1. Pendahuluan
Kerugian negara di sektor kelautan sudah mencapai 22 miliar dollar AS setiap tahun akibat berbagai tindak pidana dan hukum di laut. Kegiatan ilegal di laut seperti: pencurian ikan, penyelundupan, perompakan dan pembajakan di laut, pengiriman obat terlarang dan lain sebagainya, tidak pernah surut baik kualitasnya maupun kuantitasnya didorong oleh berbagai motivasi dan tujuannya.
Banyaknya pelanggaran hukum di laut dewasa ini, seolah memanfaatkan menurunnya kekuatan dan kemampuan aparat penegak hukum di laut, sejalan dengan menurunnya pula kemampuan negara untuk tetap mempertahankan suatau kekuatan yang memadai menghadapi perkembangan situasi dan kondisi lingkungan strategis yang cepat berubah. Stabilitas keamanan negara khususnya perairan NKRI merupakan fungsi pemerintah, karena itu harus tetap diupayakan dan ditegakkan, karena dampaknya yang sangat luas bagi kawasan regional maupun internasional. Karena berbagai instansi dan institusi Pemerintah yang mempunyai kepentingan di laut sesuai dengan pembagian sektor pembangunan masing-masing, maka tugas untuk menegakkan dan memelihara keamanan dilaut ini tidak dapat dibebankan kepada satu institusi saja melainkan harus dilakukan bersama (terintegrasi) antar instansi terkait tersebut.
Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA) yang merupakan satu-satunya badan koordinasi antar departemen yang berfungsi mengkoordinasikan aparat dan instansi terkait untuk efisiensi serta mengorganisir fungsi tersebut untuk diarahkan menjadi satu upaya yang bulat dalam rangka penegakan keamanan di laut. Dewasa ini dirasakan bahwa BAKORKAMLA kurang berdaya guna dalam melaksanakan fungsinya walaupun keberadaannya tetap dibutuhkan. Kondisi BAKORKAMLA saat ini diibaratkan seperti hidup enggan, mati tak mau.
2. Bakorkamla Dan Masalahnya
BAKORKAMLA dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Hankam/Pangab, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung RI. Jadi pada tingkat atas, badan ini berfungsi mengkoordinasikan instansi terkait untuk pengambilan keputusan serta menentukan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan oleh Pelaksana Operasi di lapangan.
Sedangkan pada tingkat operasional disusun dalam suatu Komando Operasi, dengan maksud agar tercapai efisiensi dan efektifitas pengerahan kekuatan melalui suatu rantai komando dan kendali yang jelas, mengingat mandala operasi yang begitu luas.
Dengan dibentuknya Departemen Kelautan Dan Perikanan (DKP) maka kebijaksanaan pengelolaan kelautan dan segala aspeknya serta yang menyangkut kegiatan perikanan laut diIndonesiamenjadi tanggung jawab Departemen ini. Konsekuensinya, DKP juga merasa berkewajiban melakukan penegakan hukum di laut (law enforcement at sea) khususnya terhadap sasaran illegal fishing di perairan yurisdiksiIndonesia. Karena itu DKP membentuk armada kapal untuk melaksanakan tugas patroli dalam rangka menanggulangi pelanggaran hukum di laut yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan baik domestik maupun asing. Dasar hukum utama yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang menyatakan bahwa PPNS di bidang Perikanan sebagai aparatur penyidik di laut Untuk menghindari tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut, yang akan berlanjut pada proses penyelesaian perkara di darat, maka seyogianya armada kapal-kapal patroli DKP berada dalam komando dan kendali operasional BAKORKAMLA, setara kedudukannya dengan kapal-kapal patroli dari Bea Cukai, KPLP, Polisi AIRUD) dan Angkatan Laut. Hal ini dimungkinkan jika DKP menjadi salah satu unsur BAKORKAMLA dan berada dalam koordinasi dengan Departemen lain yang sama-sama memiliki kepentingan di laut, sehingga kebijaksanaan operasi dapat dilakukan secara terpusat, dengan demikian diharapkan diperoleh hasil yang maksimal.
Dengan lahirnya Undang-Undang RI No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-Undang RI No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, lebih menegaskan bahwa TNI berperan sebagai alat Pertahanan NKRI. Pasal 10 ayat b UU No 34 menyatakan bahwa Angkatan Laut bertugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi Nasional sesuai dengan ketentuan hukum Nasional dan hukum Internasional.
Pemisahan yang tegas antara peran TNI sebagai alat Pertahanan dan POLRI sebagai alat Keamanan NKRI, di mana kedudukan POLRI berada langsung di bawah Presiden, seolah memberikan legitimasi yang kuat bagi POLRI sebagai satu-satunya institusi yang berwewenang melakukan tugas-tugas keamanan baik di darat, laut maupun udara. Khusus mengenai keamanan di laut terlihat bahwa kapal-kapal patroli AIRUD secara intensif melakukan patroli pengamanan di laut, serta melakukan penindakan terhadap kapal-kapal yang melakukan kegiatan ilegal di laut. Umumnya mereka melakukan operasi secara manunggal (sendiri) dalam arti tidak lagi berada dibawah Komando dan Kendali Koopskamla. Dari informasi yang diperoleh, sekarang ada keengganan pihak Polri dalam hal ini Satpolair untuk memBKOkan kapal-kapal patrolinya ke KOOPSKAMLA di bawah BAKORKAMLA yang sesuai ketentuan berada di bawah komando dan kendali seorang perwira Angkatan Laut.
Demikian pula halnya dengan unsur-unsur sipil yang lain seperti: KPLP, Bea Cukai, DKP dan bahkan unsur-unsur TNI Angkatan Laut cenderung melakukan operasi sendiri-sendiri sehingga semakin menguatkan pendapat bahwa BAKORKAMLA sudah mendekati ajal alias mati. Suatu situasi yang ironis dimana justru tantangan di laut semakin besar dan berat, malah keberadaan BAKORKAMLA semakin memudar.
Memang diakui dalam bentuk operasi Kamla dimungkinkan untuk melakukan operasi sendiri-sendiri sesuai kewenangan instansi masing-masing namun tentunya tidak akan memperoleh hasil yang maksimal apabila dilakukan dalam bentuk gabungan terintegrasi.
Masalah lain yang dihadapi oleh kapal-kapal KPLP dan kapal-kapal Bea Cukai adalah kesiapan teknis yang tidak memadai melaksanakan operasi untuk suatu jangka waktu tertentu sesuai Rencana Operasi Kamla. Akibatnya kapal-kapal ini hanya dapat melakukan operasi terbatas, yaitu waktu dan area yang terbatas.
Masalah mendasar lain yang perlu dilakukan penyesuaian adalah bentuk operasi Kamla. Disebutkan bahwa operasi sepanjang tahun yang dilaksanakan secara terpadu, bertujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan di laut sebagai upaya mewujudkan penangkalan dalam kerangka Strategi Pertahanan Nusantara. Padahal Strategi Pertahanan tersebut adalah implementasi dari fungsi Militer (TNI), oleh karena itu hanya dapat dilakukan oleh unsur-unsur militer karena ditujukan untuk menanggulangi terhadap adanya ancaman serangan dari luar dan dengan sendirinya bukanlah menjadi tugas unsur-unsur sipil yang tergabung dalam Koopskamla. Jadi jelas di sini telah terjadi pencampuradukan antara fungsi Militer dan fungsi Constabulary. Pelibatan unsur sipil dalam pertahanan negara akan diatur tersendiri dalam Doktrin Pertahanan Negara RI.
Dalam kaitan dengan penjelasan di atas, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dalam operasi Kamla ini benar-benar dalam fungsinya sebagai penegak hukum di laut (Constabulary function) dan bukan melaksanakan fungsi Militer ataupun fungsi Diplomasi yang memang melekat padanya, sejalan dengan fungsi Angkatan Laut secara universal sesuai teori Ken Booth.
3. Perkembangan Baru
Dewasa ini sedang berkembang wacana baru, gagasan sebuah LSM bernama The Aerospace Centre of Indonesia (APCI) tentang perlunya dibentuk suatu Joint Maritime Surveillance (JMS) sebagai model baru pengamanan wilayah laut secara terpadu. Sistem pengamanan terpadu tersebut mengintegrasikan berbagai instansi dan Departemen antara lain, Departemen Kelautan dan Perikanan, TNI AL, TNI AU, Departemen Perhubungan, Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Keuangan dan Kejaksaan Agung, yang pelaksanaannya akan diatur dalam bentuk perundang-undangan. Sistem Komando dan Kendali (Kodal) akan berada langsung di bawah Presiden sebagai pimpinan tertinggi JMS dengan dibantu oleh Menteri Koordinator Politik Hukum Dan Keamanan (Menkopolhukam) sebagai koordinator di level strategis. Pada dasarnya konsep JMS akan menggunakan perangkat teknologi informasi yang canggih yang memang sudah dipunyai oleh unsur-unsur operasional (kapal) instansi terkait, di mana data-datanya dihimpun melalui Maritime Database Management Systems (MDBMS), diolah kemudian diteruskan kembali ke unsur-unsur yang membutuhkan di lapangan. Satu hal yang menonjol dalam konsep ini adalah keterlibatan pesawat TNI AU yang bertugas sebagai unsur pemantau udara (Maritime Surveillance) yang tentunya akan menggunakan pesawat intai jenis Boing 737 yang dipunyai TNI AU saat ini. Untuk mewujudkan terbentuknya JMS ini maka langkah-langkah yang akan ditempuh antara lain melalui pembentukan MOU antar Departemen, pembuatan Surat Keputusan Bersama, kemudian dilanjutkan dengan peraturan- peraturan pada tingkat taktis operasional di lapangan.
Dilihat dari proses pembentukannya, serta unsur-unsur yang terlibat, pasti akan bermuara pada organisasi Koordinasi, maka dapat dikatakan identik dengan BAKORKAMLA yang sudah ada. Perbedaannya hanya pada pimpinan tertinggi yaitu Presiden yang dibantu oleh Menkopolhukam. Jadi bila gagasan ini akan diwujudkan, bagaimana dengan keberadaan BAKORKAMLA?
Pelibatan unsur udara TNI AU terasa dipaksakan ,mengingat pesawat intai maritim jenis Boing 737 banyak memiliki kelemahan untuk tugas-tugas di laut. Pesawat tersebut tidak dapat terbang rendah sehingga hanya mampu melakukan deteksi terhadap sasaran atas air namun tidak dapat melakukan identifikasi sasaran secara akurat. Padahal ketepatan identifikasi sasaran merupakan kebutuhan utama unsur-unsur yang beroperasi diatas air agar dapat melakukan tindakan lanjutan. Karena terbang tinggi dengan kecepatan tertentu, sulit melakukan kerja sama taktis dan hubungan komunikasi real time. Sebagai perbandingan, di negara-negara maritim maju seperti AS danAustralia, pesawat intai maritim tipe P3 Orion digunakan untuk tugas-tugas pertahanan (militer) khususnya melakukan serangan terhadap kapal selam menggunakan peluru kendali yang dibawanya.
Masalah penggunaan teknologi informasi yang canggih, adalah masalah teknis yang tinggal memberdayakan peralatan-peralatan yang dirasakan belum digunakan secara optimal walaupun sudah dipunyai oleh kapal-kapal maupun pendirian di darat, seperti; radar pantai, VMS (Vessel Monitoring System), Vessel Traficking Information System, serta perangkat-perangkat navigasi dan komunikasi yang sudah ada.
Sekalipun memiliki kelemahan, bukan berarti pesawat TNI-AU tidak dapat berperan dalam operasi Kamla. Karena memiliki daya deteksi yang jauh maka pesawat-pesawat TNI-AU akan ampuh bila melakukan pemantauan di wilayah di luar laut teritorial yaitu dizona tambahan dan ZEE. Hasil deteksi sasaran di zona tersebut karena posisi yang relative jauh, akan memberikan waktu yang cukup bagi kesatuan kapal-kapal Kamla untuk melakukan persiapan guna menghadapinya.
Dari keterangan tersebut di atas, maka ada beberapa alasan untuk tetap mempertahankan eksistensi BAKORKAMLA beserta jajaran di bawahnya sebagai berikut:
1. Pembentukan organisasi baru pengamanan laut, akan membutuhkan waktu, tenaga dan bahkan dana yang tidak sedikit.
2. Badan koordinasi tersebut akan tumpang tindih dengan BAKORKAMLA yang sudah ada. Akan lebih baik memberdayakan kembali organisasi yang ada dengan melakukan penyesuaian dan perobahan sesuai dengan perkembangan situasi politik dewasa ini khususnya pada tingkat Badan koordinasi di atas.
3. Organisasi BAKORKAMLA sudah cukup teruji selama bertahun-tahun dan masih sangat relevan untuk menjawab tantangan keamanan di seluruh wilayah laut yurisdiksi nasional melalui peningkatan kemampuan deteksi, identifikasi, komunikasi, tukar menukar data dan lain-lain.
4. Kedudukan TNI-AL sebagai leading institution di tingkat Koopskamla, perlu dipertahankan karena beberapa alas an berikut:
- TNI-AL bertugas pokok menjaga dan melindungi kepentingan keamanan nasional di laut.
- TNI-AL memiliki unsur yang terbanyak dalam Koopkamla.
- Unsur-unsur TNI-AL mampu melaksanakan patroli diseluruh wilayah perairan mulai dari perairan pedalaman sampai dengan ZEE.
- Pangkalan-pangkalan pendukung TNI-AL telah tersebar keseluruh Nusantara.
- Adanya pangkalan tersebut akan memudahkan melakukan koordinasi dengan unsur Kamla terkait.
- Dalam berinteraksi dengan kapal perang negara lain, misalnya milik negara tetangga, maka hanya unsur\ TNI-AL yang memiliki bargaining power yang kuat.
5. Eksistensi Bakorkamla tentunya akan ditinjau secara menyeluruh, manakala keputusan politik Pemerintah untuk membentuk “COAST GUARD” (Penjaga Pantai) di Indonesia. Namun satu hal yang perlu tetap diingat bahwa dengan adanya Coast Guard tidak akan menghilangkan fungsi Angkatan Laut selaku penegak hukum di laut(Constabulary Function).
6. Perkembangan baru di negara-negara yang memiliki Coast Guard dengan undang-undang yang mencegah tentara melakukan tugas penegakan hukum seperti AS, telah mengalami pergeseran pendapat di masyarakat yang menuntut tentara juga harus melakukan tugas-tugas non militer (diluar pertahanan).
Masalah pokok lain yang harus dilakukan adalah penataan ulang Konstruksi Manajemen Keamanan di laut. Dalam perencanaan sedapat mungkin melibatkan semua instansi yang terlibat dalam operasi, kemudian menentukan secara tegas tugas –tugas apa yang akan dilaksanakan oleh masing-masing, demikian pula daerah tanggung jawabnya. Komando, Kendali dan Komunikasi harus ditetapkan agar jalas pertanggungjawabannya.
Untuk dapat melakukan tugas selaku koordinator yang baik maka Koopskamla harus mampu melakukan pendekatan, koordinasi dan komunikasi, kunjungan ataupun undangan kepada anggota-anggota Koopskamla di wilayah tingkat Satgaskamla, dalam upaya membina kesatuan, kesamaan pandangan dan kerjasama yang baik antar sesama anggota. Olah Yudha Kamla sebagai sarana pelatihan dan pengujian Rencana Operasi Kamla harus tetap dilaksanakan.
Sebagai tambahan, pengertian” Military Operation Other Than War” (MOOTW) atau Operasi Militer Selain Perang, perlu dikaji benar maknanya, agar penerapannya tepat. Karena bisa saja penerapannya berbeda-beda di tiap negara karena perangkat perundang-undangan yang mengatur tugas militer berbeda-beda. Misalnya di Indonesia timbul pertanyaan: Apakah keterlibatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam Koopskamla dalam rangka tugas MOOTW atau bukan. Jawabannya bisa YA bisa TIDAK.
Jawaban YA, karena kedua kesatuan tersebut melakukan kegiatan operasi penegakan hukum dan bukan operasi militer, tapi bisa juga TIDAK karena nyatanya operasi yang dilakukan melibatkan dua kesatuan Militer bersama-sama. Di sini mungkin perlu pengkalimatan yang lain menjadi: Operation Other Than War Conducted by Military Units. Namun pertanyaan-pertanyaan diatas perlu pengkajian lebih lanjut.
4. Kesimpulan
a. Keamanan di laut Yurisdiksi Nasional NKRI harus tetap ditegakkan dan dipertahankan sebagai salah satu syarat mutlak bagi tercapainya pembangunan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.Keamanan hanya dapat dicapai dengan melibatkan seluruh instansi dan institusi Pemerintah yang mempunyai kepentingan dilaut secara terkoordinasi dan terintegrasi, diarahkan untuk satu tujuan yang sama.
b. Sambil menunggu keputusan Pemerintah tentang kemungkinan pembentukan Penjaga Pantai (Coast Guard) maka eksistensi BAKORKAMLA harus tetap diberdayakan agar tidak terjadi kevacuman dalam penanganan masalah keamanan di laut. Perubahan/penyesuaian perlu dilakukan utamanya pada tingkat Koordinasi atas disesuaikan dengan perobahan politik Pemerintah. Namun pada tingkat Komando Operasional masih layak dipertahankan.
c. Peran TNI-AL selaku leading institution di tingkat komando pelaksana perlu dipertahankan mengingat tugas pokok TNI-AL menjaga dan mempertahankan Kepentingan Nasional di Laut.
d. Konstruksi Manajemen Keamanan di laut perlu ditata ulang mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan agar tercapai efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas.
e. Wacana tentang pembentukan Joint Maritime Suveillance (JMS) akan tumpang tindih dengan BAKORKAMLA yang ada.
5. Penutup
Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah berkaitan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut di masa depan.