Diplomasi Pertahanan ASEAN dalam Rangka Stabilitas Kawasan

Oleh: Goldy Evi Grace Simatupang

  1.   Pendahuluan

Kebangkitan China dan hegemoni Amerika, khususnya di kawasan Asia Tenggara selalu menarik untuk dibicarakan. Kebangkitan China memberikan sinyal akan (atau sedang) adanya perubahan dalam keseimbangan kekuatan baru dalam hubungan internasional. Unipolar system yang selama ini dikomandoi oleh Amerika, khususnya di Asia Tenggara, ‘terancam’ dengan kehadiran China di kawasan ini.

Kebijakan US pivot to Asia yang digencarkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama memberikan sinyal bahwa Asia merupakan kawasan penting bagi Amerika dan terdapat kepentingan nasionalnya di kawasan ini. Beberapa pakar bahkan mendiskusikan adanya kemungkinan persaingan yang akan diakhiri dengan perang atau konflik militer di abad 21.

Di lain pihak, negara-negara Asia Tenggara yang pada umumnya “negara lemah”, berada dalam setidaknya beberapa opsi. Pertama, bersekutu dengan China agar tidak menjadi musuh (bandwagoning). Atau kedua memperkuat diri dengan membentuk satu ikatan bersama dan menyeimbangkan China (balancing).

Terlepas dari pilihan-pilihan tersebut, yang jelas saat ini sedang terjadi perubahan lingkungan keamanan dan strategi karena akan terbentuknya keseimbangan baru. Masalahnya adalah pada negara-negara ASEAN. Karena pilihan apapun yang dibuatnya akan mempengaruhi dirinya secara internal maupun eksternal. Perkembangan yang terjadi adalah bahwa negara-negara ASEAN membentuk kerjasama, termasuk dalam pertahanan-keamanan dan memilih cara-cara “damai” apa yang disebut “diplomasi pertahanan”.

2.        Diplomasi Pertahanan: Definisi dan Konsep

Saat ini, pemahaman keamanan telah mengalami perubahan. Negara tidak lagi memahami keamanan hanya sebatas ancaman yang sumbernya dari negara lain dan bersifat militer. Isu yang berkembang dalam isu keamanan tidak lagi sebatas keamanan negara (state security) namun keamanan individu (human security). Dalam pemahaman keamanan non-tradisional, isu yang berkembang dalam keamanan saat ini mulai dari keamanan pangan, lingkungan hidup (global warming), ekonomi, dsb. Ancaman yang didapat dari negara tidak lagi hanya dari negara lain saja, namun bersumber dari non-state actor dan bersifat transboundary.

Oleh karena itu negara sadar betul, dibutuhkan diplomasi multilateral dan dibentuknya suatu badan kerjasama untuk melindungi dan mencapai kepentingan nasionalnya. Hal ini berlanjut dengan berkembanganya kerjasama bilateral maupun multilateral baik regional maupun global.

 Tidak ada definisi umum dari diplomasi pertahanan. Namun diplomasi pertahanan selalu berkaitan dengan: pertama, aktivitas kerjasama yang dilakukan militer dan infrastruktur terkait pada masa damai. Kedua, diplomasi pertahanan melibatkan kerjasama militer dalam isu yang lebih luas, mulai dari peran militer sampai peran non-tradisional, seperti penjaga keamanan (peacekeeping), penegakan keamanan (peace enforcement), mempromosikan good-governance, tanggap bencana, melindungi HAM, dll. Ketiga, berbeda dengan masa lalu, dimana militer hanya bekerjasama dengan sekutunya, saat ini kerjasama militer juga dilakukan antara negara bahkan negara yang sedang bersaing.[1]

Diplomasi pertahanan dilakukan pada masa damai menggunakan kekuatan bersenjata dan infrastruktur terkait sebagai alat kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri. Diplomasi pertahanan juga merupakan sebuah proses yang tidak hanya melibatkan aktor negara saja (seperti politisi, kekuatan bersenjata atau badan intelijen), namun juga organisasi non-pemerintah, think tank dan masyarakat sipil. Inilah yang membedakannya dengan diplomasi militer, dimana diplomasi militer fokus hanya pada penggunaan kekuatan militer dalam diplomasi terkait isu-isu keamanan saja. Diplomasi pertahanan bertujuan untuk memperbaiki hubungan antar negara melalui jalur-jalur formal maunpun informal, dengan pemerintah maupun non-pemerintah dan dengan resiko dan biaya rendah. Diplomasi pertahanan, saat ini telah menjadi alat penting dalam kebijakan keamanan dan kebijakan luar negeri suatu negara.

