Good Order at Sea

What Does It Need and What We Can (Must) Do at National Level?

Oleh Heni Sugihartini

 

  1. Pendahuluan

Dalam beberapa waktu terakhir kita menyaksikan pergeseran isu  dan sejumlah event yang terjadi di dan melingkupi domain maritim, baik dilevel global maupun nasional. Mulai dari kenaikan China sebagai ‘kekuatan regional’ bahkan global, peledakkan dan penenggelaman kapal penangkap ikan illegal, isu keamanan di laut China Selatan pasca keluarnya hasil putusan PCA (Permanent Court of Arbitration), sempat ‘bersitegang’-nya Indonesia dan China di perairan Natuna, Pembajakan Anak Buah Kapal Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf, hilangnya empat orang kru TNI AL Indonesia di sekitar perairan Sulu, naiknya Trump ke Gedung putih, hingga insiden terbakarnya KM Zahro Express dan yang terbaru adalah kerusakan lingkunganlaut di Raja Ampat oleh Kapal Persiar asal Inggris,MV Caledonian.

Dari beberapa hal isu dan kejadian diatas mengindikasikan adanya ketidaktertiban di domain maritim di kawasan, utamanya di Indonesia. Karena ketika kita berbicara mengenai keamanan maritim (atau ketertiban di laut) di kawasan Asia Tenggara, maka diakui atau tidak dua pertiganya adalah wilayah dan tanggungjawab Indonesia. Selain itu, isu-isu politik negara besar berpotensi meningkatkan sensifitas negara-negara dikawasan, terutama mengenai Laut China Selatan. Disatu sisi, rentan pecah konflik terbuka antara negara di laut China Selatan membutuhkan suatu managamen konflik yang tepat. Disisi lain, ketidakpastian dibidang politik tentu akan berdampak pada ketidakspastian operasional termasuk law enforcement untuk menangani isu keamanan maritim lainnya seperti IUU fishing, drug and human trafficking, perompakan dst. Begitupun dengan kegiatan pengamanan dan law enforcement yang memerlukan kerjasama juga akan terhambat dengan ada dan meningkatnya sensifitas kawasan tersebut (kedaulatan dan integritas territorial).

Dari latarbelakang tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengeksplor mengenai apa itu ketertiban di laut (good order at sea), apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai dan/atau mempertahankan ketertiban dilaut tersebut, dan apa yang harus dan dapat Indonesia perbuat, khususnya TNI AL, hari ini.

 

  1. Good Order at Sea

Laut telah sejak lama menjadi sumber kehidupan yang sangat berharga bagi peradaban manusia. Till menyebutkan ada empat atribut utilitas laut bagi manusia yang sejak dulu maupun untuk masa depan yang dapat dinikmati oleh manusia, yakni: (a) bagi sumber daya yang dikandungnya; (b) bagi pemanfaatannya sebagai alat transportasi dan perdagangan; (c) bagi pentingnya sebagai alat untuk pertukaran informasi (kabel bawah laut dst.), dan; (d) sebagai sumber kekuasaan atau dominion (Ex. British Empire) (Till 2004: p.310).

Keamanan dan kesejahteraan global pun salah satunya bergantung pada ketertiban di laut dimana hadir disana perdagangan maritim yang licit atau sah secara hukum. Dengan demikian, seiring dengan semakin meningkatnya aktifitas,kepentingan dan interkonektifitas manusia di dunia atau globalisasi -termasuk perdagangan global tadi- nilai strategis laut dan pemanfaatnnya pun semakin tinggi dan kompleks. Demikian juga dengan pemanfaatan laut -utamanya sebagai sumber kekuasaan atau dominion(ex. AS vs Uni Soviet dalam WWII)-kini sudah tidak lagi menjadi kepentingan ekslusif negara-negara maritim besar, namun hampir semua negara di dunia saat ini pun sudah semakin sadar akan nilai strategis dan pentingnya laut bagi bangsa mereka.Selain itu, jika umumnya berbicara tentang keamanan adalah berbicara tentang isu yang sifatnya tradisional (state to state), maka dewasa ini pun konsep tersebut telah berubah dan semakin berkembang meliputi dimensi politik keamanan, keamanan ekonomi, societal, lingkungan dan keamanan manusia.

Begitupun ketika kita berbicara tentang ketertiban di laut,pada dasarnya kita berbicara tentang isu-isu keamanan non-tradisional (soft issues) seperti keamanan lingkungan, keselamatan, keamanan pangan dan keamanan manusia termasuk juga keamanan sumber daya seperti IUU fishing dan energi.Hal ini salah satunya dipicu dengan semakin meningkatnya kesadaran negara-negara terhadap pentingnya isu-isu yang bersifat shared and common dan semakin meluasnya pandangan terhadap konsep keamanan itu sendiri. Bagi Angkatan Laut, walaupun tugas utamanya adalah untuk pertahanan dan menjaga keamanan negara yang umumnya berhadapan dan bergelut dengan isu keamanan tradisional, namun pada pada praktiknya dewasa ini mayoritas Angkatan Laut di dunia lebih banyak melakukan operasi-operasi di masa damai dibandingkan masa perang. Oleh karena itu, Angkatan Laut pun memiliki peran yang sangat penting dalam upaya pencapaian dan mempertahakan ketertiban di laut tersebut.

Mengapa ketertiban di laut dibutuhkan? karena, disadari atau tidak, nilai pentingnya laut semakin meningkat dan relatif penting dan berpengaruh juga terhadap perekonomian lokal negara pantai. Sebut saja isu IUU fishing di perairan Indonesia dimana pemerintah akhirnya mengumumkan kerugian yang diderita negarahingga milyaran rupiah pertahunnya yang diakibatkan oleh illegal fishing saja. Kemudian perdagangan dan penyelundupan manusia dan obat-obatan terlarang ke Indonesia melalui laut tentu merupakan suatu pelecehan terhadap Indonesia sebagai negara hukum, mengancam keamanan, kesejahteraan dan merusak generasi bangsa. Dalam kasus lain, dengan semakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan demand energy dari negara negara Asia (Jepang, China, Korea Selatan) dalam dekade terakhir, kebutuhan terhadap jaminan keamanan dan keselamatan pelayaran menjadi suatu hal yang krusial.

Ancaman seperti perompakan ataupun pencurian atau kekerasan bersenjata di kapal di titik-titik strategis seperti selat Malaka pun kerap menjadi perhatian dan kekhawatiran global. Bahkan sejak tragedy 11 september 2001, kekhawatiran akan kemungkinan serangan terorisme maritim terhadap kelancaran pelayaran pun meningkat. Hal-hal demikian, selain mengancam keamanan dan keselamatan perdagangan global dan sekali lagi dapat merusak citra, kredibilitas dan reliabilitas Indonesia (atau negara pantai secara umum) untuk menjaga dan menjamin keamanan dan keselamatan navigasi disana. Oleh karena itu negara-negara pengguna utama, seperti Jepang, kita lihat bergerak dengan aktif untuk berkontribusi dalam keamanan dan keselamatan di sejumlah selat, salah satunya di Selat Malaka.

Namun disisi lain, keterlibatan negara asing dalam upaya menjamin keamanan dan keselamatan pelayaran serta terciptanya good order at sea –diakui atau tidak- seringkali menimbulkan dilema bagi negara pantai. Selain semakin meningkatnya arus perdagangan laut dapat menjadi ancaman terhadap lingkungan laut –sebagai contoh tumpahan minyak di Selat Malaka dan kasus Raja Ampat-dapat berdampak juga terhadap penduduk dan nelayan lokal dan seterusnya. Mahalnya biaya untuk mempertahakan keamanan navigasi dan perlindungan lingkungan. Dan yang paling sensitif adalah kekhawatiran akan terganggunya kedaulatan dan integrasi territorial oleh pengamanan yang melibatkan negara asing sering kita temui di kawasan Asia Tenggara dan Timur.

Yang menjadikan hal tersebut lebih kompleks lagi bahwa ancaman-ancaman seperti perompakan, kejahatan transnasional dan lainnya terkadang muncul sebagai akibat hal-hal yang terjadi di darat. Apakah itu tidak berjalannya tatanan (hukum, regulasi dll) di darat, faktor ekonomi dan kesejahteraan dan seterusnya. Sebagai contoh adalah kasus-kasus perompakan yang kerap terjadi di perairan negara Somalia, dimana kekacauan di darat dan masalah kesejahteraan dan ekonomi menjadikan perompakan sebagai sumber mata pencaharian di satu sisi dan negara pantai juga tidak mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan karena kondisi ekonomi mereka juga tidak memungkinkan (read. Somalia diklaim sebagai failed state). Dengan demikian, ketidaktertiban di luat pun dapat ‘menodai’ dan melemahkan kapasitas suatu negara untuk menjamin dan mempertahankan ketertiban dilaut (baik dari sisi kebijakan, operasional, hingga hukum dst.)

Dari penjelasan diatas kita melihat bagaimana rumit dan kompleksnya dunia maritim dan upaya agar ketertiban di laut ini dapat tercapai. Ketidakaturan di laut dapat berpengaruh terhadap hal-hal yang terjadi di darat. Sebaliknya, ketidakaturan di darat pun dapat mempengaruhi keteraturan, aktifitas dan upaya pencapaian kepentingan manusia di laut. Disatu sisi, ketertiban di laut atau good order at sea sangatlah penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan maritim dan bagi negara-negara untuk mencapai kepentingan maritimnya dan mengembangkan potensi maritim yang mereka miliki secara damai sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku. Kebutuhan akan tatanan maritim yang baik (good maritime governance) sangat penting untuk menjamin tersebut diatas agar dapat tercapai dan dilaksanakan secara tepat sasaran dan efektif. Namun disisi lain, berbicara tentang good order at sea maka good order at land pun harus diperhatikan. Dengan demikian, upaya pencapaian dan mempertahankan good order at sea memerlukan suatu pemikiran dan perencanaan  yang mendalam dan menyeluruh dan tentunya membutuhkan suatu keinginan politik (political will)  yang kuat dari berbagai pihak.

  1. Upaya-Upaya Menuju Good Order at Sea

Till menyebutkan bahwa untuk menjaga tatanan yang baik di laut membutuhkansetidaknya tiga hal utama, yakni (Till, 2004: p.333):

  1. Pentingnya Meningkatkan Kesadaran Maritim.

Ada istilah ‘tak kenal maka tak sayang’. Kesadaran kita terhadap laut juga sangatlah penting, artinya kita harus memahami apa yang kita lakukan di dan dari laut sebagai dasar untuk kebijakan dimasa depan. Kita harus kenal dengan baik laut itu seperti apa, kenali sumber daya apa yang kita miliki dan dapat kita olah, kita harus kenal cara dan aturan mengolahnya dan yang terpenting dan yang paling utama adalah kita harus kenali dan identifikasi apa tujuan (ends) yang kita inginkan atau harapkan dari laut tersebut.

Selain itu. eksplorasi laut pada dasarnya memang harus ditingkatkan dan dimutakhirkan lebih lanjut dengan tujuan untuk mendorong ketertarikan dan kesadaran masyarakat terhadap laut dan pentingnya laut bagi manusia.Australia salah satunya merupakan negara yang banyak melakukan eksplorasi laut, khususnya eksplorasi lingkungan dan biota laut, dan termasuk salah satu yang maju. Namun demikian, jikapun telah banyak ahli sains dan ekspedisi di laut, namun satu-satunya instituasi yang terbiasa dan secara konseptual bergelut dengan laut adalah Angkatan laut. Bukan hanya karena tugasnya yang memang di laut, Angkatan Laut juga memahami dengan baik pentingnya laut karena mereka juga berada disana dan merasakan secara langsung bagaimana laut itu seharusnya dipahami. Selain itu, hasil eksplorasi yang dilakukan juga umumnya dijadidan dasar dan rujukan bagistakeholder atau pihak-pihak berkepentingan di laut lainnya.

Di masa awal ekplorasi dunia baru oleh bangsa-bangsa Eropa, Angkatan Laut memiliki peran penting dalam meningkatkan kemampuan navigasi dan hasrat tinggi untuk mencapai wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam secepat dan seaman mungkin dibandingkan dengan negara lain. Dewasa ini eksplorasi laut telah bergerak lebih jauh dari sekedar navigasi semata ke hal-hal seperti eksplorasi dan pengimpulan informasi dasar laut, salinitas air, kontur dasar laut dst yang berpotensi untuk keperluan operasional dimasa depan. Oceanografi misalnya, tidak hanya sekedar ilmu tentang samudra tetapi dapat berati kemenangan atau kekalahan dan hidup atau mati. Begitupula dengan aktifitas-aktifitas manusia di dan dari laut, baik itu aktifitas pelayaran, penambangan minyak lepas pantai dan seterusnya dimana selain harus dikontrol dan diawasi juga harus dijamin keamanan dan keselamatannya (Till, 2004: p. 335-337). Konsep tersebut di Amerika, barangkali kita kenal dengan istilah Maritime Domain Awareness yang pada intinya merupakan ambisi besar Amerika untuk dapat mengetahui dan memonitor setiap aktifitas di domain maritim (seluruh dunia). Oleh karena Amerika nampaknya menyadari dengan sangat bahwa tingkat kesadaran yang tinggi (improved level of awareness), dalam arti pengetahuan dan informasi mengenai hal-hal yang terjadi di domain maritim merupakan pondasi yang paling penting bagi negara-negara dalam menjaga dan menjamin tatanan yang baik di laut. Termasuk upaya pencapaian kepentingan nasionalnya.

Banyak analis dan sejarahwan terus merintihkan fakta bahwa laut memiliki nilai intelektual yang tinggi bagi politik internasional  dan sejarah untuk stakeholder dimasa depan. Pentingnya pengetahuan dan informasi ini dengan demikian harus ditopang oleh sains dan teknologi yang tinggi (utamanya untuk mengembangkan kemampuan dan kapabilitas C41ISR) yang tentunya tidak murah pula. Dan Angkatan Laut –beserta Coast Guard– dalam hal ini memainkan peranan penting dan dapat menjadi lembaga yang dapat diandalkan dalam meningkatkan kesadaran terhadap laut (red. maritim) dan segala aspeknya, dari strategis, komersial hingga lingkungan. Karena merekalah yang benar-benar terjun langsung kelaut, melakukan dan terlibat dalam eksplorasi santifik, hydrografi, oceanografi dst. Angkatan laut juga harus menjadi penjuru, berada dimata publik karena secara institusional Angkatan Laut terintegrasi dengan pemerintah di level nasional dan secara operasional merekajuga berada pada level regional maupun multilateral, jika tidak global.

Melihat ini tentu sangatlah besar dan berat tugas dan peran yang harus dijalankan Angkatan Laut demi tercapainya maritime awareness (kesadaran maritim) danketertiban dilautatau keamanan maritim secara umum. Namun hal tersebut juga tidak dapat berjalan sendiri tanpa adaya dukungan pemerintah (policy, strategy) dan koordinasi yang baik dengan stakeholder lainnya di darat. Kembali pada ‘hukum’ Carl von Clausewitz bahwa tindakan militer adalah kepanjangan tangan dari sikap politik.

  1. Pentingnya Mengembangkan Kebijakan Maritim

Ketidakteraturan di laut terjadi umunya terjadi karena ada perbedaan, sengketa, clash antar pengguna laut, baik itu negara vs negara, negara vs aktor non negara, sesama aktor non-negara, maupun aktor-aktor di level nasional (antar lembaga, nelayan vs pertambangan minyak dst). Till menyebutkan, ada dua dimensi kepentingan dalam mengatur ruang lautan dan sumber daya yang terkandung didalamnya, baik itu ikan, minyak dan gas dst. Pertama, kepentingan dan otoritas nasional. Kedua, pentingnya relevansi terhadap aturan-aturan internasional seperti UNCLOS, SOLAS, CUES dan seterusnya.

Karena sifat atau karakter utama dari laut yang bersifat universal, dalam arti laut memiliki interkoneksi yang tidak terbatas dan bahwa satu gangguan dimanapun ataupun komponen maritim manapun mungkin akan berdampak terhadap area laut atau komponen maritim lainnya (industri dan jasa maritim, armada dagang dan fighting instrument). Maka kebijakan dan regulasi di laut pun harus dipandang sebagai sistem global. Harus dipikirkan dan diperlakukan secara keseluruhan dan satu kesatuan (holistik), dan pada saat yang bersamaan mengintegrasikan elemen-elemennya ke sistem di darat. Karena kepentingan maritin tidak berhenti di garis pantai saja, melainkan semua aspek maritim harus diintegrasikan kedalam sistem di darat yang relevan untuk meningkatkan kebijakan maritim yang efektif dan mudah dimengerti.

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa sikap politik dari pemerintah merupakan salah satu hal yang paling utama harus ada dan terindentifikasi. Dan berbicara tentang mengembangkan kebijakan maritim, secara teoritis kebijakan (policy) artinya berbicara tentang dan mengidentifikasi ‘apa mau-nya pemerintah atau pejabat politik’. Tindakan militer (Angkatan Laut) dan lembaga penegak hukum lainnya (coast guard) tidak akan dapat berjalan dengan baik, efektif dan tepat sasaran jika keinginan (ends) dari pemerintahnya tidak terdefinisikan dengan baik. Begitupun koordinasi dan integrasi dengan lembaga lainnya yang berkecimpung di domain maritim juga tidak akan berjalan sebagaimana idealnya jika tidak ada atau persepsi terhadap apa yang diinginkan pemerintah tidak sama. Hal sama juga berlaku ketika suatu negara harus berhadapan atau bekerjasama dengan negara asing dalam, misalnya, operasi pengamanan dst, atau untuk pencapaian ketertiban di laut di kawasan diperlukan suatu sikap politik yang sama di level nasional, ada kebijakan dan strategy yang menjadi guide-nya, untuk dapat meng-address dengan tepat dan menjahit (tailored) kepentingan maritim nasional dengan kepentingan bersama dilevel regional maupun global.

  1. Mengembangkan Tatanan Maritim yang Terintegrasi.

Potensi ancaman, situasi dan sifat laut yang dinamis, keterkaitan antara event di laut dengan di darat dan sebaliknya, dilevel lokal, nasional hingga regional dan global, dunia maritim dengan segala kompleksitasnya harus dipertimbangkan. Tumpang tindih klaim antara negara seperti yang terjadi di laut china selatan, atau tumpang tindih kewenangan antar agensi di domain maritim di level nasional merupakan beberapa masalah yang kerap kita temui ketika berbicara tentang maritim Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Mengatasi permasalahan tersebut, dengan demikian, Angkatan laut dan lembaga sipil di domain maritim lainnya perlu untuk mengembangkan pendekatan managemen laut yang lebih terintegrasi; harus berfikir, berbincang, merencanakan dan beroperasi bersama.

Tidak hanya di level nasional, hal ini pun berlaku di level kawasan maupun internasional dimana harus ada tatanan maritim yang baik yang terintegasi dan negara-negara pun harus berfikir, berdialog dan beroperasi bersama untuk mencapai ketertiban di laut demi kepentingan bersama. Begitupun sumber dayalaut harus dapat didistribusikan secara efisien dan tepat sasaran, dan hal tersebut mensyaratkan tatanan maritim yang baik baik dilevel nasional maupun internasional. Diketahui bahwa, misalnya, ikan tidak mengenai batas yurisdiksi, dan terkadang managemen ‘straddling stock’ ikan membutuhkan kesepakatan kolektif ditingkat global maupun multilateral dan bilateral (ex. kesepakatan perikanan antara Jepang dengan China, China dengan Korea Selatan dst).

Tidak hanya berkaitan dengan semakin meningkatnya permintaan ikan antar negara yang selanjutnya berpotensi clash antar nelayan, pertumbuhan ekonomi, kerusakan lingkungan dan kelangkaan stok ikan dst. Namun hal tersebut pun dapat menjadi pemicu sengketa antar negara (navy to navy atau law enforcement lainnya), yang lebih lanjut dapat merusak atau menghambat ketertiban dilaut. Begitupun untuk isu kontrol polusi, operasi anti obat-obatan, perdagangan atau penyelundupan orang dan barang, perompakan dan seterusnya seringkali membutuhkan kerjasama dan kesepakatan internasional dan isu-isu seperti kedaulatan kerap kali menjadi hambatan dalam mencapai ketertiban di laut tersebut diatas.

Berkenaan dengan itu, pada praktiknya dewasa ini telah banyak ruang diskusi, platform yang dapat digunakan negara-negara untuk bertemu, bertukar pikiran dan bekerjasama satu dengan lainnya, baik secara bilateral, multilateral maupun global. Namun dalam beberapa kasus, terutama di Asia Tenggara dan Asia Pasifik, isu-isu tradisional seperti kedaulatan dan integritas wilayah kerap kali menjadi hambatan untuk memberikan jaminan dan mempertahankan good order at sea. Dengan demikian, salah satunya, Cofindence Building Measures sangatlah penting sebagai langkah pertama untuk membangun mutual trust dan suasana yang mendukung tercipta dan tercapainya tatanan yang baik di laut.

 

  1. Pentingnya Confidence Building Measures dan Mutual Trust di Kawasan

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa ketertiban di laut atau good order at sea tidak dapat dicapai oleh satu negara sendiri, melainkan memerlukan kerjasama dengan negara-negara lainnya, baik secara bilateral maupun multilateral. Kembali pada definisi teoritis bahwa good order at sea menjamin keamanan dan keselamatan perlayaran dan memungkinkan bagi negara-negara untuk mengupayakan pencapaian kepentingan maritimnya dan mengembangkan sumber daya laut mereka sesuai dengan prinsip-prinsip yang disetujui dalam hukum internasional. Dan bahwa ancaman terhadap ketertiban di laut tersebut mulai dari perompakan dan kejahatan bersenjatan di laut, terorisme maritim, perdagangan obat-obatan dan senjata secara illegal, penyeludupan orang, polusi, IUU fishing dan seterusnya.

Selain itu good order at land atau ketertiban di darat juga mempengaruhi ketertiban di laut dan sebaliknya. Namun tidak berhenti disana, ketertiban di laut pun dapat rusak atau terhambat jika negara-negara pantai dan/atau negara-negara berkepentingan tidak mampu berkooperasi dan menemukan mutual trust untuk dapat mengalamatkan dan menindak ancaman-ancaman terhadap ketertiban di laut secara efektif dan reliable. Sehingga dapat berakibat pada sulitnya melawan aktifitas illegal di laut akibat sumber daya yang tidak mencukupi, regulasi dan legislasi nasional yang tidak efektif, buruknya koordinasi antar lembaga nasional, termasuk profesionalistas personel-nya. Kurang atau belum selesainya isu perbatasan maritim pun semakin memperparah kondisi tersebut. Hal ini umumnya terjadi dikawasan dimana sensitifitas atas kedaulatan dan integritas territorial sangatlah tinggi, salah satunya di kawasan Asia Tenggara.

Diketahui bersama kawasan Asia Tenggara (dimana dua pertiganya adalah wilayah Indonesia) adalah kawasan maritim dimana hampir semua negara didalamnya memiliki kepentingan maritim yang luas. Bentuk geografis kawasan Asia Tenggara yang juga sangat kompleks menjadikan hampir semua area laut di asia tenggara tertutup dan dikategorikan baik sebagai laut teritorial, ZEE ataupun laut kepulauan dibawah UNCLOS 1982. Permasalahannya adalah dengan kondisi geografis demikian menjadikan penentuan batas maritim di Asia Tenggara menjadi sulit dan terkadang membutuhkan kesepakatan dari dua atau lebih negara. Lebih lanjut, batas maritim pun tidak dapat disepakati hingga isu kedaulatan atau kepemilikan terhadap pulau yang dipersengketakan dan fitur lainnya telah dicapai (ex. Paracel dan Spartly islands di laut china selatan). Kondisi tersebut juga seringkali menjadi penghambat upaya ketertiban di laut di kawasan. Permasalahan tersebut tidak hanya menjadi permasalahan atau concern negara-negara kawasan, tetapi juga negara lain diluar kawasan. Oleh karena kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan penting dan strategis dalam perdagangan dan pelayaran internasional dan merupakan akses kunci antara samudra Pasifik dan Hindia yang penting bagi ekonomi global utamanya di Asia Timur, Amerika Serikat dan negara-negara kekuatan maritim baru di Asia.

Dalam perkembangan terakhir, dan juga akan terus berubah secara dinamis, kawasan menghadapi berbagai pergeseran dan kekhawatiran yang berpotensi semakin memperpanas sensitifitas di kawasan. Sebutlah isu di Laut China Selatan yang semakin tidak dapat diprediksi ketika China menolak mematuhi hasil putusan Permamnent Court of Arbitration in the South China Sea yang diajukan Filipina. Filipina dengan presiden-nya Duterte yang ternyata menerapkan kebijakan atau sikap yang ‘berbeda’ dan tidak dapat diprediski dibandingkan pemimpin sebelumnya.Bujukan-bujukan China dengan bantuan dan investasi ekonomi dan pembangunan serta inisiatif (?) Maritime Silk Road-nya; dan.Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat berpotensi semakin memecah sikap negara-negara kawasan. Mengingat pentingnya kawasan Asia Tenggara dan sensifitas kawasan seperti tersebut diatas maka pembentukan mutual trust dan Confidence Building Measuresmerupakan hal yang sangat krusial untuk dilakukan dan terus ditumbuh suburkan oleh negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.

  1. Apa itu Confidence Building Measures?

Istilah Confidence Building Measures(selanjutnya CBMs) dapat memiliki arti yang berbeda dan konteks yang berbeda. Sejarahnya istilah ini muncul ketika perang dingin, antara Amerika Serikat, Rusia dan aliansi militer mereka (NATO dan Pakta Warsawa) untuk menghindari miskalkulasi, kecelakaan ataupun kesalahpahaman yang dapat berujung pada perang nuklir. Akan tetapi dewasa ini konsep ini dipahami dalam konteks yang lebih luas (tidak hanya revelan di dunia militer), tetapi dapat lahir pula dalam tingkat situasi konflik lainnya (maritim, cyber bahkan outer-space CBMs) dan di kawasan lain di dunia walaupun tidak selalu dilabeli sebagai CBMs.

Logikanya adalah bahwa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik kekerasan ataupun politik umumnya tidak memiliki kepercayaan terhadap satu sama lain, tidak mau berbicara bersama, jauh-jauh mau masuk meja negosiasi atau penyelesaian masalah bersama. Namun tingkat kepercayaan tertentu terhadap satu sama lain dan proses negosiasi merupakan hal yang sangat berharga bagi setiap pihak yang berkonflik dan dengan demikian pembentukan kepercayaan tersebut merupakan tahapan yang penting.

CBMs adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi ketakutan akan serangan oleh kedua pihak atau lebih dalam situasi tegang dengan ataupun tanpa konflik langsung. Diharapkan dapat meningkatkan hubungan, ‘memanusiakan’ pihak lain, dan memberikan signal intensi dan komitmen positif serta menghindari eskalasi. Tujuan utama dari CBMs adalah untuk membangun kepercayaan atau confidence yang merupakan kondisi psikologis dimana aktor-aktor membuat diri mereka sendiri rentan/lemah dan siap untuk mengambil resiko berdasarkan ekspekatasi niat baik dan perilaku positif dari pihak lain (Mason & Siegfired, 2013: p.57-59).

Dalam bahasa sederhana, Confidence Building Measures bertujuan untuk meluruskan atau menyesuaikan persepsi motif yang tidak tepat antara dua atau lebih negara, untuk menghindari kesalahpahaman mengenai kebijakan atau aksi militer tertentu, dan untuk menumbuhkan kerjasama dan interdependensi. Seiring dengan waktu, CBMs dapat membuka jalan bagi hubungan bilateral yang lebih stabil, mentransformasi ide tentang syarat-syarat nasional untuk keamanan dan bahkan mendorong langkah untuk mengindentifikasi kebutuhan keamanan bersama (UN Office for Disarmament Affairs, 2017).

Namun perlu dicatat bahwa tujuan dari CBMs bukanlah untuk membuat satu pihak dengan pihak lainnya menjadi saling menyukasi ataupun untuk mengalamatkan akar penyebab konflik. Melainkan ide untuk membantu membangun kepercayaan dengan menyinggung isu-isu yang lebih mudah yang kemudian mengarahkan pihak-pihak untuk mengalamatkan akar permasalahan melalui negosiasi substantif. CMBs bukan akhir melainkan hanya salah satu langkah untuk menegosiasikan dan mengimplementasikan kesepakatan yang menyinggung kunci perhatian strategis dapi pihak-pihak terlibat. Dengan demikian,

Prinsipnya, CBMs merupakan suatu hal yang bersifat suka rela. Artinya suatu pemerintah hanya berkomitmen terhadap mereka yang ingin berkomitmen. CBMs juga dapat diputuskan secara unilateral ataupun disepakati secara bilateral, regional maupun multilateral. Dapat diakhiri sebelum, selama ataupun setelah konflik, dan umumnya spesifik untuk situasi tertentu karena tindakan yang diadopsi dalam situasi tertentu untuk meningkatkan kepercayaan antara pihak yang berbeda, bisa jadi tidak bekerja dalam situasi yang lain. CBMs tidak selalu mensyaratkan assesement situasi keamanan bersama, juga tidak  mewajibkan kesetaraan kapabilitas militer. Bahwa tidak ada korelasi antara jumlah CBMs yang diikuti oleh suatu negara dengan tingkat keamanan dan stabilitas negara tersebut dan hanya dapat berhasil jika negara-enagra yang terlibat memiliki keinginan yang sama untuk menghindari eskalasi atau konflik.

Laut (domain maritim) dalam hal ini menyediakan ‘ruang’ unik dan luas bagi pengimplementasian confidence building measures (CBMs) antara negara-negara. Terutama dikawasan dimana konflik atau sengketa sangat riskan terjadi seperti di laut china selatan sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Keprihatinan atau perhatian bersama dalam isu di domain maritim menyediakan pondasi yang kuat dan lebih luas dibandingkan CBMs dalam isu ‘darat’, dan pada saat yang bersamaan dapat menekan isu keamanan, ekonomi ataupun kemanusiaan untuk jangka pendek.

Diakui atau tidak, hampir seluruh ngara dikawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia saat ini tengah terus berjuang dan berlomba untuk membangun ekonomi mereka. Seolah ‘kehausan’ akan pembangunan yang cepat untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lainnya, sehingga instabilitas kawasan nampaknya menjadi hal terakhir yang menjadi perhatian kawasan (dalam arti seolah tidak mendapatkan perhatian yang benar-benar serius) dan memalingkan sumber dayanya yang terbatas dari tugas perdamaian.

Signifikansi strategis Laut China Selatan artinya sengketa klaim territorial di kawasan ini akan sangat panas. Jikapun tidak terjadi hari ini, namun bagaikan bom waktu, dapat pecah sewaktu-waktu tanpa peringatan jika tidak di manage dengan baik. Selain itu, dampak bahaya dari peningkatan kapabilitas militer di kawasan, dikhawatirkan akan memicu balance of power dan arms race yang tidak perlu diantara negara-negara kawasan dimana bersamaan dengan peningkatan kapasitas Angkatan Laut negara-negara maka konflik militer yang disengaja maupun accidental juga akan meningkat. Oleh karena itu, sebagai disebutkan sebelumnya, bahaya dari konflik yang tidak diinginkan tersebut mendemonstrasikan pentingnya bagi negara-negara di Asia Tenggara, khususnya yang terlibat di LCS untuk membangun CBMs dan memanage potensi konflik.

Jikapun demikian, dibandingkan dengan isu hegemony atau perebutan kekuasaan (struggle for power) regional oleh negara-negara besar di kawasan (tradisional threats), ancaman langsung yang lebih serius yang dihadapi kawasan ini adalah akibatkan oleh ketiadaan tanggungjawab / ketertiban di laut / good maritime governance yang dapat secara efektif dan reliable meng-addressancaman-ancaman seperti lingkungan akibat kemungkinan tumpahan minyak, IUU fishing, meningkatnya perompakan dan kejahatan bersenjata di atas kapal atau kejahatan-kejahatan maritim transnasional lainnya.

Dengan demikian, di kawasan Asia Tenggara, upaya CMBs dapat bekerja untuk dua sisi. CBMs diperlukan untuk menciptakan suasana yang mendukung terciptanya ketertiban di laut (good orser at sea) dan menjamin keamanan serta keselamatan pelayaran dan pencapaian kepentingan maritim semua pihak. Dalam arti isu perbatasan (utamanya untuk kejelasan area of responsibility law enforcement negara-negara), dan sensitifitas terhadap kedaulatan dan integrasi territorial yang seringkali menjadi penghambat terciptanya good order at sea dapat diminimalkan, jika tidak dihilangkan sama sekali. Namun disisi lain, CBMs di kawasan Asia Tenggara juga dapat ditujukan utamanya untuk meng-address isu tradisional di kawasan (ex. di Laut China Selatan), namun upaya pembentukan kepercayaan tersebut dapat diawali dengan menyinggung isu keamanan bersama seperti IUU fishing, piracy dst atau untuk ketertiban di laut tadi.

Untuk membangun kepercayaan tersebut setidaknya ada dua prinsip yang dapat dijadikan pedoman oleh negara-negara, yakni: Pertama, pentingnya pendekatan yang menekankan keterbukaan dan transparansi yang dapat memperkuat upaya pembangunan kepercayaan regional dan menurunkan kemungkinan konflik yang tidak disengaja. Keduam penting untuk mengakui dan membuat kemajuan dalam mengalamatkan isu sengketa utama secara multilateral maupun bilateral sebagai langkah awal, setelah itu bisa diperluas. Selain itu, penting bagi negara di kawasan untuk saling mendorong penyelesaian isu perbatasan yang sifatnya masih bilateral, termasuk salah satunya adalah percepatan kesepakatan perbatasan antara Indonesia dengan Vietnam.

 

  1. What We Can (Must) Do at National Level

Dari pemaparan diatas, penulis melihat perlu adanya reevaluasi dalam beberapa hal di tingkat nasional untuk memperkuat tatanan nasional dalam mendukung tercapainya good order at sea, yakni:

(a) Konstruksi kepentingan nasional di domain maritim harus ditinjau ulang. Secara teoritis ada tiga spektrum besar kepentingan nasional di laut bagi Indonesia, yakni (i); pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengikat 17.448 pulaunya, berikut tanah, air dan udara diatasnya (ii) sumber nafkah atau menyangkut kesejahteraan; (iii) sebagai medium pertahanan yang bertujuan untuk memelihara kedaulatan atau eksistensi bangsa. Ketiga spektrum kepentingan tersebut pun harus berjalan berdampingan,. Jangan sampai, misalnya, pemanfaatan laut sebaga sumber nafkah dan kesejahteraan (ex. eksploitasi sumber daya alam, pariwisata dll) bertentangan atau membahayakan spektrum kepentingan nasional lainnya. Jika konstruksi kepentingan Indonesia telah terindentifikasi dan terdefinisikan dengan baik dan tepat maka seharusnya terbentuk pula perspesi ancaman nasional dan kebijakan (policy) maritim nasional (lebih luas lagi kebijakan keamanan nasional) yang jelas pula. Baik itu yang sifatnya kedalam maupun proyeksi kepentingan maritim nasional keluar (atau geopolitik, geoekonomi, geocultural dan geostrategi Indonesia secara umum). Dari situ barangkali akan terbentuk startegi maritim (lebih jauh, strategi keamanan nasional) Indonesia yang akan menjadi pedoman nasional dan pentujuk arah bagi semua stakeholder di domain maritim Indonesia untuk bergerak.

(b) Konstruksi manajemen maritime nasional dipertanyakan; Permasalahan utama lainnya yang dihadapi maritime Indonesia, termasuk untuk menjamin ketertiban di laut, adalah adanya tumpang tindih kewenangan dari tiga belas instansi yang berkecimpung di domain maritim. Selain menyebabkan terjadinya ego sektoral, persepsi ancaman yang sektoral, sehingga membangun postur yang sektoral juga yang dengan demikian juga dapat menyebabkan terjadinya tumpang tindih anggaran pula karena setiap agensi akan  berlomba membangun posturnya masing-masing. Efektifitas penegakkan hukum dan ketertiban di laut pun barangkali kita dapat lihat bagaimana kondisinya saat ini. Jika kontruksi kepentingan telah teridentifikasi dan terdefinisikan dengan baik. Ada policy yang menjawab “Apa yang diinginkan oleh pemerintah” dan  strategi (artinya, means, ways dan ends-nya jelas) maka boundaries-nya akan jelas. Begitupun dengan konsekuensi sumber dayanya (waktu, manusia dan materi). Dengan demikian masalah kedua yang kita hadapi dapat menemukan titik terang, yakni berkenaan dengan managemen maritim nasional saat ini yang –diakui atau tidak- masih berantakan, tidak efektif dan belum reliable. Kasus di Raja Ampat salah satunya menjadi indikasi bagaimana setiap ajensi di domain maritim Indonesia berkerja sendiri-sendiri dan apa yang telah dilakukan selama ini belum mampu menjawab kebutuhan ketertiban di laut (domain maritim) Indonesia secara efektif. Secara konseptual, ada lima fungsi managemen dasar, yakni: (i) perencanaan atau planning; (ii) pengorganisasian; (iii) Penyusunan personalia (staffing); (iv)  pengarahan (directing), dan: (v) pengawasan (controlling). Tidak berbeda dengan itu, kontruksi management maritim nasional pun harus diatur sedemikian rupa agar tepat sasaran, efektif dan sesuai dengan porsinya.Sebagai contoh, barangkali, mengenai pengembangan teknologi satelit dan penginderaan yang penting untuk pengembangan maritime awareness sebagaimana dipaparkan pada poin sebelumnya. Adalah lebih tepat dan sesuai porsinya  jika pengembangan kapabilitas tersebutdiserahkan kepada Angkatan Laut karena berbagai alasan. Pertama, pentingnya capacity building AL salah satunya untuk eksplorasi saintifik, navigasi, bawah laut dst. Yang pada ujungnya pengetahuan, informasi dan data (bukan sekedar lagi naval intelligent tetap maritime intelligent ?) tersebut dapat menjadi rujukan –kebijakan, operasional- bagi lembaga/kementerian di bidang maritim lainnya (terintegrasi). Hal ini mengingat juga peran TNI AL sebagai penjuru utama dan Pembina di domain maritim. Selain itu Angkatan Laut juga adalah mereka yang disana dan benar-benar turun langsung kelapangan –melakukan patroli, penelitian dst- sehingga masuk akal jika halnya AL memiliki pengetahuan dan data yang faktual. Dengan demikian, barangkali akan membantu integrasi sistem, baik untuk proses pembuatan kebijakan maupun operasional dan law anforcement semuaL/K maritim di level nasional.

Jika hal-nya manajemen maritim nasional sudah dapat dibenahi dengan tepat maka masalah lainnya terkait (c) konstruksi penegakan hukum dan (d) konstruksi hukum yang mendukung penegakkan hukum akan lebih jelas dan kuat.Oleh karena ketertiban di laut dan tatanan yang baik di laut juga mensyaratkan serangkaian aktifitas yang meluas, mulai dari penegakkan hukum di satu sisi dan pertahanan di sisi lain. Dengan demikian, peran coast guard dan Angkatan Laut dapat dikatakan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan harus terintegrasi dengan baik. Terlebih mengingat semakin kaburnya batasan antara ancaman tradisional dan non-tradisional dewasa ini dan rentan pecahnya pergesekan yang sifatnya soft security issues (contoh, penegakan hukum terkait IUU fishing di ZEE) menjadi hard security issues(military-to-military) di kawasan Asia Tenggara dan lingkungan strategis Indonesia. Dengan demikian pula penting adanya Rule of Engagement bagi kedua lembaga tersebut untuk keperluan ketika situasi berubah dari damai menjadi perang atau sebaliknya. Oleh karena penting bagi aktifitas penegak hukum di laut (termasuk AL) akan terlindungi dan didukung oleh dasar hukum yang kuat. Begitupun ketika proses pengadilannya pun akan tepat dan sesuai kaidah-kaidah yang disepakati oleh negara-negara secara internasional (mengingat pengadilan kasus di domain maritim Indonesia melalui Mahkamah Pelayaran saat ini pun belum berjalan sebagaimana idealnya). Sehingga aparat penegak hukum dan hukum di domain maritim Indonesia pun dapat berkembang menjadi lebih kredible dan reliable. Terlebih dengan visi ambisius Bapak Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia.

 

  1. Peran Angkatan Laut/ TNI AL dalam Good Order at Sea

Ketertiban di laut dan tatanan yang baik di laut juga mensyaratkan serangkaian aktifitas yang meluas, mulai dari penegakkan hukum di satu sisi dan pertahanan di sisi lain. Gambar dibawah ini.[1]

Dengan semakin meluasnya konsep keamanan, terlebih pasca tragedi 11 september 2001, tingkat potensi tumpang tindih pun meningkat hingga dapat menyulut isu siapa yang bertanggungjawab apa. Akan tetapi, karena tidak ada satu pihak pun yang dapat melakukan semuanya sendiri, maka penekanan utama dalam management laut tersebut adalah koordinasi yang efisien dari semua kekuatan yang ada dan implementasinya. Dalam hal ini, setiap negara dapat menerapkan model yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi geografis, konstitusi, political outlook-nya dan seterusnya. Secara umum, ada empat pendekatan yang dapat dibedakan dari tingkat keterlibatan Angkatan Laut  dalam managemen laut seperti gambar dibawah ini[2].

Untuk Indonesia sendiri, nampaknya hingga hari ini masih dalam proses mencari model yang tepat untuk management lautnya. Kita ketahui saat ini sudah ada KPLP dari Hubla dan BAKAMLA serta dari instansi lainnya seperti Satgas 115 (KKP) dan Polair. Jikapun demikian, hingga hari ini belum ada pernyataan atau sikap dari TNI AL bahwa tugas untuk law enforcement diserahkan seluruh kepada sipil (ex. US CoastGuardmodel -pemisahan tugas US Coast Guard dengan US Navy jelas) atau model lainnya yang dinilai tepat. Perubahan demikian tentu bukanlah wewenang dari TNI AL melainkan membutuhkan political will dari pemerintah yang dapat berupa kebijakan tentang model seperti apa inginnya atau yang dibutuhkan oleh Indonesia. Sejauh ini, merujuk pada UU No. 34  tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pasal 9 bahwa Angkatan Laut bertugas: (a) melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; (b) menegakkan dan menjaga keamanan di wilayah laut  yurisdiksi nasional sesuasi dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Dengan demikian, TNI AL hingga hari ini masih memainkan peran penting dalam fungsi-fungsi penegakan hukum di laut.

Akan tetapi penggunaan kekuatan Angkatan Laut sebagai law enforcement juga seringkali menemui hambatan. Utamanya karena dewasa ini banyak negara yang keberatan dengan penggunaan militer untuk tugas-tugas constabulary dan akan bersikerah meminta kontrol politik tingkat tinggi dan subordinasi angkatan laut ke instansi penegak hukum lainnya. Hal seperti ini juga pernah dihadapi Indonesia ketika Jepang menawarkan pemberian bantuan kapal patroli secara cuma-cuma. Namun Jepang mensyaratkan bahwa hanya instansi penegak hukum sipil yang bisa menerimanya. Karena konstitusi Jepang melarang memberikan bantuan ke instasi militer.

Selanjutnya, tingkat partisipasi atau keterlibatan Angkatan Laut dalam tugas ketertiban di laut tentunya akan berdampak pada naval preoccupations, pelatihan dan persenjataannya. Kapal yang diperuntukkan untuk operasi perang tentu tidak dapat dan tidak akan efisien jika digunakan untuk mengejar dan menangkap nelayan kapal penagkap illegal, misalnya. Pendekatan yang diterapkan pun dalam beberapa titik barangkali akan berbeda. Sebagai contoh, bagi pelaut perang, C3 dimaksudkan untuk command, control dan communication. Namun dalam tugas ketertiban di laut barangkali C3 artinya collaboration, cooperation dan coordination. Begitupun dalam design kapal dan hal-hal lainnya  juga membutuhkan pendekatan yang berbeda. Ada juga trend yang mencoba mempersempit beberapa aspek dalam gap antara tugas ketertiban di laut dengan tugas perang seperti operasi ekspedisi di daerah pesisir yang juga dapat diterapkan untuk operasi bantuan bencana, membantu operasi anti penyelundupan obat-obatan dan orang dan perlindungan lingkungan dst.

Namun tidak semua kebutuhan untuk operasi ketertiban dilaut dapat satu sama lain cocok dan sesuai kebutuhan masing-masing. Misalnya kebutuhan untuk perlindungan perikanan tidak akan cocok digunakan untuk operasi bantuan bencana. Dengan demikian, semua hal tersebut menggugah pertanyaan untuk Angkatan Laut. Haruskah mereka membuat variasi untukmengakomodasi semua fungsi-fungsi tersebut, atau haruskan Angkatan Laut menyerahkan sebagian tanggungjawabnya dalam ketertiban di laut ke coast guards, baik di dalam ataupun tanpa dukungan pelayanan dari Angkatan Laut?. Bagaimana dengan TNI Angkatan Laut dalam upaya menjamin dan percapaian ketertiban di laut Indonesia dan di luar?. Karena bentuk atau model-nya itu sendiri pun saat ini belum jelas dan sedang dalam proses (?) mencari model yang tepat, maka jawabannya pun barangkali belum jelas. Namun yang pasti bahwa respon terhadap pertanyaan demikian akan mencerminkan bagaimana asumsi dan pendekatan operasi maritim Indonesia. Yang dalam hal membutuhkan dan baergantung pula padapoltical will dan kebijakan dari pemerintah dan bagaimana sikap serta prioritas masa depan pemerintah kedepannya.

 

  1. Simpulan dan Masukan

Dari pemaparan diatas, kita dapat melihat bagaimana kompleksnya dunia maritim dan pentingnya upaya pencapaian dan jaminan ketertiban di laut, baik untuk pemerintah di tingkat nasional, kawasan maupun untuk kepentingan global. Membangun lingkungan maritim yang terstruktur dan komprehensif dalam konteks keamanan dan keselamatan pun bukanlah suatu tugas yang mudah bagi negara maritim manapun, khususnya negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur dimana konflik antar negara dan sensitifitas kedaulatan sangatlah tinggi. Pemahaman tentang dunia maritim, dukungan ekonomi, political wills (policy – strategy), kesadaran publik, kepentingan nasional dan kerjasama antar negara merupakan kunci utama yang diperhatikan oleh pemerintah di tingkat nasional.Namun disisi lain, dampak global dari ancaman maritim tersebut pun harus menjadi prioritas. Dalam hal ini, konsep good order at sea secara jelas meng-address kedua hal tersebut (kepentingan ditingkat nasional dan global) dan mendeskripsikan poin-poin sumber daya maritim dan hal-hal yang diperlukan untuk menciptakan kondisi maritim ideal yang mendukung kemakmuran negara-negara dan stabilitas keamanan global (on traditional or non-traditional security issues).

Pengembangan kebijakan maritim yang tepat dan tatanan maritim yang terintegrasi merupakan hal yang sangat krusial untuk dilakukan oleh negara-negara. Bagi Indonesia sendiri, bukan kebijakan itu tidak ada, kita justru memiliki setidaknya tiga belas instansi yang bergelut di domain maritim. Namun belum terintegrasinya ketiga belas instansi tersebut, tumpang tindih menjadikan sistemnya menjadi tidak jelas, tidak efisien dan bahkan terkesan serabutan dan berebutan. Sehingga untuk upaya mencapai ketertiban di laut (setidaknya laut yuridiksi nasional), law enforcement-nya tidak dapat berjalan dengan baik, efektif, bersifat continue dan reliable. Oleh karena itu tidaklah heran jika kita kerap kali menemukan istilah ego sektoral, karena setiap instansi memiliki tupoksinya masing-masing dan tidak terikat dalam satu strategi maritim (yang hingga hari ini masih perlu dipertanyakan). Begitupun tidaklah heran juga jika aktitifitas dan proyeksi kepentingan maritim nasional Indonesia keluar juga sepertinya tidak jelas (bukan tidak ada), kurang terstruktur, komprehensif dan holistik.

Namun selain dua hal tersebut diatas, peningkatan kesadaran maritim adalah hal yang paling penting dan utama bagi semua negara dalam menjamin dan mempertahakan ketertiban di laut. Oleh karena hal tersebut akan memberdayakan publik dan pemerintah sebagai pondasi utama untuk assessment dalam merencanakan dan mengimplementasikannya dalam kebijakan nasional sehingga akan melahirkan kebijakan maritim yang efektif, komprehensif dan mengintegrasikan semua instansi terkait. Baik untuk kebutuhan di tingkat nasional/domestik, maupun di tingkat regional dan internasional. Begitupun peran Angkatan Laut –tepatnya TNI AL-  dalam manajemen ketertiban di laut pun sangatlah penting dan harus diperhatikan dan dikembangkan. Termasuk mengenai model seperti apa yang tepat yang dapat diterapkan untuk mendukung good order at sea.

 

Daftar Pustaka

Till, Geoffrey. 2004. Sea Power: A Guide for the Twenty First Century

Mason, Simon J.A. & Mattihias Siegfried. 2013. COnfidence Building Measures (CBMs) in Peace Processes.

Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. diakses dari: <https://portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/mg58ufsc89hrsg/uu342004.pdf>

UNODA. 2017. Military Confidence Building Measures: How to make them work. Diakses dari:<workhttps://www.un.org/disarmament/cbms/cbm2/>

 

[1]Till, Geoffrey.2004. Sea Power: A Guide for Twenty First Century. P. 342. Menunjukan tanggungjawab dari spektrum tersebut dapat terbagi-bagai antara kekuatan Angkatan Laut, coast guard dan instasni sipil lainnya, dengan tumpang tindih dibagin tengah.

[2]Ibid. P.344. Menunjukkan bahwa jikapun peran Angkatan Laut dan Coast Guard pada dasarnya masih tumpang tindih, namun terdapat perbedaan fungsi yang jelas antara keduanya. Angkatan Laut tidak mempunyai kekuatan untuk menangkap dan bahkan untuk terlibat dalam maritime interception operations kapal dagang pun biasanya dilakukan/diserahkan kepada personil US Coast Guard, dimana banyak negara lain juga yang mengikuti model ini (Korea dan Jepang).

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap