CHINA INGINKAN STATUS SUPER POWER DAN HEGEMONY?: MEMAHAMI CHINA DARI SUDUT PANDANG BERBEDA

“If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle” – Sun Tzu

 

  1. Pendahuluan

Perdebatan mengenai kenaikan pengaruh dan kekuatan (baca: power) China merupakan salah satu tema penting dalam diskursus hubungan internasional pasca perang dingin. Perdebatan ini sangat menarik dan telah lama berlangsung baik dikalangan akademisi, pemerhati maupun praktisi di berbagai belahan dunia. Banyak ahli meyakini bahwa bagaimana China bersikap dan membangun dirinya akan berpengaruh terhadap bentuk dan arah tatanan regional maupun global di masa yang akan mendatang. Ada beberapa faktor klasik dan kontemporer yang mendorong pentingnya China di dalam sistem internasional maupun global. Mulai dari luasnya wilayah geografis China; jumlah populasi penduduk yang mencapai angka 1.414.039.581 per tanggal 25 April 2018 (Worldometers, 2018); sumber daya alam; industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi; peningkatan yang signfikan dalam anggaran dan kapabilitas kekuatan militer; teknologi dan inovasi di berbagai bidang termasuk IT dan seterusnya. Dengan berbagai pencapaian yang China raih dalam dekade terakhir tersebut juga mendorong semakin tingginya ekspektasi untuk China memainkan peranan yang lebih sentral dan bertanggung jawab di tataran internasional maupun global. Baik dorongan secara internal atau domestik, maupun tuntutan dari komunitas internasional atau eksternal.

Namun banyak ahli juga berargumen bahwa pertumbuhan pengaruh dan kekuatan China tersebut harus di ‘akomodasi’ dengan baik untuk meminimalisir kemungkinan dampak kerusakan terhadap sistem internasional. Setiap negara memiliki pandangan yang berbeda tentang kenaikan China dan dampaknya terhadap sistem internasional dewasa ini. Apakah kenaikan China merupakan suatu kebutuhan dan dapat menghadirkan alternatif pendekatan baru, atau justru sebaliknya, merupakan ancaman dan mengganggu stabilitas tatanan global saat ini?. Namun, pertanyaan yang paling penting dalam perdebatan ini adalah bagaimana China melihat peningkatan pengaruh dan kekuasaannya tersebut? termasuk, bagaimana China pandangan dan sikap China tentang ‘responsible global power’ tersebut? Ataukah China memiliki model atau pandangan yang berbeda dalam menata tatanan atau sistem internasional?. Dalam tulisan ini, pembahasan akan diawali dengan perkembangan isu yang telah terjadi di dalam politik China, utamanya berkaitan dengan pertemuan lima tahunan Kongres Nasional Partai Komunis China ke 19 pada Oktober 2017, dan penghapusan batas masa jabatan presiden dalam konstitusi China.

 

  1. Perkembangan Isu dan Bagaimana Politik di China Bekerja

Dalam beberapa bulan terakhir, ada dua perkembangan isu besar yang terjadi dalam politik di China. Pertama adalah berlangsungnya Kongres Nasional lima tahunan Partai Komunis China ke 19 pada bulan Oktober 2017. Kedua adalah penghapusan batas jabatan presiden pada bulan Maret 2018 kemarin. Tentu kedua hal tersebut merupakan isu politik domestik China. Namun dalam hal kita akan berfokus pada dampak dari kedua event tersebut terhadap proyeksi masa depan China, khususnya kebijakan luar negeri (eko, pol, han dll). Dan pada gilirannya, barangkali, membantu kita melihat sedikit lebih dekat terhadap apa intensi China sebenarnya.

Konges Nasional Partai Komunis China ke-19 telah berhasil dilakukan pada tanggal 18 hingga 24 Oktober 2017 lalu. Pertemuan nasional lima tahunan ini merupakan pertemuan paling penting dalam politik China dan juga menjadi sorotan media luar, mengingat pada pertemuan lima tahunan inilah perubahan pada posisi tertinggi di China berlangsung. Baik itu pewarisan jabatan ketua partai (merangkap Presiden dan ketua Komisi Militer Pusat), 7 anggota Biro Politik Utama (the Politburo Standing Committee), atau keseluruhan 25 anggota Politburo, serta sejumlah posisi jabatan penting di tingkat provinsi. Selain perubahan pada personil tertinggi politik China tersebut. Ada tiga poin utama yang bisa kita peroleh dari hasil Kongres Nasional PKC tersebut, yakni:

  1. Menandai periode kedua pemerintahan Xi Jinping (2012-2017 adalah periode pertama);
  2. Selain tiga jabatan tertinggi diatas, dimana Xi Jinping juga menamai dirinya sebagai ‘the core leader of the party‘, Xi Jinping kini juga mendapat gelar sebagai ‘the supreme commander of the country’s military forces‘ atau komandan tertinggi dari kekuatan militer China. Artinya, selain memegang posisi politik tertinggi, perancang pembangunan nasional, termasuk pembangun kekuatan militer (CMC), Xi Jinping kini semakin memperkuat posisisnya sebagai pusat komando disaat perang –suatu wewenang yang pada dasarnya juga dimiliki oleh seorang presiden sebagai komandan tertinggi militer, namun kini Xi Jinping juga berperan setara dengan Panglima atau pengguna kekuatan. Hal itu juga berarti, center of gravity China kini semakin terpusat di figur Xi Jinping.
  3. Dengan akan di masukkannya ide atau filosofi politik Xi Jinping, yakni “Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristic for a New Era” atau dikenal dengan ‘Xi Jinping Thought’, ke dalam konstitusi China, Xi Jinping kini dipandang sejajar dengan Mao Zedong dan Den Xiaoping, dua figur pemimpin China yang namanya dituliskan dalam konstitusi China[1]. Bahkan lebih dari kedua figur tersebut, oleh karena ide atau filosofi politik Xi dimasukkan ketika ia masih menjabat – bukan setelah lepas masa jabatan.

Poin paling terakhir tersebut, merupakan poin yang paling banyak mendapatkan perhatian. Oleh karena promosi ‘pemikiran Xi’ sebagai dasar-dasar panduan resmi bagi Partai dan pemerintah China, akan menjadi batu loncatan bagi agenda Presiden Xi Jinping, dan khususnya bagi proyeksi masa depan dan kebijakan luar negeri ataupun pertahanan China. Ide tersebu juga membantu kita untuk melihat dan mengkonfirmasi lebih jauh mengenai intensi China, baik di domestik, dan utamanya intensi China dikawasan dan global.

Lalu apakah yang dimaksud dengan Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristic for the New Era disini?.

“under the leadership of the CPC and the guidance of Marxism-Leninism, Mao Zedong Thought, Deng Xiaoping Theory, the Theory of Three Represents, the Scientific Outlook on Development and Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristic for a New Era, the Chinese people of all nationalities will continue to adhere to the people’s democratic dictatorship and the socialist road, persevere in reform and opening to the outside world, steadily improve socialist institutions, develop the socialist market economy, develop socialist democracy, improve the socialist rule of law, apply a new vision of development and work hard and self-reliantly to modernize the country’s industry, agriculture, national defence and science and technology step by step and promote the coordinated development of the material, political, cultural and ethical, social and ecological advancement, to turn China into a great modern socialist country that is prosperous, strong, democratic, culturally advanced, harmonious, and beautiful and realize national rejuvenation(Xinhuanet, 2017)

Pada dasarnya belum ada penjelasan yang resmi mengenai apa yang dimaksud Xi dengan ‘Xi Jinping Thought’ tersebut. Namun the authoritative journal Party Construction Research (党建研究) menyatakan bahwa ideologi partai dan inovasi terkait kebijakan sejak Xi menjabat pada tahun 2012 atau esensi dari serangkaian pernyataan-pernyataan penting (dikenal dengan the important remarks) yang diungkapkan Xi dapat disimpulkan sebagai ‘Xi Jinping Thought’(Ming Pao [Hong Kong], August 5; Beijing Daily, August 4; HK01.com, July 15).Dengan kata lain, Xi Jinping Thought adalah iktisar dari diktum-diktum dan slogan-slogan yang dikeluarkan Xi sejak tahun 2012, yakni ‘konsep, ide dan strategi baru’ untuk semua area kehidupan bangsa, termasuk konstruksi politik, ekonomi dan sosial; konstruksi partai dan militer, jugakomitemen dan penguatan di isu lingkungan.

Xinhua mencatat bahwa ‘pernyataan-pernyataan penting’ yang dimaksud terdiri dari  satu ide inti dan dua poin dasar. Ide inti Xi Jinping adalah ‘the Chinese Dream’ atau dikenal dengan nama panjang‘the Great Rejuvenation of the Chinese Nation’. Ide sangat nasionalistik dan seringkali ditekankan oleh Xi Jinping di banyak pertemuan dan dalam pidatonya. Ide tersebut juga merupakan tema utama dari pembacaan laporan partai dan pemerintah China kepada Kongres pada Kongres Nasional PKC ke-19 lalu. Sedangkan dua poin dasar yang dimaksud adalah ‘pendalaman reformasi secara komprehensif’ dan ‘penegakkan barisan massa’ -atau dengan bahasa lain ‘serving the people’ (China.com.cn, November 6, 2015; People’s Daily, July 17, 2014). Xi Jinping seringkali mengungkapkan pertintahnya dalam istilah ‘four fold criteria or objectives’. Pertama, empat komprehensifitas yakni: secara komprehensif membangun masyarakat yang sejahtera; secara komprehensif memperdalam reformasi; secara komprehensif memerintah negara berdasarkan hukum, dan; secara komprehensif memerintah partai dengan ketat dan tegas.

Kedua, Xi Jinping mengungkapkan bahwa setiap kader harus memiliki empat rasa percaya diri, yakni: Percaya diri terhadap jalan, teori, sistem dan budaya yang menandai sosialisme ala China. Ketiga, setiap kader juga harus memiliki  “empat kualitas baja”, yakni: mereka harus memiliki keyakinan dan kepercayaan sekeras baja terhadap sosialisme gaya China; harus memiliki kedispilinan berlapis baja, dan; memegang rasa tanggungjawab seteguh baja. Berkaitan dengan upaya memerangi korupsi, Xi Jinping menyebutnya sebagai perang ideologi melawan ‘empat angin iblis’ didalam gaya hidup pejabat China, yakni: memberantas formalisme, gaya kerja birokratis, hedonisme dan ‘kemerosotan’ gaya hidup. Terakhir, keempat, adalah yang Xi Jinping maksud dengan ‘Four Great’ yang meliputi “waging great struggles, building great projects, promoting great enterprises, dan realizing great dreams“.Berdasarkan sejumlah ahli yang dimaksud dengan ‘waging strugle’ disini tidak lain adalah berkaitan dengan bagaimana pandangan dunia dan urusan luar negeri para pemimpin China, yakni meliputi perjuangan melawan separatisme di Taiwan, Hongkong, Tibet dan Xinjiang. Juga ‘perjuangan besar’ atau penerapan yang lebih agresif dalam mengurusi isu berakitan dengan Amerika Serikat, Jepang dan Isu di Laut China Selatan (People’s Daily, July 28).

Namun secara keseluruhan, kita dapat garis bawahi beberapa penekanan yang dapat membantu kita untuk memahami China lebih jauh dan melihat bagaimana proyeksinya kedepan. Yakni penekanan terhadap sentralitas Partai Komunis China; penekanan terhadap upaya atau perjuangan untuk mewujudkan ‘the national rejuvenation’ sebagai core ide; komprehensivitas dalam ide, teori, jalan dan strategi yang digunakan, dengan penekanan terhadap ‘china way’ atau ‘socialism with chinese characteristic‘; yang pada akhirnya menuntun kita untuk memahami bagaimana China memandang dunia dan terwujud dalam kebijakan luar negeri dan ambisi globalnya.Didalam bidang ekonomi, misalnya, Xi telah mewarisi dua target ekonomi yang ditetapkan oleh kepemimpinan partai sebelumnya yang dikenal dengan ‘two centennial goals’. Centennial goals pertama adalah untuk membangun ‘a moderately prosperous society’ dengan menghapus kemiskinan pertahun 2021 (menandai 100 tahun lahirnya PKC). Selanjutnya, cennetials goals kedua adalah untuk membangun ‘a fully develoved nation’ pertahun 2049 (menandai 100 tahun lahirnya RRC). Adapun Cennentials goals pertama telah dimulai dari masa Den Xiaoping, dimana pendekatan pembangunan yang digunakan adalah ‘early and common prosperity’. Pada tahap ini pembangunan lebih di fokuskan pada daerah-daerah pesisir atau provinsi-provinsi di bagian selatan sungai Yang Tse, dengan membangun sejumlah pusat-pusat ekonomi seperti di provinsi Guangzou, Hunan, Hebei, Shangai, Jiangxi, Zhegiang, Fujian dan seterusnya. Dengan harapan pembangunan untuk sebagian wilayah utama ini akan merambah kepada daerah-daerah lainnya (prosperity for some as to achieve to prosperity for all). Xi Jinping kini tengah memulai cennential goals kedua.

Di dalam pidatonya pada Kongres, Xi mengungkapkan bahwa pertama-tama PKC akan mendorong China untuk mencapai ‘modernisasi sosialis’ pada tahun 2035, yang akan meliputi penurunan kesenjangan kesejahteraan dan meningkatkan kualitas lingkungan secara signifikan. Jika kita membaca dengan baik, kita dapat memahami mengapa Xi Jinping saat ini semakin berfokus untuk pembangunan di wilayah-wilayah provinsi di bagian tenggara, tengah dan timur China seperti Yunan, Sichuan, Shaanxi, Qinghai hingga inner Mongolia dan Xinjiang. Dan jika menganalisis sedikit lebih komprehensif –seperti yang selalu ditekankan oleh Xi Jinping- maka dari rencana pembangunan tersebut kita dapat melihat adaya konsekuensi akan kebutuhan pasokan energi, termasuk untuk menjamin jalur dan ketersediaan energi untuk wilayah-wilayah tersebut (baca: untuk memenuhi kebutuhan energi untuk industri disana). Juga jalur-jalur logistik untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan dan seterusnya. Oleh karena itu kita melihat lahirnya the Belt and Road Initiative, khususnya jalur Sutra Darat, seperti proyek kereta cepat trans Eurasia dari Yiwu station di Zhegiang province, Kazakstan dan seterusnya (9 negara) hingga London. Termasuk proyek kereta cepat dan infrastruktur lainnya di negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Pakistan (China-Pakistan Economic Corridor) yang merupakan titik penting pertemuan antara jalur sutra darat (kuno) dengan jalur sutra maritim. Dan hampir dalam setiap proyek tersebut, jalur energi seperti pipa minyak dsj., selalu ikut didalamnya. Hal tersebut juga dapat diartikan sebagai upaya China untuk menyediakan jalur energi alternatif untuk mengurangi ketergantungan jalur energi melalui laut. Kemudian tahap kedua (2035-2050) adalah waktu dimana China akan menjadi pemimpin kekuatan dunia dan masyarakat China, secara mendasar, akan menikmati ‘common property’. Sebuah tahap dimana kita masih perlu untuk kita lihat, akan berproses dan perlu kita antisipasi sedini mungkin. Dengan demikian pada satu titik kita juga melihat intensi China tersebut tidak hanya terkait ekonomi semata, melainkan juga energi security, pembangunan nasional, upaya pemenuhan kebutuhan (dan kepuasan publik) domestik (baca: terhadap pemerintah dan Partai). Secara keseluruhan, hal tersebut dapat kita simpulkan sebagai rancaangan, atau pemikiran atau ide atau strategi geoekonomi yang telah dirancang secara komprehensif baik secara domestik, regional maupun secara global.

Adapun dalam isu pertahanan dan militer, Xi mengajukan bahwa mekanisasi PLA akan selesai per tahun 2020, kemudian modernisasi per tahun 2035 dan pada akhirnya PLA akan berevolusi  menjadi ‘kekuatan militer kelas global’ per tahun 2050. Hal ini juga dapat dipandang sebagai: Pertama dan yang paling besar adalah bentuk rivalitas China terhada kekuatan militer Amerika Serikat sebagai global power saat ini (note: pahami mengenai national rejuvenation); Kedua, konsekuensi perkembangan dan kenaikan China (baca: terutama dalam bidang perdagagan global – pelayaran global dan energi) sehingga kebutuhan dan resiko keamanan terhadap bidang-bidag tersebut semakin tinggi dan konsekuensinya membutuhkan kapabillitas dan jaminan keamanan yang semaki tinggi juga – terutama untuk PLA Navy).

 

 

 

 

 

 

 

 

Selain hal-hal tersebut diatas, di dalam pidatonya  Xi Jinping juga mengajak semua koleganya (terutama para diplomat) untuk lebih percaya diri dalam mencapai kepentingannya dan mewujudkan era dimana ‘the Chinese nation will stand with a more high-spirited image in the family of nations’ dan semakin dekat ke panggung dunia. Xi, berbeda dengan pendahulunya yang masih menerapkan ‘keeping low profile’ policy, lebih berfikir globalis. Dengan berbagai konsep baru dalam tatanan dunia berdasarkan insiatif yang dibangunnya, mulai dari ‘a New Type of Great Power Relations’; dibentuknya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan One Belt One Road (OBOR) yang kemudian dikenal dengan the Belt and Road Initiave (BRI) yang terdiri dari anchient silk road, maritim silk road– termasuk didalamnya apa yang Barat sebagai the string of pearls- dan bahkan baru-baru ini Xi Jinping juga mengerluarkan dokumen tentang polar silk road[2]. Kita akan melihat China yang semakin agresif dan percaya diri dalam mencapai kepentingan nasionalnya tersebut, baik itu dalam kaitannya dengan isu-isu dikawasan (seperti Laut China Selatan dan Laut China Timur juga isu Taiwan dan Diayou/ Senkaku), juga secara global (termasuk kaitannya dengan rivalitas kekuatan antara China dengan Amerika Serikat dan isu mengenai ‘tatanan global’ secara keseluruhan yang mana sejak awal pada dasarnya China ‘tidak suka’ dan antagonis dengan sistem yang saat ini, juga pengalaman pahit yang melatarbelakanginya –akan dibahas pada poin selanjutnya).

Dengan demikian, secara keseluruhan kita dapat simpulkan –dan semakin memperkuat asumsi kita- bahwa intensi China dengan ide tersebut tidak hanya sekedar ekonomi, energy security semata, atau disisi lain dapat dilihat sebagai bagian dari rancangan pembangunan nasional china, pemenuhan kebutuhan dan kepuasan domestik China (terhadap pemerintah dan partai). Namun strategically, kita melihat bahwa kesemuanya tersebut dapat dilihat sebagai geopolitik (sekaligus geostrategi) China untuk ‘menguasai’ dua pertiga dunia[3] dan mewujudkan apa yang mereka sebut dengan “National Rejuventionation of the Chinese Nation”. Sebelum memasuki pembahasan lebih dalam mengenai apa yang dimaksud dengan ide tersebut diatas, penulis akan terlebih dahulu membahas mengenai bagaimana politik di China saat ini bekerja –secara kasar.

 

  1. SENTRALITAS PARTAI KOMUNIS CHINA

 

“Government, Military Society and Schools, north,  south, east, west – the Party leads them all” –  Xi Jinping.

 

Diulas sedikit diatas bahwa intensi China juga tidak hanya diproyeksikan keluar, melainkan juga kedalam yakni untuk tetap menjamin tingkat kepuasan audience domestik terhadap pemerintah dan utamanya terhadap Partai Komunis China. Dengan demikian, adalah penting juga bagi kita untuk sedikitnya ‘aware’ terhadap bagaimana politik di China bekerja sehingga pada akhirnya dapat membantu kita memahami lebih jauh mengapa China berlaku seperti ini dan itu. Adalah tidak mengejutkan ketika pada awal bulan Maret 2018 kemarin Partai Komunis China mengajukan penghapusan batas masa jabatan presiden di dalam konstitusi kepada Kongres. Walaupun telah banyak diprediksikan, namun tidak banyak yang menyangka bahwa Xi Jinping akan mengambil langkah tersebut ketika periode masa kedua pemerintahannya baru saja di mulai. Perlu untuk dipahami bahwa di dalam politik China, pada dasarnya jabatan presiden merupakan jabatan yang relatif insignifikan jika dibandingkan dua jabatan tinggi lainnya, yakni ketua partai dan Komisi Militer Pusat. Secara ringkas, berikut adalah peta kepemimpinan di dalam politik China.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sebagaimana kita ketahui, China merupakan negara penganut sistem satu partai yang mengoperasikan kekuasaan serta rekrutmen keanggotaan dari tingkat atas hingga akar rumput. Di tingkat paling atas, adalah Sekretaris Jenderal PKC yang saat ini dipengang oleh Xi Jinping, yang juga merangkap sebagai presiden dan ketua Komisi Militer Pusat. Xi Jinping adalah core leader dari PKC yang juga merupakan tujuh anggota Politburo Standing Committee (sebelumnya berjumlah sembilan orang). Politburo Stading Committee ini merupakan lingkaran paling utama dalam struktur pemerintahan Cina. Dapat dikatakan lingkaran ini sebagai badan pembuat keputusan paling senior di China yang bekerja seperti kabinet kecil dan terdiri dari tokoh-tokoh paling berpengaruh dalam politik China (terdiri dari Sekjen PKC, Perdana Menteri, Ketua Kongres Rakyat Nasional/ Parlemen, Ketua Komisi Kedisiplinan, dll). Di dalam kelompok ini pula lah biasanya kaderisasi pemimpin China selanjutnya dilakukan – hal ini tidak terjadi pada masa Xi Jinping).  Selanjutnya, tujuh anggota the Politburo Standing Committee tersebut merupakan anggota dari keseluruhan anggota the Politburo (Biro Politik Cina) yang berjumlah 25 orang dan merupakan kekuasaan kepemimpinan puncak dalam Partai Komunis China. Setiap keputusan signifikan yang berdampak terhadap China didiskusikan dan putuskan di dalam biro ini terlebih dahulu. Perlu dicatat bahwa Politburo ini memiliki kontrol atas tiga lembaga pemerintah penting berikut ini, yakni (southchinamorningpost.com):

  1. Kongres Rakyat Nasional (KRN) aka Parlemen atau DPR-nya China – pembuatan dan pengesahan hukum, konstitusi atau proses legislasi berada disini. Namun perlu dicatat bahwa pada kenyatannya KRN bekerja layaknya pemberi cap saja terhadap setiap kebijakan yang keluarkan oleh Partai. Oleh karena mereka tidak pernah menolak rancangan kebijakan apapun dari Partai. Selain itu, pemilihan perwakilan di KRN ini dikontrol dengan sangat ketat oleh partai dan tentunya kebanyakan dari mereka adalah anggota Partai dari pejabat pemerintah lokal.
  2. State Council atau Dewan Negara – merupakan tangan administrasi dan birokrasi pemerintah untuk memastikan implementasi semua kebijakan pemerintah (baca: partai) dari tingkat nasional hingga lokal. Sederhananya, lembaga ini bekerja layaknya kabinet di negara lain, yang menjalankan semua kementerian dan/atau lembaga pemerintah, termasuk People’s Bank of China dan Bank Sentral. Perlu dicatat juga bahwa terdapat struktur pelaporan ganda dalam semua kementerian atau lembaga pemerintah China. Oleh karena seringkali seorang Menteri adalah sekretaris komite partai di kementerian. Jadi ketika ia melapor kepada Perdana Menteri – yang juga merupakan orang nomor 2 di PKC- maka pada dasarnya ia melaporkan kepada Partai.
  3. Komisi Militer Pusat (Central Military Commission) – Dengan adanya prinsip “the party command the gun”, maka pada dasarnya PLA menjawab kepada perintah Partai. Dan CMC, dimana Xi merupakan ketuanya- merupakan badan pembuat keputusan di Militer China. Komisi Militer Pusat saat ini terdiri dari 11 anggota. Satu orang ketua (Sipil – yakni Xi Jinping); dua wakil ketua berseragam; dan delapan anggota berseragam reguler yang terdiri dari Menteri Pertahanan, Direktur Departemen empat kantor pusat PLA, Komandan Angkatan Darat, Laut dan Udara, serta Strategic Missile Force yang dikenal dengan Second Artillery Corps. Selain itu, Komisi Hubungan Militer tersebut juga memegang kontrol atas kekuatan paramiliter termasuk Polisi. Perlu dicatat bahwa dalam politik China, tentara PLA merupakan anggota dari Partai Komunis China dan terdapat mesin partai terpisah dalam badan PLA yang bertugas untuk memastikan bahwa PLA sejalan dengan visi Partai.

Singkatnya, semua institusi di China, termasuk pemerintah, parlemen, pengadilan dan militer semuanya harus melapor kepada Partai. Dengan demikian tidaklah salah jika Xi Jinping kerap di labeli sebagai tokoh paling kuat dalam sistem politik China, bahkan dalam sepanjang sejarah modern China dan mungkin secara global, jika dibandingkan dengan kepala negara lainnya di dunia. Dan pengaruhnya yang dimilikinya terutama berasal dari posisinya sebagai Ketua Partai Komunis China. Selain itu, Xi Jinping juga banyak menciptakan leading group, dengan dirinya sendiri sebagai ketua, untuk mengambil alih kekuasaan pengambilan keputusan yang sebelumnya tersebar diantara banyak unit-unit atau orang. Terdapat setidaknya delapan leading group yang mulai awal periode pertama pemerintahan Xi Jinping yang ia sendiri adalah ketuanya, yakni leading group untuk (southchinamorningpost.com):

  1. Pembangunan Militer dan Sipil – kelompok yang terlibat dalam menciptakan kekuatan industri militer China.
  2. Internet Security – kelompok yang dibentuk tahun 2014 lalu ini merefleksikan keinginan Xi untuk mengontrol internet atau online governance (internet sovereignty). Pemberitaan publik mengenai isu ini tidak banyak muncul di media.
  3. Taiwan affairs – kelompok ini memberikan Xi kontrol terhadap diplomasi China dan kebijakannya kepada Taiwan.
  4. Financial Affairs – kelompok ini telah dibentuk sejak tahun 1992an dan Xi memiliki kontrol atas day-to-day operations untuk isu permodalan bersama dengan tangan kanannya, Liu He.
  5. Leading Group Pusat untuk Reformasi Pendalaman Komprehensif – kelompok ini dibentuk di akhir tahun 2013 dan merefleksikan pengukuhan kontrol langsung Xi Jinping dalam berbagai isu kunci.
  6. Hubungan luar negeri – Xi juga mengambil kontrol dalam leading group yang berkenaan dengan hubungan luar negeri, termasuk diplomasi China dan kebijakannya.
  7. Reformasi Militer dan Pertahanan Nasional Komisi Militer Pusat (CMC) – setelah mengukuhkan dirinya sebagai Ketua Komisis Militer Pusat (2014) Xi memimpin leading group ini dan pada pertemuan ketiga (Juli 2015) ia berhasil mendorong cetak biru refomasi milter China.
  8. Komisi Keamanan Nasional Pusat – Xi Jinping juga menjadi ketua dalam Komisi Keamanan Nasional Pusat sjeak April 2014 yang membahas isu keamanan mulai dari intelligent, militer, diplomasi dan keamananan publik, termasuk kesehatan, perdagangan dan modal (finance). Kelompok ini setara dengan National Security Council (NSC) di Amerika Serikat.

Selama lima tahun terakhir, tidak dapat disangkal bahwa secara general Xi Jinping telah berhasil memimpin sebagai sekretaris Jenderal PKC. Pertama, PKC dapat memerintah China dengan jumlah populasinya yang banyak dan berbagai situasi yang kompleks. Salah satunya nampak dari konsistensi pengejaran rencana pembangunan ekonomi jangka panjang (sejak era Den Xiaoping – walaupun ada sedikit modifikasi dan tambahan ide di sepanjang jalan), yang pada akhirnya berhasil mewujudkan peningkatan standar hidup rakyat China yang sangat cepat (Chunsan, Mu. 2018. the diplomat.com). Xi Jinping saat ini juga tengah berfokus untuk mengatasi kesenjangan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan terutama di China bagian tengah dan Timur kini menjadi fokus Xi. Ekonomi, terutama bagi negara dengan sistem satu partai seperti China memang merupakan faktor sangat penting dan paling utama untuk menjaga tingkat kepuasan dan kepercayaan rakyat terhadap partai. Oleh karena, berdasarkan prinsip Marxism, ekonomi adalah pondasi sebagi semua bentuk pembangunan. Sehingga, selama pembangunan ekonomi tercapai, maka masyarakat akan relatif stabil dan legitimasi partai akan lebih kuat. Dengan pencapaian ekonomi China saat ini, walaupun saat ini tengah terjadi perlambatan dalam ekonomi China, namun legitimasi PKC masih relatif kuat.

The Belt and Road Initiative yang merupakan salah satu ide dan menjadi ‘brand’ kebijakan luar negeri Xi Jinping, dapat dibaca sebagai jawaban atas sejumlah permasalahan ekonomi China diatas [Ingat, penekanan Xi akan komprehensivitas dalam strategi dan kebijakan]. Yakni ditujukan untuk membuka pasar-pasar baru di luar negeri (terutama perusahaan atau investastor infrastruktur) untuk mendorong China dari stagnansi ekonomi; mendorong keterbukaan dan pembangunan akses, infrastuktur, dan pusat-pusat ekonomi baru di provinsi-provisi tengah dan timur China, termasuk berkaitan dengan ketersediaan pasokan dan jalur energi; juga dapat dibaca sebagai salah satu bentuk propaganda untuk publik domestik China sendiri tentang keberhasilan partai yang membawa China kepada pencapaian hari ini –menuju China as a great power. Dengan demikian, the Belt and Road Initiative itu pada dasarnya tidak sekedar ‘serangkaian proyek infrastruktur dan bantuan investasi longgar’ semata. Atau sekedar ambisi militer, rivalitas pengaruh China versus Amerika Serikat atau ‘a contest of supremacy in Asia’. Namun lebih dalam lagi dari itu (lihat cara berfikir China yang akan dibahas pada poin selanjutnya).

Kedua, PKC terus berevolusi dari partai pemerintah menjadi partai dimana keanggotaannya kini hampir diseluruh negeri. Anggota PKC saat ini ada kurang lebih 90 juta orang, dari level paling bawah di desa-desa, polisi, hampir semua pejabat publik, personil militer, kelompok-kelompok pelajar dan mahasiswa hingga pejabat tinggi. Jika halnya saat ini ada kurang lebih 400 juta rumah tangga di China saat ini, maka satu dari empat orang anggota keluarga di China adalah anggota partai. Belum lagi, perusahaan-perusahaan swasta dan teknologi seperti Alibaba dan Tencent (We Chat, Weibo etc.) juga memiliki ruang khusus di dalam PKC. Dengan demikian, kekhawatiran akan runtuhnya PKC dari dalam -seperti yang terjadi pada partai komunis di Venezuela- adalah sulit untuk dibayangkan. Oleh karena PKC memiliki cengkraman yang kuat di berbagai kelompok dan lini masyarakat.  Ketiga, nama Xi Jinping dan berbagai proyek dan ide yang diperkenalkannya seperti Belt and Road, pembangunan militer dan pembagunan fasilitas militer di Laut China Selatan, serta janji untuk ‘mengembalikan’ status great power bangsa China di arena global, nampaknya berhasil memicu nasionalisme dan dukungan yang kuat dari masyarakat China (Chunsan, Mu. 2018. the diplomat.com).

Tiga hal utama menjadi tantangan bagi PKC saat ini, yakni: Pertama, korupsi; Kedua, stagnansi ekonomi, kesenjangan ekonomi dan pembangunan serta kualitas lingkungan yang kesemuanya berkaitan dengan tingkat kepuasan terhadap Partai, dan; Ketiga, bagaimana PKC akan dapat memberikan respon yang cepat, tepat dan dengan efekif terhadap berbagai isu yang terjadi di masyarakat. Sehingga dapat terhindar dari terlambatnya penyelesaian masalah yang kemudian dapat menyebabkan resiko yang lebih besar terhadap negara maupun masyarakat. Melihat keputusan yang diambil PKC dengan mengajukan penghapusan masa jabatan presiden di dalam konstitusi China kemarin, kita dapat asumsikan bahwa hal tersebut merupakan jawaban untuk isu tersebut. Xi Jinping mengungkapkan sebelumnya dalam Kongres Nasional PKC ke-19 bahwa “Jika Partai Tumbang, maka semua pencapaian pembangunan apapun akan menjadi nol- tidak berarti. Begitupun rencana/ rancangan pembangunan yang ada, tidak akan berjalan”.

Jikapun demikian, didalam real politics di China jabatan sebagai presiden merupakan jabatan yang relatif lebih kecil jika dibandingkan pengaruh dan kekuasaan dalam proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dipegang oleh Ketua/Sekjen PKC (utamanya), dan ketua Komisi Militer Pusat. Selain itu, kedua jabatan tersebut pun tidak memiliki batas masa jabatan secara tertulis. Maka sebetulnya, secara teoritis, Xi Jinping dapat tetap memegang kekuasaan tertinggi dalam politik China hanya dengan tidak melepaskan dua jabatan tersebut. Namun jabatan presiden kini semakin prominen dengan semain tumbuh besarnya posisi global China[4]. Selain itu, jika kita kembali melihat pada berbagai objektif yang secara ringkas dimasukkan kedalam ide Xi Jinping tentang “Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristic for the New Era “, dan “the Great Rejuvention of the Chinese Nation” seperti dipaparkan sebelumnya. Maka jabatan presiden kini menjadi jabatan yang penting karena jabatan tersebut memiliki atau menyediakan keuntungan bagi Xi Jinping yang telah berkomitmen untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam hubungan internasional dan global, serta dalam upayanya untuk membawa China semakin dekat ketengah panggung dunia. Jabatan presiden juga memungkinkan Xi untuk dapat bertemu dengan kepala-kepala negara lainnya dalam forum global secara sejajar dan menjadi representasi (resmi) china di panggung dunia.  Suatu kondisi yang tidak akan didapatkan jika halnya dari jabatan sebagai ketua partai ataupun ketua CMC.  Namun perlu kembali dicatat bahwa ambisi global China, baik itu AIIB, BRI, atau untuk menjadi ‘great power’ ataupun menciptakan ‘hegemoni’, tidaklah muncul serta merta tanpa perhitungan yang jelas dan komprehensif dari semua kepentingan dan permasalahan yang dihadapi China. Mengapa demikian? Kita akan lihat dari bagaimana China memandang ‘responsibilitas’ dan ‘power’ itu sendiri.

 

  1. CHINA’S OF UNDERSTANDING RESPONSIBILITY AND POWER

“Hegemony is a big word”

“Hegemony is the power or dominance that one social group hold over others. This can refer to the ‘asymmetrical interdependence” of political-economic-cultural relations between and among nation-states (Straubhaar, 1991) or differences between and among social classes within a nation. Hegemony is “dominance and subordination in the field of relations structured by power” (hall, 1985). But hegemony is more than social power itslef; it is a method for gaining and maintaining power”

Oleh karena itu penulis dalam hal ini akan memulai dengan pembahasan mengenai ‘power’.

“Power exacts responsibility. Even in the anarchical and hierarchical world of international relations, this conventional wisdom remains unpalatably true” (Stephen Waltz, 1996)

Artinya, power datang bersamaan dengan tanggungjawab. Bahkan di dalam hubungan internasional yang anarki maupun hirarkis, fakta tersebut tidaklah berubah. Hedley Bull mengungkapkan secara eksplisit bahwa justru karena ketimpangan kekuasaan (relatif) negara-negara di dalam komunitas internasional yang membuat negara besar (baca: great power) dapat menikmati hak-hak khusus dan priviliges. Namun pada saat yang bersamaan mereka harus mengambil peran dan tanggung jawab managerial untuk mempertahankan dan melangsungkan tatanan internasional tersebut. Disisi lain, negara besar juga memiliki pertaruhan yang besar di dalam tatanan internasional yang ada. Greg Austin dan Zhang Yongjin menyebutkan ada dua poin penting mengenai konsep great power resposibility. Pertama, bahwa tanggung jawab great power secara politik dan moral di dalilkan secara implisit dibandingkan eksplisit. Hal tersebut juga pada dasarnya bersandar pada shared understanding diantara atau sesama negara besar lainnya. Dengan kata lain, ekspektasi kolektif dari komunitas internasional merupakan dasar dari konseptualisasi dari ‘responsibility of power’. Kedua, idealnya menurut Hedley Bull -dalam diskursusnya tentang duties and stake of Great Powers in international order 1970- negara great power harus memposisikan ‘order’ diatas ‘justice’. (Greg Austin & Yongjin Zhang. P.4-5).

Disisi lain, kita ketahui bahwa China memiliki tradisi filosofis dan budaya politik yang berbeda yang membentuk asumsinya tentang ‘power’ dan ‘responsibility’. Sedangkan standar, pedoman atau kriteria sistem legal/ hukum dan institusi yang saat ini digunakan untuk ‘memeriksa’ penggunaan kekuasaan politik tersebut berkembang di dalam tradisi politik Barat (westphalian system – sistem negara bangsa yang kita nikmati saat ini). Mengenai konsep ‘responsibilitas’, sebaai contoh, berikut adalah perbedaannya. Berdasarkan kamus Oxford, kata ‘responsible’ dapat berarti:

“liable to be called to account (to a person or for a thing) … morally accountable for one’s actions; capable of rational conduct; and … of good credit, position, or repute; respectable; evidently trustworthy”

Dilihat dari pendefisinian diatas, nampaknya kata ‘responsible’ atau ‘responsiblity’ ini mengandung sejumlah konotasi legal, moral juga konotasi sosial. Standar untuk ketiga hal tersebut tentu berbeda – dalam kadar tertentu- dari satu komunitas atau budaya dengan budaya lainnya. Sehingga pada dasarnya konsep ‘responsibility’ tersebut sarat dengan penilaian (value laden) dan subjektif, yakni lebih merujuk pada sesuatu yang dipandang etis dan diinginkan. Disisi lain konsep ‘power’ lebih konkrit dan nyata (masih dapat dihitung). Power merujuk pada sesuatu yang feasible (dapat dikerjakan) dan praktikal. [Note: kata responsibility menurut bangsa barat memiliki konotasi legal, moral dan sosial].

Dalam bahasa China, ‘responsibility’ adalah 責任 (zeren). Karakter “責” (ze) mengandung gagasan ‘tugas’, dan karakter “任” (ren) mengandung gagasan ‘beban’. Di dalam budaya (tradisional) China, tugas dan beban tersebut diwariskan atau ditetapkan oleh atasan dan tetua kepada junior-juniornya dan muda-mudi didalam struktur masyarakat hirarkis. Tugas-tugas dan tanggungjawab juga datang bersamaan dengan posisi sosial dan pekerjaan atau jabatan tertentu didalam keluarga ataupun masyarakat yang lebih luas. Terdapat tugas-tugas tertentu yang seorang individu diharapkan untuk dilakukan dan beban yang seorang individu harus pikul. Dengan kata lain, ada hal-hal yang seorang individu ‘harus lakukan’ sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat. Kata ‘harus dilakukan’ ini, di dalam budaya (tradisional) China, lebih mengandung kewajiban moral dibandingkan kewajiban hukum/legal. Moralitas, dalam hal ini, tidak berlaku sama, melainkan tergantung pada waktu dan situasi dimana suatu peristiwa terjadi. Selain itu, dalam pandagan tradisionl China, responsibility itu mengalir ketika seseorag berhutang kepada orang lain. [Note: kata responsibility dalam bahasa China lebih mengadung konotasi “tugas+beban= obligasi”, dan lebih menekankan pada kewajiban moral dibandingkan legal].

Selanjutnya, dalam pandangan China, keterkaitan antara ‘power’ dan ‘responsibility’ itu tergantung pada posisi (DingWei) seseorang di dalam skema tertentu. Bagi China, adalah hal yang sangat sangat penting untuk seseorang memposisikan dirinya dengan benar. Karena hanya ketika posisi seseorang telah dilahirkan dan didefinisikan dengan benar, maka seseorang tersebut dapat bersikap dengan ‘benar’ pula (melaksanakan tanggungjawabnya). Gagasan mengenai “定位” (Dìngwèi) atau ‘positioning’  atau ‘menempatkan diri’ dengan demikian menjadi siginfikan di dalam menentukan perilaku seseorang. Kata “Dìngwèi” dalam bahasa China juga dapat berarti ‘pencarian tempat’ atau ‘pencarian peran yang tepat’, atau dapat berarti juga sebuah proses negosiasi untuk memperkuat posisi seseorang sehingga memungkinkan seseorang tersebut untuk menghindari potensi konflik dimasa yang akan datang. Rasa tanggungjawab China juga sangat terikat dengan posisi ‘power’ seseorang, sebagaimana diindikasikan dalam pepatah China berikut,  “全體與義務均等” (Quántǐ yǔ yìwù jūnděng) atau “All and equal obligation”. “全體” (Quántǐ ) berarti ‘all”; “與” (yǔ ) berati ‘with’; “義務” (yìwù ) berarti ‘obligation”; “均等” (jūnděng) artinya “equal”. Dengan  kata lain peribahasa “Quántǐ yǔ yìwù jūnděngdapat kita terjemahkan secara kasar sebagai “semua sama dalam hal tugas dan beban (obligasi)”. Dalam kaitannya dengan ‘power’ peribahasa tersebut dapat pahami secara kasar kira-kira seperti dibawah ini:

duty + burden » power + benefits

Atau, tugas dan beban (obligasi) sebanding dengan ‘power’ ditambah keuntungan. Kata “義務” (yìwù ) atau obligasi disini harus dipahami sebagai pekerjaan yang sesuai, patut, tepat atau pantas, dibandingkan sebagai pekerjaan sukarela (oleh karenanya ada kata ‘benefit’). Dengan demikian, ada dua bentuk ‘power’ yang berbeda yang disajikan dalam hal ini, yakni: (a) power sebagai hak (power as of right), yang datang dari posisi seseorang sebenarnya (atau yang pantas atau tepat), dan. (b) ‘power’ sebagai kekuatan (power as of might), yang merupakan substansi empiris. Penggunaan ‘power’, dengan demikian, dapat menjadi benar ketika dilakukan dari posisi yang tepat. Tetapi dapat pula bersifat hegemonik dan imperialistik dan karenanya secara moral korup ketika dilaksanakan untuk tujuan pencarian keuntungan sendiri tanpa hak yang sah secara moral.

Mengingat kuatnya ingatan dan ikatan sejarah dalam masyarakat China, maka tidaklah tidak mungkin pandangan atau pemahaman terhadap konsep power, responsibility, morality dan posisitioning tersebut masih sangatlah melekat. Dan pada gilirannya hal tersebut dapat meluas, dari situasi domestik dan masyarakat China kepada bagaimana China melihat dunia atau negara lain dan bagaimana China bersikap terhadap negara lain. Kedua-duanya, baik ‘power as of right’ maupun ‘power as of might’ dapat diterapkan oleh China –baik itu China dalam arti negara, bangsa, perusahaan/ investor atau individu-nya. Bergantung pada bagaimana mereka memandang posisi negara atau entitas lain. Atau sebaliknya, bagaimana dunia/ negara atau entitas lain memandang mereka. Kemudian, bagaimana China memandang posisi dirinya di dunia dan terhadap negara lain, juga sebaliknya, bagaimana negara lain memandang dirinya sendiri dan posisinya terhadap China. Sehingga pada ujungnya, berdampak pada bagaimana China akan bersikap, dan menerapkan kekuatannya didalam tatanan global dan terhadap negara lain, serta bagaimana China menjalankan ‘responsibilitas’-nya sebagai ‘the so called great power –in the making’.  Dan Cina sangat berhati-hati dalam menentukan posisinya relatif terhadap negara lain. Dia mencoba untuk memahami dan menentukan secara akurat kekuatan nasionalnya secara komprehensif terhadap apa yang dimiliki negara lain. Sehingga Cina dapat mengetahui di mana ia berada dalam kaitannya dengan negara tersebut dan bagaimana ia harus berhubungan dengan atau berperilaku terhadap mereka. Power (relatif) suatu negara itu sendiri memang sangatlah sulit untuk dihitung, terlebih didalam situasi dunia yang terus berubah. Jika halnya hard power perangkat militer itu relatif lebih statis dan mudah untuk diukur. Soft power, seperti budaya atau moralitas dsj., lebih cair dan lebih sulit untuk diukur. Selain itu, dampaknya pun terkadang lebih sulit terasa atau nampak secara langsung, halus, dan sulit ukur diukur pula. Pada intinya, China dapat ‘menyulap’ image yang berbeda untuk setiap negara. Begitupun mekanisme yang digunakannya.

Sebut saja dalam ‘proyek’ One Belt One Road (OBOR) atau BRI China yang telah dan sedang berlangsung hari ini. Tidak ada satu parameter yang sama yang dapat mendefinisikan penerapan kerjasama, atau bantuan pembangunan atau investasi China di dalam proyek BRI-nya tersebut. Begitupun perlakuannya terhadap setiap negara yang disinggahi, setiap negara memiliki kasus dan menerima dampak yang berbeda-beda. Di negara-negara afrika yang relatif ‘lemah’ proyek-proyek China berdampak lebih besar dibandingkan terhadap negara-negara di Asia Tenggara (kecuali  Laos). Sebagai contoh di Zimbabwae, karena pemerintah Zimbabwae dinilai tidak sanggup membayar hutang (kontak kurang lebih 99 tahun), maka pemerintah Zimbabwae terpaksa mengizinkan penggunaan renminbi (mata uang China) di dalam negaranya. Dalam kasus lain di Sri Lanka, pemerintah Sri Lanka pada akhirnya menyerahkan pengoperasian pelabuhan Hambatota juga karena tidak sanggup membayar hutangnya. Di Malaysia, proyek pembangunan kota baru di sebuah pulau di selatan Johor, Forest City, juga mendatangkan kekhawatiran akan potensi “extended-quasi territory” China mengingat pasar utama dari setiap huniannya lebih dari 70 persen adalah mereka dari China, dan seterusnya.

Oleh karena itu, muncul sejumlah potensi ancaman[5] dan kekhawatiran dari kenaikan pengaruh China tersebut, yakni:

  1. Debt trap
  2. Extended-quasi territory and chinese ressettlement overseas, dan pada akhirnya menciptakan,
  3. ‘Hegemony’ renminbi.

Beberapa tools yang available untuk digunakan selain MIDLIFE (Military, Intelligence, Diplomacy, Legal, Information and Technology, Finance, dan Economy) adalah unsur-unsur soft power seperti pariwisata, physco-cultural force dll. China juga disinyalir tidak lagi menggunakan apa yang Joseph Nye (ahli soft power dan penggagas smart power) sebutkan sebagai “smart power”[6], melainkan ‘sharp power[7]’, yakni dengan ‘merekrut’ atau ‘mempengaruhi’ media, akademia, chinese resettlement or community overseas dan birokrat di negara lain sehingga mereka secara ‘suka rela’ setuju atau tidak bertentangan/ mengkritik kebijakan partai. Hal-hal yang memang HARUS dan PERLU untuk selalu diperhatikan, diperhitungkan, diawasi dengan bijak oleh setiap negara yang bertransaksi dengan China, termasuk kita di Indonesia. Terutama jika hal tersebut beresiko untuk memicu terjadinya kecemburuan sosial sehingga menjadi kerentanan nasional dan pada akhirnya berpotensi menjadi ancaman terhadap negara. Namun disisi lain, untuk menjaga objektifitas, perlu dicatat bahwa ‘konsep sharp power threat’ tersebut (pertama kali muncul dalam laporan NED dan malajah the Economist) juga memiliki bias.

 

  1. AKAN MENJADI SUPER POWER DAN HEGEMON SEPERTI APAKAH CHINA?

Ketika perhatian dunia terhadap Amerika Serikat ‘memadam’ sejak Donald Trump terpilih, China justru semakin bersinar dan Xi Jinping mengambil momen tersebut untuk mengalihkan perhatian dunia padanya. Pada World Economic Forum yang dilaksanakan di Davos, Switzerland tahun 2016 lalu, pidato Xi Jinping mendapatkan respon yang sangat positif dari forum ekonomi dunia yang bonavide tersebut. Sejak Xi Jinping memposisikan dirinya sebagai ‘pembela’ globalisasi di dalam forum tersebut, Xi Jinping nampaknya mulai semakin percaya diri dalam membawa China untuk memainkan peranan yang lebih asertif dalam isu-isu dunia termasuk globasasi dan perubahan iklim. Bahkan sebetulnya di dalam pidatonya tersebut Xi secara jelas menyebutkan bahwa China saat ini akan ‘mengambil kursi kendali’ dalam memerangi perubahan iklim. Pernyataan atau komiten serupa juga dinyatakan Xi kepada Kongres pada Kongres Nasional Partai Komunis China ke-19 tahun 2017 lalu. Bahwa kedepannya PKC akan membawa China untuk semakin melangkah dekat ke tengah panggung dunia dan mewujudkan ‘the Chinese Dream’. Di dalam pidato di World Economic Forum tersebut, Xi juga membahas mengenai pengalaman China dalam membangun Republik Rakyat hingga mencapai posisinya hari ini. Xi menyebutkan bahwa model politik China juga dapat memberikan kontribusi kepada dunia. Bahwa sistem politik “socialism with Chinese characteristic” dapat menjadi pilihan baru/ alternatif bagi negara-negara berkembang lainnya yang sedang berusaha untuk tumbuh secara ekonomi namun pada saat yang bersamaan mempertahankan kemerdekaannya.

Berkaitan dengan itu Xi juga berbagi bahwa sepanjang modern China, China telah mencoba berbagai bentuk pemerintahan dan sistem politik. Namun tidak pernah ada sistem yang benar-benar cocok dan dapat sesuai dengan dan menjawab kebutuhan bangsa China. Oleh karena itu, Partai Komunis China selalu mengatakan bahwa China tidak akan pernah meniru sistem politik negara lain, khususnya sistem politik demokrasi gaya Barat. Walaupun Xi juga mengatakan bahwa China sendiri memang harus belajar dari peradaban lain. Sebaliknya, Xi Jinping juga mensugestikan bahwa jika halnya negara-negara lain ingin melihat China sebagai inspirasi, maka dipersilahkan.

Lalu akan menjadi super power atau hegemon seperti apakah China? Atau model tatanan dunia apakah yang ditawarkan oleh China? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, selain kita perlu terlebih dahulu memahami bagaimana China memandang power, responsibility seperti dipaparkan sebelumnya. Juga sejumlah gambaran dari pemaparan lainnya, kita juga perlu untuk memahami bagaimana pandangan tradisional China mengenai tatatan dunia itu sendiri. Hal ini mengingat masih kentalnya ingatan dan ikatan sejarah bagi masyarakat China, terutama di kalangan elit politik China. Dari semua konsepsi tatanan dunia di Asia, peradaban China memiliki dan telah menjalankan tatanan dunia yang paling bertahan lama, terdefinisikan dan melekat kuat dan juga merupakan konsepsi tatanan dunia yang paling jauh berbeda dengan ide tatanan dunia yang ditawarkan westphalia system (konsep nation-state dan  sovereignty). China juga merupakan negara yang telah mengalami perjalanan yang paling komplek, dari peradaban kuno, era kekaisaran, hingga revolusi komunis dan saat ini tengah berjalan untuk menuju status ‘great power’ di abad ke-21. Disebutkan bahwa sejak penyatuannya menjadi satu entitas politik tunggal pada 221 SM hingga awal abad ke 20, posisi China di tengah dunia begitu melekat di benak para pemikir elit China hingga tak ada satu kata atau istilah pun dalam bahasa China yang digunakan untuk hal tersebut. Baru- baru kemudian para pemikir China mendefinisikan ‘Sinocentric tribute system’. Ya, sistem tribut atau penghargaan/ penghormatan. Di dalam konsep tradisional tersebut, China memandang dirinya sendiri, dalam arti tertentu, sebagai satu-satunya pemerintah dunia. Kaisar China di perlakukan sebagai figur dimensi kosmik dan merupakan penghubungan antara manusia dengan tuhan. Dan dalam pandangannya china bukanlah sebuah satu negara berdaulat dimana semua wilayahnya langsung berada di bawah kekuasaannya. Melainkan, China sebagai pusat dari semua peradaban ‘under heaven‘, yang menginspirasi dan mengangkat seluruh umat manusia. Dari pandangan tersebut, tatanan dunia menggambarkan hirarki universal, bukan keseimbangan dari kompetisi negara-negara berdaulat seperti dalam sistem westphalia. Setiap kelompok masyarakat yang ada dipandang memiliki hubungan tributari dengan China, berdasarkan tingkat kesamaannya dengan budaya China. Sedangkan penguasa monarki lainnya tidak dipandang sebagai entitas berdaulat melainkan sebagai murid dalam ‘seni memerintah’ untuk membangun peradaban. Diplomasi dengan demikian bukanlah proses tawar menawar antara negara-negara berdaulat sebagaimana kita kenal dan terapkan hari ini, melainkan serangkaian upacara yang diupayakan secara hati-hati, dimana masyarakat asing diberikan kesempatan untuk menegaskan posisinya di dalam hirarki global.

Adapun sistem tribut yang dimaksud diatas tidaklah ditujukan untuk menarik keuntungan ekonomi atau untuk mendominasi masyarakat asing secara milliter, melainkan untuk membangun ‘rasa hormat’. Dan untuk membantu proses tersebut, seorang menteri di Era dinasti Han (China) menjelaskan tentang penggunaan ‘lima umpan’, yakni:

“To give them … elaborate clothes and carriages in order to corrupt their eyes; to give them fine food in order to corrupt their mouth; to give them music and women in order to corrupt their ears; to provide them with lofty buildings, granaries and slaves in order to corrupt their stomach…. ad, as for those who come to surrender, the emperor (should) show them favor by honoring themm with an imperial reception party in which the emperor should personally serve them wine and food so as to corrupt their mind. These are what may be called the five baits”

Secara tradisional, China berupaya untuk mendominasi secara psikologis dengan pencapaian dan perilakunya, diselingi sekali-kali dengan penggunaan kekuatan militer untuk memberi pelajaran kepada kelompok barbar dan untuk mendapatkan rasa hormat. Jika dilihat dari itu, upaya dominasi China berbeda dengan upaya dominasi bangsa Barat bertujuan untuk ‘mengubah’ atau ‘to civilized’ kelompok masyarakat lain -bersifat missionaris (gold, glory and gospel)- melainkan hanya ditujukan untuk menarik atau mendapatkan rasa hormat. Dan adalah memungkinkan bagi bangsa lain untuk menjadi kawan bahkan sahabat, namun tidak akan pernah diperlakukan sebagai kawan sejajar China. Jika halnya di Eropa, sistem westphalia merupakan hasil perkembangan dari berbagai negara berdaulat pada akhir perang 30 tahun. Asia memasuki era modern tanpa adanya perbedaan perlengkapan organisasi nasional dan internasional seperti demikian. Asia memiliki sejumlah pusat-pusat peradaban yang dikelilingi oleh sejumlah kerajaan-kerajaan kecil dengan mekanisme interaksi yang halus dan berubah-ubah diantara mereka. Suburnya tanah China, budayanya yang sangat ulet dan kecerdasan serta ketajaman politik China, membuat peradaban China dapat bertahan satu hingga berjuta tahun lamanya dan mampu menjalan pengaruh politik, ekonomi dan budaya yang cukup kuat, bahkan ketika secara militer relatif lemah (tidak dipakai untuk berperang selama berpuluh-puluh tahun). Kekuatan komparatif utamanya berada pada kesejahteraan ekonominya dan kemampuannya untuk menghasilkan produk yang diinginkan oleh bangsa tetangga dan bangsa lainnya.  Dari hal tersebut dapat kita sumpulkan juga bahwa pandangan atau gagasan akan tatanan dunia China secara tradisional berbeda dengan gagasan tatanan dunia yang dihasilkan dari pengalaman dan sejarah Eropa. Dan hal demikian, kita lihat dan rasakan juga hingga saat ini.

Lalu apakah tatanan dunia yang ditawarkan China saat ini sama atau setia dengan gagasan tradisionalnya? jawabannya, kurang lebih sama. Jika dilihat dari sejumlah penyataan Xi Jinping ataupun penyataan-pernyataan yang selalu menjadi basis argumen para diplomatnya, maka sebetulnya China pada prinsipnya masih berpegang pada tradisi tersebut. Namun barangkali dengan sejumlah modifikasi dan penyesuaian. Henry Kissinger menyebutkan bahwa:

 “the ‘rise of China to eminence in the twenty-first century is not new, but reestablishes historic patterns. What is distinctive is that China has returned as both the inheritor of an ancient civization and as a contemporary great power on the Westphalian model. It combines the legacies of “All Under Heaven”, technocratic modernization, and an unusually turbulent twentieth-century quest for a synthesis between the two (Kissinger. p 133).

Atau dengan kata lain bahwa gagasan tatanan dunia China adalah kombinasi pandangan tradisional China –hirarkis, lebih bersifat untuk menginspirasi dan untuk mendapatkan rasa hormat sesuai dengan posisi masing-masing di dalam hirarki global tersebut], modernisasi teknokratik dan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan untuk memadukan kedua hal tersebut di abad ke-21 ini.

Lalu bagaimana cara yang dilakukan China untuk membangun tatanan dunia seperti yang digagasnya? Sebagaimana kita ketahui dan telah disebutkan sebelumnya bahwa China (Xi Jinping)  menawarkan konsep baru tatanan dunia berdasarkan inisiatifnya yang terdiri dari, AIIB, the Belt and Road Initiave, ide the Great Rejuvention of the Chinese Nation dan a New Type of Great Power Relations. Yang sebetulnya hampir semua hal tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah jawaban atas kebutuhan dan upaya penyelesaian permasalahan domestik China sendiri (dorongan internal). Apakah itu untuk memperkuat pengaruh dan kekuasaan Partai Komunis China di dalam negara; menjawab permasalahan ekonomi seperti stagnansi pertumbuhan ekonomi, kesenjangan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan di provinsi-provinsi non-pesisir China; dorongan peningkatan kualitas hidup dan lingkungan (tepatnya kualitas udara) di China yang semakin buruk sebagai akibat cepatnya industrialisasi; jalur perdagangan, pelayaran dan energi, serta kebutuhan untuk pengamanannya jalur tersebut, dan seterusnya yang telah diperhitungkan dan dirancang dengan sangat komprehensif, jelas dan berjangka oleh Partai. Selain itu, dapat dibayangkan di era industrialisasi 4.0 saat ini, pendekatan seperti apa yang bisa digunakan China untuk memperluas hegemoni-nya.

 

  1. PENUTUP

Tulisan ini pada dasarnya berangkat dari pertanyaan-pertayaan yang sering muncul dan dilontarkan banyak orang terhadap kita Indonesia. Apakah kita akan condong kepada China ataukah kita akan condong kepada Amerika?. Menurut hemat penulis pertanyaan itu tidaklah harus dijawab dan kita memang tidak harus condong kepada pihak manapun kecuali kepentingan nasional kita sendiri dengan dasar moral dan ideologi yang kita pegang. Oleh karena itu penulis cenderung berpegang pada pemahaman bahwa ancaman itu pada dasarnya adalah persepsi (perceived threat). Sun Tzu yang menyebutkan bahwa If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle”. Jika halnya kita akan memandang China sebagai ‘musuh’, maka kita harus mengenali China (bahkan jika mungkin lebih dari China mengenali dirinya sendiri). Oleh karena itu tulisan ini pada mulanya muncul dengan pertanyaan “akan menjadi negara super power seperti apakah China di masa depan – 2050 seperti tulis dalam rancagan pembangunannya?. Atau bahkan lebih dari itu “akan menjadi hegemon seperti apakah China di masa depan, khususnya di Asia? Dan apa yang akan dia tawarkan?”. Oleh karena itu membahas mulai dari perkembangan isu terakhir di China untuk memperoleh gambaran mengenai proyeksi masa depan China. Kemudian memahami bagaimana politik di China bekerja. Dan untuk mendapatkan gambaran mengenai akan menjadi negara great power atau hegemon seperti apakah China, kita melihat bagaimana pandangan China akan ‘power’ dan ‘responsibility’, juga bagaimana pandangan China akan tatanan dunia dan kira-kira tatanan dunia seperti apa yang akan dibangun atau ditawarkan oleh China.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa ide atau gagasan utama untuk proyeksi masa depan China adalah berkaitan dengan perwujudan ‘the Chinese Dream: the Great Rejuvenation” – yang pada dasarnya berangkat dari pengalaman sejarah pahit China terhadap bangsa Barat. Dengan demikian kita bisa antisipasi China yang akan lebih asertif dan aktif di tengah panggung global, termasuk dalam isu di Laut China Selatan. Perlu juga untuk selalu diingat bahwa semua ambisi global, kebijakan dan aktifitas kebijakan luar negeri China merupakan satu kesatuan gambar atau strategi besar China, baik dibidang ekonomi, politik maupun strategi militer – termasuk budaya dan pendekatan soft power lainnya- yang telah diperhitungkan dan dirancangan secara komprehensif. Perlu dicatat pula bahwa kepuasan di dalam berbagai lini kehidupan sangatlah penting bagi stabilitas dan penguatan legitimasi Partai Komunis China, dan bahwa Partai Komunis China juga memiliki pengaruh yang luas dari pejabat tinggi, elit bisnis dan teknokrat hingga akar rumput.

Mengingat kuatnya ingatan dan ikatan sejarah dalam masyarakat China, maka tidaklah tidak mungkin pandagan atau pemahaman terhadap konsep power, responsibility, morality dan posisitioning China pada gilirannya akan meluas, dari situasi domestik dan masyarakat China kepada bagaimana China melihat dunia atau negara lain.  Dan pada ujungnya, berdampak pada bagaimana China akan bersikap, dan menerapkan kekuatannya didalam tatanan global dan terhadap negara lain, serta bagaimana China menjalankan ‘responsibilitas’-nya sebagai ‘the so called great power –in the making’. Intinya, China akan memperlakukan negara lain secara berbeda-beda tergantung pada persepsinya terhadap negara tersebut. Dan model agagsan mengenai tatanan dunia China pada dasarnya merupakan kombinasi dari gagasan tradisional China, modernisasi teknokratik dan penyesuaian-penyesuaian keduanya di abad ke-21.

Perlu diakui bahwa penulisan dan analisis dalam tulisan ini masih memerlukan banyak penyempurnaan. Jikapun demikian, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan gambaran atau membuka wawasan dan pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu yang berkenaan dengan China. Sehingga dapat kita dapat melihat dengan pandangan yang lebih objektif, apakah itu mengenai posisi dan kepentingan nasional negara kita sendiri, ataupun dalam membangun kebijakan yang berkaitan dengan China di masa yang akan datang. Baik itu di bidang politik, ekonomi maupun militer. Karena kembali lagi, berinteraksi dengan ‘great power in the making” China bukanlah pilihan apakah kita harus anti atau pro China. Atau apakah kita harus anti atau pro dengan sistem internasional yang saat ini kita nikmat (super power Amerika dan westphalian system). Melainkan sesuatu yang harus  kita (Indonesia) jalani dan hadapi dengan cerdas dan mata terbuka. Pertanyaanya adalah sudahkah kita memahami diri kita sendiri? siapa kita? Mau seperti apa kita mau kemana kita?. “Gajah bertarung sama gajah. Peladuk mati ditengah-tengah”. Jalan China untuk menjadi great power tentu tidak akan berjalan tanpa hambatan, terutama dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Hal itu berarti, pertarungan pengaruh dan power antara keduanya juga akan semakin kuat di masa yang akan mendatang. Indonesia dalam hal tentu harus kembali mengayuh diantara dua gelombang, jangan sampai kita menjadi rumput yang mati ditengah pertarungan kedua negara besar tersebut. Satu, bahwa memang status dan pengaruh China hari ini terus meningkat. Namun, dua, perlu diingat kembali bahwa tatanan dunia saat ini (infrastruktur ekonomi, finansial, politik dan militer global) masih dipegang dan dikuasai Amerika –khususnya.

Referensi

Buku:

Austin, Greg & Yongjin Zhang, 2013. Power and Responsibility in Chinese Foreign Policy.

Beretta, Silvio, et. al. 2017. Understanding China Today: An Exploration of Politics, Economics, Society and International Relations.

Kissinger, Henry.

Lull, James. Hegemony. World Order: Reflection on the Character of Nations and Course of History.

Website:

(http://www.worldometers.info/world-population/china-population/)

https://www.nytimes.com/2018/03/10/world/asia/china-xi-jinping-term-limit-explainer.html

https://www.cnbc.com/2017/10/16/chinese-communist-party-congress-what-you-need-to-know.html

https://qz.com/1105337/chinas-19th-party-congress-your-five-minute-summary-of-xi-jinpings-three-hour-speech/

https://edition.cnn.com/2017/10/17/asia/china-party-congress-what-you-need-to-know/index.html

file:///F:/The%2019th%20Party%20Congress%20and%20Its%20Implications%20for%20the%20PLA%20_%20The%20Diplomat.html

https://thediplomat.com/2017/12/the-ccp-plants-the-china-dream-abroad/

https://www.csis.org/analysis/how-big-chinas-belt-and-road

https://thediplomat.com/2017/10/chinas-communist-party-3-successes-and-3-challenges/

https://multimedia.scmp.com/widgets/china/govt-explainer/index.html

 

[1]Hampir seluruh pemimpin China, dari Mao Zedong dan Zhou Enlai hingga Deng Deng Xiao Ping dan jian Zemin selalu memberikan kontribusi ide yang kemudian dimasukkan kedalam konsitusi China. Didalam hirarki konstitusi China, penggunaan kata ‘thought’ dinilai lebih tinggi dibadingkan ‘theory’ dan seterusnya. Dan sepanjang sejarah politik modern China, hanya Nama dan pemikiran (baca:‘thought’) dari Mao Zedong dan Xi Jinpinglah yang dituliskan dalam konstitusi. Sementara lainnya adalah  ‘Deng Xiaoping Theory‘ atau dikenal juga sebagai ‘the Great Architect of Reform for the Chinese Economic Miracle‘. Jiang Zemin dengan inovasi teoritikalnya tentang pelibatan pengusaha swasta ke dalam partai yang dikenal dengan ‘the important thought of the ‘Three Represents‘. Dan filosofi pemerintahan Hu Jintao yang dituliskan sebagai “the Scientific Outlook on Development“.

[2]China Baru-baru ini, pada bulan Januari 2018 tepatnya, China  juga mengutarakan ambisinya untuk membangun jalur pelayaran di artik yang terbuka karena global warming. Setelah berhasil menjadi anggota Arctic Council pada tahun 2013 lalu. Untuk pertama kalinya China mengeluarkan ‘Arctic Policy White Paper’ dan mendorong para pengusaha swasta China untuk melakukan percobaan pelayaran dan jalur perdagangan melalui artic yang kemudian akan membentuk ‘the Polar Silk Road’.

[3]Sir Harlord MacKinder (1904) hearthland theory. Ia menyebutkan “Who rules East Europe commands the Hearthland; who rules the Hearthland commands the World-Island; who rules the World-Island commands the world” (Mackinder 1904,  Democratic Ideals and Reality, p.150). World-Island, yang merupakan gabungan dan keterhubungan antara benua Eropa, Asia dan Afrika; dan merupakan gabungan wilayah terbesar, populasi terbanyak dan sumber daya dan kekayaan yang terbanyak punya dibandingkan kombinasi wilayah lainnya. Sedangkan offshore-island, yakni wilayah negara kepulauan seperti Inggris dan Jepang. Walaupun relevansi teori ini terhadap situasi sekarang patut diperdebatkan. Namun bagi pestudi geopolitik, tulisan Mac Kinder tersebut merupakan rujukan teoritis yang prominent.

[4] Jika halnya di dalam negeri Xi Jinping seringkali berbicara sebagai ketua Partai; di luar negeri Xi Jinping berperan sebagai representasi resmi, sebagai kepala negara China.

[5] Gunakan rumus ICCV untuk melihat ancaman. Yakni threat = (I)ntention + (C)apability + (C)ircumtances + (V)ulnerabilities.

[6] Penggunaan secara cerdas gabungan kekuatan soft power dan hard power

[7] Untuk pemahaman lebih lanjut, silahkan baca artikel berikut : < The Economist. 2017. “What To Do About China’s “Sharp Power”.” The Economist, December 14, 2017. https://www.economist.com/news/leaders/21732524-china-manipulating-decision-makers-western-democracies-best-defence>; dan < https://www.ned.org/sharp-power-rising-authoritarian-influence-forum-report/ >.

0 0 votes
Article Rating

Heni Sugihartini

View posts by Heni Sugihartini
Heni Sugihartini, lahir di Sumedang 21 November 1993. Tahun 2011 menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Memulai karirnya pada Juli 2016 sebagai staff redaksi dan analis di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM).
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap