Oleh: Willy F. Sumakul
1. EBO: Mengapa Diperlukan?
Diskusi tentang network centric warfare ( NCW) dan Network Centric Operations (NCO) adalah suatu tuntutan kebutuhan baru dalam penggunaan kekuatan militer, untuk menghadapi lingkungan strategis yang berkembang dewasa ini. Namun kedua konsep di atas bukanlah menjadi tujuan utama (ends), melainkan hanyalah sarana (means) untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Pemahaman strategi penangkalan yang dianut oleh banyak negara dalam beberapa dekade, untuk mencegah musuh atau calon musuh melakukan tindakan militer terhadap suatu negara tertentu, sudah dianggap usang dan tidak cocok lagi dengan lingkungan strategis saat ini.
Hal itu khususnya menyangkut penangkalan nuklir strategis yang diterapkan oleh negara-negara adidaya, merupakan sine qua non dari Perang Dingin. Istilah penangkalan masih dipakai, namun dengan konsep/pendekatan yang baru, tidak lagi bertumpu pada pencegahan dan pembalasan (prevention and retaliation). Tetapi lebih menuntut adanya keseimbangan penggunaan kekuatan militer dan kekuatan sipil untuk bersama-sama berupaya membentuk perilaku, cara bertindak dan sikap (behavior) dari pihak lain ataupun musuh potensial. Shaping behavior inilah sebenarnya yang menjadi esensi dari effects based operations.
Revolusi di bidang teknologi militer termasuk di dalamnya sensor, informasi dan persenjataan hanya akan memperbaiki dan meningkatkan efektifitas kekuatan serta memungkinkan mengorganisasi dalam melakukan kegiatan militer atau bahkan pertempuran. Pada sisi lain, titik berat utama network centric warfare, menuntut penerapan yang lebih luas sampai menjangkau dimensi kemanusiaan dalam operasi militer. Baik pada spektrum konflik mulai dari masa damai, krisis dan perang.
Dampak yang ditimbulkan dari penerapan secara luas kekuatan militer masa kini yang difokuskan pada tindakan (actions) dikaitkan dengan behavior, stimulus, tanggapan dan pada tujuan penghancuran dan perusakan sasaran secara fisik. Inilah sebenarnya yang menjadi fokus utama dari apa yang dimaksud dengan effects based operations (EBO).
The Command and Control Research Program (CCRP), suatu lembaga di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat mendefinisikan Effects-Based Operations are coordinated sets of actions directed at shaping the behavior of friends, foes, and neutrals in peace, crisis, and war. Mengacu pada definisi tersebut, konsep EBO yang menitikberatkan pada “seperangkat tindakan yang terkoordinasi”, ditujukan pada perilaku manusia di berbagai dimensi dan berbagai tingkatan. Konsep ini juga untuk mengukur tingkat keberhasilannya dari perubahan perilaku yang terjadi. Tindakan/aksi yang dimaksud menuntut pelibatan seluruh aset militer ditambah dengan kekuatan nasional yang lain.
Selain itu, dampak yang diharapkan tidak hanya pada pihak yang bermusuhan, tetapi juga terhadap siapa saja dan dapat terjadi pada tingkatan. Baik taktik, operasi, strategi militer, geostrategi bahkan sampai pada area politik domestik maupun internasional. Telah disadari bahwa kekuatan militer saja tidak cukup mampu menyelesaikan konflik yang dihadapi, akan tetapi diperlukan suatu pendekatan baru yang kenyataannya akan mengkombinasikan tindakan-tindakan di bidang politik, militer dan mungkin ekonomi .
2. Attrion-Based Warfare
Berbagai langkah yang ditempuh oleh banyak negara sampai saat ini untuk melaksanakan perang atau untuk mengatasi konflik, umumnya terpusat pada bagaimana menghancurkan kekuatan musuh secara fisik, baik pasukannya, alat utamanya maupun sarana pendukungnya. Pelaksanaan perang seperti ini dikenal dengan sebutan attrition–based warfare, yang artinya berupaya menghancurkan, melumpuhkan, menguras habis kekuatan fisik musuh. Baik secara cepat maupun perlahan-lahan, dengan kekuatan pihak sendiri sampai musuh tidak berdaya, tidak bertenaga dan tidak mampu (exhaust) dan akhirnya menyerah.
Dari catatan sejarah, beberapa kasus perang dapat berlangsung dalam waktu lama (protracted war), karena pihak-pihak yang terlibat berusaha menguras tenaga lawan sampai akhirnya tidak mampu melakukan perlawanan. Negara yang menerapkan konsep perang model ini umumnya sangat yakin akan kemampuan dan kekuatan alat-alat perangnya, khususnya pada kelebihan teknologi persenjataannya dibanding dengan kekuatan yang dimiliki oleh lawannya.
Namun satu hal yang perlu dipahami, attrition warfare bukanlah hasil dari suatu perkembangan teknologi dan industri maju, atau produk dari suatu negara maju dan modern. Praktek perang semacam ini telah dilakukan sejak jaman kuno, misalnya pada Perang Punisia antara Roma melawan Chartago di tahun 198 SM, terus berevolusi sampai pada Perang Dunia Kedua, bahkan sampai saat ini. Catatan sejarah perang yang panjang ini banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik antara lain bahwa:
- Attrition warfare sebenarnya adalah pilihan terakhir (last resort) dan tidak semata-mata didasarkan pada keputusan satu orang saja dan bersifat pilihan mutlak (arbitrary). Tidak satu pun pihak yang terlibat menginginkan perang berkepanjangan, melainkan menghendaki perang cepat, pukulan menentukan (decisive). Akan tetapi pada kenyataannya mereka menemukan musuh yang tidak mau menyerah begitu saja, dan akhirnya mereka terseret pada attrition war. Dalam beberapa kasus perang, faham nasionalisme menjadi faktor pengikat yang kuat bagi suatu bangsa sehingga memberikan semangat (will) juang yang pantang menyerah.
- Pihak-pihak yang bertikai tidak dapat berasumsi bahwa lawannya akan melakukan perlawanan sesuai dengan yang diinginkan atau direncanakan oleh pihak sendiri. Lawan cenderung melakukan perlawanan yang tidak terduga sebelumnya dan akan mengambil bentuk selama interaksi berjalan, bukan pada saat perang direncanakan.
- Sebagai contoh, Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua adalah perang attrition, karena seluruh strategi perang yang diterapkan oleh pihak- pihak yang terlibat, didasarkan pada keinginan menghancurkan kemampuan fisik lawan untuk mencapai kemenangan. Akan tetapi hal itu bukan karena pertempuran–pertempuran yang dilakukan untuk merealisasikan strategi guna menguras tenaga lawan sehingga perang dapat berlangsung lama, tetapi masing-masing pihak melakukan manuver cepat, pendadakan atau cara lain untuk mencapai kemenangan.
- Akhirnya disadari bahwa faktor determinan untuk mencapai kemenangan dalam perang bukanlah menghancurkan musuh secara fisik, tetapi menghancurkan WILL (semangat, kemauan, militansi, moril) dari musuh agar mereka sampai pada suatu fase untuk tidak mau melanjutkan perjuangan lagi.
Dapat disimpulkan bahwa ada dua dimensi utama yang harus dipahami benar oleh setiap pemimpin negara dan pemimpin militer bila terlibat atau terpaksa terjun dalam perang, yaitu dimensi fisik dan dimensi psikis. Fisik yang dimaksud adalah sarana dan prasarana perang (alutsista, pendukung, personil/pasukan) yang dalam strategi militer dikenal dengan istilah MEANS. Sedangkan psikis adalah WILL yang mengandung semangat juang, patriotisme, moril yang tinggi, nasionalisme, rela berkorban dan lain sebagainya.
Kemenangan dalam perang barulah sempurna apabila dapat menaklukkan kedua faktor dominan ini. Tentunya hal ini tidak mudah dilakukan karena faktor-faktornya yang kompleks, kedua faktor tersebut tidak mempunyai hubungan yang linier antara penghancuran secara fisik sampai pada tingkat tertentu. Serta proses psikologi yang berlangsung dalam alam pikiran manusia dalam kurun waktu tertentu.
Hubungan yang kompleks antara means dan will ini dapat saja dideteksi pada level politik dan strategi militer, akan tetapi dapat dipastikan akan muncul pada level operasional dan taktis.
3. Konflik Simetris dan Asimetris
Faktor-faktor means dan will yang telah dibahas di atas, akan memberikan gambaran selanjutnya bagaimana suatu konflik disebut sebagai simetris atau asimetris. Dalam pengertian sederhana, contoh kedua Perang Dunia disebut sebagai perang simetris (symmetric contests). Di mana suatu negara melawan negara atau koalisi negara yang lain, Angkatan Laut melawan Angkatan Laut, demikian pula Angkatan Darat menghadapi Angkatan Darat yang lain. Perang biasanya secara formal diumumkan dan terhadap pelanggar hukum perang sanksi akan diberikan.
Kedua belah pihak yang berhadapan dapat digambarkan dalam suatu matriks sebagai berikut:
Ilustrasi di atas disebut sebagai simetris karena kedua belah pihak masing-masing mempunyai sarana (means) dan semangat (will) yang besar pula. Umumnya perang yang terjadi akan mengarah pada protracted and attrition war, di mana semakin besar kedua faktor determinan yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang berhadapan. Semakin kecil kemungkinan salah satu dari padanya dikalahkan dengan cepat dan karena itu semakin besar pula kemungkinan konflik itu berkepanjangan dan attrition based war tak terelakkan.
Namun apa yang terjadi bila keadaan di atas tidak simetris, atau dengan kata lain asimetris. Banyak pengamat militer mengartikan assymmetric conflict sebagai adanya perbedaan atau ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kekuatan militer. Termasuk di dalamnya perlengkapan, latihan dan organisasi dari pihak-pihak yang bertikai. Karena itu dengan mudah diramalkan bahwa hukum konflik akan berlaku, di mana pihak yang memiliki kemampuan lebih besar, akan berusaha mencari dan mengeksploitasi kekurangan atau kelemahan pihak lawan agar kemenangan dapat dicapai.
Keadaan konflik asimetris yang dihadapi dalam lingkungan strategis dewasa ini tidaklah sesederhana seperti apa yang digambarkan di atas. Negara tidak lagi berperang melawan negara lain, tetapi berperang melawan aktor non negara, seperti gerakan etnik untuk kemerdekaan, pemberontak bersenjata (separatis), gerilya, bahkan teroris. Kekuatan angkatan perang (Angkatan Laut, Darat dan Udara) dapat saja diberi tugas lain di luar tugas asasinya.
Karena itu faktor-faktor penentu dalam asymmetry conflict yaitu meansdan will akan lebih menentukan bagaimana mekanisme perang berjalan. Bahkan menjadi faktor-faktor kritis yang memerlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam dari para pemimpin militer. Dibandingkan dengan konflik simetris, konflik asimetris tidak sekedar merupakan kebalikannya, akan tetapi dapat terjadi dari berbagai kombinasi yang berbeda dari faktor-faktor penentunya. Secara sederhana dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini:
Sebagai catatan, pengertian great dan limited tentu saja relatif , karena hal ini hanya untuk menggambarkan keadaan ekstrim dari pihak-pihak yang berhadapan. Dari diagram di atas, misalnya suatu entitas yang mempunyai great means dan great will berhadapan dengan entitas lain yang mempunyai limited means dan juga limited will. Sehingga kecenderungan konflik atau perang akan berakhir cepat dan kemenangan berada pada pihak yang lebih kuat. Keadaan akan menjadi lain bila misalnya satu pihak memiliki great means, limited will berhadapan dengan pihak lain yang memiliki limited means, great will, maka hasil akhir belum dapat dipastikan, sedangkan konflik cenderung berlangsung lama.
Berbagai kombinasi dari faktor-faktor penentu pada diagram di atas akan memberikan gambaran sederhana terhadap situasi yang kemungkinan dapat terjadi di dunia dewasa ini.Adapendapat bahwa konflik–konflik yang terjadi belakangan ini, melibatkan pihak yang memiliki kemampuan dan kekuatan persenjataan yang besar melawan suatu entitas yang lemah atau kecil dalam hal persenjataan, namun memiliki semangat, militansi dan mungkin juga ideologi yang sangat kuat.
Diakui pula bahwa entitas yang dimaksud bukanlah suatu negara (nation state), melainkan dapat berbentuk gerilya, gerakan pembebasan berbasis etnik dan agama atau organisasi teroris internasional seperti Al Qaida. Oleh karena itu ditempuh suatu pendekatan baru dalam menghadapi musuh yang demikian, yaitu memusatkan pada pembentukan “sikap” dari musuh (shaping the opponent’s behavior). Inilah sesungguhnya esensi dari effects based operations.
4. Implementasi Ke Depan
Mungkin timbul pertanyaan, di tengah lingkungan strategis yang baru sekarang ini, apakah bentuk konflik asimetris telah menggantikan perang berdasarkan penghancuran (attrition based warfare) yang bertumpu pada simetri antara means dan will? Jawabannya ternyata tidak, karena kedua faktor penentu akan selalu berkembang, dalam arti banyak negara di dunia terutama negara berkembang, berlomba-lomba meningkatkan kekuatan angkatan perangnya dengan membuat sendiri atau membeli alat utama sistim senjata. Konflik dapat pecah antar dua negara yang berimbang kekuatannya karena sengketa perbatasan, perebutan sumber daya alam atau karena sebab-sebab lain. CCRP sendiri mengakui bahwa, asymmetric conflict, has not replaced symmetric conflict; it has come in addition to it.
Penggunaan kekuatan militer melalui network centric dapat diaplikasikan pada kedua bentuk konflik simetris/attrition based maupun asimetris/ effects based. Bentuk perang akan mengarah kemana, adalah merupakan fungsi dari tingkat perbedaan pada besar dan kemampuan masing-masing pihak. Semakin simetris Kekuatan dan Kemauan, semakin besar kemungkinan perang akan mengarah pada attrition based, sebaliknya semakin asimetris Kekuatan dan Kemauan, perang akan menjadi effects based.
Satu hal yang perlu dipahami ialah, konflik asimetris, tidak selamanya terjadi di kala perang saja. Oleh karena itu effects based operations dapat diterapkan dalam spektrum yang luas, dari masa damai, konflik maupun perang. Aplikasi di masa damai adalah MOOTW (military operation other than war), operasi pemeliharaan perdamaian dan operasi-operasi yang berdampak sosial bagi masyarakat. Dengan alasan ini pula peranan media dan informasi telah menjadi bagian terpenting dari setiap upaya untuk membentuk opini publik, karena targetnya tidak lain adalah human behavior.
Fase perang yang dikenal dewasa ini sebagai Peperangan Generasi Keempat, (4th GW), hendaknya diarahkan untuk mencapai EBO, karena musuh yang dihadapi sangat beragam, medantempur yang tidak terbatas, serta waktu yang tidak jelas kapan dimulai dan kapan selesai. Akhirnya, menurut Edward R. Smith dari CCRP, “Effects Based Operations are not simply a mode of warfare. They encompass the full range of actions that a nation may undertake in order to induce a particular reaction on the part of an opponent, ally, or neutral”.
Referensi:
- Edward R. Smith, CCRP, Effects Based Operations.
- Dr. Paul K Davis, Effects Based Operations.