Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Kemunculan China sebagai kekuatan regional yang tengah tumbuh menjadi kekuatan global dalam bidang politik, ekonomi dan militer menimbulkan berbagai reaksi di kawasan Asia Pasifik. Dari aspek politik dan keamanan, tak sedikit pihak di kawasan ini yang memandang dengan curiga kebangkitan China. Untuk itu, beberapa kekuatan besar seperti Amerika Serikat Jepang dan India tengah menjalin kerjasama yang sepertinya merupakan upaya untuk membendung (containment) China. Sementara China sendiri paham akan upaya tersebut, sebagaimana tercermin dari beberapa tulisan para ahli strategi negara itu yang menyebut langkah strategis Amerika Serikat sebagai upaya mengurung (encirclement).
Kawasan Asia Tenggara dari sudut pandang Chinamerupakan wilayah yang attractive, vulnerable and nearby.[i] Sejak dekade 1990-an, nilai strategis kawasan Asia Tenggara bagiChina semakin meningkat, seiring dengan terus tumbuhnya perekonomiannya. Pertumbuhan tersebut bukan saja harus ditunjang oleh ketersediaan pasar, —dan dalam hal ini Asia Tenggara mempunyai penduduk hampir 500 juta jiwa, akan tetapi juga harus ditunjang pula oleh lancarnya pasokan energi dari Timur Tengah ke China.
Oleh sebab itu,Chinasangat hirau dengan keamanan SLOC di Asia Tenggara, khususnya di Selat Malaka.Paraahli strategiChinaterus membahas kerentananChinaakan akses terhadap perairan yang berada jauh di luar wilayahnya. Terkait hal tersebut,Chinakini aktif melakukan pendekatan diplomatik-militer kepada negara-negara Asia Tenggara, khususnya yang dilalui oleh SLOC-nya. Naskah ini akan membahas tentang proyeksi kekuatan lautChinake kawasan Asia Tenggara dan dampaknya bagi Indonesia.
2. Manuver China Di Kawasan
Diskusi tentang keamanan kawasan Asia Tenggara tidak dapat dilepaskan dari topik pengaruh aktor ekstra kawasan seperti Amerika Serikat,Jepang,India,ChinadanAustralia. Negara-negara besar itu mempunyai kepentingan di kawasan ini, sehingga arsitektur keamanan Asia Tenggara cenderung ditentukan oleh mereka daripada oleh ASEAN sebagai organisasi regional. Pasca Perang Dingin, keamanan kawasan secara nyata diatur oleh Amerika Serikat dan sekutunya melalui berbagai kerjasama bilateral dan multilateral. Nilai penting Asia Tenggara makin menguat pasca serangan11 September 2001, di mana kawasan ini menjadi salah satumedandalam perang terhadap terorisme yang dicanangkan oleh Presiden Amerika Serikat.
Kebijakan perang terhadap terorisme yang diusung Amerika Serikat secara tidak langsung sepertinya dipandang sebagai ancaman terhadap SLOC China. Seperti diketahui, selain menggelar kekuatan militer terbatas di Filipina dalam rangka Operation Enduring Freedom-Philippine, Amerika Serikat juga sangat hirau dengan keamanan maritim di Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka. Pada 2004, US Pacom meluncurkan Regional Maritime Security Initiatives (RMSI) untuk merespons situasi keamanan maritim kawasan yang dinilai memburuk saat itu.
Mengimbangi kebijakan Amerika Serikat, salah satu upaya yang ditempuh China adalah investing in maritime surface and sub-surface weapons systems that could serve as the basis for a force capable of power projection to secure vital sea lines of communication and/or key geostrategic terrain.[ii] Dalam beberapa tahun terakhir, Angkatan Laut China (PLA Navy) giat melaksanakan serangkaian diplomasi Angkatan Laut ke kawasan Asia Pasifik, termasuk menyinggahi beberapa negara Asia Tenggara.
Dari perspektif politik, kegiatan itu ingin menyampaikan pesan kepada pihak lain bahwa Angkatan LautChinakini mampu beroperasi jauh dari wilayahnya. Namun demikian, tidak sedikit kalangan luar berpendapat bahwaChinaakan mampu memproyeksikan kekuatan lautnya jauh dari wilayahnya pada 10-20 tahun ke depan.[iii] Selain memamerkan kekuatan, China juga melakukan pendekatan lunak kepada beberapa negara pantai Selat Malaka, seperti penawaran bantuan teknis untuk meningkatkan kemampuan mengamankan perairan itu.
Untuk memahami manuver China di Asia Tenggara, ada baiknya bila kita mengenal terlebih dahulu strategi China. Strategi negeri itu dalam politik keamanan internasional dikenal sebagai Strategi 24 Karakter yang dirumuskan oleh Deng Xiaoping, yaitu, “Observe calmly; secure our position; cope with affairs calmly; hide our capacities and bide our time; be good at maintaining a low profile; and never claim leadership”.[iv]
Selama ini, para pejabatChinaselalu menekankan bahwa niatChinaterhadap kawasan Asia Tenggara tak lebih dari bergabung bersama kawasan ini dalam pengembangan ekonomi dan perdamaian dan keamanan regional.Buktinya,Chinaterus mendorong hubungan investasi dan perdagangan antara ASEAN denganChina. Selain secara multilateral, China juga melaksanakan kerjasama bilateral dengan negara-negara Asia Tenggara.
Berkaitan dengan hal tersebut, menjadi pertanyaan apakah manuver China di Asia Tenggara sekadar dilatar belakangi isu keamanan maritim dan kepentingan ekonomi, ataukah ada alasan yang lebih mendasar di balik semua itu? Sebagian pihak berpendapat bahwa manuver China ke Asia Tenggara tidak lepas dari upayanya untuk keluar dari kebijakan pengurungan yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Menurut pandangan China, “Southeast Asia as the weak link in this chain and the point where China can break through and defeat attempted American “containment”.[v]
Dalam konteks itu, dapat dipahami bilaChinaterus berupaya meningkatkan kerjasama politik keamanan dengan beberapa negara Asia Tenggara. Misalnya denganIndonesia, yang mana kedua negara telah menandatangani Perjanjian Kemitraan Strategis pada 25 April 2005 yang mencakup pula isu keamanan. Negara ASEAN lain yang menjadi mitra tradisionalChinaadalahThailanddanMyanmar.
Harus diakui bahwa cara pandang dan sikap negara-negara Asia Tenggara terhadap China tak sama. Selain ada negara-negara yang menjalin kerjasama erat dengan China, ada pula negara ASEAN yang hubungannya denganChinakurang erat seperti Singapura. Negeri itu merupakan mitra penting Amerika Serikat di Asia Tenggara sekaligus mempunyai hubungan erat dengan Taiwan. Kedekatan Singapura dengan kedua negara terakhir membuat hubungannya dengan China selama ini kurang erat, khususnya dalam isu politik keamanan.
Berbagai manuver China di kawasan dalam tahun-tahun belakangan disikapi oleh beberapa aktor kawasan dengan membangun jaringan kerjasama keamanan multilateral. Misalnya kerjasama militer Amerika Serikat-Jepang-India dalam bentuk latihan Angkatan Laut yang digelar 17 April 2007 di Laut Filipina lepas pantai Pulau Okinawa dan Latihan Malabar 07-1 yang dilaksanakan Angkatan Laut Amerika Serikat dengan Angkatan Laut India di perairan yang sama pada 6-11 April 2007. Atau latihan militer antara Angkatan Laut Singapura-Angkatan Laut India bertajuk Singapore-India Maritime Bilateral Exercise-07 (SIMBEX-07) di Laut China Selatan pada 22-28 Maret 2007.
3. Dampak Terhadap Indonesia
Saat ini sikap politik Indonesia terhadap kekuatan-kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik adalah “ingin merangkul semua” dan sekaligus pada saat yang sama berusaha mencegah timbulnya kesan sebagai “sekutu” kekuatan tertentu. Kondisi demikian berbeda dengan di era Perang Dingin, di mana Indonesia pernah “condong” pada kekuatan besar tertentu, meskipun secara resmi menyatakan sebagai negara non blok.
Sikap yang “ingin merangkul semua” dan sekaligus mencegah kesan sebagai “sekutu” kekuatan tertentu dari konteks geopolitik dapat dipahami, karena Indonesia mempunyai empat chokepoint dunia yang dibutuhkan oleh negara-negara besar. Namun pada sisi lain, sikap tersebut seringkali menempatkanIndonesia pada posisi sulit, karena realitas politik menuntutIndonesia untuk lebih akomodatif dan kooperatif terhadap Amerika Serikat dibandingkan kekuatan lainnya.
Terkait dengan kebangkitan Chinamenuju kekuatan global, Amerika Serikat sangat menyadari arti penting kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesiadi dalamnya. Meskipun embargo senjata Amerika Serikat terhadap Indonesia“dicabut” pada November 2005, namun sejak beberapa tahun sebelumnya negeri itu berupaya merangkul kembali Indonesiamelalui berbagai bentuk kegiatan, seperti US-Indonesia Bilateral Defense Dialogue (USIDBDD). Akan tetapi, beberapa ahli strategi Amerika Serikat menilai pendekatan terhadap negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, harus diikuti dengan perubahan sikap dan gaya negeri itu. Antara lain Amerika Serikat hendaknya less lecturing, less dictating, more listening, more consulting, and more respect.[vi]
Sementara itu, hubungan Indonesia-China kian erat karena kedua negara kini diikat oleh Kemitraan Strategis. Di antara bidang kerjasama dalam kemitraan strategis adalah pertahanan dalam berbagai bentuk. Sejauh ini, arah kerjasama dalam bidang tersebut sepertinya bukan sebatas pengadaan alutsista dan kemungkinan alih teknologi pertahanan, tetapi juga mencakup kerjasama militer yang mencakup Angkatan Bersenjata kedua negara. Meskipun kerjasama militer Indonesia-China baru pada tingkat dialog seperti Navy to Navy Talk, tidak mustahil ke depan China akan mengajak kerjasama pada tingkat operasional, seperti latihan bersama.
Dengan tidak mengurangi nilai penting kerjasama militer dengan China, ada baiknya bila tidak mengabaikan atmosfir politik yang melingkupi kerjasama itu. Atmosfir politik yang dimaksud antara lain ambisi global China dan respon negara-negara lain di kawasan. Seperti ditulis sebelumnya, kawasan Asia Tenggara menurut China merupakan penghubung terlemah dalam upaya Amerika Serikat mengurungnya.
Berangkat dari situ, dapat disimpulkan kawasan ini tengah menjadi ajang perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China untuk kepentingannya masing-masing. Kondisi demikian cepat atau lambat akan menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit. Pada satu sisi, sangat sulit bagi Indonesia untuk secara terbuka menyatakan berpihak kepada Amerika Serikat ataukah China karena berbagai alasan. Namun di sisi lain, Indonesia sepertinya akan dipaksa untuk secara diam-diam berpihak pada salah satu kekuatan tersebut, karena kekuatan itu mempunyai posisi tawar yang lebih kuat terhadap Indonesia di segala aspek.
Berangkat dari kemungkinan pilihan-pilihan yang tidak mudah, ada kepentingan nasional yang hendaknya menjadi salah satu landasan dalam bersikap. Menyangkut kebangkitan China ditinjau dari kacamata kepentingan nasional di laut, ada beberapa pertanyaan yang patut diajukan.
Pertama, apakah ambisi global China, khususnya aspek militer, tidak akan menjadi tantangan (atau ancaman) bagi keamanan maritim di perairan Asia Tenggara (baca: perairan Indonesia) ke depan? Kedua, bagaimana bentuk pendekatan China ke depan di perairan Asia Tenggara bila sudah mempunyai kemampuan proyeksi Angkatan Laut ke kawasan? Ketiga, bagaimana respon aktor kawasan lainnya terkait proyeksi kekuatan laut China?
Indonesia sudah puluhan tahun bersentuhan langsung dengan kekuatan militer Amerika Serikat, tidak keliru bila dikatakan kita ”cukup mengenal” perilakunya. Sebaliknya, Indonesia belum sering bersentuhan langsung dengan kekuatan militer China, sehingga perilakunya ”belum dikenal” dengan baik. Mengenali perilaku militer China, khususnya kekuatan lautnya, nampaknya akan menentukan bagaimana respon Indonesia ke depan dalam keamanan maritim di kawasan.
Selama ini, perilaku Angkatan Laut China yang dikenali oleh negara-negara lain adalah di Laut China Timur, yang mana China mempunyai hubungan yang kurang erat dengan Jepang. Perairan Asia Tenggara tentu saja berbeda dengan Laut China Timur, sebab secara politik perairan itu merupakan SLOC bagi banyak pihak. Dibanding dengan perilaku Angkatan Laut China di Laut China Timur yang terkadang ”agresif”, sepertinya perilaku demikian kurang tepat jikalau diterapkan di kawasan ini.
Pengenalan terhadap perilaku Angkatan Laut China bagi Indonesia bukan saja menyangkut soal pengamanan ALKI, tetapi juga terkait klaim atas Laut China Selatan. Indonesia masih belum mendapat penjelasan yang memuaskan dan sekaligus mengikat menyangkut sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan sekitar Kepulauan Natuna dalam peta China tahun 1992. Ada pendapat bahwa perilaku negeri itu sama dengan yang dilakukannya terhadap Filipina dalam sengketa atas Kepulauan Spratley. Akan tetapi ada pula yang berpendapat China tak akan seagresif itu di sekitar Kepulauan Natuna, karena nilai geopolitik politik Indonesia yang lebih strategis baginya dibandingkan Filipina.
Pendapat mana yang benar, waktu yang akan menjawabnya. Untuk masalah klaim China di sana, ada baiknya bila Indonesia sejak dini mengantisipasi kemungkinan ”engagement” antara kapal perangnya dengan kapal perang China di perairan itu dalam 10-20 tahun ke depan. Pada masa itu, diperkirakan China telah mempunyai kemampuan proyeksi kekuatan ke kawasan Asia Tenggara. Dengan kemampuan tersebut, sudah pasti Angkatan Laut China siap menunjukkan ototnya kepada pihak-pihak lain.
4. Penutup
Tantangan untuk mengamankan kepentingan nasional di laut saat ini dan ke depan akan semakin banyak. Salah satunya adalah meningkatnya kemampuan proyeksi Angkatan Laut China ke luar wilayahnya, khususnya ke kawasan Asia Tenggara. Proyeksi tersebut yang berada dalam bingkai upaya China untuk memutus kebijakan pengurungan Amerika Serikat terhadapnya, akan menimbulkan tantangan terhadap keamanan maritim di perairan yurisdiksi nasional dan sekaligus keutuhan wilayah Indonesia. Menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk mengenali perilaku Angkatan Laut China, karena cepat atau lambat, kekuatan laut Indonesia akan berinteraksi secara langsung dengan China.
[i]. Ott, Marvin C. “Southeast Asian Security Challenges: America’s Response?”, Joint Forces Quarterly, Issue 45, 2nd Quarter 2007, hal.17
[ii]. U.S. Department of Defense. Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2006, hal. 1
[iii]. Ott, Marvin C. Op.cit, hal.18
[iv]. US Department of Defense. Op.cit, hal.7
[v]. Ott, Marvin C. Op.cit
[vi]. Ibid, hal.20