Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Ekonomi dan Geopolitik: Potensi Maritim Indonesia (The Impact of Corona Virus on Economy and Geopolitics: Indonesia’s Maritime Economy Potentials)

  1. Pendahuluan

Selama empat dekade bencana alam telah membunuh setidaknya 60.000 orang rata-rata per tahunnya. Bencana alam tersebut termasukd diantaranya gempa bumi, kekeringan, epidemik dan kebakaran hutan. Walaupun memang, tidak semua bencana tersebut melekat dalam ingatan masyarakat, menyita perhatian publik dan memiliki dampak dengan skala yang berbeda-beda. Sejumlah ahli menyebutkan bahwa untuk mendapatkan tingkat perhatian media dan publik yang sama, sebuah bencana kelaparan harus sudah mengorbankan setidaknya 38.920 jiwa, kekeringan 2.395 jiwa, epidemik 1.696 jiwa dan erupsi gunung berapi hanya 1 jiwa. Dan untuk dapat menyita banyak perhatian, sebuah bencana harus: mengejutkan menakutkan; sedang berlangsung, dan; tidak pasti –uncertain or bringing uncertainty. Perhatikan gambar dibawah ini (Polymatter, 2020).

 

Virus Korona atau Covid-19, berhasil menyentuh keempat poin diatas, dan lainnya. Ancaman dari virus korona ini tidak kasat mata, mematikan, asing dan juga dikabarkan terus bermutasi. Jumlah kasus yang terkonfirmasi terkena virus korona ini, per tanggal 27 April 2020, secara global adalah 2.971.240 jiwa, dengan angka kematian sebanyak 206.470 jiwa dan jumlah pasien sembuh sebanyak 833.578 (John Hopkins University, WHO, 2020).  Yang lebih membahayakan dan membuat pandemi virus korona ini masih sulit diprediksi dan dihitung dengan tepat adalah karena berdasarkan data, delapan puluh persen dari kasus yang terkonfimasi positif hanya menunjukkan gejala-gejala ringan, bahkan tidak menunjukkan gejalan sama sekali. Hal ini menjadikan tingkat resiko pemaparan virus oleh pasiden-pasien dengan gejala ringat (selanjutnya disebut carrier) menjadi tinggi terutama terhadap lansia dan orang-orang yang telah memiliki riwayat penyakit berat sebelumnya. Hal inilah yang mendorong diambilnya kebijakan karantina – baik itu karantina wilayah, karatina total—selama setidaknya 14 hari oleh banyak otoritas pemerintah dan negara.

Hal yang lebih menakutkan dan fatal dari pandemi virus korona ini adalah hal-hal yang tidak kita ketahui tentang virus ini. Daripada dia berasal, bagaimana virus ini sebenarnya menyebar, dari hewan liar apa sebenarnya virus ini bermula dan seterusnya yang sangat krusial untuk keperluan riset untuk menemukan obat atau vaksin. Lebih dari itu, hal ini juga berdampak pada ketidakpastian kapan, harus seperti apa dan sampai kapan kebijakan-kebijakan untuk penanganan dan pencegahan penyebaran virus ini dapat berakhir. Hal tersebut berujung dan berdampak pula pada ketidakpastian di berbagai sektor dan sendi kehidupan masyarakat, terutama sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, jikapun anjuran yang dikerluarkan oleh otoritas kesehatan terdengar sangat sederhana –etika bersin, mencuci tangan dengan bersih setelah beraktiftas diluar atau menyentuh barang di publik, memberlakukan physical distancing dan seterusnya – dampak dari pandemi virus korona ini jauh lebih besar daripada sekedar krisis kesehatan semata. Pun demikian, sama halnya dengan kebanyakan negara lain saat ini, apakah Indonesia sudah berada di track yang benar dalam penanganan Covid-19 ini juga masih kabur. Harus diakui bahwa saat ini kita ada berada di dalam ketidaktahuan dan penanganan terhadap Covid-19 ini juga masih didasarkan pada informasi atau data yang sepotong-potong – belum paripurna.  Ketidakpastian dalam infromasi dan data untuk penanganan virus itu sendiri ini pun semakin diperparah dengan adanya potensi dampak yang sangat besar terhadap ekonomi global dan adanya ‘kapitalisasi’ isu ini sebagai alat pengaruh oleh negara besar -geopolitik. Adapun tulisan ini ditujukan untuk menganalisis bagaimana dampak dari Covid-19 terhadap ekonomi global dan geopolitik dari perspektif kepentingan Indonesia, keamanan maritim serta langkah-langkah yang dapat diambil.

 

  1. (Geo)Politik Virus Korona

Adalah benar bahwa langkah awal yang harus kita perhatikan ketika mengadapi situasi ditengah Covid-19 ini adalah tentang bagaimana penanganan kesehatan, dampak sosial dan ekonominya terhadap masyarakat dan negara adalah prioritas. Namun demikian, penanganan pandemi virus korona ini dan upaya untuk dapat mengatasi dampaknya terhadap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya ternyata tidak dapat terlepas dari isu ekonomi dan geopolitik, terutama geopolitik negara besar. Tidak dapat dipungkiri bahwa isu ini dijadikan isu geopolitik dan alat pengaruh terutama oleh dua negara besar saat ini, Amerika Serikat dan China. Sebut saja, mekanisme test dan  pengumpulan data serta langkah-langkah penanganan virus Covid-19 ini seolah ada dua kubu, yakni kubu (Trump) Amerika Serikat versus (PKC) China. Tidak dapat dipungkiri bahwa jika halnya kepemimpinan Partai Komunis China telah berkomitmen, China dapat bertindak dengan sangat cepat dan mampu mengeluarkan kebijakan yang mungkin akan membutuhkan birokrasi yang berlapis jika halnya dilakukan di negara demokrasi. Sebagai contoh adalah bagaimana China mendemonstrasikan efektifitas politiknya ketika mampu dengan sangat cepat membangun rumah sakit khusus penderita korona, mengubah universitas-universits, stadion dan berbagai fasilitas lainnya untuk dijadikan rumah sakit sementara dan mampu menerapkan ‘lockdown’ total terhadap kota dengan jumlah penduduk kurang lebih 700 juta jiwa (berdasarkan perkiraan NewYork Times) dengan tingkat efektiftas dan disiplin yang sangat tinggi. Sebuah angka yang sangat fantastis dan langkah yang mungkin tidak akan terpikir oleh negara lain untuk terapkan terutama jika kita mengingat bagaimana dampak ekonomi, sosial dan politiknya yang sangat luar biasa.

Dalam semangat ‘national brand-building’ serupa, diplomat-diplomat China pun disibukkan dengan banyak hal seperti wawncara media, publikasi artikel media, mengirimkan bantuan (masker, tim tenaga medis dll.) ke pusat penyebaran virus seperti ke Korea Utara, Italia, Kamboja dan termasuk Indonesia dll. China pun tengah berusaha keras untuk melepaskan diri dari pecahnya pandemi ini dengan mensugestikan bahwa sumber virus ini bisa saja bukan berasal dari China melainkan tempat lain. Disisi lain, presiden Amerika Serikat Donald Trump kerap menyebutkan virus korona ini dengan sebutan “chinese virus”, semakin memperkeruh rasisme global yang bahkan sudah berlangsung lama sebelum virus ini menjadi pandemi global. Jikapun angka kasus positif korona di Amerika Serikat saat ini telah menjadi jumlah terbesar secara global dengan angka kematian mencapai 43 ribu jiwa, pada faktanya dilapangan, pendekatan yang dilakukan Trump juga lebih condong ke ekonomi politik dibandingkan memandang isu ini sebagai isu kesehatan dan kemanusiaan. Pun demikian, pendekatannya terhadap negara lain. Singkatnya, there is no such a thing as freelunch.

Bagi Amerika Serikat, melihat respon yang diberikannya sejauh ini, Coronavirus ini seperti ‘blessing in disguise” untuk melancarkan visi “American First”-nya Trump, terlepas terdengar tidak sensitifnya pernyataan ini. Namun, Amerika Serikat juga tidak bisa berjalan sendiri dalam upaya mewujudkan hal tersebut, melainkan membutuhkan sekutu. Secara global, ada kurang lebih 40 negara yang “katanya” akan disetting oleh Amerika Serikat dengan peristiwa ini. Dan ada empat negara garis depan yakni Jepang (allied), Korea Selatan (Allied), India (somewhat like-minded) dan Indonesia (uncertain – awkward) dalam upaya tersebut. Dan jika kita perhatikan, keempat negara tersebut merupakan negara-negara kunci di kawasan Indo-Pasifik. Disisi lain, data menyebutkan bahwa 60 persen anggara pentagon akan diarahkan ke kawasan Indo-Pasifik juga merupakan sepotong informasi yang perlu mendapatkan perhatian lebih dan kalkulasikan.

Pernyataan diatas tidaklah berlebihan jika halnya kita mengikuti logika bahwa  dampak ekonomi dari coronavirus tidak dapat diketahui dengan past. Terutama ketika sudah semakin kompleks dan luasnya ekonomi global saat ini. Namun yang pasti dampaknya akan sangatlah besar. Hal ini bukan hanya karena tingkat harapan hidup yang dampaknya sudah mulai terlihat saat ini, melainkan karena langkah-langkah kebijakan, ekonomi dan mitigasi yang telah diambil oleh negara-negara saat ini dan yang akan datang. OECD telah mengkalkulasikan akan adanya penurunan GDP dunia kurang lebih 2 hingga 2.5 persen, yang merupakan angka penurunan yang substanial dalam GDP dunia (TIME, 2020).  Namun kita dapat memperkirakan bahwa dampaknya akan jauh lebih besar terhadap ekonomi dunia dan banyak ekonom sudah mengingatkan akan terjadinya resesi global yang jauh lebih keras pukulannya dibandingkan ketika krisis ekonomi global tahun 2007-2008 terjadi.

China seharusnya tumbuh sebanyak 6% tahun ini. Jika halnya kita berasumsi bahwa virus korona ini hanya berdampak pada China saja (tidak ada efek domino / multilayer effect) ekonom menyebutkan bahwa angka pertumbuhan China mungkin kini hanya berada diangka 2 atau 3 persen saja di kuartal pertama tahun 2020. Jika hal tersebut terjadi dan kita asumsikan GDP China berada pada angka 6 persen ditiga kuartal sisanya, maka GDP pertahun China turun ke angka 4 atau 5 persen. Namun pada kenyataannya angka tersebut juga mungkin tidak akan tercapai. Bayangkan bagaimana dampaknya terhadap ekonomi global. Oleh karena, posisi China dalam ekonomi global, global supply chain, global value chain saat ini sudah sangat berbeda dengan ketika SARS 2003 terjadi. Itu jika halnya kita hanya memperhitungkan China saja. Jika halnya kita tambah dengan potensi dampak virus korona ini terhadap negara-negara lain seperti Jepang, Korea dan Eropa dll, maka kita akan dengan sangat mudah sampai pada kesimpulan bahwa resesi global sangat besar terjadi. Bagi Indonesia, Menteri Keuangan Republik Indonesia, Ibu Sri Mulyani juga telah memaparkan di media bahwa prediksi GDP dan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 ini ada pada angka 2 (dua) persen untuk skenario terbaik, 0 (nol) persen untuk skenario menengah dan minus dua persen (-2%) untuk skenario terburuk.

Dalam penanganan kasus Corona di tingkat nasional, ada empat pillar yang terdampak, yakni medis, sosial, ekonomi dan politik/ geopolitik. Pillar pertama, bidang kesehatan, sudah jelas merupakan pillar yang pertama yang di ‘diuji coba”. Ketahanan nasional kita di bidang kesehatan, mulai dari efektifitas pelayanan kesehatan, ketersediaan obat-obatan dan alat-alat medis (termasuk ketahanan supply-chain-nya), hingga kecepatan dan kemutakhiran riset dan labolatorium dan seterusnya merupakan bidang-bidang yang pertama kali “dipukul”. Pillar kedua dan ketiga, yakni sosial dan ekonomi adalah saling berkaitan terutama karena dampak dari kebijakan mitigasi dan kesehatan yang diambil oleh pemerintah, tidak hanya oleh pemerintah Indonesia di tingkat nasional hingga tingkat daerah, melainkan juga oleh pemerintah-pemerintah lainnya secara global. Lock-down ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tidak dapat dipungkiri menghentikan banyak aktifitas dan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat di berbagai lini sektor. Tidak hanya roda ekonomi saja yang jadi tersendat –jika tidak dibekukan– kebijakan untuk sosial yang diambil pemerintah seperti pembekuan tagihan kredit perbankan, pemotongan dan penghapusan tagihan listrik, bantuan sosial kepada rumah tangga terdampak dan seterusnya untuk kurun waktu kurang lebih tiga bulan merupakan biaya yang tidaklah murah dan memiliki dampak ekonomi yang tinggi bagi pemerintah.

Upaya-upaya tersebut kemudian mendorong pada pillar keempat, yakni politik atau geopolitik. Oleh karena dalam penanganan ketiga pillar diatasnya ini terkait dengan geopolitik. “darimana sumber dana atau keuangan yang dikeluarkan?” lain APBN sementara roda perekonomian “lumpuh”. Pada ujungnya, “kepada siapa atau siapa yang akan berikan bantuan?”. Untuk menjawab pertanyaan ini, bahkan ekonom sekalipun, tidak akan bisa terlepas dari faktor geopolitik. Sebut saja, dalam hal medis atau penguasaan medis. Kita tidak dapat menyebutkan bahwa penguasaan medis kita buruk, karena hal tersebut juga tidak akurat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pengetahuan kita di bidang medis ini juga masih banyak bolong-bolong. Pun demikian ketahanan supply chain atau kekuatan pengetahuan kita dalam jaringan supplai obat-obatan dan alat-alat medis, termasuk alat untuk test, juga sporadis dan tidak kuat.  Pertanyaan lain muncul, “mengapa Amerika Serikat tidak tampil?”. Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat pun berpolitik ditengah isu ini. Mereka tidak akan dengan mudah berbagi ataupun memberikan informasi yang mereka miliki kepada siapa saja, melainkan hanya kepada orang atau pihak yang dinilainya ‘tepat’. Then again, there’s no such a thing as a freelunch.

 

  1. Potensi Ekonomi Maritim Indonesia

Satu hal yang juga kita pelajari dari pandemi Covid-19 ini bahwa pandemi ini menyadarkan dunia menaruh sepenuhnya kepercayaan terhadap China di dalam global value chain tenyata sangatlah beresiko. Sebut saja bagaimana nasib mega proyek-mega proyek yang berada dibawah program Belt and Road Initiative China di berbagai belahan dunia kedepannya. Kita tidak mempunyai pilihan lain selain harus sesegera mungkin mencari formula yang tepat untuk dapat meningkatkan national economic resilience atau ketahanan ekonomi nasional kita — dan berbagai bidang lainnya. Memperhatikan pemaparan diatas, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia –selalu—berada dalam “awkward position”. Politik luar negeri Indonesia, bebas-aktif, tentu memiliki sejumlah keuntungan demikian juga kekurangan. Kemudian mengingat potensi ‘krisis’ yang mungkin akan atau harus kita hadapi sebagai dampak dari virus korona dan kebijakan yang kita ambil tentu sangatlah membuat hati pilu. Jikapun demikian, sebagai bangsa pejuang, bangsa yang beragama (berkeyakinan) dan bangsa yang selalu positif, penulis tidak ingin menyebutkan bahwa kita seolah seperti sedang berjalan kedalam jurang.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.549 pulau, Indonesia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia, wilayah maritim Indonesia menawarkan segundang potensi yang luar biasa. Pun potensi ekonomi di bidang maritim Indonesia (selanjutnya ekonomi mariitm) sangatlah dahsyat yang jika kita kembangkan dengan sungguh-sungguh dan serius. Pakar kelautan dan perikanan IPB, Prof Rokmin Dahuri, dalam suatu kesempatan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi maritim sebagai disebut diatas adalah semua aktivitas ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di daratan lahan atas yang menggunakan bahan baku dari wilayah pesisir dan lautan. Dan bidang ini meliputi beberapa sektor yakni:

  1. Perikanan tangkap
  2. Perikanan budidaya
  3. Industri pengolahan perikanan dan hasil laut
  4. Industri bioteknologi kelautan
  5. ESDM (energi dan Sumber Daya Mineral)
  6. Pariwisata
  7. Perhubungan laut
  8. Kehutanan
  9. Sumber daya pulau-pulau kecil
  10. Industri dan jasa maritim
  11. Sumber Daya Alam non-konvensional

Jika dihitung, potensi total dari sektor-sektor tersebut dapat menyumbangkan kurang lebih 1.2 hingga 1.5 Triliun USD per tahunnya dan berpotensi menyerap kurang lebih 45 juta lapangan kerja.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) disisi menyebutkan bahwa perkiraan kasar nilai potensi laut adalah senilai 1.772 truliun rupiah, Angka ini sama dengan 93 % total pendapat APBN Indonesia di tahun 2018 (Rahmadi, Puji. 2019). Adapun kekayaan kasar yang dimaksud adalah angka yang diambil dari nilai mentah potensi kekayaan Indonesia. Artinya, belum termasuk perhitungan-perhitungan subjektif yang membuat nilai kekayaaan tersebut menajdi berbeda-beda di tiap daerah. Angkat 1.772 triliun tersebut terdiri dari 312 triulun dari sektor perianan, 45 triliun dari terumbu karang, 21 triliun dari mangrove, 4 triliun dari lamu, 560 trilun dari potensi kekayaan pesisir, 400 trilun dari bioteknologi, 20 triliun dari wisata bahari, 210 triliun dari minyak bumi, dan 200 trilun dari transfortasi laut.

Pun demikian, potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor maritim sangatlah tinggi. Namun sayangnya saat ini, jika kita bandingkan dengan negara lain atau bahkan dengan target penerimaan pajak untuk sektor itu sendiri, bahkan tidak dapat tercapai dan masih kalah jauh. Sebut saja, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan, wakil ketua Komisi XI DPR RU, Achmad Hafisz, menyebutkan masih belum optimal. Padahal Undonesia memiliki sumber daya maritim yang sangat besar.

 

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan kinerja penerimaan pajak sektor perikanan pada 2018 merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Penerimaan sektor perikanan pada 2018 sebesar Rp 1,6 triliun, tumbuh 22,6% dibandingkan 2017 yang sebesar Rp 1,3 triliun. Per Agustus 2019, kinerja penerimaan pajak sektor perikanan telah mencapai Rp 1,3 triliun. Angka tersebut hanya selisih Rp 311 miliar jika dibandingkan dengan kinerja perpajakan sektor perikanan sepanjang 2018 (Katadata, 2019).

PNBP merupakan salah satu sektor yang menjanjikan untuk penerimaan negara, selain pajak. Sehingga melalui PNBP diharapkan dapat menyelamatkan APBN dari defisit anggaran dan keseimbangan primer negatif. Untuk itu, ia mendorong optimalisasi PNBP di berbagai sektor, termasuk perikanan. Menurutnya, selama 5 tahun terakhir kontribusi PNBP perikanan belum pernah mencapai target. Misalnya pada tahun 2018, PNBP sektor perikanan hanya mencapai Rp 431,83 miliar dari target Rp 600 miliar (DPR RI, 2019)

 

Berdasarkan pemaparan diatas, kita bisa melihat –setidaknya secara kasar—betapa besarnya potensi ekonomi maritim kita. Yang jika, dan hanya jika, kita kelola dengan maksimal dan serius maka akan dapat membantu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa khususnya di bidang ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan. Bahkan seharusnya dapat menjadi tulang punggung utama perekonomian dan pembangunan Indonesia sebagai negara maritim – poros maritim dunia. Dengan demikian, ditengah ketidakpastian dan ancaman krisis ekonomi yang mungkin akan/harus kita hadapi sebagai dampak dari pandemi virus korona ini, ekonomi maritim bisa menjadi salah satu jawaban kuncinya.

 

  1. Implikasi terhadap Keamanan Maritim

Pandemi virus korona, bagi negara manapun bahkan negara maju sekalipun, merupakan suatu cobaan yang sangat besar terhadap ketahanan nasional negara di semua sektor dan sendi kehidupan – bukan hanya health and medicine resilience, tetapi terlebih juga terhadap ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat dan politik hingga ketahanan pangan dan seterusnya. Dampaknya terhadap perekenomian global telah secara kasar penulis uraian sebelumnya dan pada akhirnya juga akan berdampak pada sektor maritim dan keamanan maritim Indonesia. Berkaitan dengan isu keamanan maritim, barangkali seiring dengan terjadinya proses ‘deglobalisasi’ sebagai dampak dari social distancing dan virus korona ini, maka mungkin kita akan menyaksikan adanya perlambanan intensi transportasi global melalui laut (energi, kapal kargo, kapal persiar, armada komersial lainnya). Namun hal demikian, aktiftas illegal di dan dari laut bisa jadi mengalami peningkatan seiring dengan kemungkinan semakin banyak dan tingginya kebutuhan mendesak masyarakat dunia/kawasan akan komoditas yang murah dan kebutuhan untuk menghidupkan kembali perekonomian nasional, untuk negara. Oleh karena itu, di domain maritim, aktifitas-aktiftas illegal termasuk IUU fishing dan penyelundupan barang dan orang bisa jadi meningkat. Terutama di wilayah-wilayah perairan Indonesia yang sudah sejak lama rentan terhadap berbagai aktiftas tersebut, termasuk di Laut Natuna Utara, oleh illegal fisher dari berbagai negara seperti Vietnam, Thailand, China dan lain-lain.

Dalam isu keamanan besar, proses deglobalisasi tidak serta merta berarti negara-negara akan diam di wilayahnya masing-masing dan mengurus dirinya sendiri, bersamaan dengan trend perjalanan dan transaksi antar negara yang mungkin akan cenderung menurun kedepannya. Namun sebaliknya, dibarengi dengan semakin kerasnya penggunaan internet dan arus informasi yang semakin kompleks (post truth) negara-negara bisa jadi semakin sulit untuk membangun kepercayaan (trust building) antar satu sama lain. Oleh karena itu, potensi ancaman militer atau setidaknya trend operasi militer besar di luar negeri oleh negara-negara besar nampaknya masih merupakan skenario yang masih harus kita hadapi kedepannya. Sebagai contoh, pandemi virus korona dan berbagai implikasi bawaannya ternyata tidak serta merta menurunkan perhatian dan operasi China dan Amerika Serikat di Laut China Selatan. Walaupun ditengah pandemi virus korona, China terus bergerak untuk memperkuat kekuatannya di Laut China Selatan salah satunya dengan memperkuat kekuatan paramiliternya dan tetap melakukan sejumlah aksi provokatif salah satunya baru-baru ini terjadi ketika kapal survey Haiyang Dizhi 8, yang dikawal oleh kapal Coast Guard China, ke wilayah ZEE Malaysia 337 KM dari pulau kalimantan pada dua pekan lalu (Reuters, 23 April 2020).

“China seeks to move the armed police directly under the command of the Communist Party’s Central Committee as well as the Central Military Commission (CMC), both of which are chaired by President Xi Jinping. It has been under CMC control since 2017. It also sets out the tasks of the paramilitary force, including handling emergency rescues and terrorist attacks, and includes guidance on safeguarding rights, law enforcement, defence and combat at sea, such as scenarios in which weapons can be used.” (Huang, Kristin. 2020).

Disisi lain, SIPRI menyebutkan bahwa pengeluaran militer tertinggi dalam dekade terakir terjadi di tahun 2019 yang dirajai oleh Amerika Serikat yang mengeluarkan dana hingga 732 billion USD untuk military spending (peningkatan 5.3 persen dari pengeluaran sebelumnya) atau setara dengan 38 persen pengeluaran global / global military spending (AFP, 2020). Dan jika kita kembali merujuk pada data yang telah disebutkan diawal, bahwa kurang lebih 60 persen dari budget militer dan pertahanan Amerika Serikat akan ditujukan untuk kawasan Indo-Pasifik. Hal tersebut berarti, pandemi virus korona yang sedang kita hadapi saat ini tidak serta merta mengurangi ambisi dan kepentingan geopolitik dari kedua negara besar tersebut. Pun demikian, pendekatan yang mereka pakai saat ini pun sudah semakin kompleks dan kabur pada saat yang bersamaan -hybrid, greywarfare, grayzone etc.

Fakta diatas juga kembali mengingatkan bahwa bahkan dalam penangan pandemi virus korona, ditengah masih berlangsungnya pandemi ini, pendekatan negara-negara besar tersebut tidak dapat terlepas dari pendekatan dan kepentingan geopolitiknya. Pun demikian, kitapun tidak dapat begitu saja menerima bantuan atau mengolah data dan informasi dari kedua negara tersebut tanpa memikirkan konsekuensi geopolitiknya, no free lunch. Untuk penanganan pandemi ini saja misalnya, mekanisme test dan pengumpulan data kasus positif, apakah itu dengan melakukan test terhadap adanya virus di dalam tubuh kita atau dengan melakukan test antibodi -demikian, ada perbedaan dalam test kit yang digunakan, sangatlah krusial untuk pengambilan keputusan oleh otoritas kesehatan dan pemerintah. Memperlakukan data seolah data yang disajikan tersebut sudah sempurna dapat menciptakan unnecessarily alarm di beberapa tempat, dan the dangerous sense of comfort di tempat lain. Hal tersebut, memicu ketidakpastian dan menjadikan kebijakan yang diambil oleh pemerintah rancuh -terutama di negara demokrasi dimana pemerintah memiliki kekuatan kontrol yang lebih sedikit atas warganya dibandingkan China, sebagai contoh- dan kadang tidak selalu tepat sasaran – besar pasak daripada tiang.

 

  1. Simpulan

Pandemi virus korona merupakan ujian yang berat bagi negara manapun di dunia saat ini. Tidak ada negara yang sudah bisa benar-benar bersiap untuk krisis ini, sekalipun oleh negara maju. Tidak hanya menjadi ujian yang keras bagi sistem dan ketahanan sistem kesehatan dan obat-obatan dunia, pandemi virus ini juga menguji dan berdampak luar biasa terhadap berbagai bidang dan sendi kehidupan masyarakat, sistem ekonomi, sosial dan politk negara dan politik serta ekonomi global. Jikapun demikian, pandemi virus korona ini juga ternyata tidak serta menyurutkan ambisi dan kepentingan geopolitik global negara-negara besar. Sebaliknya, isu pandemi ini seoleh dijadikan alat pengaruh oleh mereka. Pun demikian, Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis dalam dinamika politik dan keamanan internasional ini nampaknya tidak bisa lengah dam harus selalu dengan baik dan komprehensif memperhitungan berbagai aspek dalam setiap pengambilan keputusan. Demikian pula dengan aspek keamanan maritim, misalnya saja di kawasan laut China Selatan, pendekatan yang lebih inovatif dan kreatif juga perlu terus dikembangkan oleh otoritas terkait -TNI Angkatan Laut, BAKAMLA dst.- untuk menghadapi trend potensi ancaman yang semakin kompleks, kabur dan abu-abu (greyzone). Bagi TNI AL, optimalisasi operasi sehari-hari dan pentingnya mencari formulasi baru operasi sehari-hari yang bisa ditawarkan ke atas (bottom-up) untuk upaya tersebut barangkali adalah krusial. Disisi lain, dampak ekonomi dan sosial dari pandemi virus korona ini sangatlah besar dan sulit di prediksi. Ekonomi maritim bisa jadi merupakan salah satu jawaban kunci bagi bangsa Indonesia untuk dapat terus kuat dan bangkit dari dampak virus korona ini, bahkan menjadi sendi utama pembangunan dan ekonomi bangsa jangka panjang. Barangkali, pandemi virus korona ini juga merupakan panggilan keras bagi para ahli, pemikir, pelaku, pembuat keputusan dan pelaksana kebijakan di sektor maritim, dll. untuk dapat segera bergerak memaksimal dan menggarap sengan serius potensi maritim Indonesia. Tidak hanya sekedar “potensi” saja melainkan menjadikan “potensi” tersebut menjadi kenyataan dan diberdayakan.

 

 

Referensi

Kemenkeu RI. 2020. “Konferensi Pers APBN KITA April 2020”. Diakses dari: <https://www.youtube.com/watch?v=HA8s98Unaio>

Polymatter. 2020. “The Poltics of Coronavirus”. Diakses dari: < https://www.youtube.com/watch?v=1Pb01T3Ew4Y&t=282s>).

TIME. 2020. “ Coronavirus : How The COVID-19 Pandemic Will Impact The Global Economy”. Diakses dari :<https://www.youtube.com/watch?v=IgYOzCThIzc>

AFP. 2020. “ Military Spending Surged 19 trillion USD: 2019 Biggest Increase”. Diakses dari: <https://www.scmp.com/news/world/europe/article/3081643/military-spending-surged-us19-trillion-2019-biggest-increase>

DPR RI. 2019. “Penerimaan Negara Sektor Perikanan Masih Minim”. Diakses dari: <http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/25374/t/Penerimaan+Negara+Sektor+Perikanan+Masih+Minim>

Huang, Kristin. 2020. “ China Military: Beijing Seeks to Boost Arms Police Coastguard: Tension Rise in the South China Sea”. Diakses dari: <https://www.scmp.com/news/china/military/article/3081789/beijing-seeks-boost-armed-police-coastguard-tensions-rise-south>

Katadata. 2019. Penerimaan Pajak Sektor Perikanan mencapai 13 Triliun Rupiah”. Diakses dari :< https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/11/agustus-2019-penerimaan-pajak-sektor-perikanan-mencapai-rp-13-triliun >

Rahmadi, Puji. 2019. ”Potensi Kekayaan laut Indonesia Setara 93 Persen Pemasukan APBN 2018”. Diakses dari: <https://www.gatra.com/detail/news/411647/ekonomi/lipi-potensi-kekayaan-laut-indonesia-setara-93-pemasukan-apbn-2018 >

Reuters, 23 April 2020. “Malaysia Urges Peaceful Resolution to South China Sea Stand Off With Beijing”. Diakses dari: <https://www.scmp.com/news/asia/southeast-asia/article/3081234/malaysia-urges-peaceful-resolution-south-china-sea-stand)>

 

 

 

0 0 votes
Article Rating

Heni Sugihartini

View posts by Heni Sugihartini
Heni Sugihartini, lahir di Sumedang 21 November 1993. Tahun 2011 menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Memulai karirnya pada Juli 2016 sebagai staff redaksi dan analis di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM).
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap