CRITICAL REVIEW MENGENAI: PENYELENGGARAAN PERTAHANAN INDONESIA*

1. Latar Belakang

Bukan perkara yang sulit untuk menjelaskan kepada pihak manapun bahwa pertahanan Indonesiamerupakan kepentingan yang paling hakiki sebagai negara yang berdaulat. Begitu pentingnya arti pertahanan sehingga sudah sewajarnya apabila setiap warga negara Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kapasitasnya. Masalahnya sekarang ini ialah, begitu banyak wacana yang berkembang tentang pertahanan, nampaknya ‘kurang’ memperhatikan realita di lapangan. Padahal perumusan strategi pertahanan sudah pasti tidak bekerja di alam yang vakum.[1]

Realita yang dimaksud adalah; (i) kondisi geografis yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan luas laut kurang lebih 5 juta km2 plus ZEEI 3 juta km2, (ii) tidak semua pulau ada manusianya, kecuali  2000-an, dan  perlu  diingat bahwa setiap pulau mempunyai nilai politik, ekonomi, dan stratejik militer, (iii) terletak pada lokasi stratejik dan ‘wajib’ mengakomadasikan kepentingan internasional melalui tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia, (iv)  ada  empat  choke  points[2]  yang  ‘tidak boleh’ terganggu, (v) tiga perbatasan darat dan selebihnya adalah perbatasan laut, (vi) Indonesia diakui oleh hukum laut internasional sebagai archipelagic state, dan last but not least ialah (vii), wilayah Indonesia adalah 2/3 dari luas wilayah Asia Tenggara (baca: ASEAN).

Pada era Soekarno, sejarah memperlihatkan bahwa Indonesiapernah memiliki kekuatan laut yang terkuat di Asia Tenggara, dengan satu flagship kelas penjelajah ringan (light curiser) yaitu RI Irian.[3] Pada era Soeharto pembangunan kekuatan laut juga mendapatkan perhatian meskipun porsinya belum memadai diukur dari luas wilayah dan kebutuhan pertahanan, akan tetapi berada di atasThailand dan Malaysia.

Namun menjelang akhir era tersebut Angkatan Laut ‘dibekali’ alut sista eks Jerman Timur yang teknologinya (1960-an) ketinggalan dari teknologi alut sista (1970-an) yang digunakan oleh ArmadaRI. Kemudian pada era Reformasi, kekuatan laut nyaris paralized oleh karena berbagai kemampuan peperangan laut (naval warfare) sudah tidak memadai lagi. Lihat  saja kemampuan nyata dalam hal peperangan kapal selam dan anti kapal selam, peperangan pernika, peperangan atas air bahkan mulai menjangkau kepada operasi amfibi.

Menghadapi tahun-tahun mendatang, kebutuhan pertahanan aspek laut sudah jelas membutuhkan dana yang sangat besar, paling tidak mendekati satu-dua milyar dolar. Suatu angka yang relatif sulit untuk dijangkau, akan tetapi penulis berpendapat bahwa aspek dana adalah satu dari sekian aspek yang perlu ditinjau. Penataan pertahanan Indonesia, sudah jelas perlu meninjau semua aspek terkait secara gestalt, komprehensif, efektif namun seekonomik mungkin.

Tulisan ini meninjau beberapa aspek, yaitu mengenai paradigma, strategi pertahanan, konstruksi manajemen, pilihan alut sista, dan pandangan ke depan.

2. Paradigma 

Yang pertama, menyangkut orientasi penyelenggaraan pertahanan. Perubahan lingkungan stratejik yang berubah demikian cepat, memaksaIndonesia untuk melakukan penyesuaian pula, yang diawali dengan paradigma. Apabila melihat realita aspek geografis, maka   pertahanan   Nusantara  ini   sudah  sewajarnya  berorientasi ke laut (maritime oriented), bukan berorientasi ke darat (land base oriented). Indikatornya? Ada beberapa indikator yang dapat dikemukakan, yaitu (i) Indonesia belum punya ocean policy, (ii) Indonesia tidak terlalu pusing dengan pengamanan perbatasan laut, (iii) meskipun 2/3 wilayah Asteng adalah wilayah Indonesia, akan tetapi tidak memiliki kekuatan laut sekuat Malaysia dan Thailand, (iv) satu aset nasional yang tugas pokoknya adalah keselamatan, keamanan pelayaran, dan proteksi lingkungan, yaitu Kesatuan Penjaga Pantai dan Laut (dapat dibaca: Indonesian Coast Guard) sekarang ini nyaris ‘dilumpuhkan’ dan tidak berfungsi, (v) penjabaran UNCLOS 1982 ke berbagai perangkat hukum nasional, nyatanya kurang intens.

Indikator-indikator tersebut, berada pada tataran stratejik, padahal masih banyak lainnya yang berada pada tataran taktis operasional.[4] Memang tidak mudah untuk mengubah (to switch)  paradigma pertahanan yang sudah mapan selama tiga dekade lebih, akan tetapi realita di lapangan memerlukan langkah penyesuaian yang konkrit.

Yang kedua, mengenai dimensi pertahanan. Penyelenggaraan pertahanan Nusantara ini, pada kenyataannya dilaksanakan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi politik, hukum, dan secara fisik di lapangan. Ruang lingkup dimensi politik/diplomatik adalah menyelenggarakan influence building, mutual trust and confidence, dan seterusnya, yang dikembangkan kepada pihak luar. Tujuannya ialah mewujudkan atmosfir yang kondusif (circumstance) untuk bekerjanya kepentingan nasional Indonesia, mulai dari vital interest sampai pada peripheral interest.  Ruang lingkup dimensi hukum, adalah memagari kepentingan Indonesia secara hukum[5], dan sadar atau tidak, hanya dimensi inilah yang bekerja selama dua puluh empat jam sepanjang tahun dan mampu meng-cover segenap aset dan kepentingan nasional.

Kemudian ruang lingkup dimensi fisik di lapangan adalah semua kegiatan negara yang bekerja dilapangan sesuai dengan kapasitas masing-masing, misalnya bidang pertahanan, keamanan publik, kehakiman, keuangan, kesehatan, lingkungan, dan sebagainya. Pada dasarnya ketiga dimensi tersebut sudah eksis meskipun kemampuannya masih perlu ditingkatkan lagi. Masalahnya ialah belum ada ‘benang merah’ yang solid antar ketiga dimensi tersebut. Malahan tidak jarang ada komplikasi antar satuan operasional, dan pasti ‘sangat’ menguntungkan pihak lain.

Yang ketiga, adalah menyangkut substansi penyelenggaraan pertahanan, pada dasarnya menyangkut empat masukan, yaitu politik penyelenggaraan pertahanan, ekonomi untuk mendukung penyelenggaraan pertahanan, kekuatan militer yang akan melaksanakan tugas operasional, dan perangkat hukum untuk penyelenggaraan pertahanan (yang dapat dijabarkan sampai aturan pelibatan). Tidak sulit bagi penulis untuk mengungkapkan bahwa politik pertahanan Nusantara ini, sepertinya tidak begitu jelas. Memang banyak pihak mengangkat wacana mengenai pertahanan abad 21, dan sebagainya, akan tetapi sedikit sekali yang mau bicara tentang politik pertahanan.

Kecuali memegang patokan bahwa Indonesiamenganut faham bebas aktif, defensif, non blok, akan tetapi perlu disadari bahwa di dalam dunia nyata, sudah jelas tidak demikian. Contohnya, di kawasan Asia Tenggara ada pakta militer Five Power Defense Arrangement (Australia, Malaysia, New Zealand, Singapore, UK), dan pada sisi lain ASEAN mempunyai ZOPFAN dan SEA_NWFZ. Bagaimana politik pertahanan Indonesia?  Dalam bidang ekonomi pertahanan (defense economics), memang sangat sedikit pakar dalam bidang ini dan jarang pula wacananya, akan tetapi aspek ini perlu ditinjau secara proporsional. Tujuannya ialah pembangunan kekuatan pertahanan, dan terutama untuk mewujudkan war fighting capability, dapat dirancang dengan cermat. Begitu pula perkiraan kontinjensi, dapat dialokasikan dengan rasio yang ’mendekati’ kenyataan. Konsepnya adalah memperkecil peluang penggunaan ‘model’ pemadam kebakaran, atau bentuk dadakan lainnya, oleh karena disana ada peluang bocornya uang negara yang relatif sulit untuk ditakar.

3. Strategi Pertahanan

Sepertinya, di sepanjang sejarah penyelenggaraan pertahanan, Indonesiatidak pernah kekurangan wacana untuk merumuskan strategi penyelenggaraan pertahanan, baik pada masa lalu dan apalagi pada masa mendatang. Lalu, apa signifikannya penulis mengangkat isu ini?  Argumentasi pertama didasarkan kepada realita, bahwa Dephan belum dapat (baca: mampu) menyusun strategi pertahanan yang benar dan tepat. Kelemahan tersebut disebabkan oleh faktor eksternal dan intenal. Faktor eksternal ialah (i) rumusan kepentingan nasional (what we want) untuk jangka lima tahun tidak begitu konkrit, sehingga persepsi ancaman yang disepakati oleh bangsa ini nampaknya tidak konkrit, (ii) pemahaman ruang lingkup pertahanan dan keamanan, tidak dikembangkan secara benar, lagi pula sudah tertuangkan ke dalam perangkat hukum yang ‘membenarkan’ mispersepsi tersebut, (iii) atmosfir politik era Reformasi masih ‘alergic’ terhadap semua perkara yang terkait dengan militer, dan ada kecenderungan untuk mempolitisasi  bidang ini untuk kepentingan pihak tertentu, (iv) ada pula pihak luar yang memang tidak menginginkan Indonesia memiliki ‘mesin’ pertahanan yang  memadai.

Faktor internal menyangkut beberapa hal, antara lain (i) tidak konkritnya national interest berakibat pada perumusan defense interest tidak dapat dijabarkan dengan baik, (ii) tidak ada ‘divisi’ intelijen pertahanan, yang mutlak dibutuhkan untuk mendisain strategi pertahanan Nusantara ini. Pada sisi lain, ada pihak yang menganggap intelijen militer sama dengan intelijen pertahanan. (iii) kualitas SDM yang mengawaki Dephan belum memadai dan merata pada semua lini (politik-ekonomi-ops-hukum). Sebagai pembanding, Dephan di luar banyak menggunakan SDM yang menyandang master of defense, master of defense administration, pakar dalam bidang defense economics, dsb, yang digunakan secara merata pada semua lini. Memang benar bahwa pada era Reformasi ternyata menghasilkan ‘pakar pertahanan’, akan tetapi latar belakang mereka adalah bidang politik, hukum, sosiologi, psikolog, bahkan ada yang hanya berbekal ketrampilan bicara, namun semuanya itu sah-sah saja.

Seyogyanya, masukan ‘para pakar pertahanan’ tersebut janganlah keluar dari koridor kepakaran mereka dan menyentuh aspek operasional, oleh karena pada domain pertahanan ada kaidah-kaidah keilmuan yang berlaku (terutama dalam matra laut). Situasinya akan menjadi ‘lain’ apabila, masukan-masukan yang awam dalam domain pertahanan ‘dapat disisipkan’ pada kebijakan nasional bidang pertahanan.

Kembali ke materi diskusi, strategi pertahanan. Memang benar bahwa banyak school of thought yang mengajarkan mengenai strategi, dan lebih menjurus lagi pada strategi militer. Untuk kebutuhan diskusi, penulis mengangkat suatu konsep DR Richmond Llyod yang menjadi acuan sejak tahun 1980-an dan masih valid sampai saat ini.[6]

Diagram no.1

Diagram tersebut, bukan barang baru bagi sebagian ‘arsitek’ pertahanan Nusantara, malahan banyak juga para ‘selebriti pertahanan’ yang mengacu pada pikiran DR. Lloyd tersebut. Misalnya saja mereka berbicara mengenai jumlah alut sista, angka anggaran belanja, bahkan ada yang nyerempet bicara teknologi. Akan tetapi pihak-pihak tersebut tidak menyimak konsep tersebut secara utuh. Padahal DR. Lloyd meninjau semua aspek mulai dari kepentingan nasional (what we want) dalam kurun waktu tertentu, yang dijabarkan dalam tiga aspek yaitu politik, ekonomi, dan militer, sampai pada available forces.

Kelemahan berikutnya ialah (i) pada kolom kiri yang membicarakan ancaman, di sanatidak hanya meraba spektrum ancaman akan tetapi ‘wajib’ juga meninjau tantangan dan peluang. Malahan ada wacana yang melihat dengan kaca mata risk and opportunity, dan mampu dijabarkan di dalam program pembangunan kekuatan, (ii) pada kolom kanan, sepertinya nyaris tidak di tinjau dan terkesan ‘sengaja’ dihindari. Apakah benar bahwaIndonesia dengan politik bebas aktif dan prinsip non blok, mampu mandiri untuk berhadapan dengan lingkungan stratejik?  Barangkali  dengan pertanyaan  yang lebih konkrit, misalnya dalam kasus Ambalat, siapa saja yang ‘dapat’ disebut kawan kita? Barangkali, kalangan intelijen dan logistik yang paham betul apa artinya kawan.

4. Manajemen  Pertahanan 

Sangat wajar apabila ada pihak yang mempertanyakan, ada apa lagi dengan manajemen pertahanan?  Diskusinya memang akan sangat kritis, sehingga perlu rujukan dan tentunya berangkat dari kepala jernih. Perangkat hukum yang sudah berlaku yaitu UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No.34/2004 tentang TNI, mengandung amanah yang ruang lingkupnya sangat luas. Terlepas dari beberapa kelemahan yang intrinsik di dalam perangkat hukum tersebut, tetapi di sanasudah tersurat maupun tersirat suatu konsep konstruksi manajemen pertahanan.[7]Ada penggarisan yang menentukan pihak mana selaku pembuat kebijakan (Menhan), pihak yang mana pula selaku pelaksana kebijakan tersebut (Panglima TNI), dan ke mana jalur pertanggungan jawab pelaksanaan kebijakan tersebut (kepada Presiden).

Nampaknya, konstruksi manajemen pertahananIndonesiatidak mengikuti model yang lazim dipraktikkan oleh negara lain. Di luarsana, misalnya di AS,Inggris,Australia, adalah pihak Menhan sebagai  pihak  pemegang  otoritasdan bertanggung jawab dalam bidang pertahanan negara. Singkatnya—Menhan memikul tanggung jawab kinerja bidang pertahanan!!

Dalam bidang logistik (dalam arti luas), masih banyak kelemahan di sanasini, misalnya mengenai pembinaan potensi pertahanan yang berada di luar atap Dephan. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa ‘wibawa’ yang melekat pada UU No.3/2002 dan UU No.34/2004 tidak menjangkau pihak lain. Bahkan ada beberapa perangkat hukum lainnya yang tidak senafas dengan perangkat hukum pertahanan yang mengatur, mengarahkan, dan memberdayakan potensi nasional untuk sinergi menjadi kekuatan pertahanan. Adaruang untuk berbenturan dengan pihak lain yang juga mengemban amanah dari undang-undang tertentu. Peta kepentingan dan probalitas benturan dengan pihak-pihak lain, ada baiknya dilihat secara makro. Sebagai ilustrasi, makalah ini meng-ungkapkan peta kepentingan dalam bentuk matriks yang menggunakan pendekatan konflik.[8] 

Matriks no.1

Suatu realita bahwa dukungan logistik untuk kepentingan penyelenggaraan pertahanan bersumber dari potensi nasional, artinya—sebagian besar berada diluar atap Dephan. Misalnya mengenai rekrutmen dan pembinaan sumber daya manusia (SDM), sudah jelas banyak kaitannya dengan pihak-pihak lain. Contoh lain, logistik operasional dan logistik wilayah, juga sangat dipengaruhi oleh ‘kemurahan’ pihak lain. Apabila logistik wilayah di tuangkan kelapangan, disanaada 440-an kabupaten dankota, yang ‘membentengi’ dirinya dengan wibawa otonomi daerah.

Situasinya akan berbeda apabila konstruksi manajemen penyelenggaraan pertahananan berada dalam satu bangunan yang konkrit, dengan otoritas yang jelas pula. Konsepnya sederhana yaitu—satu  pintu, berhadapan dengan ‘pintu-pintu’ lainnya. Konsep tersebut mengisyaratkan satu persyaratan pokok yaitu kualitas SDM yang profesional. Apabila merujuk pada pikiran DR. Lloyd maka tuntutannya ialah SDM yang profesional merata pada semua lini (lihat Diagram no.1). Sejauh ini, kepentingan tersebut sepertinya tidak ditinjau secara kritis barangkali karena ‘tidak sampai hati’. Satu contoh, Strategic Defense Review 2004—sepertinya tidak (mau) mengukur kinerja aktual, dan cenderung ‘mengajarkan’ tertib penggunaan anggaran. Akibatnya, siklus permasalahan mungkin akan berputar kembali.  Perlu kelugasan dengan pikiran yang jernih untuk memperkuat otoritas dan sekaligus menata, mengisi konstruksi manajemen pertahanan (3 matra dan pendukungnya) tentunya dengan melihat semua realita yang berlaku.

5. Pemilihan Alut Sista 

Adalah porsi Dephan untuk merancang postur ‘mesin’ pertahanan Indonesia yang komposisinya terdiri dari rangkaian alut sista tiga matra. Bukan rahasia lagi bahwa pengadaan dan perawatan alut sista, adakalanya diatur oleh rekanan dan ada juga oleh ‘pihak lain’. Semuanya boleh-boleh saja dengan catatan, tidak merugikan (dalam semua aspek) kinerja mesin pertahanan.

Bagi pihak Dephan, tentunya punya kriteria pemilihan alut sista, tetapi   nampaknya   ada kiat ‘potong kompas’ artinya tidak meninjau secara cermat semua aspek yang terkait dengan pemilihan alut sista. Banyak persyaratan yang wajib diperhatikan oleh karena pemilihan alut sista, sama dengan mempertaruhkan pertahananan NKRI untuk sekian tahun. Begitu juga dengan pilihan untuk perawatan dan perbaikan, perlu mengacu pada acuan yang baku.  Sarannya adalah merumuskan acuan yang baku(dan reliable) menjadi rujukan bersama, bersifat mengikat, dan ada sanksinya. Pada kesempatan ini, pihak penulis ingin menyampaikan (sekedar refreshing) diagram mengenai pemilihan alut sista.

      Diagram no.2

Ada beberapa masukan (barangkali tidak popular) yaitu pada kolom kiri. Mulai dengan manajemen konflik. Logikanya, apabila kita tidak kuat berkelahi maka hindari perkelahian. Begitu pula dengan konsep manajemen konflik, maksudnya akan lebih ekonomik apabila upaya manajemen konflik di konsentrasikan pada tahap preventing measures. Tentunya situasinya akan menjadi lain apabila upaya pada tahap ini tidak berhasil. Akan tetapi moda preventing measures, banyak dikembangkan oleh pihak-pihak lain (baca: lemah), dan biayanya jauh lebih murah. 

Dalam bahasa politik adalah preventive diplomacy, dalam bahasa pertahanan adalah deterrence, dan di lingkungan Angkatan Laut mengenal satu lagi moda lainnya yaitu naval diplomacy. Barangkali saja, akan ada komentar tentang deterrence yang memang sudah sangat akrab dengan kalangan militer, akan tetapi realita di lapangan memperlihatkan bahwa, tidak ada pihak yang gentar dengan postur militerIndonesia. Jangankan yang pihak militer, kapal ikan asing pun tidak gentar!

Lalu mengenai ancaman, begitu rajinnya mencermati spektrum ancaman sehingga menemukan ada 139 ide ancaman[9] yang dapat berlaku di Nusantara ini. Bicara Nusantara tentunya dengan memperhatikan luas perairannya 8 juta km2 dan 17.508 pulau. Bagaimana  mengamankannya?  Alut  sista  seperti  apa  yang diperlukan?  Hal yang ketiga pada kolom tersebut adalah teori perkelahian, sepertinya teori ini kurang dicermati oleh ‘pihak-pihak tertentu’ untuk menentukan kriteria alut sista. Bisa saja mereka-mereka itu kurang paham atau memang sengaja mengabaikannya.

Pada kolom kanan, ada dua catatan. Pertama, mengenai trouble spots. Mudah sekali untuk menunjuk satu atau dua trouble spots, tetapi tingkat trouble-nya tidak diungkapkan. Apakah trouble spots di dalam kerangka inter-state conflict atau yang mana, dan seberapa intens derajat ‘perkelahian’ di sana. Penentuan kriteria trouble spot sudah jelas akan mempengaruhi struktur kekuatan alut sista yang akan digunakan. Catatan yang kedua ialah mengenai Measures of Effectiveness (MoE) dan Cost and Benefit Assessment (CBA), janganlah diabaikan karena point ini sudah jelas sangat banyak manfaatnya.

Pada kolom bawah, ada warna merah pada aspek politik yang menandakan bahwa bidang ini sangat besar pengaruhnya. Di sini bicara banyak hal yang terkait dengan alut sista, misalnya embargo, naval arms control, disarmament, dan seterusnya yang kesemuanya perlu dicermati. Akan tetapi jangan pula mengabaikan tiga aspek lainnya. Pengadaan alut sista dengan berpaling keChina, atau ke Polandia, atau kemana saja, aspek politik memang dominan, akan tetapi  tiga  aspek  lainnya tidak  kalah penting. Mengapa demikian?

Komponen dasar alut sista adalah sensing, mobility, fire power, dan C4ISR[10], Kondisi faktual memperlihatkan bahwa masyarakat internasional (maksudnya kalangan pertahanan dan militer), mengetahui dengan jelas, produsen mana yang menonjol kualitasnya pada keempat bidang tersebut. Misalnya saja, pihak mana yang unggul dalam teknologi pengindraan, atau pada teknologi fire power, dan seterusnya. Barangkali, pilihan alut sista yang lolos-uji dari empat aspek di dalam kriteria pemilihan alut sista, tidak akan banyak alternatifnya yang tersedia tetapi bukan berarti tidak ada jalan keluar.

6. Ke Depan

Ada tiga points yang ingin dikemukakan di sini, yaitu (i) pemahaman mengenai ancaman (threat perception), (ii) upaya untuk mengatasinya (the way to response), (iii) sketsa permasalahan dan konsepsi penanganannya.

1. Pemahaman mengenai ancaman

Mengacu pada SDR 2004 Dephan, konon ada 139 ide tentang ancaman (imminent loss), dan tidak mustahil variannya akan bertambah lagi apabila dikembangkan diskusi yang lebih intensif. Wajar-wajar saja, akan tetapi harus dalam kerangka pemahaman nasional mengenai sosok ancaman (imminent, close, remote).

Ancaman adalah realita yang akan dihadapi sehingga perlu kesepakatan nasional yang konkrit bahwa pada kurun waktu ini (misalnya—limatahun ke depan), sosok ancaman apa yang akan berlaku. Tentunya sangat sulit bagi satuan operasional untuk melakukan persiapan dan gelar kekuatan apabila tidak ada keputusan otoritas sipil. Pada kesempatan ini, makalah ini menggunakan penggunaan pendekatan konflik untuk menjabarkan varian ancaman ke dalam bentuk matriks sebagai berikut;

Matriks. No.2

Matriks tersebut, sedikit banyak akan membantu di dalam diskusi dan juga di dalam hal penyiapan kekuatan dan dukungan logistik. Akan tetapi konsep tersebut memerlukan pemikiran yang jernih dan lugas. Misalnya kalau ada pemberontakan, katakanlah pemberontakan. Kalau ada gerakan separatis, kataka nlah dengan tegas separatis, dan tidak perlu diperhalus dengan istilah lainnya misalnya gerakan pengacau keamanan. Begitu pula kalau ada kegiatan subversif, katakanlah subversif, kalau ada sabotase, katakan apa adanya. Dampaknya akan sangat berpengaruh didalam penanganannya, dan bisa membingungkan diri sendiri, apalagi dengan pihak luar.

Belakangan ini sudah berkembang ‘ancaman’ model baru, muncul dalam bentuk bantuan kemanusiaan (humanitarian intervention) yang dipackaging dalam format politik dengan tema responsible to protect. Tidak ada jalan lain bagi Indonesia kecuali bersiap secara politik, penyiapan perangkat hukum (code of conduct dan standard operating procedures), dan kesiapan operasi di lapangan (secara fisik lengkap dengan rule of engagement).

2. Upaya untuk mengatasi

Lazimnya, upaya untuk mengatasi semua bentuk ancaman, dituangkan dalam bentuk strategi, dan core business-nya menyangkut tiga hal, yaitu deterrence, defense in depth, protracted war. Ada diskusi mengenai ketiga konsep tersebut, muncul dalam bentuk pertanyaan—pertama, apakah strategi penangkalan yang dikembangkan selama ini bekerja secara efektif? Yang kedua, struktur kekuatan seperti apa yang di siapkan untuk menata pertahanan mendalam? Yang ketiga, daerah (baca: pulau besar) mana yang akan disiapkan sebagaimedan perang berlarut? Mudah mengatakannya akan tetapi tidak mudah untuk dikembangkan, oleh karena strategi perlu didukung dengan kesiapan dan persiapan dalam semua lini. Katakanlah mulai dari persetujuan otoritas sipil, landasan hukum, pilihan perangkat operasional (alut sista), latihan dan dukungan logistik wilayah, dana dan seterusnya.

Masukan berikutnya ialah perlu strategi untuk mengatasi intra-state conflict, trans-national crime, dan penanganan bencana alam. Barangkali diskusi dalam bidang ini tidak akan berjalan ‘mulus’ oleh karena ada masalah politik, masalah hukum (baca: rebutan lahan), dan preferensi masyarakat.

Akan tetapi masalah keamanan nasional tidak boleh diambangkan, perlu kepastian politik dan hukum yang bersifat mengikat. Sementara itu pihak Dephan perlu mengembangkan inisiatif untuk mengisi kesenjangan yang berlaku, dan dituangkan dalam bentuk Nusantara Defense Grand Strategy (hanya sekedar nama).

3. Sketsa permasalahan dan konsepsi penanganannya

Bertolak dari diskusi yang dikembangkan pada makalah ini, permasalahan nasional dan konsepsi penanganannya, dapat dituangkan dalam bentuk matriks sebagai berikut;

Matriks no. 3

Perangkat operasional untuk mendukung pertahanan yang masih operasional dapat dapat diandalkan, relatif sangat terbatas dan hanya yang itu-itu saja. Kondisi tersebut mengisyaratkan kepada ‘arsitek’ pertahanan bahwa penggunaannya perlu mengedepankan prinsip prioritas, efektif, dan ekonomik.  Di lapangan ada masalah Masalah Ambalat, Selat Malaka, ALKI  Timur, Papua, perbatasan Australia, ada pula aspirasi referendum di Sangihe-Talaud, kesemuanya memerlukan atensi dan prioritas. Masalahnya akan lebih mudah disikapi apabila bertolak dari pikiran jernih, lugas, dan konsepsi yang tepat pula.

7. Penutup

Adalah pekerjaan seluruh jajaran pertahanan untuk berkonsentrasi pada seluk beluk berperang, bagaimana menyiapkan strategi perang, menyelesaikan konflik bersenjata, dan sebagainya, yang intinya adalah perang dan perang.  Akan tetapi perkembangan belakangan ini, nampaknya masyarakat global mulai vocal bicara perdamaian dunia (Agenda for Peace) dan pada Global Summit 2005 ada kesepakatan untuk mengusung tema Development. Aktualisasinya dikembangkan dengan menggelar berbagai kampanye mengenai arti pentingnya stabilitas keamanan dan perdamaian dunia (peace and security).

Melihat gelagat perkembangan tersebut, tentunya mudah untuk dimengerti bahwa muatan politik di panggung dunia sangat kental bernuansa penataan perdamaian. Intinya ialah bahasa politik dunia ialah bagaimana menata damai dan damai. Apabila demikian halnya maka, Indonesia-pun harus siap pula dengan konsep-konsep bagaimana menata stabilitas perdamaian kawasan Asia Tenggara. Sepertinya wacana ini tidak begitu laris dan diminati oleh banyak pihak, akan tetapi makalah ini berpendapat bahwa gagasan tersebut diperlukan dan diharapkan menjadi bagian dari Defense Grand Strategy. Bicara damai dan damai bukan berarti mengenyampingkan bicara perang dan perang. Masukan yang ingin dikemukakan pada makalah ini ialah jajaran Dephan perlu juga mengembangkan wacana dan konsep-konsep menata perdamaian dan stabilitas keamanan, dalam satu paket yang komprehensif (inward and outward looking).

Semoga bermanfaat.

Jakarta,10 November  2005

* Bahan diskusi dengan GubernurLemhannasRI.

[1] TILL, Geoffrey. “MARITIME  STRATEGY AND THE NUCLEAR  AGE,  St Martin Press, 1982.
[2]Ada sembilan choke points yang sangat stratejik didunia yaitu Selat Bab El Mandeb, Selat Hormuz, Selat Gibraltar, Terusan Suez, TerusanPanama, Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok, dan selat Ombai-Wetar.
[3] Pada waktu itu Angkatan Laut Republik Indonesia Indonesia memiliki kapal kelas cruiser, destroyers, frigates, corvette, armada kapal selam, dan naval air wing (fixed wing dan rotary wing). Capital ships sekarang ini bertumpu pada frigate yang sudah tua dan corvette yang sudah tua pula.
[4] Salah satu contoh, semula masyarakat (termasuk sebagian kalangan birokrat dan politisi mengira bahwa Ambalat adalah suatu daratan atau pulau dan siap berjibaku kesana. Akan tetapi sewaktu menyadari bahwa Ambalat adalah air atau laut, semangat patriotik sepertinya berubah menjadi ‘lain’.
[5] Pandangan ini tidak popular di masyarakat awam termasuk di kalangan TNI, oleh karena tidak melihat peluang untuk memanfaatkan wibawa kedua lembaga peradilan internasional yaitu International Court of Justice dan International Criminal Court, tidak juga memperhitungkan manfaat Majelis Sidang Umum PBB.
[6] NavalWarCollege—“Strategy and Force Planning”-1996
[7] Lihat UU no 3/2002 tentang Pertahanan Negara, pasal 16-18.
[8] Alasan penggunaan pendekatan konflik adalah lebih realistik dari pada pendekatan ancaman, oleh karena kondisi obyektif yang berkembang dimasyarakat memperlihatkan bahwa persepsi ancaman bangsaIndonesia belum memiliki acuan yang sama.
[9] Departemen Pertahanan RI, Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan: Kaji Ulang Strategis Sistem Pertahanan (STRATEGIC DEFENSE REVIEW) 2004. Hal. 24.
[10] Singkatan dari Command Control Communication Computer Intelligence Surveillance Reconnaissance.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap