PERTAHANAN NEGERI NYIUR MELAMBAI

PERTAHANAN  NEGERI  NYIUR  MELAMBAI

Robert Mangindaan

Pendahuluan.

Pada waktu memulai menulis tulisan ini dengan judul seperti diatas, memang sudah menuai kritikan dari teman-teman, yang mengatakan—ada ada saja, kenapa tidak langsung NKRI atau Nusantara. Ada juga yang mengatakan—nyiur melambai adalah ciri daerah Sulawesi utara. Semuanya ada benarnya, tetapi penulis ingin tampil berbeda untuk memancing minat masyarakat awam memahami lika-liku penyiapan dan penyelenggaraan pertahanan nasional. Bottom line-nya adalah membangun preferensi anak bangsa untuk mengenal hak dan kewajibannya dalam rangka mempertahankan tanah airnya.

Merangkai  empat kata diatas untuk menjadi satu judul kajian, bukanlah pekerjaan yang sulit. Bukan pula materi yang baru, oleh karena sudah ada doktrin, strategi, taktik, plus berbagai konsep dan wacana. Lagi pula kebijakan dan strategi pertahanan yang diterapkan selama ini, semuanya benar dan tidak ada yang salah. Namun perlu dipahami bahwa kebenaran suatu strategi akan teruji dimedan perang. Begitu pula dengan doktrin, ada masa ‘kerja’ dan perlu penyesuaian untuk mengikuti perkembangan lingkungan stratejik.

Selama tiga-empat dekade, wilayah Asia Tenggara tidak ada perang terbuka, atau perang fisik, sekalipun dalam bentuk limited armed conflict, dan negeri kita tidak mengalami invasi, atau serangan militer terbatas, ataupun ancaman militer klasik. Realita tersebut tentu menyadarkan kepada arsitek strategi pertahanan dan semua pihak terkait, bahwa strategi yang diterapkan, belumlah teruji kebenarannya. Pada sisi lain, berkembang berbagai fenomena yang (seharusnya) dapat digunakan sebagai ujian. Antara lain; (i) pencaplokan ZEEI di perairan Natuna oleh China (minta disebut Tiongkok), kemudian mereka menghadirkan kapal-kapal pengawal teritoral (coast guard), (ii) ada pihak sengaja menggeser patok perbatasan masuk kedalam wilayah Indonesia, khususnya di Kalimantan utara, (iii) bertetangga dengan negara yang ‘terikat” dengan Lombok Agreement, nyatanya tidak mengindahkan kedaulatan Indonesia, (iv) ada pula upaya yang sangat intens untuk internasionalisasi pengamanan selat Malaka dan ALKI tengah yang diawali dengan membangun kerjasama, dan (v) berbagai bentuk kerjasama keamanan kawasan yang sudah diwujudkan, cenderung melemahkan anti access.

Mencermati setiap kata pada judul tulisan, tersurat ‘sekumpulan’ makna yang sudah menjadi pengetahuan bangsa Indonesia, dan tersirat pula—ada hak dan kewajiban setiap warga negara untuk melaksanakannya. Mulai dengan kata negeri, yaitu tempat tinggal, dalam bahasa konstitusi adalah tumpah darah, suatu lokasi dimana bangsa Indonesia tinggal, istilah lainnya geografi yang terdiri dari rangkaian 17.448 pulau, dengan daratan seluas 1.8 juta km2 dan perairan seluas 3.3 juta km2. Keberadaannyadi jalan silang dunia, yang mempertemukan dua samudera, dan (kebetulan) di daerah katulistiwa.

Berikut mengenai nyiur melambai, memberikan kesan bahwa negeri ini berada dipantai (coastal state) dalam suasana damai, aman dan nyaman, sejahtera, dan melambai. Pengertian melambai tentulah ditujukan kepada pihak lain (outward looking), yang mengandung pesan (political message) bahwa negeri ini didiami oleh bangsa yang cinta damai, punya kekayaan alam yang mampu menyejahterakan seluruh anak negeri. Nah, kata yang ketiga yaitu pertahanan, dengan jelas menyuratkan bahwa harus ada konsepsi, atau model, atau sistem defense mechanism, yang tentunya khas Negeri Nyiur Melambai. Tidak ada negeri lainnya yang memiliki keunikan seperti di ranah nyiur melambai ini, yaitu; (i) wajib menyediakan archipelagic sea lane of communication, (ii) ada empat choke point, (iii) ada Sembilan laut di dalam wilayah territorial, (iv) perbatasan laut dengan sepuluh negara. Lihat peta.

x

Peta Indonesia

Pada dasarnya, konsepsi atau model, atau sistem pertahanan yang diterapkan sangat mungkin akan sama dengan pihak lain yang intinya adalah menangkal, menindak, dan memulihkan. Yang akan berbeda adalah strateginya, dan sudah seharusnya  memperhatikan semua keunikan Negeri Nyiur Melambai, yang tidak ada duanya di muka bumi ini.

Ada satu hal yang penting dan wajib diperhatikan ialah strategi pertahanan harus berada dalam bingkai strategi raya atau strategi nasional (grand strategy), yang merangkum kepentingan nasional.  Selain itu, ada hal lain yang juga perlu diperhatikan, yaitu—strategi memerlukan masukan yang aktual dan akurat mengenai (perkembangan) lingkungan stratejik. Semua pihak pasti sudah sangat paham bahwa strategi tidak bekerja di alam yang vakum.

 

Strategi raya

Pada awalnya, pengetahuan mengenai strategi adalah domain militer, pengetahuan para jenderal untuk berperang, ada pula yang mengatakan sebagai seni perang. Pengertian secara popular mengenai strategi, ada kutipan dari situs ONLINE ETYMOLOGY DICTIONARY sebagai berikut..

“art of a general,” from French stratégie (18c.) and directly from Greek strategia “office or command of a general,” from strategos “general, commander of an army,” also the title of various civil officials and magistrates, from stratos “multitude, army, expedition, encamped army,” literally “that which is spread out” (see structure (n.)) + agos “leader,” from agein “to lead” (see act (n.)). In non-military use from 1887.

Demikian banyaknya pandangan dan atau pendapat mengenai strategi, yang tentunya dapat menolong kalangan awam untuk mengimplementasikan ke dunia nyata.  Salah satunya adalah pandangan Henry Kissinger dan Robert Art, dapat dijadikan acuan  untuk merancang strategi raya (grand strategy), yaitu;

(i) the identification of national interests is crucial for the development of policy and strategy, (ii) interests are essential to establishing the objectives or ends that serve as the goals for policy and strategy, (iii) interests are the foundation and starting point for policy prescriptions, (iv) national interests also help to determine the types and amounts of national power employed as the means to implement a designated policy or strategy, (v) strategy must be carefully justified, not merely assumed.[1]

Pesan pada nomor urut satu sampai dengan empat, sepertinya sudah sangat lazim dikemukakan pada berbagai tulisan, diskusi, pelajaran, dan wacana publik. Menarik untuk dicermati nomor urut kelima bagian kedua—not merely assumed, (sebetulnya) bukan juga barang baru bagi arsitek strategi nasional. Tetapi, dalam kenyataannya, ada berbagai produk pikiran nasional seperti kebijakan-strategi-renstra, yang sangat kental bernuansa merely assumed.

Pada UUD NRI 1945 ada empat poin yang harus (mandatory) dijadikan dasar perumusan strategi raya, yaitu; (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (ii) untuk memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.  Keempat poin tersebut mengandung karakter cognitive dan imperative, diungkap dalam lima poin, yaitu nilai (values), kepentingan (interest), ancaman dan tantangan (threats and challenges), formulasi strategi raya (grand strategy), dan penilaian risiko (risk assessment).[2]

Mengenai nilai (values), sudah ada kesepakatan nasional mengenai empat konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Kesepakatan tersebut, sudah bersifat final, never ending, tidak lagi diutak-atik, dan atau dirobah, atau di amandemen, dan sebagainya. Apakah benar demikian?  Fenomena pada dekade ini memperlihatkan bahwa bangsa ini yang jumlahnya mendekati 250 juta jiwa, nyatanya belum sepenuhnya sepakat dengan empat konsensus  dasar tersebut.  Masih ada aspirasi, ada gagasan, dan tentunya ada kepentingan sepihak, atau katakanlah kepentingan sebagian masyarakat yang menginginkankan perubahan. Emotional bonding yang terbangun pada tahun 1928, nampaknya kualitas ‘karatnya’ tidak sama dengan kondisi di tahun 2014. Mohon dipahami  bahwa—nilai (values) yang dijadikan dasar negara tidak bisa  taken for granted sudah kokoh terbentuk secara alamiah, dan akan selamanya demikian. Harus ada pembinaan yang konsisten, dan ada pula upaya pengamanannya. Keluaran dari pembinaan adalah kualitas nasionalisme yang kuat, patriotisme yang kuat pula, sadar akan hak dan kewajiban untuk mempertahankan tanah airnya, yang dalam tulisan ini di ungkap sebagai Negeri Nyiur Melambai.

Kata Ernest Renan—a nation is a conglomerate of people who share a common past and have derived a strong bond, with an agreement to stay together and be governed by mutual consent in the future.[3]   Ada kesepakatan seribuan etnik (nation) di Negeri Nyiur Melambai ini, untuk hidup bersama (agreement to stay together), yang diatur oleh  kesepakatan bersama (mutual consent).  Kata kunci disini adalah kesepakatan yang hidup, kata Renan— regarded as a soul, a spiritual principle or a moral conscious.[4] Penekanannya pada moral conscious yang hidup, berkembang dan dihormati. Sadar atau tidak, senang atau tidak, itulah titik rawan (achilles) bagi anak bangsa. Artinya—apabila ada pihak yang ingin  menghancurkan negeri ini, sudah lumrah bila mengarah (baca: mengancam)  pada achilles-nya. Sekali lagi, sadar atau tidak, senang atau tidak—ancaman primer terhadap Negeri Nyiur Melambai adalah kerusakan pada achilles-nya, dan pekerjaan itu bukanlah perkara yang sulit. Bisa jadi salah satu skenario yang disasar oleh pihak musuh adalah moral conscious dilumpuhkan, rekayasa Bhinneka Tunggal Ika menjadi suatu slogan kosong yang akan ditampilkan hanya sebagai ‘pemanis’  kegiatan protokoler. Kekuatan yang mampu merusak sistem nilai bangsa tidak perlu kekuatan militer, seperti dibayangkan oleh banyak pihak dan diantisipasi dengan berbagai bentuk latihan militer klasik, misalnya—merebut kembali daerah yang sudah dikuasai musuh, latihan anti operasi amfibi, gerilya dan anti gerilya, dan sebagainya.

Salah satu pihak perusak sistem nilai yang ‘bekerja’ sekarang ini adalah penggerak liberalisasi-globalisasi, yang menghantam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan adalah ‘merubah’ kultural. Hal ini ditegaskan oleh Michael D. Intriligator…

Globalization is a powerful real aspect of the new world system, and it represents one of the most influential forces in determining the future course of the planet. It has manifold dimensions: economic, political, security, environmental, health, social, cultural, and  others.[5]

Pesan professor Intriligator tersebut sudah jelas, yaitu kekuatan liberalisasi-globalisasi memiliki daya (power) yang sangat besar sedang mengarah ke negara berkembang, termasuk Negeri Nyiur Melambai. Ancamannya mengarah pada semua aspek berbangsa dan bernegara, utamanya kultural, dan tentunya sistem nilai. Itulah ancaman primer yang harus diantisipasi, oleh karena merusak  atau  katakanlah—menghapus jati diri (sistem nilai) suatu bangsa yang menegara. Dalam disiplin Ketahanan nasional mengungkapkan dengan jelas yaitu kerusakan ketahanan sosial-budaya, yang secara sistemik akan merusak ketahanan idiologi, politik, ekonomi, dan ‘pertahanan-keamanan’.

Belajar dari pengalaman Amerika Serikat,  mereka menetapkan upaya pengamanan sistem nilai sebagai bagian penting dari garis besar strategi raya, sebagai berikut..

  American interests are enduring. They are:

 • The security of the United States, its citizens, and U.S. allies and partners;

 • A strong, innovative, and growing U.S. economy in an open nternational economic system that promotes opportunity and prosperity;

• Respectfor universal values at home and around the world; and

• An international order advanced by U.S. leadership that promotes peace, security, and opportunity through stronger cooperation to meet global challenges.[6]

Bandingkan dengan Indonesia di era Pemerintah SBY, kepentingan nasional yang dituangkan dalam RPJMN meliputlima agenda utama pembangunan nasional tahun 2010-2014, yaitu[7]:

  • Agenda I  :  Pembangunan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
  • Agenda II :  Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan
  • Agenda III : Penegakan Pilar Demokrasi
  • Agenda IV : Penegakkan Hukum dan Pemberantasan Korupsi
  • Agenda V : Pembangunan Yang Inklusif dan Berkeadilan

Kelima agenda tersebut diikuti dengan penetapan prioritas sebelas bidang, yaitu: (1) reformasi birokrasi dan tata kelola; (2) pendidikan; (3) kesehatan; (4)  penanggulangan kemiskinan; (5) ketahanan pangan; (6) infrastruktur; (7) iklim investasi dan usaha; (8) energi; (9) lingkungan hidup danbencana; (10) daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan paskakonflik; serta (11) kebudayaan, kreativitas, dan inovasi teknologi.[8]

Ada perbedaan yang  cukup menonjol, yaitu pihak AS meletakkan kepentingan survival of the state sebagai aras utama, sedangkan Indonesia menetapkan  reformasi birokrasi dan tata kelola. Apabila kelima fenomena yang diutarakan pada bab pendahuluan tulisan ini, dijadikan sebagai ujian terhadap ‘strategi raya’ yang ditetapkan oleh pemerintah SBY, sudah jelas tidak ketemu (mismatch). Sebelas bidang prioritas RPJMN 2010-2014 pada dasarnya mengedepankan kepentingan pada aras kedua yaitu berkembang, sejajar dan bermartabat, bukan kepentingan yang utama yaitu ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Kepentingan tersebut berada pada prioritas lainnya, artinya ditempatkan pada aras hirarki yang lebih rendah.

Kata pepatah tua… lain padang.. lain pula belalangnya, tetapi bicara soal mati hidupnya suatu bangsa negara (survival) adalah kepentingan nasional yang harus menempati aras paling atas. Artinya—strategi raya Negeri Nyiur Melambai juga harus menempatkan kepentingan untuk survival pada aras paling tinggi, paling utama, dan tidak boleh berubah sepanjang masa. Pembukaan UUD 1945 sudah menegaskan hal itu, dan pengabaian terhadap amanah tersebut adalah suatu pengingkaran yang sangat serius terhadap konstitusi. Barangkali, euphoria Reformasi demikian memabukkan sehingga tidak ada pihak yang bersikap kritis terhadap pengingkaran tersebut. Barangkali pula, euphoria Reformasi menghasilkan ruang toleransi terhadap pihak yang anti empat konsensus dasar, dan tidak melihat gerakan mereka sebagai ancaman terhadap bangsa dan negara, karena modus operandi-nya ‘senafas’ dengan atmosfir demokrasi-reformasi di negeri ini.

Aspirasi tersebut masih hidup sampai sekarang dan generasi baru mereka tetap melakukan perlawanan, tentunya dengan merubah taktik dan strategi. Salah satu taktik yang digunakan adalah ‘bekerja dikalangan musuh’ dan secara cerdik mengikuti (baca: menyesuaikan) dinamika demokratisasi dan reformasi. Bentuk fisik yang ‘boleh’ hidup di era demokrasi-reformasi antara lain ormas, lembaga swadaya masyarakat (NGO), yayasan, dan sebagainya yang nantinya menjadi non-state actor yang kuat dan berkembang menjadi pressure group. Contohnya ada di Somalia, Libya, Libanon, Syria, Iraq, mereka sudah menjadi armed non-state actor dan menantang pemerintah pusat bahkan mampu berperang melawan pihak yang lebih canggih dan terlatih.

Memang benar, tidak semua NGO dan non-state actor berseberangan dengan Pemerintah, tetapi di  Negeri Nyiur Melambai pada umumnya visi dan misi mereka tidak jelas, termasuk pendanaan dan agenda kegiatan. Ada kajian yang  mengungkapkan bahwa..

Many organizations that were established after the fall of Soeharto and call themselves NGOs have questionable objectives, and some of them have been involved in malpractice, and have thus affected the reputation of NGOs in general (Ganie-Rochman 2000). These include NGOs that sold subsidized rice destined for the poor; NGOs established just for the purpose of gaining access to development projects; NGOs established by political party activists to mobilize funds and support to gain political power; as well as NGOs acting as debt collectors or specializing in mobilizing mobs for hire.[9]

Pembiaran terhadap sikap dan tingkah laku yang kerap kali melakukan tindakan diluar hukum, akan sama dengan memberikan ruang gerak yang lebih longgar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gambaran kasar di negeri ini pada tahun 2014 memperlihatkan bahwa ketentaman, kerukunan, moral conscious untuk living in harmony, sudah mulai tergusur oleh kepentingan primordial sempit, dan atau kepentingan liberalisasi-globalisasi. Apakah kerusakan tersebut tidak dilihat sebagai ancaman primer dan harus diantisipasi? Anak bangsa negeri ini tentu tidak akan duduk manis berpangku tangan!

 

Strategi pertahanan.

Manakala berbicara seseorang di negeri ini akan berbicara mengenai pertahanan nasional (yang sekarang ini di kenal sebagai HanKam), pada umumnya  akan ‘larut’ dalam suatu konsep yang sudah menjadi doktrin, yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (SISHANKAMRATA). Pemahaman tersebut kemudian dikukuhkan dalam konstitusi, dan kemudian berkembang sistem pertahanan semesta (SISHANTA) yang dalam bahasa asing dikenal dengan istilah total defense. Singkatnya—konsep tersebut sudah ada landasan hukumnya, dan wajib dihormati, tidak boleh diutak-atik, dan atau dipermasalahkan.

Dari sisi lain, khususnya akademik tentulah ada ruang yang longgar untuk mengkaji atau meninjau (critical review) yang tujuannya adalah untuk penyempurnaan, dan atau penyesuaian dengan perkembangan lingkungan stratejik.  Akan tetapi ruang yang longgar tersebut, nyatanya tidak begitu ‘longgar’ oleh karena, pemahaman mengenai SISHANKAMRATA sudah melekat demikian kuat dalam pemahaman masyarakat luas. Malahan akan muncul anggapan bahwa membicarakan pertahanan nasional diluar wacana tersebut, dianggap tidak paham seluk beluk pertahanan, atau a-nasionalis, dan boleh jadi buta terhadap sejarah NKRI.

Tinjauan kritis terhadap SISHANKAMRATA perlu dilakukan untuk menjernihkan atau meluruskan beberapa bagian, atau elemen, yang  tidak begitu jelas konteks dan korelasinya. Antara lain: (i) mengenai sistem, apa pengertian sistem yang disandang oleh konsep ini? Apakah suatu tata cara-kah, atau metode, atau proses, atau gabungan dari berbagai sub-sistem, dan dimana batasnya (boundary)? (ii) apakah pertahanan setara dengan keamanan, yang bisa dibagi dua seperti ‘kue’, yang memilah pertahanan adalah domain militer, dan keamanan adalah domain polisi? Lalu bagaimana dengan penanganan asymmetric threat, atau irregular threat, (iii) apakah konsep ini dianggap doktrin dan sekaligus sebagai strategi? (iv) apakah konsep tersebut sudah mengakomodasi semua keunikan yang khas negeri ini?

Jawaban terhadap rangkaian pertanyaan tersebut, akan berbeda penafsirannya satu dengan lainnya, malahan  ada pandangan yang didasarkan kepada kepentingan sektoral atau institusi. Tidak bisa dielakkan, penafsiran itu mendapatkan dukungan politik dan dikukuhkan dalam perundang-undangan. Singkatnya—ada tindakan pembenaran terhadap penafsiran tersebut untuk kepentingan sektoral dan atau institusi, tetapi  yang akan mengalami kerugian adalah negara-bangsa. Hal ini akan terlihat pada aras operasional akan terjadi kekacauan (overlap atau grey area), dan akan berakibat tidak efektif, tidak efisien, dan muncul penilaian negatif terhadap kredibilitas satuan operasional. Jawaban terhadap ke-lima pertanyaan tersebut mohon disimak dengan pikiran jernih.

Kembali ke locus tulisan ini, menyiapkan strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai. Ada empat prinsip penuntun yang mengawali perumusan strategi pertahanan. Pertama, pesan Sun Tzu  kenali dirimu, dan seterusnya. Pesan itu mengatakan bahwa strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai, harus memperhatikan realita geografi; bahwa (i) wilayah negeri ini terdiri dari rangkaian pulau besar dan kecil, berada dalam ‘kubangan’ perairan seluas 5  juta km2, termasuk ZEEI, (ii) ada tiga perbatasan darat, selebihnya seluruh rangkaian pulau negeri ini, terbuka akses dari laut, dan berbatasan dengan sepuluh negara yang memiliki fire power yang berbeda beda, (iii) kewajiban menyiapkan 3 ALKI, secara tidak langsung sudah membedah negeri ini menjadi empat kompartemen stratejik, dan ada pula empat choke point yang membuat tidak nyaman negara-negara pengguna ALKI.

Kedua, pesan  Carl von Clausewitz—War is not merely a political act but a real political instrument, a continuation of political intercourse, a carrying out of the same by other means.[10] Pesan tersebut menyadarkan arsitek pertahanan negeri ini bahwa, strategi pertahanan harus berada dalam bingkai strategi raya (grand strategy). Pimpinan nasional menetapkan geopolitik yang akan menjadi rujukan utama bagi penyusunan strategi pertahanan, yang menjabarkan dalam tiga sekuens—menangkal, menindak, memulihkan, dan pada gilirannya menyiapkan instrumen operasionalnya. Namun ada satu hal yang perlu disikapi ialah, penempatan kepentingan pertahanan dalam bingkai kepentingan nasional, harus diletakkan  pada aras paling atas. Konstitusi negeri ini sudah menetapkan demikian, bahwa… Negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Ketiga, pepatah tua Latin mengingatkan civis pacem parabellum, untuk berdamai—bersiaplah perang. Pesan ini masih dihormati oleh banyak pihak, dan mereka menyiapkan ‘mesin perang’ yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang mengancam kepentingan nasional mereka. Penulis berpendapat, tidaklah tepat bila adagium tersebut diganti dengan zero enemy—thousand friends. Membina hubungan strategic partner sangatlah mudah, sebaliknya membangun defense mechanism adalah pekerjaan long term planning, rumit dan sangat mahal.

Keempat, semangat bela Negara anak bangsa negeri ini tetap terpelihara dengan baik dan ada program pembinaannya. Semangat tersebut tidak survive secara alamiah, tetapi harus ada program yang berlanjut untuk mempertahankannya. Terlebih di era globalisasi yang dimotori oleh kemajuan teknologi informasi, transportasi, dan telekomunikasi, sangat mampu mengkerdilkan atau mengikis  kadar emotional bonding anak negeri yang sudah terbangun sejak 1928. Tidaklah mungkin menutup mata terhadap kegiatan negara tetangga yang berupaya sangat intens, mengembangkan influence building di daerah perbatasan di empat penjuru negeri ini. Sudah berkembang berbagai fenomena yang mengindikasikan kegiatan semacam itu, padahal pada tataran stratejik sudah ada kesepekatan bersama (mutual trust and confidence) untuk  bertetangga yang baik. Pegangannya adalah tidak ada teman abadi, tetapi kepentingan nasional yang diutamakan.

Berbekal empat prinsip penuntun, beranjak ke penyusunan strategi pertahanan. Namun, perlu berterus terang bahwa, formula yang baku mengenai strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai, belum ada yang konkrit dan masih bersifat eksploratif. Pada sisi lain, model strategi untuk meliput satu negeri yang menutup seluruh perbatasannya, misalnya dengan konsep cordon sanitaire, sudah banyak rujukan dan kepustakaannya. Akan tetapi strategi pertahanan khas Negeri Nyiur Melambai sejauh ini belum konkrit.  Memang betul sudah ada doktrin SISHANKAMRATA kemudian SISHANTA, tetapi masih perlu dikaji bagaimana implementasinya di perairan nasional yang luasnya 70% katimbang darat. Belum terhitung kehadiran unsur asing yang mempunyai hak berada dilintasan  ketiga ALKI, apalagi berada dekat dengan ibukota negara. Mohon dipahami bahwa kekuatan laut (naval power) mempunyai dua dimensi kekuatan tempur, yaitu hard kill dan soft kill, dan teknologi propulsi canggih telah meningkatkan daya jelajah dan durasinya, memampukan mereka ‘parkir’ di posisi  stratejik tanpa dapat di deteksi.

Secara matematika, kebutuhan operasional (means) untuk meliput seluruh wilayah negeri ini, akan memperlihatkan angka yang sangat besar. Misalnya kebutuhan TNI-AD untuk melindungi 17.449 pulau, barangkali dua puluh divisi infantri belum cukup. Begitu pula dengan TNI-AL yang akan melindungi 5 juta km2, pasti membutuhkan kapal kombatan yang jumlahnya mendekati atau malah menyamai kekuatan Armada Pasifik AS. Bagaimana dengan TNI-AU? Apakah cukup dengan enam skuadron pesawat tempur? Diskusinya akan mengungkapkan rasio kebutuhan (bukan keinginan), untuk mendukung sikap politik dalam kepentingan nasional. Liddell Hart menggariskan.. strategy as: “the art of distributing and applying military means to fulfill the ends of policy.”.[11]

Liotta dan Lloyd memberikan lima poin untuk memformulasikan strategi pertahanan negeri ini, sebagai berikut..

It begins with a series of questions we must ask and attempt to answer in the process:

• What do we want to do? (policy objectives)

• How do we plan to do it? (strategic execution)

• What we are up against? (threats, vulnerabilities, challenges, opportunities)

• What is available to do it? (unilateral or multilateral choices, alliances or coalitions ..)

• What are the mismatches? (risks, deficiencies, unforeseen outcomes…)[12]

Awalannya adalah menjawab pertanyaan mengenai apa yang ingin dikerjakan, dan tulisan ini focus pada pertanyaan tersebut. Apa yang ingin dikerjakan, adalah sebagai berikut; pertama, membangun daya tangkal (deterrence) yang efektif, dan sebisanya ekonomik. Konsep penangkalan yang akan dikembangkan perlu dikaji dengan cermat, oleh karena perkembangan teknologi dan dinamika lingkungan stratejik mengharuskan demikian. Memang benar bahwa prinsipnya masih tetap sama dengan konsep penangkalan klasik, tetapi di era teknologi informasi sangat maju, begitu pula dengan kemajuan teknologi sista, plus maraknya asymmetric warfare, maka taktik dan strategi penangkalan negeri ini harus mengalami penyesuaian. Tidaklah mungkin membangun satu model daya tangkal yang efektif digunakan untuk multi-front atau multi-purpose.  Konsepsinya terpaut dengan tiga hal, yaitu; (i) terikat dengan ruang dan waktu, (ii)  kepentingan dan obyektifnya yang ingin dicapai dalam kurun waktu itu, (iii) kekuatan nyata dan dukungan sumber daya yang tersedia.

Bila demikian halnya maka daya tangkal yang dibangun akan berada pada dua tataran, yaitu stratejik (psikolojik) dan operasional (anti akses). Pekerjaan rumah yang menanti adalah membangun kesepakatan mengenai kekuatan apa yang dapat diandalkan untuk penangkalan stratejik, dan yang mana pula untuk aras operasional. Ada beberapa hal yang dipastikan harus nyata, yaitu; (i) ada benang merah antara penangkalan stratejik dan operasional, (ii) ada daya (power) yang tersedia sesuai dengan kebutuhan, (iii) ada kajian (assessment) yang crystal clear mengenai dampak dari tindakan penangkalan, (iv) ada rencana cadangan untuk meliput kegagalan yang mungkin terjadi.

Kedua, menyiapkan daya penindak (power projection) yang andal. Negeri ini mengenal konsep pertahanan berlapis (defense in depth), yang menunjuk kekuatan apa sebagai penindak pertama, siapa yang kedua, dan siapa pula yang terakhir. Kata kuncinya kekuatan apa,  yang dalam bahasa teknis—kualitas fire power. Membicarakan kerusakan seperti apa diinginkan, tentu harus meninjau dengan cermat satuan operasional seperti apa yang mampu menimbulkan kerusakan tersebut. Pada dasarnya, satuan sepeti itu terdiri dari empat komponen dasar, yaitu (i) alutsista dengan segala macam elemennya, (ii) sumber  daya manusia yang memiliki kompetensi dan kapabilitas, (iii) logistik  yang tersedia dan mampu mendukung gerakan operasional, (iv) penguasaan taktik dan aturan pelibatan.

Pekerjaan rumah yang menanti adalah penyiapan ‘mandala’ perang. Penentuan pada titik mana musuh ditindak, atau dipukul, atau diserang, atau dalam bahasa teknis—dimusnahkan, sudah jelas memerlukan kajian yang mendalam, ulangi—sangat mendalam. Kajiannya harus memperhatikan beberapa hal, yaitu; (i) inward—outward looking, karena posisi geografis  negeri ini berada di jalan silang dunia, (ii) proximity terhadap ibukota negara kepulauan sebagai center of gravity, (iii) memperlajari varian taktik yang tepat akan digunakan dan yang mungkin digunakan oleh musuh, kemudian di terapkan pada mandala perang yang diinginkan. Hal ini sangat memungkinkan (baca: menguntungkan) karena pihak sendiri lebih mengenal (baca: menguasai) mandala perang yang adalah wilayah sendiri.

Penyiapan satuan penindak dan pilihan tindakan yang akan digunakan pada masa kini, perlu mengantisipasi semua bentuk peperangan asimetrik.  Ada beberapa bentuk operasi militer yang terselubung dengan atribut kemanusiaan, antara lain humanitarian assistance yang kemudian berkembang menjadi humanitarian intervention, yang nantinya selubung terbuka menjadi military intervention. Bentuk seperti itu sudah dipraktekkan di timur tengah, di Afrika barat dan tengah, terselubung dengan atribut kemanusiaan seperti  to elevate human suffering, to restore democracy, dan sebagainya. Ada bentuk lain yang kini lagi trendy, yaitu peace mission, peace initiative, dan yang paling rumit (baca: buruk) adalah responsible to protect.

Besar kemungkinan arsitek strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai belum menemukan pola atau taktik dan turunannya, untuk menghadapi peperangan asimetrik seperti yang gambaran di atas. Tetapi tidak ada kata lain selain bersiap, negeri ini membutuhkan kearifan anak bangsa untuk menangkal semua bentuk akal-akalan dari luar yang berusaha masuk ke negeri ini yang aman, sejahtera dan cinta damai.

Ketiga, upaya pemulihan. Secara blak-blakan—upaya pemulihan belum mendapatkan atensi yang proporsional dalam catatan sejarah negeri ini. Ada konflik di Aceh, Papua, Maluku selatan, Sulawesi utara, dan banyak tempat lainnya, catatan sejarah mengungkapkan bahwa tindakan pemulihan tidak dirancang sebagaimana seharusnya. Sejarah juga mengungkapkan bahwa ada residual problem yang terpendam ibarat api dalam sekam. Konsep besar manajemen konflik relatif sebatas meredam, memadamkan api, tetapi tidak menyelesaikan akar masalahnya (the roots of conflict). Kedepan, upaya pemulihan akan semakin kompleks karena arus liberalisasi sudah mengakar kuat di negeri yang kekayaan alamnya berlimpah ruah. Unit-unit liberalis berada disemua daerah, dan sangat mungkin juga berada di ‘mandala’ perang yang rancang. Bila terjadi kerusakan, mereka akan dimasukkan dalam  katagori collateral damage dan harus ada kompensasi sesuai keinginan mereka. Berbicara mengenai pemulihan, berarti akan ada urusan bukan hanya dengan physical loss, tetapi juga dengan socio-cultural loss, political loss, economic loss dan seterusnya. Variabelnya sudah semakin kompleks dan harus diantisipasi.

 

Penutup.

Membangun kekuatan pertahanan harus berdasarkan realita fiskal, yang tentunya disumbangkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi perlu penilaian yang realistik,  misalnya—apakah dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,5% mampu membeli 10 kapal selam, atau 5 skuadron Shukoi?  Jangan bermimpi!!! Tetapi jangan pula pesimis, kata orang—banyak jalan ke Roma.Penulis ingin menutup tulisan ini dengan penekanan pada aspek hukum, perlu dibangun untuk memperkuat strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai.  (B-o8/QD-8/14)


[1]Stolberg, Alan G.  “CRAFTING NATIONAL INTERESTS IN THE 21ST CENTURY”, U. S. ARMY WAR COLLEGE GUIDE TO NATIONAL SECURITY ISSUES, VOLUME II: NATIONAL SECURITY POLICY AND STRATEGY, 5th Edition, 2012

[2]Dorff, Robert H.. “A PRIMER IN STRATEGY DEVELOPMENT”  GUIDE TO STRATEGY—U.S. ARMY WAR COLLEGE, February 2001.

[3]Renan, Ernest, “WHAT IS A NATION?”Geoff Eley and Ronald Grigor Suny , ed. 1996. Becoming National: A      Reader,  New York and Oxford: Oxford University Press, 1996: pp. 41-55.

[4] ibid

[5]Intriligator, Michael D. “GLOBALIZATION OF  THE  WORLD  ECONOMY:  Potential Benefits  and Costs and a Net Assessment”.   MILKEN  INSTITUTE,  January 2003

[6]US National Security Strategy 2010.

[7]Perpres RI no 5 tahun 2009 tentang RPJMN 2010-2014.

[8]ibid

[9] Antlov, H., Ibrahim, R., dan Tuijl, P. (2006) ‘NGO Governance and Accountability in Indonesia: Challenges in a Newly Democratizing Country’, dalam Jordan, L. & Tuijl, P. (eds.) NGO Accountability Politics, Principles and Innovations, London: Earhscan, 147-163.

[10] BRAINY QUOTE

[11]H. Richard Yarger ‘THE STRATEGIC APPRAISAL: THE KEY TO EFFECTIVE STRATEGY’ THE U.S. ARMY WAR COLLEGE GUIDE TO NATIONAL SECURITY ISSUES VOLUME I: THEORY OF WAR AND STRATEGY 4th Edition, J. Boone Bartholomees, Jr. Editor,July 2010

[12] P. H. Liotta and Richmond M. Lloyd . FROM HERE TO THERE, The Strategy and Force Planning Framework, Naval War College Review, Spring 2005, Vol. 58, No. 2

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap