suatu negara yang mendorong negara-negara lain mengirimkan kapal perang untuk melaksanakan non-combatant evacuation operation. Yang membedakannya dengan kondisi masa kini adalah saat itu penamaan jenis operasi tersebut bermacam-macam dan belum seragam. Kini telah terdapat konsensus di antara militer dunia bahwa operasi demikian dikenal sebagai operasi HADR.
Untuk memahami konsep HADR, perlu ditinjau kembali kilas balik dinamika konflik di dunia. Pasca Perang Dingin, konflik mengalami pergeseran dari konflik antar negara menjadi konflik intra-negara dan kejahatan lintas negara. Konflik intra-negara pasca Perang Dingin antara lain ditandai dengan perang saudara di negara-negara berkembang, seperti di Somalia, Zaire/Kongo, Yugoslavia dan lain sebagainya. Dalam konflik tersebut, tidak sedikit manusia yang menjadi korban karena ras, golongan, agama dan atau aliran politik mereka.
Kondisi itu menimbulkan keprihatinan di negara-negara maju, sehingga para akademisi kemudian mengembangkan konsep keamanan manusia. Konsep ini lahir dan berkembang di Eropa, di mana fokus pemerintah tidak lagi terpusat pada keamanan negara semata, tetapi telah mencakup pula keamanan manusia. Konsep keamanan manusia seringkali dipersepsikan sebagai anti tesis terhadap konsep keamanan negara yang mendominasi hingga berakhirnya Perang Dingin.
UNDP merumuskan konsep keamanan manusia yang terdiri atas beberapa komponen. Yaitu: (1) keamanan ekonomi (assured basic income), (2) keamanan pangan (physical and economic access to food). (3) keamanan kesehatan (relative freedom from disease and infection), (4) keamanan lingkungan (access to sanitary water supply, clean air and a non-degraded land system), (5) keamanan sosial (security of cultural identity), (6) Keamanan individual (security from physical violence and threat), dan (7) keamanan politik (protection of basic human rights and freedom).
Berdiskusi tentang keamanan manusia, perlu dibedakan antara tataran teoritis dan tataran empiris. Sebab selama ini dalam praktek antara keduanya tercipta disparitas yang tajam. Disparitas muncul karena adanya kepentingan politik dari kekuatan-kekuatan dunia. Sehingga yang terjadi adalah resistensi negara-negara berkembang terhadap konsep keamanan manusia, sebab konsep itu dipandang merupakan agenda dari negara-negara maju. Padahal apabila ditinjau dari aspek teoritis, sebagian besar unsur-unsur dari keamanan manusia sesungguhnya sudah merupakan kewajiban intrinsik bagi setiap negara bangsa untuk mewujudkannya, sebab hal itu sebagian besar secara prinsip telah diadopsi dalam konstitusi masing-masing.
Berdasarkan konsep keamanan manusia, negara-negara maju menuntut negara-negara berkembang untuk hirau terhadap keamanan manusia, khususnya dari konflik. Konsep keamanan manusia melatarbelakangi pula lahirnya konsep responsibility to protect. Dalam prakteknya, konsep responsibility to protect memunculkan kekhawatiran negara-negara berkembang, sebab atas nama konsep itu kekuatan militer negara maju melakukan intervensi tanpa memperhatikan isu kedaulatan. Beberapa contoh dari implementasi konsep responsibility to protect adalah kasus Bosnia 1992-1995, Somalia 1993, Timor Timur 1999 dan Kosovo 1999 yang sangat jelas menggunakan kekuatan militer, sebab penggunaan kekuatan militer dalam konsep itu memang dibenarkan.
Negara-negara maju berdalih bahwa karena pemerintahan di negara-negara yang dilanda konflik intra-negara tidak mampu melindungi penduduk sipil yang terkena konflik, maka mereka merasa berkewajiban untuk mengambil alih tanggungjawab tersebut. Maka terjadilah intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang menurut sudut pandang negara-negara berkembang tidak lepas dari agenda politik di dalamnya. Kecurigaan negara-negara berkembang terhadap intervensi kemanusiaan tidak lepas dari tidak adanya parameter yang standar terhadap intervensi itu, tetapi sangat tergantung agenda politik kekuatan-kekuatan utama dunia di Dewan Keamanan PBB.
Salah satu bentuk intervensi kemanusiaan adalah humanitarian assistance and disaster relief (HADR). Dari permukaan tampak bahwa HADR seolah-olah murni untuk alasan kemanusiaan, namun di balik itu tidak dapat dipungkiri adanya agenda politik dari negara-negara maju yang menggelar HADR. Oleh karena itu, dalam kasus bencana alam di Cina dan Myanmar beberapa tahun lalu, kedua negara menolak adanya operasi HADR dari militer negara maju di negaranya. Namun bagi negara-negara berkembang lainnya seperti Indonesia, operasi HADR oleh militer asing dalam situasi tertentu tidak dapat dicegah, misalnya dalam kasus gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang maha dahsyat.
3. HADR dan Strategi Maritim
Dalam dekade pertama abad ke-21, Angkatan Laut berbagai negara di dunia cukup aktif dalam menggelar operasi HADR. Operasi itu baik yang digelar di dalam negeri maupun di luar negeri. Operasi HADR yang digelar bukan semata yang terkait dengan pertolongan terhadap bencana, tetapi mencakup pula operasi evakuasi non kombatan (non-combatant evacuation operation) di wilayah konflik. Sebagai contoh adalah penyebaran kapal perang Amerika Serikat dan India ke Lebanon untuk mengevakuasi warga negara mereka dan warga negara asing lainnya beberapa saat sebelum pecah Perang Israel-Hizbullah pada Juli 2006.
HADR kini telah menjadi bagian dari operasi militer. Beberapa negara telah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan HADR. Di Amerika Serikat, definisi HADR tercantum dalam Joint Publication 1-02, yang ada di situ ditetapkan adanya pembagian definisi. Pertama adalah foreign humanitarian assistance dan kedua yaitu foreign disaster relief. Pemakaian istilah foreign tidak lepas dari Posse Commitatus Act yang berlaku di Amerika Serikat yang melarang militer untuk beroperasi di dalam negeri.
Meningkatnya intensitas operasi HADR yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut mendorong beberapa negara kini memasukkan HADR sebagai bagian dari strategi maritim atau strategi Angkatan Laut, termasuk di Amerika Serikat. Dalam A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower menetapkan bahwa HADR merupakan satu dari enam kemampuan inti Angkatan Lautnya. Kemampuan HADR ini kemudian dielaborasi dalam Naval Operation Concept 2010, yang mana Angkatan Laut Amerika Serikat mengkategorikan operasi HADR dalam dua bentuk, yaitu proaktif dan reaktif. Operasi HADR proaktif yaitu operasi HADR yang digelar secara rutin dan terencana meskipun tidak ada bencana alam, sedangkan operasi HADR reaktif merupakan respon terhadap bencana yang terjadi.
Adapun di Inggris, Kementerian Pertahanan Inggris telah menetapkan bahwa kemampuan HADR merupakan satu dari delapan misi pertahanan yang harus dilaksanakan oleh Angkatan Laut Inggris. Angkatan Laut Inggris selama ini terlibat aktif dalam berbagai operasi HADR di dunia. Di Inggris, definisi HADR dibagi dua yaitu humanitarian assistance dan disaster relief. Humanitarian assistance menurut definisi ini adalah bencana yang disebabkan oleh manusia, sedangkan disaster relief merupakan bencana yang disebabkan oleh alam (natural made).
Contoh lainnya adalah Angkatan Laut India. Kemampuan operasi HADR telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam strategi maritim Angkatan Laut India. Dimasukkannya isu kemampuan operasi HADR dalam strategi itu tidak lepas dari pengalaman India menghadapi gempa dan tsunami di kawasan littoral Samudera India pada 26 Desember 2004. Angkatan Laut India menarik pelajaran dari operasi HADR yang digelar untuk merespon bencana dahsyat itu, khususnya penyebaran dan penggunaan kekuatan Angkatan Laut Amerika Serikat secara simultan di beberapa kawasan littoral Samudera India.
Dari uraian tersebut menjadi jelas betapa operasi HADR kini telah menjadi bagian penting dalam strategi maritim atau strategi Angkatan Laut di dunia. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut langsung maupun tidak langsung diarahkan pula agar Angkatan Laut dapat memenuhi kemampuan operasi HADR. Misalnya pengadaan kapal amfibi berkapasitas muat besar seperti kapal LPD yang dilaksanakan oleh sebagian Angkatan Laut di dunia. Kapal itu selain dirancang untuk melaksanakan operasi tempur, dapat pula digunakan bagi kepentingan operasi HADR.
Perkembangan demikian juga terjadi di kawasan Asia Pasifik, di mana Angkatan Laut di kawasan ini sebagian menjadi pelaku operasi HADR berskala masif untuk merespon gempa dan tsunami di sekitar Samudera India pada 26 Desember 2004. Sebagian Angkatan Laut di kawasan ini tengah dan atau telah membeli kapal amfibi sejenis LPD untuk memperkuat kemampuannya melaksanakan HADR. Jenis kapal perang tersebut pada dasarnya dibeli untuk meningkatkan kemampuan proyeksi kekuatan, sebab sebagian Angkatan Laut kawasan kini telah berfokus pada operasi-operasi di luar wilayah kedaulatan. Penggelaran operasi di luar kedaulatan tersebut tidak lepas dari pemahaman negara-negara itu bahwa kepentingan nasional mereka melampaui batas wilayah teritorial.
Strategi maritim yang secara klasik berfokus pada pengendalian laut, sea denial dan proyeksi kekuatan pada dasarnya tidak berubah. Hanya saja kini kecenderungan yang terjadi adalah perubahan urutan dalam strategi maritim, di mana proyeksi kekuatan menduduki urutan pertama, kemudian disusul oleh pengendalian laut dan sea denial. Proyeksi kekuatan Angkatan Laut masa kini meskipun senantiasa berada dalam konteks kepentingan nasional, selalu dibingkai dalam frase perdamaian dan stabilitas dunia. Ada pula frase lainnya yang digunakan, yaitu Navy as a force for good yang sedikit banyak memiliki relevansi dengan operasi HADR yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut.
4. TNI Angkatan Laut dan HADR
Indonesia secara geografis terletak di kawasan rawan bencana, sebab negeri ini berada di tengah pertemuan zona subduksi Eurasia dan Indo-Australia dan cincin gunung berapi (ring of fire). Selain itu, Indonesia secara alamiah juga rawan terhadap konflik dalam negara mengingat kemajemukan bangsa ini yang sangat rawan bila tidak dapat dikelola dengan baik. Kondisi demikian menempatkan Indonesia rawan terhadap intervensi kemanusiaan, apapun bentuk dan namanya.
TNI Angkatan Laut sebagai salah satu bagian dari instrumen kekuatan nasional memiliki relevansi erat dengan operasi HADR. Dihadapkan pada tantangan yang senantiasa selalu berkembang, TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu melaksanakan operasi HADR, minimal di dalam negeri. Oleh karena itu, dalam pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut hendaknya memperhatikan pula kemampuan di bidang operasi HADR, sebab ke depan kekuatan TNI Angkatan Laut salah satunya akan banyak bersentuhan dengan isu ini di lapangan.
Terkait dengan isu operasi HADR, terdapat beberapa peluang bagi TNI Angkatan Laut. Pertama, kondisi geografis. Indonesia secara geografis berada di kawasan yang rawan bencana alam, sehingga menuntut kesiapsiagaan dari semua pihak terkait. Di samping itu, kondisi geografis sebagai negara kepulauan mau tidak mau menuntut peran yang besar dari TNI Angkatan Laut dalam merespon bencana yang terjadi. Sebab sebagian besar bencana terjadi di wilayah pulau atau kepulauan dengan akses transportasi yang terbatas.
Kedua, kondisi infrastruktur. Mayoritas infrastruktur di Indonesia seperti jaringan jalan raya, bandar udara dan pelabuhan laut masih belum memadai. Bahkan tidak sedikit daerah yang rawan bencana belum memiliki infrastruktur dasar yang memadai untuk kegiatan ekonomi sehari-hari. Dalam konteks bencana alam, TNI Angkatan Laut memiliki peluang yang besar untuk berkontribusi besar dalam operasi HADR, sebab sebagian sistem senjata TNI Angkatan Laut dapat digunakan di wilayah-wilayah yang tidak disiapkan sebelumnya, seperti kapal amfibi dan helikopter.
Ketiga, kapasitas muat. Untuk melaksanakan operasi HADR, dibutuhkan pergeseran logistik dalam jumlah besar. Guna mendukung pergeseran tersebut, satu-satunya wahana yang mampu dan layak adalah kapal perang. Terlebih lagi dengan kondisi geografis Indonesia yang didominasi oleh perairan. Operasi HADR yang dilakukan Angkatan Laut Amerika Serikat di Aceh pada 2004-2005 merupakan contoh betapa kekuatan Angkatan Laut merupakan tumpuan utama, termasuk soal pergeseran logistik. Adapun tantangan bagi TNI Angkatan Laut dihadapkan pada operasi HADR adalah sebagai berikut.
Pertama, potensi konflik di Indonesia. Terjadi konflik di beberapa wilayah Indonesia beberapa tahun lalu yang sebagian besar terletak di pinggiran ALKI menunjukkan betapa Indonesia rentan dan rawan terhadap konflik. Konflik tersebut apabila tidak mampu ditangani dengan cepat oleh pemerintah akan mengundang intervensi asing atas nama responsibility to protect. Dikaitkan dengan TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu mengantisipasi dan mencegah terjadinya intervensi kemanusiaan tersebut, baik berbentuk operasi HADR maupun non-combatant evacuation operation.
Kedua, strategi maritim atau strategi Angkatan Laut. Dihadapkan dengan kondisi kekinian, TNI Angkatan Laut perlu memiliki strategi maritim atau strategi Angkatan Laut yang di antaranya memperhatikan pula tentang operasi HADR. Dengan adanya strategi tersebut, maka operasi HADR yang digelar oleh TNI Angkatan Laut akan memiliki panduan yang jelas. Strategi itu pula yang akan menuntun pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut ke depan.
Ketiga, pembangunan kekuatan. Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut hendaknya memperhatikan pula kemampuan untuk melaksanakan operasi HADR. Kemampuan itu di antaranya bisa “ditumpangkan” sebagian pada kemampuan operasi amfibi, sebab sebagian alutsista bagi operasi amfibi bisa digunakan untuk mendukung operasi HADR. Seperti kapal amfibi, pesawat udara dan wahana lainnya yang mendukung pergeseran kekuatan dari laut ke pantai.
Keempat, kesiapan personel. Untuk mampu melaksanakan operasi HADR, personel TNI Angkatan Laut perlu dilatih secara khusus dan rutin mengingat luasnya cakupan operasi itu. Terkait dengan hal tersebut, dengan mengacu pada Latihan Cobra Gold yang digelar oleh U.S. Pacific Command setiap tahun di Thailand dan diikuti pula oleh Indonesia termasuk TNI Angkatan Laut, perlu dikaji adanya suatu latihan Angkatan Laut yang menggabungkan fase operasi tempur dan fase operasi kemanusiaan (HADR). Misalnya pada latihan puncak Armada Jaya yang menguji kemampuan semua unsur-unsur TNI Angkatan Laut.
5. Penutup
Operasi HADR kini telah menjadi bagian dari strategi maritim di banyak negara, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Ancaman bencana alam maupun bencana buatan manusia di kawasan pada dasarnya besar, sehingga tidak sedikit Angkatan Laut yang membangun dan memperkuat kemampuannya dalam operasi HADR. Hal ini merupakan tantangan pula bagi Indonesia, khususnya TNI Angkatan Laut, karena secara alamiah Indonesia rawan akan bencana alam maupun konflik.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya bila operasi HADR mendapat perhatian dari TNI Angkatan Laut dalam mengembangkan strategi maritim atau strategi Angkatan Laut dan pembangunan kekuatan. Dengan memiliki kemampuan yang memadai untuk melaksanakan operasi HADR, diharapkan TNI Angkatan Laut dapat menjadi salah satu unsur yang dapat diandalkan dalam penanggulangan bencana di Indonesia maupun mencegah kemungkinan terjadinya intervensi asing atas nama kemanusiaan apabila terjadi konflik di negeri ini.
. Lihat, United Nations Development Program, Human Development Report 1994.
. Lihat, The International Commission on Intervention and State Sovereignty, The Responsibility To Protect, December 2001.
. Ibid
. Lihat, A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower, October 2007.
. Lihat, Naval Operations Concept 2010: Implementing The Maritime Strategy, hal.47-48
. Lihat, Royal Navy, The Future Navy.
. Lihat, Integrated Headquarters, Ministry of Defence (Navy), Freedom to Use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, 2007.
. Lihat, Pugh, Michael, (et.all), Maritime Security and Peacemaking: A Framework for United Nations Operations. New York: Manchester University Press, 1994
. Lihat, A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower.