DINAMIKA DI LAUT CINA SELATAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INDONESIA

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan

Dalam dinamika lingkungan strategis mutakhir, sengketa di Laut Cina Selatan kembali memanas seiring imbauan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton dalam ASEAN Post Ministerial Meeting di Hanoi pada Juli 2009 agar Cina menyelesaikan sengketa di perairan itu secara damai dan tidak menggunakan cara-cara koersif dan ancaman. Sengketa di Laut Cina Selatan yang melibatkan enam negara secara langsung, yaitu Brunei, Cina, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam terkait dengan klaim masing-masing pihak terhadap Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Secara tidak langsung, sengketa di perairan tersebut akan melibatkan pula pihak-pihak lain yang terkena spill over, seperti Amerika Serikat yang sangat menjunjung tinggi kebebasan bernavigasi. Dalam konteks itulah salah satu latar belakang keluarnya imbauan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton di Hanoi.

Indonesia meskipun bukan merupakan negara yang turut mengklaim di Laut Cina Selatan, tetap mempunyai kepentingan di perairan itu. Kepentingan tersebut setidaknya ada dua, yaitu mencegah spill over ke wilayah kedaulatannya dan memperkuat klaim wilayah ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan yang berbatasan dengan Laut Natuna. Seperti diketahui, dalam peta yang diterbitkan oleh Cina pada 1992 klaim Cina sampai merambah ke wilayah ZEE Indonesia yang ditandai dengan adanya sembilan garis putus-putus. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini bermaksud membahas tentang dinamika kontemporer di Laut Cina Selatan dan implikasinya terhadap Indonesia.

2. Akar Masalah dan Penggunaan Kekuatan

Dalam perspektif geopolitik, ruang merupakan inti dari geopolitik karena di sana merupakan wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan ruang secara de facto dan de jure merupakan legitimasi dari kekuasaan politik. Bertambahnya ruang negara atau berkurangnya ruang negara oleh berbagai jenis sebab, selalu dikaitkan dengan kehormatan dan kedaulatan negara dan bangsa. Terkait dengan sengketa di Laut Cina Selatan, hal itu dipengaruhi oleh kepentingan politik, strategis dan ekonomi , di mana ketiga aspek tersebut memiliki keterkaitan erat dengan geopolitik itu sendiri.

Sifat sengketa di Laut Cina Selatan pada dasarnya disebabkan oleh dua hal. Pertama, hukum laut. UNCLOS 1982 yang mulai berlaku sejak 16 November 1994 diratifikasi oleh beberapa negara di sekitar perairan tersebut. Dalam UNCLOS 1982 diatur tentang perairan internal, perairan kepulauan, perairan teritorial, zona tambahan, zone ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan laut lepas. Mengacu pada ketentuan tersebut, negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan berupaya memperluas wilayahnya ke perairan tersebut.

Namun demikian, beberapa negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan menyalahgunakan konvensi itu untuk memperpanjang yurisdiksi kedaulatan secara unilateral dan membenarkan klaim mereka di laut itu. Hal inilah yang di antaranya memicu sengketa klaim wilayah maritim di Laut Cina Selatan.

Kedua, klaim yang tumpang tindih. Klaim tumpang tindih yang dibuat oleh masing-masing negara di Laut Cina Selatan dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu klaim historis penemuan dan pendudukan wilayah itu dan klaim perluasan yurisdiksi berdaulat berdasarkan penafsiran ketentuan-ketentuan UNCLOS 1982. Cina (bersama Taiwan) merupakan negara utama yang mendasarkan klaimmya pada alasan historis penemuan dan pendudukan, di mulai dari 1947 hingga saat ini, yang mana setelah meratifikasi UNCLOS pada Mei 1996, negara itu menerapkan prinsip negara kepulauan dalam menarik garis pangkal di sekitar Kepulauan Paracel, meskipun hanya Indonesia dan Filipina di kawasan sekitar Laut Cina Selatan yang resmi menyandang status kepulauan. Vietnam adalah negara berikutnya yang menetapkan klaim di Laut Cina Selatan berdasarkan alasan historis penemuan dan pendudukan.

Sementara negara-negara pendiri ASEAN yaitu Filipina dan Malaysia ditambah Brunei mendasarkan klaimnya cenderung pada hukum internasional, termasuk perpanjangan landasan kontinen, di wilayah Kepulauan Spratley. Ketika negara memiliki klaim masing-masing terhadap wilayah di Laut Cina Selatan, misalnya Filipina yang mengklaim sebagian Kepulauan Spratly, begitu pula dengan Malaysia dan Brunai. Sementara Indonesia yang tidak turut mengklaim wilayah di perairan tersebut mulai “terganggu” oleh klaim sepihak Cina pada 1992 ketika menerbitkan peta unilateral Laut Cina Selatan berupa sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan yang mencaplok pula ZEE Indonesia di utara Kepulauan Natuna. Padahal di ZEE Indonesia di perairan tersebut terdapat kandungan gas yang kini dieksploitasi oleh Indonesia bersama dengan kontraktor Amerika Serikat.

Saling klaim di Laut Cina Selatan antar enam negara telah pula menciptakan penggunaan kekuatan secara terbatas. Dalam sebagian semua kasus, kekuatan yang terjadi melibatkan Cina versus beberapa negara ASEAN yang turut mengklaim wilayah di perairan itu, misalnya skirmish antara kapal perang Vietnam versus Cina pada 14 Maret 1988 di Johnson South Reef yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly. Begitu pula dengan insiden Scarborough Shoal antara Angkatan Laut Filipina dengan nelayan Cina pada Maret 2001. Penggunaan kekuatan melibatkan pula antar beberapa negara ASEAN di sana, seperti pada Oktober 1999 yang melibatkan pesawat tempur Malaysia dan pesawat pengintai Filipina yang tengah mengamati pulau karang yang diduduki Malaysia di Kepulauan Spratly.

Dalam perkembangan mutakhir, penggunaan kekuatan terkait konflik Laut Cina Selatan juga melibatkan negara pengguna perairan Laut Cina Selatan. Contohnya adalah insiden kapal survei milik Angkatan Laut Amerika Serikat USNS Impeccable (T-AGOS-23) dengan lima kapal Cina (satu kapal intelijen Angkatan Laut Cina, satu kapal patroli perikanan, satu kapal patroli oseanografi dan dua kapal trawler kecil) pada 8 Maret 2009 di Laut Cina Selatan sekitar 75 mil laut selatan Pulau Hainan. Insiden itu terjadi karena Cina berpendapat bahwa aktivitas militer di ZEE Laut Cina Selatan yang diklaimnya merupakan pelanggaran terhadap hukum domestik Cina dan hukum internasional. Ketika insiden itu terjadi, USNS Impeccable tengah melakukan survei oseanografi di perairan tersebut dan pasca insiden yaitu pada 9 Maret 2009 kapal survei itu kembali melaksanakan kegiatan survei dengan dikawal kapal perusak kelas Arleigh Burk USS Chung-Hoon (DDG-93).

Delapan tahun sebelum insiden USNS Impeccable terjadi, insiden yang mirip menimpa pesawat pengintai Angkatan Laut Amerika Serikat EP-3 Aries yang tengah melaksanakan penerbangan pengintaian di Laut Cina Selatan sekitar 70 mil laut selatan/tenggara Pulau Hainan. Insiden tersebut melibatkan pesawat EP-3 Aries dengan pesawat tempur F-8 milik Cina, yang mana kedua pesawat bertabrakan yang mengakibatkan kerusakan pada pesawat Amerika Serikat yang memaksa pesawat itu mendarat darurat di Pangkalan Udara Lingshui, Hainan dan jatuhnya pesawat tempur Cina disertai dengan hilangnya awak pesawat tempur itu. Peristiwa yang terjadi pada 1 April 2001 tersebut tidak lepas dari bingkai konflik kepentingan atas Laut Cina Selatan antara Cina yang mengklaim perairan itu dengan Amerika Serikat yang berkepentingan dengan kebebasan bernavigasi di sana.

Pasca insiden yang melibatkan antara Cina dengan beberapa negara ASEAN, pada 2002 ASEAN dan Cina mencapai kesepakatan melalui penandatangan The Declaration on the Code of Conduct of Parties in the South China Sea (DOC). Dalam deklarasi itu, Cina dengan negara-negara ASEAN sepakat untuk mengecualikan penggunaan kekuatan atau ancaman penggunaan kekuatan guna menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan. Sementara dengan Amerika Serikat, hingga saat ini Cina belum memiliki kesepakatan apapun untuk menghindari penggunaan kekuatan di laut.

3. Nilai Strategis 

Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis bagi semua pihak yang berkepentingan, baik yang secara langsung terlibat klaim wilayah maritim maupun tidak. Dari sudut pandang geopolitik, sedikitnya terdapat dua nilai strategis Laut Cina Selatan bagi negara-negara pantai dan atau yang berbatasan langsung maupun bagi negara-negara pengguna. Pertama adalah dari perspektif politik dan keamanan, sedangkan kedua dari sudut pandang ekonomi.

Dari perspektif politik dan keamanan, Laut Cina Selatan merupakan penghubung antara kawasan Samudera India dengan kawasan Asia Timur. Dalam konstelasi geopolitik kawasan Asia Pasifik saat ini, terdapat dua aktor yang saling berhadapan yaitu Amerika Serikat sebagai aktor global yang sekaligus kekuatan utama di Asia Pasifik dan Cina sebagai aktor kawasan yang tengah tumbuh menuju aktor global. Di belakang Amerika Serikat, berdiri negara-negara kawasan seperti Jepang, Korea Selatan, Australia dan Singapura, bahkan India yang sebenarnya merupakan aktor di kawasan Samudera India.

Isu politik dan keamanan di Laut Cina Selatan tidak dapat dilepaskan dari bingkai persaingan antara Amerika Serikat dan Cina, meskipun Amerika Serikat bukan negara yang mengklaim wilayah di perairan tersebut. Tentu menjadi pertanyaan mengapa Amerika Serikat berkepentingan dengan Laut Cina Selatan? Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat yang ditandatangani oleh Presiden Barack Obama dan diterbitkan pada Februari 2010 menyatakan bahwa “Our national security strategy is, therefore, focused on renewing American leadership so that we can more effectively advance our interests in the 21st century”. Himbauan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton dalam pertemuan ASEAN di Hanoi berada dalam bingkai tersebut, yang apabila diturunkan pada tingkat mikro akan terkait dengan kebebasan bernavigasi bagi kapal perang Amerika Serikat.

Eksistensi Amerika Serikat di kawasan melalui U.S. Pacific Command (U.S. PACOM) bertujuan “to create the conditions for security and prosperity across the entire region, leading to peace and political liberalization. This requires forward-based U.S. forces that will prevail in any conflict as well as operate and cooperate with regional allies, partners, and friends”. Untuk menghadapi pembangunan kekuatan militer Cina sekaligus perluasan pengaruhnya ke kawasan Asia Pasifik, Amerika Serikat membentuk Quadrilateral Security Partnership yang melibatkan India, Jepang, Australia dan Amerika Serikat sendiri.

Salah satu realisasi Quadrilateral Security Partnership di lapangan adalah Latihan Malabar Exercise 2009 di Laut Filipina lepas pantai Okinawa yang melibatkan kapal perang Amerika Serikat, India dan Jepang. Lokasi latihan militer ketiga negara yang berada di Laut Cina Timur sangat jelas memberikan pesan politik yang konkrit dan tidak multitafsir kepada Cina. Selain itu, India yang merupakan pesaing geopolitik Cina juga ingin unjuk kekuatan kepada rivalnya dengan mengirimkan pesan bahwa kekuatan Angkatan Laut India kini dapat dihadirkan tepat di halaman depan Cina.

Amerika Serikat yang memiliki kepentingan global senantiasa menuntut terbuka akses laut tanpa halangan apapun. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam 2010 Quadrilateral Defense Review Report, yaitu “global security and prosperity are contingent on the free flow of goods shipped by air or sea, as well as information transmitted under the ocean or through space”. Sementara dalam A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower dinyatakan bahwa “Our challenge is to apply seapower in a manner that protects U.S. vital interests even as it promotes greater collective security, stability, and trust”. Dalam dokumen tersebut dinyatakan pula, “Credible combat power will be continuously postured in the Western Pacific and the Arabian Gulf/Indian Ocean to protect our vital interests, assure our friends and allies of our continuing commitment to regional security, and deter and dissuade potential adversaries and peer competitors”.

Mengacu pada A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower, dapat dengan mudah ditebak kepada siapa kekuatan Angkatan Laut yang hadir di kawasan Pasifik Barat akan dihadapkan. Tidak ada kekuatan lain di kawasan ini yang dipandang sebagai potential adversaries and peer competitors kecuali Cina (dan Korea Utara). Oleh sebab itu, kemampuan inti kekuatan laut Amerika Serikat berdasarkan urutannya adalah forward presence, deterrence, sea control, power projection, maritime security dan humanitarian assistance and disaster relief. Kehadiran kekuatan laut Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik bersifat mutlak, antara lain dengan dirotasinya kapal induk USS George Washington (CVN-73) ke kawasan ini menggantikan USS Kitty Hawk (CV-63) yang kini telah masuk konservasi untuk selanjutnya dihapus dari Angkatan Laut.

Terkait dengan Laut Cina Selatan, kepentingan utama Amerika Serikat di perairan tersebut adalah kebebasan bernavigasi. Terdapat dua alasan mengapa Amerika Serikat menempatkan isu kebebasan bernavigasi bersifat mutlak bagi kepentingannya di Laut Cina Selatan. Pertama, klaim Cina atas seluruh wilayah perairan Laut Cina Selatan yang berupa sembilan garis putus-putus. Kedua, setelah meratifikasi The Declaration on the Code of Conduct of Parties in the South China Sea pada 1992 yang dirancang oleh ASEAN, Cina menarik garis teritorial di sekitar Kepulauan Paracel dan nampaknya akan melakukan langkah serupa pada Kepulauan Spratly.

Tindakan-tindakan demikian oleh Cina dinilai Amerika Serikat akan membahayakan kebebasan bernavigasi, sebab Cina di masa depan bisa saja menetapkan aturan agar kapal yang melintas di Laut Cina Selatan harus meminta ijin kepadanya. Hal ini dipandang bertentangan dengan kepentingan Amerika Serikat tentang kebebasan bernavigasi, sebab kebebasan bernavigasi sangat terkait dengan kemampuan forward presence yang dianut dalam strategi Angkatan Laut Amerika Serikat. Forward presence menghubungkan antara akses dengan pangkalan Angkatan Laut, dengan maksud untuk menangkal pecahnya perang, posisi Amerika Serikat untuk merespon krisis secara cepat, membentuk lingkungan keamanan masa depan melalui pelibatan dan memperlihatkan sikap Amerika Serikat dalam tujuan-tujuan politik luar negeri. Dengan kata lain, dari perspektif Amerika Serikat tindakan Cina mengklaim semua wilayah Laut Cina Selatan sebagai wilayahnya merupakan penerapan dari strategi anti akses.

Cina menetapkan klaimnya terhadap perairan Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel berdasarkan pada klaim sejarah. Pendekatan demikian tentu sangat sulit diterima oleh masyarakat internasional, khususnya negara-negara yang memiliki kepentingan di perairan itu. Dari sudut pandang Cina, isu Laut Cina Selatan merupakan “core national interest” yang setara dengan isu Taiwan dan Tibet. Oleh karena itu, Cina akan menggunakan semua instrumen kekuatan nasional untuk mengamankan kepentingannya di Laut Cina Selatan.

Dari sudut pandang Cina, pengendalian kawasan Laut Cina Selatan bersifat kritis untuk memperkokoh pengaruh Cina di kawasan Asia Tenggara sekaligus membentuk zona penolakan (denial) laut dan udara sehingga kemampuan kekuatan lawan dapat ditangkap dalam periode waktu tertentu di sekitar wilayah daratan Cina. Dalam strategi pertahanan Cina yang dikenal sebagai Offshore Defense, dikenal pembagian zona pertahanan yang disebut sebagai “two island chains”. The first island chain merupakan garis tanpa putus yang melingkupi Kepulauan Kuril, Jepang, Kepulauan Ryukyu, Taiwan dan Indonesia (Pulau Kalimantan hingga Pulau Natuna Besar). Dari cakupan geografis itu tergambar dengan jelas bahwa Laut Cina Selatan merupakan bagian dari the first island chain yang sangat strategis bagi Cina.

Kini Cina yang telah berstatus pemain ekonomi global tengah berjuang keras untuk mendapatkan pengakuan status sebagai kekuatan militer global. Penyebaran gugus tugas Angkatan Laut Cina ke perairan Somalia untuk menumpas pembajakan dan perompakan di sana secara unilateral merupakan bagian dari upaya pencarian akan pengakuan status tersebut. Penyebaran itu dapat dipandang sebagai ujicoba Angkatan Laut Cina untuk menuju status blue water navy, sebab pembangunan kekuatan laut Cina berada dalam bingkai kebijakan pemerintah Cina untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, menjaga stabilitas politik dalam negeri, mempertahankan kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Cina dan mengamankan status Cina sebagai kekuatan besar.

Walaupun Cina telah menetapkan strategi nasional pembangunan kekuatan lautnya, akan tetapi pertanyaan mendasar yang sering dimunculkan oleh pihak asing adalah bagaimana negeri itu mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, sekaligus bagaimana mencegah konflik dengan negara-negara tetangga dan juga Amerika Serikat. Sebab sudah menjadi keyakinan sebagian besar negara di kawasan Asia Pasifik bahwa pembangunan kekuatan laut Cina bukan sekedar untuk menghadapi masalah Taiwan, tetapi beyond Taiwan. Hal ini bisa dilihat dari upaya Cina membangun kapal induk dengan mengacu pada tiga eks kapal induk eks Uni Soviet yang dibelinya, yaitu Minks, Kiev dan Varyag, sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Pertahanan Cina Jenderal Liang Guanglie kepada Menteri Pertahanan Jepang Yasukazu Hamada bahwa Cina tidak akan selamanya sebagai kekuatan besar tanpa kapal induk. Berdiskusi tentang pembangunan kekuatan laut Cina kontemporer tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang kedua, yaitu aspek ekonomi.

Pembangunan ekonomi Cina menjadikan negeri itu membutuhkan pasokan minyak dalam jumlah sangat besar untuk menggerakkan roda perekonomiannya. Terkait dengan hal tersebut, para ahli Cina, termasuk akademisi, analis kebijakan dan anggota militer yakin bahwa Amerika Serikat dapat menimbulkan kerugian pada jalur laut suplai energi Cina apabila menghendaki dan pada saat krisis akan menempuh langkah tersebut. Adapun para pemimpin Cina khawatir dengan Dilema Malaka , sebab ketergantungan yang tinggi negeri itu terhadap suplai energi lewat laut yang melalui Selat Malaka menimbulkan spekulasi bahwa Amerika Serikat mungkin akan menggelar blokade di choke point itu untuk menekan Cina.

Menyangkut kebutuhan Cina akan pasokan minyak lewat laut, menurut Gabriel B. Collins dan William S. Murray, sekitar 80 persen dari 3.3 juta barel per hari impor minyak mentah Cina melalui Selat Malaka. Dalam perkembangan terakhir, menurut Andrew S. Erickson dan Gabriel B. Collins, Cina mengimpor 4.4 juta barel per hari pada Juli 2009. Besarnya ketergantungan negeri itu terhadap impor minyak melalui Selat Malaka dicoba untuk dikurangi dengan membangun jaringan pipa lewat daratan dari Rusia dan Kazakhstan , dua negara tetangga Cina yang merupakan produsen minyak. Saat ini jaringan pipa Kazakhstan-Cina merupakan satu-satunya jaringan yang sudah operasional , sementara jaringan pipa Rusia-Cina kini masih dalam tahap perundingan karena masih adanya beberapa perbedaan antara kedua belah pihak yang belum disepakati.

Isu keamanan jalur suplai minyak Cina lewat laut terkait dengan kemampuan Angkatan Laut Cina saat ini. Meskipun dalam satu dekade terakhir terjadi peningkatan impresif dalam Angkatan Laut Cina (khususnya jumlah kapal perang beserta teknologi yang diusungnya), namun masih kurang bisa untuk mempertahankan jalur laut di mana aliran suplai minyak melewatinya. Sebagai ilustrasi, para ahi strategi Cina memandang negeri mereka mempunyai empat jalur laut strategis, yaitu timur (sepanjang Samudera Pasifik), selatan (dari Australia dan pulau-pulau Pasifik), barat (dari Timur Tengah dan Afrika Timur melalui Samudera India) dan utara (dari Laut Okhotsk dan Selat Tsushima). Penyebaran dua kapal perusak dan satu kapal bantu Angkatan Laut Cina ke perairan Somalia pada 2009 berada dalam bingkai untuk belajar mengamankan jalur suplai minyak Cina lewat laut atau belajar melaksanakan operasi Angkatan Laut jarak jauh.

Terkait dengan Laut Cina Selatan, para perencana Angkatan Laut Cina berpendapat bahwa Laut Cina Selatan merupakan zona pengangkutan minyak yang kritis pula bagi Cina, sebab kapal tanker yang melewati Selat Malaka harus pula melintas di Laut Cina Selatan untuk menuju ke Cina bagian selatan dan timur. Perairan ini merupakan koridor vital pula bagi pengangkutan liquefied natural gas (LNG), yang mana dua pertiga dari perdagangan LNG dunia melintasi Laut Cina Selatan. Meskipun di kawasan Asia Timur Jepang dan Korea Selatan tercatat sebagai pemakai utama LNG, akan tetapi Cina tertarik pula dengan isu keamanan LNG mengingat pada 2020 negeri ini diperkirakan akan mengimpor lebih dari tiga puluh juta ton per tahun.

Kepentingan Cina di Laut Cina Selatan terkait pula dengan kandungan minyak dan gas bumi yang ada di sana. Terdapat berbagai pendapat yang berbeda mengenai jumlah cadangan kandungan minyak dan gas di perairan itu, yang mana menurut analis Angkatan Laut Cina dapat mencapai 3.5 milyar ton (sama dengan sekitar 25 milyar barel), sementara publikasi Angkatan Laut Cina mengklaim bahwa Laut Cina Selatan memiliki cadangan minyak yang setara dengan Timur Tengah. Sedangkan menurut data Departemen Energi Amerika Serikat, cadangan minyak yang terbukti (proven oil reserves) di Laut Cina Selatan adalah 26.7 milyar barel, sementara cadangan gas yang terbukti (proven gas reserves) adalah 279.1 trilyun kaki kubik, , adapun produksi minyak adalah 6,0789.9 ribu barel per hari dan 8,293 milyar kaki kubik untuk gas alam. Mengenai cadangan minyak dan gas di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, menurut data Departemen Energi Amerika Serikat sejauh ini tidak terbukti ada cadangan di kedua kepulauan tersebut.

Dalam pemikiran yang berkembang di Cina, adanya cadangan minyak dan gas bumi yang besar di Laut Cina Selatan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan mereka terhadap pasokan dari Timur Tengah yang harus melintas di Selat Malaka. Dengan demikian, ladang minyak dan gas yang ada di perairan itu berada dalam jangkauan operasional pangkalan laut dan udara mereka. Dari aspek ekonomi dikaitkan dengan aspek politik keamanan, hingga dekade mendatang Cina masih memandangkan kerawanan alur perhubungan lautnya sebagai salah satu ancaman nyata terhadap kepentingan nasionalnya.

Sementara dari sudut pandang Amerika Serikat, kemakmuran kawasan Asia Pasifik antara lain ditentukan oleh terbukanya alur perhubungan laut di kawasan. Kebebasan bernavigasi, termasuk bagi kapal niaga, merupakan kepentingan yang tidak dapat dikompromikan. Eksistensi U.S. PACOM satu di antaranya untuk menjaga kemakmuran di kawasan ini, sehingga dalam A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower dinyatakan bahwa preventing wars is as important as winning wars. Hal ini ditegaskan pula dalam Naval Operations Concept 2010.

Bertolak dari frase preventing wars is as important as winning wars, dapat dipastikan bahwa pendekatan Amerika Serikat dalam isu konflik di Laut Cina Selatan akan mengedepankan pendekatan diplomasi preventif, termasuk penggunaan diplomasi Angkatan Laut. Dalam diplomasi preventif itu, Amerika Serikat nampaknya akan lebih mengedepankan pendekatan multilateral daripada unilateral lewat merangkul negara-negara sekutu, sahabat dan mitra. Terhadap Cina, diplomasi preventif masih akan terus diutamakan karena kedua negara kini saling mempunyai ketergantungan ekonomi satu sama lain. Namun hendaknya tidak disalahpahami pula bahwa dalam diplomasi preventif, penggunaan kekuatan Angkatan Laut akan tetap dilaksanakan untuk mendukung sikap atau kebijakan pemerintah Amerika Serikat.

4. Isu-isu Krusial

Berdasarkan dinamika pertarungan geopolitik di Laut Cina Selatan, terdapat beberapa isu krusial yang akan mempengaruhi arah konflik di perairan tersebut ke depan. Beberapa isu krusial tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, kebijakan Cina. Kebijakan pemerintah Cina dalam isu Laut Cina Selatan akan menentukan wajah konflik di lapangan. Apabila pemerintah Cina masih tetap bersikap asertif dalam klaimnya di perairan tersebut, maka negara-negara pengklaim lainnya akan menempuh langkah-langkah yang serupa, baik melalui penggelaran kekuatan laut dan udara yang lebih tinggi intensitasnya maupun manuver-manuver diplomatik. Ruang untuk melaksanakan manuver diplomatik terbuka luas, seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum, ASEM, APEC, KTT Asia Timur maupun hubungan bilateral antara negara pengklaim dengan kekuatan besar kawasan seperti Amerika Serikat, Australia dan Jepang.

Dalam konteks isu Laut Cina Selatan, Cina bersikeras bahwa penyelesaian sengketa batas maritim di wilayah itu hanya bisa dilakukan secara bilateral. Sebaliknya, Cina secara konsisten menolak gagasan penyelesaian secara multilateral masalah tersebut. Sehingga tidak aneh bila upaya ASEAN untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan sesungguhnya bersifat informal melalui The Workshop on Managing The Potential Conflicts on the South China Sea.

Kedua, sikap Amerika Serikat. Sebagai penjamin stabilitas keamanan kawasan Asia Pasifik sejak 1945, sikap Amerika Serikat terkait konflik Laut Cina Selatan akan selalu menjadi barometer bersikap bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Kepentingan utama Amerika Serikat di kawasan adalah stabilitas keamanan kawasan, sehingga Amerika Serikat akan mengutamakan pencegahan konflik di Laut Cina Selatan melalui berbagai forum yang tersedia. Di samping itu, kebebasan bernavigasi bagi kapal perangnya di perairan itu akan pula menjadi barometer sikap politik Amerika Serikat. Sebagai negara yang menginginkan terbukanya perairan di manapun di dunia tanpa batasan apapun, kasus seperti yang menimpa USNS Impecabble tidak akan pernah lagi dibiarkan terulang.

Sudah menjadi pola Amerika Serikat dalam berbagai urusan keamanan internasional saat ini untuk menggunakan pendekatan multilateral/koalisi untuk menghadapi isu politik keamanan yang berkembang. Dalam konteks Laut Cina Selatan, terdapat kecenderungan bahwa negara itu akan memanfaatkan ikatan kerjasama politik keamanan dengan beberapa negara seperti Jepang, Australia dan India guna menghadapi asertivitas Cina, misalnya melalui penggelaran latihan bersama Angkatan Laut. Pola seperti ini akan menimbulkan berbagai implikasi bagi negara-negara yang secara langsung maupun tidak langsung berkepentingan dengan perairan tersebut.

Ketiga, peran organisasi regional. Dalam konflik Laut Cina Selatan, sejauh ini baru ASEAN yang berperan relatif signifikan melalui serangkaian kegiatan bertema The Workshop on Managing The Potential Conflicts on the South China Sea. Melalui lokakarya itu, ASEAN yang dipelopori Indonesia berupaya mempertemukan kepentingan-kepentingan negara-negara pengklaim melalui tawaran-tawaran kerjasama pengembangan yang bersifat lunak, misalnya pembentukan Technical Working Group (TWG) on Marine Scientific Research and also held Group of Experts Meetings (GEM) on Biodiversity. Meskipun demikian, Cina yang telah menandatangani DOC pada 2002 sampai sekarang tetap menolak penyelesaian sengketa wilayah di Laut Cina Selatan secara multilateral.

Terkait dengan peran ASEAN, terdapat pertanyaan pokok yang sampai sekarang masih ditunggu jawabannya dalam bentuk gesture politik. Yaitu, apa konsep ASEAN untuk menyelesaikan isu konflik Laut Cina Selatan di luar kerangka informal yang sudah ada? Konflik Laut Cina Selatan nampaknya merupakan isu yang rumit dan kompleks bagi ASEAN untuk mencari solusi secara damai, sebab dalam isu tersebut beberapa negara ASEAN saling mengklaim wilayah masing-masing sehingga soliditas ASEAN diragukan efektivitasnya. Di samping itu, ASEAN masih harus berhadapan pula dengan Cina yang senantiasa bersifat eksesif dalam penegasan klaimnya, padahal di sisi lain Cina berstatus mitra dialog ASEAN sekaligus mitra ekonomi penting.

5. Implikasi Terhadap Indonesia 

Indonesia mempunyai kepentingan terhadap penanganan konflik di Laut Cina Selatan, sebab konflik itu bila tidak dapat ditangani dengan baik akan berdampak terhadap stabilitas keamanan Indonesia dan kawasan. Selain itu, Indonesia berkepentingan pula untuk menegaskan klaimnya terhadap ZEE Indonesia di perairan tersebut yang terletak di utara Kepulauan Natuna. Terdapat beberapa implikasi konflik Laut Cina Selatan terhadap Indonesia.

Pertama, politik. Konflik di Laut Cina Selatan apabila bereskalasi yang berdampak pada terancamnya stabilitas kawasan akan memberikan implikasi politik yang signifikan terhadap Indonesia. Implikasi tersebut pada satu sisi adalah Indonesia akan terjepit dalam pertarungan kepentingan kekuatan besar di kawasan, yaitu Amerika Serikat versus Cina. Pada sisi lain, kepentingan nasional Indonesia di Laut Cina Selatan juga terancam sebab wilayah ZEE Indonesia di perairan itu dipastikan akan terkena spill over.

Dalam pertarungan kepentingan kekuatan besar kawasan, Indonesia nampaknya harus bertumpu pada kekuatan sendiri dan sulit untuk bersandar pada ASEAN untuk mendorong bandul agar berada atau bertahan pada sisi stabilitas kawasan. Sebab ASEAN sebagai organisasi disinyalir sulit untuk bersatu padu dalam sikap mengingat sebagian negara ASEAN justru menjadi pihak yang berebut klaim di Laut Cina Selatan. Di samping itu, secara politik beberapa negara ASEAN tersebut mempunyai sandaran politik pada kekuatan-kekuatan besar kawasan dan dunia.

Hendaknya kembali dipahami bahwa upaya ASEAN selama ini untuk mencari solusi damai atas sengketa di Laut Cina Selatan sesungguhnya merupakan pendekatan informal, sebab Cina menolak penggunaan pendekatan formal berlatar multilateral.

Pada waktu yang sama, Indonesia wajib pula mengamankan kepentingan nasionalnya di Laut Cina Selatan dari spill over konflik yang berkembang, sebab hal itu merupakan amanat konstitusi. Untuk bisa menangani spill over tersebut, Indonesia membutuhkan modalitas politik yang besar, selain tentunya kekuatan Angkatan Laut yang memadai. Namun memperhatikan kondisi saat ini, belum jelas apa yang bisa dijadikan sebagai modalitas politik Indonesia untuk mengantisipasi implikasi dinamika di Laut Cina Selatan.

Kedua, ekonomi. Implikasi ekonomi secara langsung terhadap Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan adalah terancamnya pendapatan negara dari ladang gas bumi di ZEE Indonesia di perairan tersebut. Selama ini ladang gas bumi di wilayah ZEE Indonesia memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap pendapatan negara, karena sebagian besar hasilnya langsung dialirkan lewat pipa bawah laut ke Singapura dan sebagian kecil ke Malaysia. Selain itu, masih ada sumber gas bumi yang hingga kini belum dieksplorasi sama sekali di sekitar Kepulauan Natuna meskipun potensi cadangannya sudah berhasil diketahui, yaitu Blok Natuna D-Alpha yang sampai sekarang masih menjadi sengketa antara pemerintah Indonesia dan Exxonmobile.

Adapun implikasi ekonomi secara tidak langsung adalah meningkatnya biaya pengapalan komoditas ekspor Indonesia ke kawasan Asia Timur. Apabila eskalasi konflik di Laut Cina Selatan meningkat, dipastikan biaya asuransi kapal niaga yang melintasi perairan itu juga akan meroket. Terbuka pula kemungkinan kapal niaga yang berlayar ke Asia Timur harus mengubah rutenya melalui Selat Makasar dan terus ke pantai timur Filipina untuk kemudian mengarah ke Asia Timur. Padahal nilai perdagangan Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Timur cukup signifikan pula dalam menunjang roda ekonomi nasional.

Ketiga, militer. Secara teoritis, kekuatan pertahanan Indonesia khususnya TNI Angkatan Laut harus mampu mengamankan kepentingan nasional Indonesia apabila pecah konflik di Laut Cina Selatan, baik meminimalisasi spill over yang muncul maupun mengamankan berbagai ladang gas yang ada di ZEE Indonesia. Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan suatu postur kekuatan yang mampu beroperasi (secara gabungan) di Laut Natuna dan sekitarnya. Titik kritisnya adalah apakah skenario konflik di Laut Cina Selatan sudah diwadahi dalam kemampuan yang dibangun dalam minimum essential force (MEF)?

Ke depan, sebaiknya Laut Cina Selatan ditetapkan sebagai salah satu flash point bagi Indonesia selain Laut Sulawesi. Berdasarkan kalkulasi politik, ekonomi dan militer, konflik di Laut Cina Selatan akan memiliki magnitude yang lebih besar dibandingkan konfilk di Laut Sulawesi, sebab kekuatan militer yang terlibat di Laut Cina Selatan lebih dari satu dan sekaligus berstatus kekuatan kawasan dan dunia. Situasi ini jelas merupakan tantangan tersendiri bagi TNI Angkatan Laut untuk mengembangkan strategi operasi di Laut Natuna dan sekitarnya. Strategi operasi yang dikembangkan pun hanya akan bisa dilaksanakan apabila perencanaan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut sejak jauh-jauh hari salah satunya juga difokuskan ke skenario tersebut.

6. Penutup

Konflik di Laut Cina Selatan dipastikan akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap stabilitas kawasan Asia Pasifik, karena pihak-pihak yang berhadapan merupakan kekuatan besar di kawasan. Dinamika di Laut Cina Selatan saat ini menunjukkan kecenderungan sulitnya mencari solusi yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkepentingan di perairan tersebut, baik negara-negara pengklaim maupun negara pengguna perairan itu. Oleh sebab itu, Indonesia sebagai negara yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepentingan di Laut Cina Selatan sejak dini harus mempunyai strategi nasional untuk mengantisipasi eskalasi konflik di sana.

Dari aspek militer, TNI Angkatan Laut belum terlambat untuk mengantisipasi dinamika di Laut Cina Selatan, baik dalam bidang operasi maupun perencanaan. Dalam bidang operasi, perlu disusun strategi TNI Angkatan Laut guna menghadapi konflik di Laut Cina Selatan dan strategi itu merupakan substrategi dari strategi TNI secara keseluruhan. Adapun dalam bidang perencanaan, alangkah baiknya bila skenario konflik di Laut Cina Selatan diantisipasi sedemikian rupa dalam MEF, karena magnitud di laut ini dipastikan lebih besar daripada di Laut Sulawesi.

. Lihat, Sunardi, R.M, Ketahanan Regional, Jakarta: 2000, hal.33
. Ibid, hal.35
. Lihat, Emmers, Ralf, “Maritime Disputes in the South China Sea: Strategic and Diplomatic Status Quo”, dalam Guan, Kwa Chong and Skogan, John K (ed), Maritime Security in Southeast Asia, New York: Routledge, 2000, hal.49
. Ibid, hal.50
. Ibid
. Ibid, hal.51
. Ibid
. Ibid
. Ibid
.Lihat,http://www.google.com/search?hl=en&source=hp&q=skirmish+between+philippine+navy+and+china+navy+in+south+china+sea
. Lihat, http://www.eia.doe.gov/cabs/South_China_Sea/Full.html
. Lihat, Pedrozo, Captain Raul, “Close Encounter At Sea: The USNS Impeccable Incident”, Naval War College Review, Summer 2009, Vol.62, No.3, hal.101
. Ibid, hal.102
. Ibid, hal.107
. Lihat, http://www.aseansec.org/13163.htm
. Lihat, U.S. National Security Strategy, Februari 2010, hal.1
. Keating, Timothy J and McCaffrey III, Terrance J, “Moving the Throttle Forward in the Pacific”. Joint Forces Quarterly, issue 47, 4th Quarter 2007, hal.57
. Lihat, http://www.c7f.navy.mil/news/2009/04-April/18.htm
. 2010 Quadrennial Defense Review Report, hal.8
. A Cooperative Strategy for 21 Century Seapower, tanpa nomor halaman
. Ibid
. Ibid
. Rowan, Joshua P, “The U.S.-Japan Security Alliance, ASEAN, and The South China Sea Dispute”, Asia Survey, Vol.XLV, No.3, May/June 2005, hal.429
. Ibid
. Tangredi, Sam. J, “The Fall and Rise of Naval Forward Presence”, Proceeding of the United States Naval Institute, Vol.125. Issue 5, May 2005, hal.4
. Rowan, Joshua P, op.cit, hal.426-427
. Lihat, http://english.peopledaily.com.cn/90002/96417/7119874.html
. Rowan, Joshua P, op.cit, hal.428
. Office of Naval Intelligence, China’s Navy 2007, hal.26
. Ibid
. U.S. Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009, hal.2
. Storey, Ian, “China as a Global Maritime Power: Opportunities and Vulnerabilities”, dalam Australia and Its Maritime Interests: At Home and in the Region. Commonwealth of Australia, Sea Power Center, 2008, hal.28

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap