Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Pada tanggal 22-26 Februari 2008 Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert M. Gates mengadakan rangkaian kunjungan ke Australia dan Indonesia sebagai bagian dari lawatan ke empat negara.[i] Indonesia menjadi tuan rumah kunjungan Gates pada 25-26 Februari 2008, setelah pada 22-25 Februari melawat ke Australia. Dalam lawatan ke kedua negara, isu-isu yang menjadi pembahasan selain hubungan bilateral dengan Amerika Serikat, juga tentang Irak, Afghanistan, keamanan maritim dan proliferasi senjata pemusnah massal.
Apabila dicermati, sebagian agenda yang dibahas oleh Menteri Pertahanan Amerika Serikat itu dengan sejumlah mitranya terkait dengan keamanan maritim. Dari sudut pandangan Indonesia, kunjungan Gates ke kawasan Asia sangat penting untuk dicermati karena secara langsung maupun tidak langsung, berimplikasi terhadap pembangunan kekuatan pertahanan ke depan. Tulisan ini akan membahas tentang hasil kunjungan Gates ke Australia dan Indonesia dikaitkan dengan kepentingan Indonesia, khususnya di bidang maritim.
2. Komunike AUSMIN 2008
Salah satu agenda lawatan Menteri Pertahanan Amerika Serikat ke Australia adalah menghadiri konsultasi tingkat Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri kedua negara. Pertemuan yang dikenal sebagai Australia-United States Ministerial (AUSMIN) Consultations merupakan wadah konsultasi dua tahunan kedua negara di bidang pertahanan. Dari AUSMIN 2008 dihasilkan komunike bersama, yang merupakan kesepakatan kedua belah pihak atas isu-isu keamanan.
Mencermati komunike bersama AUSMIN 2008, isu-isu yang dibahas oleh Gates dan mitranya dari Australia Joel Fitzgibbon adalah sebagai berikut:[ii]
2.1 Aliansi Amerika Serikat-Australia
2.2 Kerjasama kedua negara menghadapi tantangan bersama
2.3 Kerjasama kawasan
2.4 Lawan proliferasi (counter proliferation)
2.5 Hubungan pertahanan
Sudah jelas bahwa siapa pun dan dari partai apapun yang menduduki pemerintahan Australia, aliansi dengan Amerika Serikat merupakan bagian dari kepentingan nasional yang abadi. Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila jauh-jauh hari sebelum terpilih menjadi Perdana Menteri Australia pada pemilu November 2007, Kevin Rudd sebagai pemimpin Partai Buruh telah menggariskan tiga pilar kebijakan pertahanan Australia, yaitu aliansi dengan Amerika Serikat, keanggotaan di PBB dan pelibatan komprehensif di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik yang lebih luas.[iii] Kunjungan Gates ke Australia merupakan kunjungan pertamanya sebagai Menteri Pertahanan setelah menggantikan Donald Rumsfeld, sekaligus kunjungan pertama seorang Menteri Pertahanan negara adidaya itu ke Australia pasca pemilu November 2007 yang mengantarkan Partai Buruh ke kursi kekuasaan eksekutif. Apa yang tersaji dalam komunike bersama yaitu, ”Australia and the United States reaffirmed the enduring strength of the alliance and its firm basis in shared values, high level of trust and a record of cooperation and shared sacrifice”, merupakan penegasan ulang akan komitmen kedua negara.
Adapun tentang kerjasama kedua negara menghadapi tantangan bersama tidak lepas dari perkembangandi Irak,Afghanistan,Pakistan, isu Israel-Palestina dan perkembangan politik diLebanon. Perkembangan di tiga negara pertama merupakan bagian dari perang terhadap terorisme yang dilancarkan kedua negara, yang manaAustraliaadalah pendukung kuatnya. Meskipun dalam komunike bersama juga dimuat isu Israel-Palestina danLebanon, namun perhatian terbesar kedua negara diberikan terhadap perang terhadap terorisme.
Isu perang terhadap terorisme penting bagi kedua negara untuk ditegaskan ulang, karena pemerintahan Partai Buruh berketetapan untuk menarik sejumlah personel militer Australia(Digger) dari Irak pada tahun ini. Sebagian pihak mengartikan langkah demikian sebagai kemunduranAustralia dalam komitmennya terhadap aliansi dengan Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa kebijakan Partai Buruh itu tidak dapat diartikan sebagai pengurangan komitmenAustralia dalam membantu Amerika Serikat, sebab kebijakan demikian tidak lepas dari aspirasi diAustralia sendiri agar negara itu lebih memfokuskan diri terhadap operasi diAfghanistan.
Dalam komunike bersama tentang kerjasama regional, butir-butirnya menyinggung tentang pandangan kedua negara terhadap perkembangan beberapa negara utama di kawasan Asia Pasifik, khususnya dalam isu keamanan. Adapun pihak-pihak yang menjadi fokus adalah Indonesia, Filipina, Burma, Timor Timur, ASEAN Regional Forum, Cina, India dan negara-negara kecil (micro states) di kawasan Pasifik. Menyangkut Indonesia, salah satu kalimat yang perlu dicermati adalah “Both countries are encourages by Indonesia’s good progress in strengthening democracy, its commitment to fighting terrorism and reforming the military and its strong performance in combating terrorism”.
Dalam isu lawan proliferasi, ada dua agenda yang menjadi hirauan kedua negara. Pertama, menyangkut penyebaran man-portable air defense systems (MANPADS) dan kedua, penegasan ulang akan dukungan terhadap Proliferation Security Initiative (PSI). Dalam komunike bersama, “Australia and the United States agreed that the illicit transfer and unathorised access to man-portable air defense (MANPADS) by terrorist and other non-state actor pose an on-going potential threats to international civil and military aviation”. Kedua negara sepakat mengadopsi dan taat untuk memperkuat kendali-kendali lawan proliferasi MANPADS, termasuk pelaksanaan Resolusi Majelis Umum PBB 62/40 dan komitmen-komitmen lainnya.
Isu PSI kembali ditegaskan kedua negara melalui komitmen untuk bekerjasama dalam kemitraan untuk memerangi proliferasi senjata pemusnah massal. “They (U.S.-Australia) noted that they looked forward to expanding activities related to initiative and assisting partner nations to implement the Statement of Principles”, demikian antara lain bunyi komunike bersama. Komunike juga menggarisbawahi pentingnya semua pihak Non-Proliferation Treaty (NPT) bekerjasama untuk hasil NPT Review Conference pada tahun 2010.
Dalam aspek kerjasama pertahanan Amerika Serikat-Australia, kedua negara setuju untuk memperkuat kerjasama di bidang perdagangan pertahanan (Trade Defence Cooperation), di bidang latihan melalui Exercise Talisman Sabre 2009 dan closer cooperation in intelligence matters. Selain itu, kedua pihak “agreed to establish a joint investment program to develop a combined considering it important to enhance their ability to respond to contingencies in the region. They agree to work on the details of the agreement over the coming year”.
3. Tawaran Bantuan Kepada Indonesia
Setelah merampungkan kunjungannya keAustralia, Menteri Pertahanan Robert Gates melakukan lawatan keIndonesiapada 25-26 Februari 2008. Dalam kesempatan itu, agenda yang menonjol adalah isu keamanan maritim dan peningkatan kemampuan angkutan udara TNI guna menghadapi bencana alam. Sebenarnya terdapat beberapa isu lain yang dibahas oleh Gates dengan sejumlah pejabatIndonesia, yaitu perkembangandi Irak, Afghanistan dan proliferasi senjata pemusnah massal. Ketiga isu terakhir memang bukan isu yang populer diIndonesia, namun sebenarnya penting bagi negeri ini karena beberapa karakteristik yang melekat padanya.
Di samping bertemu sejumlah pejabat kunci Indonesia, Gates juga menjadi pembicara dalam acara yang diorganisasikan oleh Indonesian Council on World Affairs. Dalam ceramahnya, petinggi Pentagon ini mengangkat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh kawasan Asia Pasifik, yaitu kebangkitan India, Cina dan Rusia, isu nuklir Korea Utara, tantangan asimetris dan ancaman lintas negara.[iv]
Merespon perkembangan demikian, Amerika Serikat melakukan transformasi kebijakan pertahanan untuk beradaptasi dengan realitas keamanan baru. Transformasi dilakukan tetap dalam kerangka besar yaitu to preserves and protects our fundamental – and enduring – interest and values on the Pasific Rim. Salah satu wujud dari transformasi tersebut adalah peningkatan kehadiran militer Amerika Serikat di Pasifik melalui pangkalan diGuam untuk merespon kontinjensi di kawasan ini.
Dalam forum tersebut, Gates menggarisbawahi isu keamanan maritim dan upaya memerangi pembajakan dan proliferasi (senjata). Untuk menghadapi tantangan itu, Amerika Serikat melalui Komando Pasifik memberikan latihan dan peralatan yang memungkinkan negara-negara di kawasan untuk mengendalikan perairannnya yang digunakan oleh kelompok penyelundup, penyelundup senjata dan teroris.
Dikaitkan dengan hubungan Amerika Serikat-Indonesia, Gates menawarkan dua langkah untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Pertama, Amerika Serikat “ready to help you continue the process of defense reform”. Kedua, “we are ready to help you in specific defense capabilities, especially in the airlift and maritime domains”. Dengan kata lain, Amerika Serikat menawarkan bantuan tertentu kepada Indonesia untuk meningkat kemampuannya menghadapi tantangan keamanan maritim dan bencana alam.
Tawaran bantuan itu tentunya harus dipandang sebagai bagian dari upaya Amerika Serikat merangkul Indonesia dalam bingkai kepentingan nasionalnya. Karena sebagai negara yang strategis di kawasan, adidaya tersebut tidak akan membiarkan Indonesia dirangkul oleh kekuatan besar lain yang berseberangan dengannya. Pertanyaannya adalah bagaimana Indonesia harus bersikap terhadap tawaran bantuan tersebut? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, hendaknya tidak melupakan kerangka besar konstelasi geopolitik kawasan dan ”dinamika” internal di Indonesia mengenai isu keamanan nasional.
4. Peningkatan Kemampuan Terbatas
Dari kunjungan Gates ke Australia dan Indonesia beberapa medio Februari, terdapat tiga isu yang hendaknya dicermati oleh Indonesia. Pentingnya mencermati ketiga isu karena akan berimplikasi terhadap masalah keutuhan wilayah, keamanan maritim di perairan yurisdiksi dan kerjasama pertahanan Indonesia dengan kedua negara (Amerika Serikat dan Australia). Ketiga isu dimaksud berupa kerjasama kawasan, lawan proliferasi dan hubungan pertahanan.
Pertama, kerjasama kawasan. Dalam komunike AUSMIN 2008, dinyatakan bahwa, “Both countries are encourages by Indonesia’s good progress in strengthening democracy, its commitment to fighting terrorism and reforming the military and its strong performance in combating terrorism”. Dari pernyataan itu muncul pertanyaan apakah benar Amerika Serikat mendorong peningkatan kemampuan militerIndonesia dalam memerangi terorisme?
Berdasarkan data-data yang ada, kontribusi negeri itu terhadap peningkatan kemampuan TNI dalam memerangi terorisme tidak signifikan. Memang secara terbatas Komando Pasifik Amerika Serikatmelakukan latihan bersama lawan terorisme bersama sejumlah satuan TNI, termasuk TNI Angkatan Laut. Namun apabila dibandingkan dengan bantuan lawan terorisme yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat kepada Polri, kontribusi negeri itu terhadap peningkatan kemampuan lawan terorisme TNI tidak terlalu berarti.
Memang dalam Section 1206 “train and equip” FY 2006, Kongres memberikan otorisasi bagi peningkatan kemampuan TNI menghadapi ancaman terorisme, termasuk terorisme maritim. Salah satu wujud realisasi Section 1206 adalah bantuan radar maritim untuk dipasang di Selat Malaka dan Selat Makassar dalam program Integrated Maritime Surveillance System (IMSS). Akan tetapi, wujud bantuan tersebut tidak berkorelasi langsung terhadap peningkatan kemampuan lawan terorisme TNI, hanya berkontribusi pada maritime domain awareness, khususnya kemampuan penginderaanIndonesia di kedua perairan strategis tersebut.
Kedua, isu lawan proliferasi. Dalam isu ini, Amerika Serikat sangat hirau dengan peredaran MANPADS pada aktor non negara. Kehirauan negeri itu sudah sewajarnya menjadi hirauan Indonesia pula, karena di sana ada kepentingan Indonesia yang turut dipertaruhkan. Apabila MANPADS beredar dengan bebas pada aktor non negara, termasuk kelompok teroris dan separatis, sepertinya akan berkontribusi negatif terhadapIndonesia. Sebab negeri ini masih mempunyai sejumlah masalah internal yang terkait dengan terorisme dan separatisme.
Dapat dibayangkan bila suatu ketika salah satu atau kedua kelompok mempunyai MANPADS, maka menjadi ancaman terhadap keamanan penerbangan sipil dan militer diIndonesia. Seperti diketahui, kecuali pesawat tempur, semua pesawat udara sipil dan militer belum dilengkapi dengan sistem pertahanan diri, sehingga merupakan sasaran empuk bagi MANPADS. Sementara di sebagian negara lain, mulai berlaku kewajiban nasional untuk melengkapi semua pesawat udara, termasuk pesawat sipil, dengan sistem pertahanan diri dari sengatan MANPADS.
Dikaitkan dengan komunike bersama AUSMIN 2008, setidaknya terdapat dua langkah yang dapat dilakukan olehIndonesia. Secara internal melakukan pengendalian terhadap isu MANPADS, misalnya dengan penerbitan peraturan khusus. Sebab undang-undang yang mengatur peredaran senjata api merupakan peraturan lama yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan perkembangan.
Sedangkan secara eksternal, sebaiknyaIndonesiamelakukan penjajakan kerjasama dengan Amerika Serikat untuk mengendalikan proliferasi MANPADS. Misalnya kerjasama pertukaran informasi intelijen, baik pada tingkat intelijen nasional maupun intelijen pertahanan/militer. Untuk menuju ke situ, tentu harus dimatangkan terlebih dahulu di dalam negeri melibatkan instansi-instansi terkait, sehingga sikap Indonesia nantinya satu dalam penjajakan kerjasama dengan Amerika Serikat. Suatu fakta yang tidak dapat dibantah adalah kondisi geografis Indonesia memberikan kemudahan bagi penyelundupan senjata, termasuk MANPADS. Artinya, pencegahan terhadap proliferasi MANPADS dari perspektif Indonesia mempunyai keterkaitan langsung dengan TNI Angkatan Laut sebagai aktor utama dalam keamanan maritim.
Di samping isu MANPADS, komunike bersama AUSMIN 2008 juga menegaskan kembali tentang pentingnya PSI. Bagi Indonesia, isu PSI merupakan suatu hal yang dilematis dari inisiatif itu digagas pada 2003.Indonesiamenolak adanya interdiksi terhadap suatu kapal di perairan yurisdiksi oleh pihak asing karena bertentangan dengan asas kedaulatan. Selain itu,Indonesiajuga memandang PSI sebagai suatu inisiatif yang ditujukan kepada negara tertentu yang berseberangan dengan kepentingan Amerika Serikat.
Akan tetapi di sisi lain, tekanan terhadap Indonesiauntuk berpartisipasi dalam PSI melalui persetujuan terhadap Statement of Interdiction Principles terus dilaksanakan secara konsisten oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Kondisi demikian menimbulkan dilema terhadap Indonesia, sehingga pada Juni 2006 sempat terjadi perbedaan pendapat antar pejabat tinggi Indonesia menyangkut isu PSI. Sebab ada pandangan “jalan tengah” yang menghendaki Indonesia menerima PSI dengan reserve seperti halnya Rusia.
Ketiga, hubungan pertahanan. Dalam komunike AUSMIN 2008, salah satunya berbunyi, “agreed to establish a joint investment program to develop a combined considering it important to enhance their ability to respond to contingencies in the region”. Apabila komunike tersebut dicermati dan ditarik dalam konteksIndonesia, maka salah satu wilayah yang potensial untuk munculnya kontinjensi adalah Papua. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwaAustralia terus memantapkan perannya sebagai Deputi Sherif Amerika Serikat di kawasan Pasifik, mulai dari wilayah Indonesia Timur hingga negara-negara kecil yang bertebaran di Samudera Pasifik.
Menjadi tantangan bagiIndonesiauntuk menyiapkan rencana kontinjensi yang sifatnya komprehensif, bukan semata di bidang pertahanan. Bagaimana pun rencana kontinjensi tersebut, yang pasti dituntut harus mampu “menangkis” rencana kontinjensi yang disiapkan oleh Amerika Serikat danAustralia. Kata kuncinya adalah kesatuan bersikap di antara semua elemen kekuatan nasional dalam sebuah orkestrasi yang rapi.
Menyorot masalah kontinjensi, menarik pula untuk dikaitkan dengan tawaran Menteri Pertahanan Amerika Serikat di Jakarta. Gates menyatakan, “we are ready to help you in specific defense capabilities, especially in the airlift and maritime domains”. Apabila mencermati tawaran itu, sepertinya membenarkan pendapat yang berkembang selama ini bahwa Amerika Serikat tidak ingin daya pukul pertahanan Indonesia meningkat. Kemampuan angkutan udara untuk merespon kontinjensi (khususnya menyangkut isu keamanan) tidak akan berarti banyak tanpa diimbangi oleh kemampuan daya pukul kekuatan pertahanan. Begitu pula dengan domain maritim, yang sulit untuk dibantah bahwa negara itu hanya membantu untuk meningkatkan kemampuan penginderaan Indonesia sebagai bagian dari maritime domain awareness dan (sedikit kemampuan) interdiksi maritim.
5. Penutup
Kunjungan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert M. Gates ke Australia dan Indonesia bukan saja satu rangkaian dari segi waktu, namun juga satu rangkaian dari segi agenda. Terdapat beberapa benang merah isu yang dibahas di kedua negara dan berimplikasi terhadap kepentingan nasionalIndonesia. Walaupun dalam kunjungannya ke Indonesia Gates menawarkan bantuan peningkatan kemampuan di domain maritim (dan angkutan udara), akan tetapi hal itu tidak akan berkontribusi banyak terhadap kemampuan daya pukul kekuatan maritim Indonesia.
Oleh karena itu, sebaiknya ditempuh cara lain untuk meningkatkan daya pukul kekuatan maritim negeri ini tanpa harus mengandalkan pada bantuan negara adidaya tersebut. Hanya dengan memiliki daya pukul yang memadai, kekuatan maritimIndonesiamenjadi kekuatan yang diperhitungkan di kawasan.
[i]. Dua negara lainnya adalahIndia dan Turki.
[ii].Komunike bersama AUSMIN 2008 dapat diakses pada http://www.dfat.gov.au/geo/us/ausmin/ausmin08_joint_communique.html
[iii]. Dapat diakses pada http://www.alp.org.au/media/1107/dsidefloo120.php
[iv]. Pidato Gates pada Indonesia Council on World Affairs dapat diakses pada http://www.defenselink.mil/speeches/speech.aspx?speechid=1218