Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Konteks strategis menunjukkan bahwa isu keamanan maritim semakin penting dalam keamanan global, karena tantangan yang muncul dari isu tersebut dapat mempengaruhi stabilitas politik, ekonomi dan keamanan internasional. Oleh karena itu, penanganan terhadap tantangan keamanan maritim harus dilakukan secara komprehensif, comply terhadap hukum internasional dan sekaligus berbasis pada cost effectiveness. Menghadapi tantangan demikian, tidak sedikit negara yang melakukan restrukturisasi aktor keamanan maritim melalui penyederhanaan aktor, selain penataan ulang strategi keamanan maritim itu sendiri.
Jauh sebelum era globalisasi, praktek tentang penanganan keamanan maritim yang berbasis pada cost effectiveness telah dilaksanakan di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari diterbitkannya Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO), Staatsblad 1939 No. 442 ketika Indonesia masih menjadi jajahan Belanda. Dalam ordonansi itu, kewenangan di bidang keamanan dan keselamatan pelayaran di Indonesia diberikan kepada Angkatan Laut dan Jawatan Pelayaran. Hingga saat ini, TZMKO 1939 masih berlaku sebagai undang-undang yang sah di Indonesia (kecuali pasal tertentu).[i]
Namun sangat disayangkan seiring dengan berjalannya waktu, terdapat inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam penanganan keamanan dan keselamatan maritim. Akibatnya, ada mismanajemen dalam keamanan maritim di Indonesia yang justru kian memprihatinkan di era reformasi. Tulisan ini akan membahas tentang pentingnya eksistensi Coast Guard dan penataan ulang manajemen keamanan maritim di Indonesia.
2. Pemerintahan Di Laut
Tidak bisa dinafikan, isu keamanan maritim tidak saja melibatkan institusi militer (Angkatan Laut), namun juga berbagai lembaga sipil. Penting untuk dipahami bahwa dalam penanganan keamanan maritim secara global, tidak dikenal adanya dikotomi antara sipil dan militer. Pelibatan instansi sipil dalam bukan karena ketidakmampuan Angkatan Laut, namun disebabkan adanya aspek-aspek dalam keamanan dan keselamatan maritim yang secara teknis tidak berada dalam yurisdiksi Angkatan Laut. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang aneh bila di banyak negara terdapat organisasi Coast Guard yang bertugas dalam bidang keamanan dan keselamatan pelayaran dengan nama yan kadang berbeda, namun fungsinya sama.
Pasca serangan 11 September 2001, isu keamanan maritim menjadi hirauan banyak pihak. Antara lain karena terdapat dua preseden serangan terorisme maritim sebelum tanggal tersebut, yaitu serangan terhadap USS Cole di pelabuhan Yaman pada 12 Oktober 2000 dan MV Limburg di perairan Yaman pada 6 Oktober 2002. Pada sisi lain, negara-negara maju melihat bahwa keamanan maritim di sekitar choke points dunia juga rawan terhadap ancaman dan tantangan keamanan maritim, termasuk di Selat Malaka.
Terkait hal tersebut, pihak internasional seperti IMO menekankan pentingnya peran instansi sipil untuk menjaga keamanan maritim. Meskipun Angkatan Laut secara universal mempunyai peran konstabulari, namun ada tuntutan yang kuat terhadap peran instansi sipil. Hal tersebut selaras dengan berbagai aturan di bidang keamanan dan keselamatan maritim seperti UNCLOS 1982, SOLAS, ISPS Code, SUA Convention, SUA Protocol, SAR Convention dan lain sebagainya, mengarah pada institusi sipil yang secara luas dikenal sebagai Coast Guard.
Meskipun tidak semua negara menamakan institusi sipil yang menangani keamanan maritimnya sebagai Coast Guard, namun sangat jelas ada perbedaan fungsi antara Coast Guard dengan institusi lain seperti Polisi Perairan, Bea dan Cukai dan lain sebagainya. Salah satu cirinya adalah institusi tersebut merupakan wakil negara sekaligus pengemban fungsi-fungsi pemerintahan di laut sebagaimana diamanatkan oleh hukum nasional dan internasional. Fungsi-fungsi dimaksud di antaranya mencakup pertolongan di laut, pengaturan navigasi, kelaiklautan wahana laut, penanganan polusi laut, keamanan maritim dan perlindungan sumber daya laut.
Meskipun secara universal Coast Guard merupakan institusi sipil, namun ada perkecualian seperti di Amerika Serikat. Negara adidaya itu sejak abad ke-19 telah mempunyai cikal bakal Coast Guard, yang di abad ke-20 dikategorikan sebagai satu dari lima dinas militer dan berada di bawah Departemen Pertahanan. Bila di negara lain Coast Guard berstatus militer pada masa perang, di Amerika Serikat organisasi tersebut berstatus militer apapun kondisi keamanan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di Asia Pasifik, beberapa negara telah mempunyai Coast Guard, baik yang menggunakan nama tersebut maupun tidak. Seperti India dengan Indian Coast Guard, Malaysia dengan Maritime Enforcement Agency, Filipina dengan Philippine Coast Guard dan Jepang dengan Japan Coast Guard. Adapun negara-negara lain belum mempunyai organisasi tersebut atau setidaknya fungsi-fungsi Coast Guard tersebar pada sejumlah instansi yang berbeda-beda.
Indonesia melalui ditetapkannya TZMKO 1939 secara hukum mempunyai Coast Guard, karena fungsi-fungsi tersebut dilaksanakan oleh Jawatan Pelayaran. Namun sangat disayangkan, kewenangan menjalankan fungsi pemerintahan di laut oleh Jawatan Pelayaran yang di masa kini bertransformasi menjadi Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) mengalami hambatan dalam beberapa dekade terakhir karena lahirnya perundang-undangan sektoral yang tidak mengacu kepada TZMKO 1939. Dampaknya, selain membuat manajemen keamanan maritim tidak tertata degnan baik, juga terkesan “membatasi” fungsi Ditjen Hubla sebagai wakil negara di laut. (Lihat tabel di bawah)
Tabel Perbandingan Fungsi Coast Guard
3. Eksistensi Bakorkamla
Sebagai akibat dari tidak adanya sinkronisasi kebijakan perundang-undangan yang terkait dengan laut, sekarang setidaknya ada 12 instansi yang beroperasi di laut berdasarkan 10 dasar hukum yang berbeda-beda. Dari 10 instansi tersebut, sesungguhnya hanya ada dua instansi yang mempunyai kewenangan di laut bila mengacu pada UNCLOS 1982 dan peraturan internasional di bidang maritim lainnya. Sisanya merupakan instansi yang basis alamiahnya di daratan dan tak mempunyai keterkaitan langsung dengan laut.
Dikatakan demikian karena secara yuridis rezim hukum di darat tidak mutlak sama dengan rezim hukum di laut, sehingga tidak secara otomatis hukum yang berlaku di darat berlaku pula di laut. Penting untuk dipahami bahwa rezim hukum laut menganut bendera kapal sebagai subyeknya, bukan warga negara. Kondisi demikian sejak dahulu telah menimbulkan tumpang tindih kewenangan pemerintahan di laut, terlebih dalam kondisi kekinian di masa respon terhadap ancaman dan tantangan keamanan maritim dibutuhkan secara cepat dan terpadu.
Pemikiran bahwa manajemen keamanan maritim yang demikian tidak menguntungkan Indonesia bukan tidak disadari. Tidak sedikit gagasan dan konsep ditawarkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, untuk menata manajemen keamanan maritim yang comply pada hukum internasional dan sekaligus berbasis cost effectiveness. Konvergensi dari gagasan tersebut adalah adanya suatu instansi sipil tunggal yang bertanggung jawab terhadap masalah keamanan dan keselamatan maritim, yang di masa darurat maupun perang dapat menjadi kekuatan pengganda bagi Angkatan Laut.
Terciptanya konvergensi tersebut tidak lepas dari lessons learned kegagalan Bakorkamla yang dibentuk berdasarkan keputusan bersama Menteri Hankam/Pangab, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung pada 1972. Bakorkamla tersebut tidak efektif ketika Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan pemisahan Polri dari ABRI, yang disusul dengan klaim sepihak Polri bahwa keamanan nasional, termasuk keamanan laut, adalah kewenangannya. Selain itu, Bakorkamla 1972 merupakan suatu badan ad hoc yang tidak menghilangkan kewenangan sektoral masing-masing instansi yang tergabung di dalamnya.
Namun sangat disayangkan bahwa kegagalan Bakorkamla 1972 sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi pihak tertentu. Dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas Bakorkamla, maka dibentuk Bakorkamla baru melalui Peraturan Presiden No.81 Tahun 2005. Eksistensi Bakorkamla versi Perpres dalam kenyataannya tidak berkontribusi banyak terhadap peningkatan keamanan maritim di Indonesia, justru memperumit manajemen keamanan maritim itu sendiri.
Memang betul bahwa bila dihitung sejak 2004, hingga 2007 terjadi peningkatan keamanan maritim di Indonesia yang diakui oleh masyarakat internasional. Namun hal itu tercipta bukan karena kinerja Bakorkamla, tetapi kinerja aktor-aktor lainnya khususnya TNI Angkatan Laut. Ada baiknya untuk dipahami bahwa indikator keamanan maritim bukanlah seberapa besar potensi kerugian negara yang dapat diselamatkan, tetapi seberapa aman dan nyaman para pengguna melintasi perairan yurisdiksi Indonesia. Untuk menilai hal tersebut, pihak yang paling berkompeten untuk menentukan aman tidaknya adalah para pengguna.
Eksistensi Bakorkamla versi Perpres tidak akan efektif menangani keamanan maritim di Indonesia. Mengacu pada Perpres No.81 tahun 2005, pada Pasal 3 dinyatakan bahwa lembaga itu mempunyai tugas di bidang koordinasi keamanan laut. Akan tetapi dalam prakteknya, ada kesan kuat Bakorkamla berupaya memposisikan dirinya sebagai aktor operasional dan seolah-olah ”berada” di atas instansi-instansi lain. Padahal instansi-instansi lain mempunyai kewenangan di laut berdasarkan undang-undang, sementara dasar hukum Bakorkamla adalah Perpres.
Sebaliknya, eksistensi Bakorkamla justru membuat kian kompleksnya manajemen keamanan maritim karena kini ada 13 instansi yang mempunyai kewenangan di laut. Artinya dibutuhkan 13 strategi untuk menangani isu tunggal, yaitu keamanan maritim. Menggunakan pendekatan manajemen dan nalar, adanya 13 strategi untuk mencapai satu tujuan yang sama sudah pasti merupakan sesuatu hal yang sangat membingungkan.
Memperhatikan kondisi di lapangan, ada kesan bahwa instansi-instansi yang berada dalam koordinasi Bakorkamla tidak sepenuh hati mendukung lembaga tersebut. Selain karena hirarki dasar hukum yang berbeda, juga karena tercipta kesan kuat bahwa Bakorkamla berupaya ”mengambil alih” kewenangan sektoral yang dimiliki 12 instansi lainnya. Misalnya masalah keselamatan pelayaran, yang tentu saja membuat kening banyak pihak berkerut karena Bakorkamla sangat jelas bukan pihak yang mewakili Indonesia di IMO untuk urusan itu.
4. Penataan Ulang
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen keamanan maritim Indonesia saat ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, (i) tidak ada kebijakan dan strategi nasional yang komprehensif dan solid, (ii) tumpang tindih perundang-undang dan (iii) bersifat sektoral. Akibatnya tidak ada efisiensi dan efektivitas dalam upaya untuk menjamin keamanan maritim. Walaupun kondisi keamanan maritim saat ini lebih bagus dari tahun-tahun sebelumnya, namun hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak penataan ulang manajemen keamanan maritim.
Penataan ulang manajemen keamanan maritim dapat dilakukan dengan melakukan penyederhanaan aktor yang berkecimpung di laut. Penyederhanaan itu tidak secara ekstrim memangkas kewenangan instansi yang secara alamiah bukan unsur pemerintahan di laut, namun hanya membatasi area kewenangan mereka di laut semisal 3 mil dari garis pantai. Mengacu pada TZMKO 1939 maupun peraturan internasional lainnya, secara universal hanya ada satu instansi sipil yang berhak menjalankan fungsi pemerintahan di laut yaitu Coast Guard.
Untuk menuju ke arah penataan ulang tersebut, salah satu langkah strategis adalah proses lobi dan legislasi di DPR. Lobi politik di DPR sangat penting agar mereka paham benar tentang kondisi manajemen keamanan maritim saat ini. Hal demikian sangat mendasar karena DPR merupakan salah satu aktor penting dalam penataan ulang tersebut. Proses lobi politik merupakan suatu upaya yang panjang dan melelahkan, namun harus dilakukan karena dapat dipastikan pihak-pihak tertentu juga akan melakukan counter lobby terhadap penataan ulang manajemen keamanan maritim. Keberhasilan lobi politik sangat menentukan untuk langkah selanjutnya, yaitu menyelaraskan 12 undang-undang yang mengatur tentang kewenangan instansi di laut.
Pada saat yang sama, dibutuhkan upaya di dalam pemerintahan untuk menyatukan sikap menyangkut manajemen keamanan maritim. Memang akan ada upaya untuk menentang hal tersebut, sehingga harus disiapkan argumen-argumen yang masuk akal dan tak terbantahkan tentang pentingnya eksistensi Coast Guard. Penting untuk dipahami bahwa tantangan dalam mewujudkan Coast Guard sebagai bagian dari penataan ulang manajemen keamanan maritim berada pada strata politik dan bukan operasional.
5. Penutup
Untuk menjamin keamanan maritim di Indonesia, dibutuhkan penataan ulang manajemen keamanan maritim. Hal itu dapat terwujud apabila ada kesepahaman di antara eksekutif dan legislatif bahwa penataan tersebut bersifat imperatif. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja keras dari semua stakeholder yang berkepentingan dengan hal tersebut, termasuk eksistensi Coast Guard dengan kewenangan yang luas sebagai pelaksana fungsi pemerintahan di laut.
[i]. Lihat UUD 1945 Pasal Peralihan.