Cottey, A., & Forste mengatakan bahwa aktivitas-aktivitas dalam diplomasi pertahanan adalah sebagai berikut[2]:

  1. Terjalinnya hubungan bilateral dan multilateral antara pejabat militer dan pejabat sipil pertahanan senior.
  2. Penunjukan atase pertahanan di luar negeri
  3. Perjanjian kerjasama pertahanan bilateral
  4. Latihan bersama antara personil pertahanan militer asing dan sipil
  5. Penyediaan keahlian dan saran dalam kontrol demokrasi kekuatan bersenjata, manajemen pertahanan dan bidang teknis militer.
  6. Pertukaran personil dan unit militer, dan kunjungan kapal
  7. Penempatan personil militer ataupun sipil di kementerian-kementerian pertahanan atau militer negara sahabat
  8.  Penyebaran tim pelatih
  9. Penyediaan peralatan militer dan bantuan material lainnya
  10. Latihan militer bilateral ataupun multilateral

 Berbagai aktivitas-aktivitas diplomasi pertahanan ini disebut sebagai ‘diplomasi pertahanan baru’ yang bukan saja hanya memperkuat kerjasama, namun juga membuat beberapa negara-negara maju seperti China, AS dan Inggris ‘mempertajam dan mempengaruhi’ perkembangan domestik negara-negara di kawasan dalam hal mendukung demokrasi dan HAM dan juga membantu mereka menangani masalah-masalah keamanannya. Saat ini, diplomasi pertahanan memiliki tiga peran utama, yaitu:

  1. Kerjasama strategis untuk mengurangi ketegangan antara negara-negara bersengketa maupun yang berpotensi konflik,
  2. Mempromosikan hubungan sipil-militer,
  3. Mendukung negara lain untuk memajukan kemampuan menjaga keamanan (peacekeeping)

Diplomasi pertahanan telah menjadi alat penting dalam kebijakan pertahanan dan keamanan suatu negara. Hal ini adalah hasil kerpecayaan dan apresiasi negara-negara pada pertemuan-pertemuan multilateral untuk mendiskusikan masalah keamanan dalam level regional maupun internasional.

 3.        Diplomasi Pertahanan dan ASEAN Centrality

Keamanan merupakan hal yang sangat penting bagi negara. Negara berjuang untuk meningkatkan kekuatan (power) untuk menciptakan keamanan. Negara berjuang untuk meningkatkan kekuatan untuk menghadapi setiap ancaman (threat). Untuk mencapai kepentingan nasional (national interest), negara bertindak rasional dengan mementingkan kekuatan, terutama peningkatan kekuatan pertahanan.

Ada dua teori untuk menjelaskan perilaku negara-negara dalam politik internasional. Yang pertama adalah teori perimbangan kekuatan (balance of power) dikembangkan oleh seorang pakar Hubungan Internasional Kenneth Waltz. Ada dua asumsi Waltz dalam teori ini. Yang pertama, negara adalah aktor utama dalam politik internasional dan minimal negara akan berusaha mempertahankan kekuasaannya. Maksimalnya, negara akan mencari dominansi dalam sistem internasional. Asumsi kedua adalah, negara akan melakukan pendekatan rasional dengan cara-cara yang ada/memungkinkan untuk mencapai tujuannya.

Sarana (means) yang digunakan ini dapat diklasifikasikan atas internal maupun eksternal. Usaha-usaha internal mencakup mendorong kekuatan ekonomi dan meningkatkan kemampuan militer. Sementara usaha-usaha eksternal mencakup segala tindakan yang diambil negara untuk beraliansi dengan negara lain untuk mencapai kekuatan bersama dan memperlemah kekuatan negara yang berpotensi sebagai saingan.[3] Balancing ini berbeda-beda dalam hal intensitasnya. Dalam intensitas yang rendah, negara menjaga hubungan kosntruktif dengan negara target. Sementara dalam intensitas tinggi, terjadi persaingan yang terbuka antara kedua negara, dan mempengaruhi kondisi politiknya juga.[4]

Antitesis dari balancing adalah bandwagoning. Asumsinya adalah negara-negara akan bergabung dengan negara yang lebih kuat dalam sistem internasional. Misalnya kebanyakan negara-negara kecil memilih bandwagoning dengan Amerika Serikat paska Perang Dingin. Ada dua definisi yang berbeda dari bandwagoning. Yang pertama adalah bersekutu dengan negara yang berpotensi sebagai ancaman agar tidak diserang. Sementara definisi kedua adalah “berada di sisi yang menang” dengan harapan dapat memperoleh keuntungan ekonomi.[5]

Teori-teori ini pada umumnya diambil berdasarkan pengalaman negara-negara Eropa dalam kurun waktu empat abad terakhir. Kebanyakan teori menjelaskan perilaku negara-negara besar, namun sedikit teori menjelaskan perilaku negara-negara kecil (peripheral).

Selain itu ada teori balance of threat yang dikembangkan oleh Stephen M. Walt. Jika teori perimbangan kekuatan mengasumsikan bahwa negara akan bertindak berdasarkan kapabilitas, maka balance of threat berasumsi bahwa negara akan bertindak berdasarkan potensi ancaman (threat). Negara akan beraliansi untuk melawan kekuatan lain yang berpotensi sebagai ancaman.[6]

Berdasarkan definisi bandwagoning di atas, kita bisa melihat bagaimanakah sikap negara-negara Asia dalam menyikapi kebangkitan China sebagai negara yang berpotensi menjadi hegemon di Asia. Dalam definisi pertama negara-negara ASEAN akan bersekutu dengan China agar tidak diserang. Hal ini tidak terjadi sebab China tidak berlaku agresif terhadap negara-negara ASEAN, sebaliknya China mengurangi ketegangan dengan mengutamakan prinsip-prinsip negosiasi, multilatealisme dan mengharagai kedaulatan negara-negara ASEAN.

Definisi kedua, yakni berada di sisi yang menang untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Definisi ini lebih cocok melihat keadaan dimana negara-negara ASEAN berusaha menjaga hubungan baik dan menjalin kerjasama dengan China dengan harapan hubungan yang baik ini akan membuka pintu kesempatan untuk keuntungan ekonomi di masa depan.

Negara-negara ASEAN sebenarnya memiliki alasan-asalan untuk ‘gentar’ terhadap China, terutama dalam hal geografi (China memiliki wilayah yang sangat luas), perkembangan ekonomi, sejarah (China merupakan negara dengan peradaban paling panjang), persebaran etnik China yang berkontribusi pada kemakmuran negara itu. Dan tidak kalah penting adalah modernisasi militer China untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Dengan negara-negara ASEAN sendiri, China memiliki beberapa konflik terkait kepemilikan pulau dan laut di Laut China Selatan. Beberapa pakar menyatakan bahwa kebangkitan China dapat membuatnya mengubah pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan kasus ini. Apakah China akan menggunakan kekuatannya atau mendekati negara-negara di kawasan melalui diplomasi. Yang jelas, China berjuang keras untuk meyakinkan negara-negara ASEAN bahwa mereka bukanlah “ancaman” bagi kawasan ini.

Di Asia Tenggara sendiri, diplomasi pertahanan sudah dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral. Secara umum, ada empat pola kerjasama keamanan di Asia Tenggara.[7] Pola pertama adalah kerjasama pertahanan multilateral antara external powers dan negara-negara di Asia Tenggara yang ditujukan untuk masalah keamanan tertentu. Pola kedua adalah kerjasama pertahanan dan keamanan yang dipimpin Amerika dengan perjanjian kerjasama dengan sekutu, partner strategis. Pola ketiga adalah upaya kerjasama multilateral yang dipimpin oleh China untuk mengikat ASEAN menjadi struktur kerjasama keamanan regional Asia Timur dengan fokus utama pada isu-isu keamanan non-tradisional. Dan pola terakhir adalah kerjasama multilateral dengan ASEAN sebagai pusatnya untuk meningkatkan kerjasama keamanan baik diantara anggotanya maupun mitra dialog dan diantara anggota ASEAN Regional Forum (ARF).

Dalam level regional, Asia Tenggara merupakan kawasan yang mengalami penguatan dalam perjanjian multilateral dalam diplomasi pertahanan. Ada beberapa persetujuan multilateral yang mengemuka, yaitu the ASEAN Chiefs of Army Multilateral Meeting (ACAMM), ASEAN Chiefs of Defense Forces Informal Meeting (ACDFIM), ASEAN Defense Minister’s Meeting (ADMM), termasuk ADMM Plus, dan ASEAN Regional Forum (ARF). Selain yang dilakukan oleh state actor tercatat pula dialog pertahanan yang dilakukan oleh non-state actor (diplomasi track two) dimana yang melakukannya bukanlah negara, namun lembaga lain seperti think tank. Misalnya the Shangri-La Dialogue yang diselenggarakan setiap tahun oleh International Institute for Strategic Studies (IISS).

Sejak dibentuk, ASEAN telah mendirikan struktur jaringan di tingkat menteri untuk mengurusi masalah isu-isu transnasional, misalnya ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), the ASEAN Chiefs of National Police (ASEANPOL), the  the ASEAN Senior Officials on Drugs Matters and the ASEAN Finance Ministers Meeting. [8]

Beberapa kerjasama penting pertahanan-keamanan di kawasan adalah sebagai berikut:

a.  ASEAN Regional Forum

Perkembangan dalam kerjasama keamanan terlihat dengan dibentuknya ASEAN Regional Forum (ARF) pada tahun 1994. Dibentuknya ARF menjadi tanda sebuah kerjasama keamanan multilateral diantara negara-negara ASEAN maupun dengan mitranya. ARF menjadi mekanisme konsultasi diantara negara-negara ASEAN, negara tetangga dan negara-negara-negara di luar kawasan lain untuk mengidentifikasi dan menyatakan kepentingan keamanan bersama.

ARF merupakan forum yang mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu politik dan keamanan yang menjadi kepentingan bersama dan diharapkan bisa memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk mewujudkan confidence building measures (CBM) dan preventive diplomacy di kawasan Asia-Pasifik.

Dalam ARF Concept Paper yang dihasilkan pada pertemuan Senior Officials Meeting tahun 1995, dinyatakan bahwa: the ARF should recognise and accept the different approaches to peace and security and try to forge a consensual approach to security issues’. Dinyatakan juga bahwa: ‘The ARF should…progress at a pace comfortable to all participants. The ARF should not move ‘too fast for those who want to go slow and not too slow for those who want to go fast’.

Dengan demikian, pendekatan keamanan ARF dilakukan melalui tiga langkah:

Langkah pertama : Memajukan Confidence-Building Measure

Langkah kedua     : Mengembangkan mekanisme diplomasi preventif

Langkah ketiga     : Mengembangkan mekanisme resolusi konflik

 Cita-cita ARF untuk mengembangkan mekanisme resolusi konflik tentulah rencana yang tidak bisa dicapai dalam kurun waktu dekat. Sejak diagendakan pada tahun 1995, ARF membuat rencana jangka pendek dan jangka menengah sampai akhirnya ARF mencapai tahap resolusi konflik.

Concept Paper ARF memuat lima tujuan utama kerjasama yang dibagi dalam dua kurun waktu, yaitu jangka pendek dan menengah. Lima hal itu adalah CBM, diplomasi preventif, non-proliferasi dan pengawasan senjata, peacekeeping dan kerjasama keamanan maritim.

b.  ASEAN Defefense Ministerial Meeting

Kerjasama keamanan penting lainnya di kawasan adalah ADMM dan ADMM Plus. ADMM diharapkan memperkuat kerjasama pertahanan dan keamanan pada tiga level. Pertama, mempromosikan kerjasama praktis di tingkat operasional antara militer ASEAN melalui rencana kerja dua tahun yang disusun oleh kepala angkatan bersenjata negara-negara ASEAN. Kedua, keterlibatan ASEAN dengan negara-negara non-ASEAN dalam isu-isu non tradisional dan lintas batas. Ketiga, memperkuat sentralitas di dalam arsitektur keamanan Asia Tenggara.

c.  ASEAN Defefense Ministerial Meeting-Plus

Pada tahun 2005-2006, Sekretariat ASEAN menghasilkan Concept Paper dalam Pembentukan ASEAN Defense Ministers’ Meeting. Dalam pertemuan di Kuala Lumpur tahun 2006, menteri-menteri pertahanan ini sepakat, bahwa tujuan spesifik ADMM adalah a) Untuk memajukan stabilitas dan kedamaian regional melalui dialog dan kerjasama keamanan-pertahanan, b) Memberikan pedoman kepada pejabat militer dan pertahanan dalam berdiaolog dan bekerjasama dalam pertahanan-keamanan ASEAN, diantara negara-negara ASEAN maupun negara mitra lainnya. C) untuk memajukan saling percaya melalui pemahaman kepada tantangan pertahanan dan keamanan, begitu pula peningkatan transparansi dan keterbukaan, d) Berkontribusi kepada pembentukan ASEAN Security Community.

Negara-negara yang terlibat dalam ADMM Plus, selain negara ASEAN sendiri, adalah Amerika Serikat, Australia, Cina, India, Korea Selatan, Jepang, Rusia dan Selandia Baru.

Mirip dengan yang diagendakan dalam ARF, agenda forum ini adalah penanggulangan terorisme, penanganan bencana alam, keamanan maritim, peacekeeping operations dan military medicines.

Pertemuan pertama ADMM Plus dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 yang dihadiri oleh 10 negara ASEAN dan delapan Partner Dialogue yaitu, Aaustralia, China, India, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, Rusia dan Amerika. Pada pertemuan ini agenda yang mengemuka adalah ancamanan keamanan non tradisional, yaitu bencana alam, penyakit menular, perubahan iklim serta kerusakan lingkungan. Pertemuan dilaksanakan sekali dalam tiga tahun.

d.  Dialogue Militer ASEAN

Selain ARF dan ADMM, ASEAN juga memiliki beberapa dialog tingkat tinggi militer. Kepala Staf Angakatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut dan Kepala Staf Angkatan Udara bertemu setiap tahun dalam pertemuan-pertemuan seperti ASEAN Chiefs of Defence Forces Informal Meeting (ACDFIM) sejak 2001, the ASEAN Chiefs of Army Multilateral Meeting (ACAMM) sejak 2000, the ASEAN Navy Interaction (ANI) sejak 2001, and the ASEAN Air Force Chiefs Conference (AACC) sejak 2004. Ada pula pertemuan reguler ASEAN Military Intelligence Informal Meeting (AMIIM).

Pembahasan dalam dialog ini lagi-lagi masih tertuju pada isu-isu keamanan non-tradisional seperti terorisme, bencana alam, penyakit menular, keamanan pangan dan energi, perubahan iklim, perdagangan manusia, perdagangan senjata ilegal dan pembajakan.

e.  The Shangri-La Dialogue

Diplomasi pertahanan yang diselenggarakan oleh pihak non-state actor adalah The Shangri-La Dialogue (SLD). SLD dilaksanakan setiap tahun di Singapura yang diselenggarakan oleh International Institute for Strategic Studies sejak tahun 2002. Forum ini dihadiri oleh pejabat-pejabat penting pertahanan-keamanan negara-negara Asia-Pasifik.

Pertemuan-pertemuan SLD ini memiliki dampak pada pengambilan keputusan. Pertemuan ketiga pada tahun 2004 ternyata sangat berguna dalm hal keamanan Selat Malaka. Pada tahun 2008, pertemuan ini mengkaji hubungan CBM dengan penyebaran kapal selam di kawasan. Pada tahun 2011 di tengah ‘ketegangan’ isu Laut China Selatan antara AS dengan China, SLD memberikan kesempatan antara Menetri Pertahanan AS dengan Menteri Pertahanan China untuk berdialog secara privat. Dan terakhir pada tahun 2013, SLD membuka ruang diskusi di tengah “ketegangan” modernisasi militer di Asia Tenggara yang disinyalir sebagai “perlombaan senjata”.

 4.      Memaksimalkan Diplomasi Pertahanan melalui Kekuatan Nasional

Frederick the Great pernah mengatakan “diplomacy without force is like music without instrument” (diplomasi tanpa kekuatan/paksaan adalah seperti musik tanpa istrumen). Lebih lanjut H.J. Morgenthau mengatakan bahwa diplomasi adalah otak dari kekuatan nasional, dan moral nasional sebagai jiwanya (diplomacy is the brains of national power, as national morale is its soul).

Diplomasi pertahanan haruslah berada pada bingkai kepentingan nasional sebagai end (tujuannya). Yang dilakukan Indonesia dalam strategi diplomasi pertahanan adalah dengan memperkuat kondisi internal sementara itu juga memperkuat kerjasama kawasan, yaitu ASEAN khususnya dalam bidang pertahanan-keamanan.

Setiap negara berinteraksi satu sama lain dengan melihat kondisi internalnya, yakni kekuatan nasionalnya. Diplomasi adalah salah satu elemen dari national power (kekuatan nasional). Diplomasi haruslah bersinergi dengan elemen lain, apa yang disebut dengan MILDLIFE, M-military, I-intelligence, D-diplomacy, L-legal, I-informational, F-finance, E-economy.[9]

Dalam UU Republik Indonesia No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin dan tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa “Segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.”

Dari pernyataan tersebut maka tiga hal yang harus dipertahankan adalah kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan bangsa. Ketika hal ini merupakan kepentingan vital bagi bangsa Indonesia. Untuk melaksanakan pertahanan tersebut, Indonesia menetapkan untuk menggunakan strategi penangkalan.[10]

Lawrence Freedman dalam bukunya Deterrence menjelaskan prinsip utama dari penangkalan, yaitu bahwa penangkalan sebenarnya adalah suatu strategi penggunaan kekuatan (coercive strategy). Coercive didefinisikan oleh Freedman sebagai: “the potential or actual application of force to influence the action of a voluntary agent”. Konsep penangkalan yang dikembangkan dalam strategi pertahanan untuk mencegah terjadinya perang adalah strategi penangkalan dengan cara penolakan (denial) dan penangkalan dengan cara pembalasan (retaliation). Penangkalan dengan penolakan pada dasarnya merupakan daya tangkal yang dihasilkan oleh kekuatan pertahanan yang memiliki efek cegah tangkal sehingga pihak lawan membatalkan niatnya untuk menyerang Indonesia. Kekuatan pertahanan dengan kemampuan penangkalan dengan cara penolakan adalah tingkat kemampuan yang mampu meyakinkan lawan atau calon lawan bahwa apabila melancarkan agresi atau menyerang Indonesia, akan dialami kegagalan sebelum masuk ke wilayah yurisdiksi Indonesia sehingga dengan pertimbangan itu, calon lawan akan membatalkan niatnya untuk menyerang Indonesia.

Sementara itu, strategi penangkalan dengan cara pembalasan pada dasarnya adalah daya tangkal yang dihasilkan oleh kekuatan pertahanan yang memiliki efek cegah tangkal atas niat pihak lawan yang ingin menyerang Indonesia karena kemampuan balas Indonesia yang hebat. Sekalipun pihak lawan merasa yakin bisa menyerang, kemampuan balas Indonesia yang hebat mengakibatkan pihak lawan semakin menyadari bahwa jika menduduki Indonesia pada akhirnya akan menderita kerugian yang besar. Kemampuan pembalasan Indonesia yang paling utama adalah kemampuan melaksanakan perang berlarut yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, melalui satuan-satuan gerilya yang sangat gesit dan militan.[11]

Indonesia sendiri telah menetapkan kebijakan bahwa diplomasi pertahanan merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dari diplomasi total pemerintah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi diplomasi pertahanan yaitu:

  1. Kebijakan pertahanan dan struktur organisasi. Diplomasi pertahanan merupakan alat maupun cara dalam mencapai tujuan yang telah digariskan oleh kebijakan pertahanan dalam bidang kerjasama pertahanan internasional. Misalnya negara-negara mana saja yang merupakan prioritas yang perlu dijalin kerjasama bidang pertahanan secara bilateral, cakupan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan dalam setiap kerjasama dan tingkat kedalaman kerjasama, peran Indonesia dalam organisasi-organisasi keamanan multilateral serta sumberdaya yang akan dialoaskikan dalam kerjasama internasional baik secara bilaetral maupun multilateral.
  2. Kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri merupakan acuan utama dari pemerintah RI dalam menentukan strategi dan cara dalam melakukan kerjasama luar negeri dalam semua bidang, termasuk bidang pertahanan.
  3. Hukum nasional. Dalam hal ini adalah hukum nasional yang berhubungan dengan pertahanan dan diatur dalam undang-undang. Dalam undang-undang yang mengatur tentang perjanjian internasional, bidang pertahanan merupakan salah satu bidang yang perjanjian kerjasama antar negara memerlukan ratifikasi dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kerjasama militer dan pengadaan militer juga sangat sarat dengan hukum dan unsur politik pemerintah, untuk itu perlu mengacu pada hukum nasional yang berlaku.
  4. Hukum dan kebiasaan (customary) internasional. Hukum internasional mengacu pada konvensi-konvensi internasional baik bilateral maupun multilateral, UN Charter, ASEAN Charter. Sedangkan kebiasaan internasional dapat berupa kebiasaan dalam melakukan kunjungan resmi, penyelenggaraan pertemuan resmi, dsb.
  5. Keadaan lingkungan setempat.mengacu pada lingkungan dan struktur organisasi pemerintahan setempat khsusunya organisasi pertahanan dan militer, birokrasi, dsb. Hal lain misalnya tata krama berkunjung dan bahasa setempat.

 Diplomasi pertahanan Indonesia dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Ada tiga tipe kerjasama diplomasi militer bilateral bagi Indonesia: Pertama, diplomasi pertahanan sebagai confidence building measures (CBM). Kedua, diplomasi pertahanan untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan. Ketiga, diplomasi pertahanan untuk pengembangan industri pertahanan.[12] CBMs biasanya dilakukan melalau kunjungan kenegaraan, dialog dan kunsultasi, pertukaran informasi, kemitraan strategis, pertukaran perwira/staf dan latihan bersama. Sedangkan diplomasi pertahanan untuk meningkatkan kapabilitas dilakukan melalui bantuan militer, pengadaan senjata, dsb. Diplomasi pertahanan dalam rangka pengembangan industri pertahanan dilakukan melalui transfer teknologi, kerjasama penelitian dan pengembangan, investasi dalam usaha bersama, dsb.

 5.      Penutup

Kebangkitan China memberikan sinyal baru bagi politik internasional, terutama kebangkitan dalam bidang militer yang dapat menjadi “ancaman” negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam pertahanan-keamanan negara-negara ASEAN terlihat menyeimbangkan China sebagai negara yang berpotensi sebagai ancaman yaitu dengan memperkuat kerjasama pertahanan-keamanan regional, terbukti dengan meningkatnya kerjasama bilateral maupun multilareal bidang pertahanan-keamanan di kawasan ini.

Memang tidak dapat dipungkiri, bahwa negara-negara ASEAN juga tidak menutup dirinya terhadap kebangkitan China, namun juga menjalin kerjasama dan membuka kesempatan dalam berbagai bidang dengan negara tersebut dengan berada pada sisi yang “menang” yaitu adanya harapan untuk mendapatkan keutungan ekonomi di masa depan (bandwagoning).

Bagi Indonesia, yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan power nya dengan memaksimalkan elemen-elemen kekuatan nasional. Diplomasi hanyalah satu dari delapan unsur kekuatan nasional yang harus bersinergi menurut Bartholomees yaitu, peningkatan kekuatan militer, berjalannya fungsi intelijen, diplomasi, hukum, informasi, keuangan dan ekonomi.



[1] Bhubhindar Singh dan See Seng Tan, “Defence Diplomacy in South east Asia”. From ‘Boots’ to ‘Brogues’: The Rise of Defence Diplomacy in Southeast Asia. 2011. RSIS. Singapore.

[2] Dalam “Defence Diplomacy in South east Asia”. From ‘Boots’ to ‘Brogues’: The Rise of Defence Diplomacy in Southeast Asia” Defence Diplomacy in Southeast Asia: Trends, Prospects and Challenges. Evan A. Laksmana.

[3] Kenneth Waltz. 1979. Theory of International Politics, New York. Mc. Graw Inc. Hal. 118

[4] Denny Roy. Southeast Asia and China: Balancing or Banwagoning? Dalam Jurnal Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affairs. 2005.Singapore.

[5] ibid

[6] Jonathan R. Martin. Balancing and Bandwagoning in the South China Sea. Master Thesis.

[7] Ibid

[8] Ibid

[9] Konsepsi MIDLIFE adalah pandangan dari J. Boone Bartholomees Jr (dkk) dari U.S. Army War College yang kini dikembangkan oleh Amerika Serikat

[10] Syaiful Anwar. “Meningkatkan Kapasitas dan Peran Diplomat Pertahanan untuk Membangun Pertahanan yang Tangguh.” Jurnal Pertahanan Mei 2012, Volume 2, Nomor 2.

[11] Ibid

[12] Dalam “Defence Diplomacy in South east Asia”. From ‘Boots’ to ‘Brogues’: The Rise of Defence Diplomacy in Southeast Asia” Defence Diplomacy in Southeast Asia: Trends, Prospects and Challenges. Evan A. Laksmana.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap