1. Pendahuluan
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-9 di Bali pada September 2004 menyepakati Deklarasi Bali Concord II yang di antaranya menyetujui dibentuknya ASEAN Community. ASEAN Community berdiri di atas tiga pilar, yaitu ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. Ketiga pilar tersebut akan dikembangkan dan diimplementasikan secara pararel dan berimbang.
Sebagai tindak lanjut hasil-hasil KTT ASEAN, saat ini ASEAN tengah bersiap untuk mewujudkan ASEAN Security Community melalui serangkaian pertemuan untuk merumuskan lebih lanjut agenda-agenda di bidang keamanan. Pada KTT Ke-10 di Viantianne, Laos, telah disetujui Viantianne Action Program 2004-2010, termasuk di dalamnya ASEAN Security Community Plan Of Action. Berdasarkan Rencana Aksi tersebut, salah satu bidang kerjasama dalam ASEAN Security Community adalah keamanan maritim. Naskah ini akan membahas tentang prospek kerjasama keamanan maritim dalam ASEAN Security Community dan implikasinya terhadapIndonesia.
2. ASEAN Security Community
Sejak ASEAN dibentuk tahun 1967, organisasi regional ini lebih menekankan kerjasama pada bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Sementara untuk kerjasama bidang keamanan, terkesan negara-negara ASEAN sebisa mungkin menghindarinya karena isu keamanan konon dianggap sebagai isu sensitif di kawasan. Kalaupun terjalin kerjasama keamanan antar negara ASEAN, kerangkanya adalah kerjasama bilateral dan bukan multilateral ASEAN. Misalnya antara Indonesia-Malaysia, Indonesia-Filipina dan lain sebagainya.
Tidak tercakupnya kerjasama keamanan ASEAN di masa lalu tidak lepas dari kondisi politik keamanan kawasan ketika organisasi tersebut dibentuk. Pada masa itu, Asia Tenggara yang tidak luput dari pengaruh Perang Dingin tengah dilanda beberapa konflik seperti Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Perang Vietnam dan Indocina, pemberontakan komunis di Malaysia dan perebutan wilayah Sabah antara Filipina-Malaysia. ASEAN dilahirkan dalam situasi di mana negara-negara pendiri tengah berupaya untuk menepis konflik yang terjadi di antara mereka guna mewujudkan stabilitas keamanan dan perdamaian di Asia Tenggara.
Kosongnya kerjasama keamanan di Asia Tenggara di masa itu dimanfaatkan oleh beberapa kekuatan ekstra kawasan untuk mengisinya. Amerika Serikat yang sebelumnya hadir di Asia Tenggara dalam bentuk Pakta SEATO (South East Asia Treaty Organization) melanjutkan kerjasama keamanannya secara bilateral negara kawasan setelah organisasi pertahanan itu bubar. Secara nyata, Amerika Serikat memberikan payung keamanan kepada kawasan Asia Tenggara hingga saat ini.
Selain Amerika Serikat, kekuatan ekstra kawasan lainnya yang juga mengisi keamanan kawasan adalah Inggris, Australia, Selandia Baru yang bersama-sama dengan Malaysia dan Singapura membentuk Five Power Defence Arrangement (FPDA) pada 1971. Organisasi pakta pertahanan yang hingga kini masih eksis tersebut dibentuk untuk melindungi Malaysia dan Singapura dari ancaman Indonesia, karena latar belakang pembentukannya adalah konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Dengan kondisi demikian, secara nyata jelas bahwa keamanan di Asia Tenggara sampai saat ini masih diatur oleh pihak lain. Pasca Perang Dingin, political will ASEAN untuk menata sendiri keamanan kawasan memerlukan waktu yang panjang dan berliku, karena kepentingan nasional yang berbeda dari beberapa negara ASEAN menyangkut isu tersebut. Ada negara ASEAN yang menginginkan organisasi ini yang bertanggung jawab terhadap keamanan Asia Tenggara, namun terdapat juga beberapa ASEAN yang merasa lebih nyaman apabila keamanan kawasan dikelola oleh kekuatan ekstra regional.
Lahirnya gagasan ASEAN Community yang mencakup pula kerjasama di dalamnya yang sudah disepakati pada KTT ASEAN Ke-9 pada awalnya disikapi secara berbeda oleh beberapa negara ASEAN. Hal itu terjadi karena ada kepentingan mereka dan kepentingan aktor ekstra kawasan yang sepertinya akan ”terganggu” bila ASEAN Security Community terwujud. Meskipun pada akhirnya semua negara ASEAN secara konsensus menyetujui isu keamanan termasuk dalam cakupan ASEAN Community, akan tetapi terkesan beberapa pihak berupaya untuk menghambat terwujudnya ASEAN Security Community.
Apabila dicermati, langkah ASEAN untuk mewujudkan ASEAN Security Community yang direncanakan pada 2020 merupakan upaya guna mewujudkan collective security di kawasan dan sebaliknya bukan collective defense. Collective security merupakan pendekatan komprehensif oleh beberapa negara berdasarkan nilai-nilai dan kepentingan yang sama untuk mengatasi hirauan-hirauan keamanan secara kooperatif dihadapkan pada sifat alamiah dari ancaman dan tantangan yang luas. Konsep ini bertujuan membangun kerjasama antar pihak dengan menata aturan dan mekanisme untuk menghadapi tantangan-tantangan keamanan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar.
Sementara collective defense adalah kesamaan persepsi dari beberapa negara terhadap ancaman eksternal dalam konteks yang lebih sempit. Konsep ini bersifat eksklusif dan mengikat secara tegas terhadap ancaman eksternal yang telah dirumuskan, dan cenderung mengabaikan perhatian pada isu-isu lain, khususnya yang terkait dengan batasan kedaulatan dan yurisdiksi nasional.
Langkah ASEAN untuk menerapkan collective security di kawasan ini, sepertinya mengambil pengalaman dari langkah serupa di Eropa. Selama Perang Dingin, isu keamanan di Eropa ditangani melalui pendekatan collective defense, karena ancaman saat itu dapat dirumuskan dengan jelas dan cenderung bersifat tunggal yaitu dari aktor negara. Pasca Perang Dingin, terjadi perubahan paradigma dalam memandang ancaman terhadap Eropa, sehingga melahirkan konsep collective security yang dinilai lebih komprehensif dalam rangka menjawab tantangan-tantangan yang muncul. Keberhasilan Uni Eropa dalam melaksanakan collective security hendak diterapkan pula di Asia Tenggara melalui transformasi ASEAN menjadi ASEAN Security Community. Guna mewujudkan hal tersebut, pada ASEAN Senior Official Meeting Retreat di Yogyakarta, 13 Mei 2004, disetujui ASEAN Security Community Plan of Action. Aspek-aspek dalam ASEAN Security Plan of Action menyangkut (i) political development, (ii) shaping and sharing of norms, (iii) conflict prevention, (iv) conflict resolution, (v) post-conflict peace building dan (vi) implementing mechanisms. Pertemuan ASEAN SOM menghasilkan serangkaian rencana aktivitas menyangkut ASEAN Security Community.
3. Agenda Keamanan Maritim
Salah satu Rencana Aksi ASEAN Security Community adalah di bidang keamanan maritim, dalam bentuk ASEAN Maritime Security Cooperation. Berdasarkan rencana aksi ASEAN Maritime Security Cooperation,bentuk kerjasamanya adalah (i) mendirikan ASEAN Maritime Forum dan (ii) membentuk ASEAN Joint Maritime Safety and Surveillance Mechanism. Adapun isu-isu yang akan menjadi materi kerjasama dalam ASEAN Maritime Forum adalah sebagai berikut: (i) Cooperation on Security Matters, (ii) Cooperation on Safety of Navigation and Sea Lanes of Communication, (iii) Cooperation on Maritime Environmental Protection, (iv) cooperation on marine resources management.
Mencermati agenda-agenda kerjasama maritim ASEAN yang tercantum dalam Rencana Aksi, khususnya isu keamanan, terkesan bahwa penanganan keamanan maritim di Asia Tenggara dikaitkan dengan isu kejahatan lintas negara (transnational crime). Pada sisi lain, beberapa aktor ekstra kawasan menggunakan pendekatan militer dalam menghadapi isu keamanan maritim di Asia Tenggara.
Amerika Serikat melalui beberapa inisiatif seperti Regional Maritime Security Initiative (RMSI) dan latihan dalam kerangka Western Pacific Naval Symposium (WPNS), sementara Australia menggagas lewat FPDA Extended Role On Maritime Terrorism. Dengan konstelasi demikan, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pendekatan yang sangat signifikan dalam penanganan keamanan maritim di Asia Tenggara di antara beberapa aktor kawasan.
4. Beberapa Isu Krusial
Secara makro, dari perspektif kepentingan nasional Indonesia, ada isu krusial dalam mengisi agenda ASEAN Security Community, yaitu menyangkut formula ASEAN Security Community. Formula tersebut antara lain meliputi values dan shaping and sharing of norms. Indonesia harus berada di depan untuk mengisi formula ASEAN Security Community, sehingga diharapkan selaras dengan kepentingan nasional Indonesia.
Sedangkan secara mikro, ada peluang bagi TNI AL untuk mengisi dan mewarnai kerjasama keamanan maritim ASEAN. Untuk itu, sangat tepat bila TNI AL bersiap dengan sejumlah agenda yang pada dasarnya dirancang selaras dengan kepentingan nasional di laut. Sebagai Angkatan Laut yang mengawal dua pertiga perairan Asia Tenggara, sudah sewajarnya bila TNI AL lebih siap dengan agenda untuk keamanan maritim kawasan.
Isu krusial berikutnya adalah bagaimana kinerja ASEAN Security Community dalam penataan keamanan kawasan sebagaimana diamanatkan dalam Chapter VIII Piagam PBB. Sebagaimana diketahui, di Asia Tenggara telah eksis beberapa kekuatan ekstra kawasan yang menata keamanan wilayah ini. Pertanyaan krusialnya adalah apakah agenda ASEAN Security Community nantinya tidak akan “dihalangi” implementasinya oleh pihak lain yang sudah lebih dahulu eksis, misalnya FPDA dan Pacific Protector?
Memperhatikan sikap politik beberapa negara ASEAN dalam isu keamanan maritim di Asia Tenggara, secara garis besar setidaknya ada tiga sikap yang berbeda. Pertama, ada negara yang lebih suka kekuatan ekstra kawasan menangani isu keamanan maritim. Kedua, ada negara yang dengan tegas menolak campur tangan pihak lain dalam isu tersebut dan lebih menekankan pada moda kerjasama bilateral dan trilateral. Ketiga, ada pula negara yang berada di tengah-tengah, yaitu pada satu sisi terlihat menolak masuknya kekuatan ekstra kawasan, tetapi di sisi lain terkesan memberi peluang bagi pihak lain untuk turut menangani isu tersebut.
Dengan beragamnya sikap beberapa negara ASEAN menyikapi isu keamanan maritim, dapat direka bahwa kerjasama keamanan maritim dalam payung ASEAN Security Community tidak akan berjalan mulus. Pihak-pihak di luar ASEAN akan menitipkan aspirasinya kepada beberapa negara ASEAN yang mereka nilai sejalan dengan kepentingan mereka.
Selanjutnya adalah rencana pembentukan ASEAN Maritime Forum dan ASEAN Joint Maritime Safety and Surveillance Mechanism. Dalam Pertemuan Kelompok Ahli tentang ASEAN Maritime Forum yang diselenggarakan pada 21 Maret 2007 di Bandung oleh Departemen Luar Negeri, terungkap bahwa ruang lingkup kerjasama forum tersebut belum dirumuskan dengan jelas. Sementara secara internal, kesiapanIndonesia untuk berpartisipasi aktif di dalamnya masih harus dipertanyakan karena banyaknya masalah manajemen nasional di laut yang belum diselesaikan.
Menyangkut ASEAN Joint Maritime Safety and Surveillance Mechanism, Indonesia harus bersiap untuk mengisi agenda tersebut. Kesiapan bukan saja mencakup kesiapan teknis, namun juga kesiapan manajemen. Misalnya, instansi mana yang akan menjadi leading sector dalam bidang kerjasama itu. Sementara secara politik, Indonesia sudah sewajarnya berjuang di forum ASEAN untuk menjadi negara bertempatnya Puskodal untuk ASEAN Joint Maritime Safety and Surveillance Mechanism.
5. Penutup
Rencana Aksi ASEAN Security Community, termasuk di dalamnya kerjasama bidang keamanan maritim, harus disikapi Indonesia dengan mempersiapkan diri mengisi agenda-agenda kerjasama yang telah disepakati bersama oleh ASEAN. Lepas dari segala hambatan yang mungkin nantinya akan mempengaruhi dinamika kerjasama yang telah ditetapkan, Indonesia sudah sewajarnya menjadikan forum tersebut sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, termasuk kepentingan nasional di laut.