Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Pembangunan kekuatan pertahanan dan militer di dunia saat ini sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah revolution in military affairs (RMA) dan evolusi peperangan. Banyak negara mengadopsi RMA ke dalam sistem pertahanannya, di mana pembangunan kekuatan yang dilaksanakan dilakukan atas dasar capability based planning. Pada saat yang sama, peperangan telah memasuki evolusi generasi keempat, sehingga dikenal sebagai peperangan generasi keempat.
Seperti apakah peperangan generasi keempat tersebut? Bagaimana aplikasinya di laut dan seperti apa dampaknya terhadap Angkatan Laut di dunia? Bagaimana pula sebaiknya respon Indonesia menyikapi perkembangan demikian? Naskah ini akan membahas tentang peperangan generasi keempat disertai dengan ancaman dan peluangnya bagi kepentingan Angkatan Laut.
2. Peperangan Generasi Keempat
Dewasa ini, perkembangan lingkungan strategis memperlihatkan bahwa peperangan yang terjadi didominasi oleh konflik antara aktor negara melawan aktor bukan negara. Hal demikian berbeda dengan di masa-masa sebelumnya, yang mana peperangan hanya melibatkan antar aktor negara. Peperangan yang kini terjadi, seperti perang terhadap terorisme, oleh para ahli strategi dan sejarawan militer diklasifikasikan sebagai peperangan generasi keempat.
Munculnya peperangan generasi keempat tidak lepas dari perubahan masyarakat di dunia, seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan technical yang mempengaruhi sifat alamiah (nature) dari perang.[1] Istilah peperangan generasi keempat berasal dari para ahli strategi dan perencana militer di Amerika Serikat pada akhir 1980-an untuk mengkarakterisasi dinamika dan arah ke depan dari peperangan.
Mereka mempostulasikan sejarah peperangan, khususnya dari pengalaman peradaban Barat, dalam beberapa fase yang berbeda. Fase pertama dimulai sekitar tahun 1650 ketika negara-negara Eropa, menandatangani perdamaian Westphalia yang merupakan awal dari munculnya konsep negara bangsa. Adapun fase lengkap tiga generasi peperangan sebelumnya adalah sebagai berikut:
Peperangan generasi keempat merupakan konsep baru yang berpijak pada masyarakat yang saling terhubungkan (networked), lintas negara (transnational) dan berbasis informasi (information based). Peperangan ini menggunakan semua jaringan politik, ekonomi, sosial dan militer yang tersedia untuk melakukan serangan langsung terhadap keinginan (the will) pemimpin politik musuh. Di sini sasarannya adalah untuk mengubah pemikiran para pembuat kebijakan musuh secara langsung.[2]
Konsep dasarnya adalah keinginan politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan (protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked).
Sebagian pihak berpendapat bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang dihadapi bukan saja aktor bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat. Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, mediadan lain sebagainya.
3. Peperangan Di Laut
Untuk pengamanan perairan Indonesia dari ancaman non tradisional, ada baiknya bila semenjak dini mengantisipasi berbagai skenario peperangan generasi keempat yang terjadi di laut. Misalnya, peranjauan terhadap chokepoints, serangan terhadap infrastruktur pangkalan/pelabuhan, hingga serangan terhadap unsur-unsur kapal perang. Bahkan mungkin saja timbul serangan elektronika (jamming) terhadap jaringan komunikasi Angkatan Laut, mengingat ada potensi di masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk melakukan itu, karena ilmunya dapat dipelajari.
Guna menghadapi skenario demikian, dibutuhkan kesiapan operasional sejak dini. Dengan perkembangan lingkungan strategis saat ini, kapal perang juga melaksanakan kegiatan operasi yang tergolong operasi non perang (peran konstabulari), misalnya yang dilakukan di Selat Malaka. Ancaman yang muncul dari operasi tersebut bukan saja menyangkut pelanggaran wilayah ataupun pengambilan sumber daya laut secara ilegal, tetapi juga datang dari kelompok-kelompok bukan negara (non state actors) yang ingin mengganggu stabilitas keamanan maritim.
Walaupun ancaman muncul dari aktor bukan negara yang secara kekuatan militer tak bisa dibandingkan dengan Angkatan Laut, akan tetapi mereka mampu unjuk gigi. Ada dua contoh aktual yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi Indonesia untuk menunjukkan bahwa peperangan generasi keempat sudah merambah ke laut.
Pertama, perang Israel-Lebanon (Hizbullah) pada Juni-Juli 2006. Dalam perang tersebut, kelompok gerilyawan Hizbullah yang secara militer lebih lemah, mampu merusak kapal korvet Israel INS Ahi Hanit yang diklaim sebagai korvet tercanggih di dunia. Meskipun INS Ahi Hanit tidak tenggelam, akan tetapi rudal permukaan ke permukaan C-802 milik kelompok Hizbullah sanggup mempermalukanIsraeldi panggung internasional.
Kedua, aksi-aksi kelompok Macan Tamil Eelam di Srilanka melalui sayap militernya di laut yaitu The Black Sea Tiger. Dalam setahun terakhir, mereka gencar melakukan serangan laut terhadap pangkalan Angkatan Laut Srilanka menggunakan berbagai berbagai kapal kecil dan menenggelamkan beberapa kapal perang. Selain itu, The Black Sea Tiger juga mampu menggelar operasi amfibi, seperti yang dilakukan pada saat The Battle for Elephant Pass tahun 2000.[3] Dalam pertempuran tersebut, kelompok itu mendaratkan 1.500 gerilyawan di pantai Jaffna tanpa terdeteksi oleh militer Srilanka.
Hal itu menunjukkan bahwa peperangan generasi keempat telah merambah ke matra laut. Apabila ditarik ke dalam konteks Indonesia, ancaman terhadap upaya untuk mengamankan kepentingan nasional di laut yang muncul dari aktor-aktor negara dan bukan negara kian berat. Selama ini, sebagian energi Indonesia di laut dicurahkan untuk mengamankan ALKI dan Selat Malaka. Khusus yang terakhir, isunya mendapat porsi perhatian internasional yang lebih besar daripada ALKI, walaupun bagi Indonesia ALKI juga bernilai strategis.
Pertanyaannya, pelajaran apa yang dapat ditarik dari sana. Salah satu pelajaran itu adalah, secara taktis senjata murah dengan teknologi tidak terlalu canggih dapat melumpuhkan senjata mahal yang berisi teknologi mutakhir. Sedangkan secara politik, aktor bukan negara dapat mempermalukan aktor negara di panggung dunia.
Tantangan bagi Indonesia, khususnya Angkatan Laut, adalah mengantisipasi skenario-skenario tersebut. Antisipasi dapat dilakukan secara sistematis dan sinergis, misalnya penyusunan aturan pelibatan yang jelas dan robust, pelatihan secara terus menerus terhadap awak kapal terhadap berbagai skenario ancaman yang muncul, hingga peningkatan sistem keamanan kapal dan pangkalan. Bahkan antisipasi dapat saja mencakup perubahan rancangan bangun kapal perang dan penempatan pos tempur bagi kapal-kapal baru yang akan diadakan di masa depan.
Mengapa kedua hal terakhir disinggung? Angkatan Laut Amerika Serikat mempunyai pelajaran mahal dari operasi di Teluk Persia sejak 1987 hingga 1998, di mana tiga kapal perangnya pernah terkena ranjau, yaitu USS Samuel B. Robert (FFG-58), USS Tripoli (LPH-10) dan USS Princeton (CG-59). Bayangkan, dibutuhkan biaya US$ 96 juta untuk melakukan perbaikan terhadap USS Samuel B. Roberts yang terkena ranjau di perairan TelukPersiapada14 April 1998, sementara harga ranjau yang mengenainya cuma US$ 1.500. Mengambil pelajaran dari ketiga kasus tersebut, negara itu memperbaiki rancang bangun dan desain kapal-kapal perangnya agar lebih tahan terhadap serangan ranjau.
Tentang penempatan pos tempur, ada baiknya kita berkaca pada serangan terhadap USS Cole (DDG-67) di perairan Yaman pada 12 Oktober 2000. Pasca kejadian memalukan itu, Angkatan Laut Amerika Serikat memberikan perhatian khusus eksistensi pos-pos tempur, khususnya pos tempur yang dipersenjatai dengan senjata bela diri seperti senapan mesin. Hal itu dilakukan karena kemungkinan serangan terhadap kapal perang bukan saja datang saat berlayar di tengah laut, namun juga waktu kapal sandar di dermaga, lego jangkar atau berlayar di dekat pantai. Aksi-aksi kelompok Macan Tamil Eelam makin membenarkan pendapat bahwa kapal perang rentan terhadap serangan asimetris.
4. Memanfaatkan Peperangan Generasi Keempat
Pada satu sisi, peperangan generasi keempat harus dipandang sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional Indonesia, termasuk kepentingan nasional di laut. Namun di sisi lain, tidak ada salahnya bila Indonesia dapat memanfaatkan pula pola peperangan generasi keempat bagi pengamanan kepentingan nasional. Seperti dinyatakan sebelumnya, peperangan generasi keempat bukan saja menghadapkan antara aktor negara dengan aktor bukan negara, namun bisa pula antar aktor negara dengan kekuatan yang tidak berimbang.
Dalam konteks Indonesia, mungkin dapat dikembangkan kemampuan asimetris Angkatan Laut, tanpa mengabaikan pentingnya pembangunan kemampuan simetris. Menurut pendapat ini, kemampuan asimetris dapat dipadukan dengan kemampuan simetris dalam penggunaannya. Kemampuan asimetris yang dapat dikembangkan misalnya peranjauan, pengadaan kapal cepat rudal dan torpedo serta kemampuan pernika. Sekali lagi, perang Lebanon menunjukkan betapa kemampuan asimetris dapat melumpuhkan lawan yang jauh lebih kuat.
Salah satu kunci dari pengembangan kemampuan asimetris adalah mempersiapkan sumber daya manusia. Untuk melancarkan peperangan tersebut, dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu berpikir tidak konvensional (think out of the box), karena di situlah keunggulan dari moda peperangan itu. Pengalaman operasi Angkatan Laut di masa lalu, seperti Operasi Trikora, menunjukkan sesungguhnya Angkatan Laut mampu untuk berpikir demikian, seperti terlihat dalam gagasan human torpedo.
Sumber daya manusia tersebut hendaknya juga dibekali dengan pemahaman terhadap karakteristik kapal perang lawan yang mungkin suatu saat akan dihadapi. Untuk mencari informasi tentang hal itu, kemajuan teknologi informasi memberikan banyak kemudahan, karena banyak informasi mengenai desain, rancang bangun dan sistem senjata kapal perang asing yang dapat dengan gampang diakses di internet. Mungkin di antara informasi spesifik yang dibutuhkan antara lain pergerakan kapal dan di situlah fungsi intelijen untuk menyediakannya.
Saat ini pembangunan kekuatan pertahanan di Indonesia sepertinya terjebak pada pola pikir berbasis anggaran. Sementara beberapa negara di sekitar Indonesia terus memperkuat Angkatan Laut-nya, sehingga terjadi ketidak-imbangan kekuatan laut di kawasan Asia Tenggara. Untuk mengurangi ketidak-imbangan (fill the gap) tersebut, salah satu alternatif bagi Indonesia adalah mengembangkan kemampuan asimetris secara simultan dengan kemampuan simetris. Dengan demikian, diharapkan Angkatan Laut tetap mempunyai kekuatan menggigit terhadap pihak lain.
Seperti diketahui, Indonesia masih mempunyai beberapa masalah dengan negara tetangga yang di antaranya membutuhkan penyebaran dan penggunaan kekuatan laut, misalnya sengketa wilayah. Untuk 10 tahun ke depan, sepertinya masih sulit bagi Indonesia untuk mampu mengimbangi kekuatan laut negara-negara lain secara simetris, sehingga perlu dicari jalan kedua pembangunan kemampuan yang secara ekonomis murah, tidak mengganggu program pembangunan yang telah direncanakan dan tengah dilaksanakan, akan tetapi berkontribusi pada daya pukul Angkatan Laut secara keseluruhan. Kata kuncinya adalah perpaduan antara pembangunan kemampuan simetris dan asimetris, dan bukan saling membenturkan antara keduanya.
5. Penutup
Peperangan generasi keempat perlu direspon dengan penyiapan alutsista beserta sumber daya manusia. BagiIndonesia, ada baiknya peperangan generasi keempat dilihat dengan dua sisi yang berbeda. Pada sisi yang satu, peperangan tersebut merupakan ancaman terhadap kepentingan nasional di laut. Namun pada sisi lain, moda peperangan itu dapat pula diadopsi oleh militer, khususnya Angkatan Laut, untuk meningkatkan daya pukulnya dalam rangka mengamankan kepentingan nasional. Sejarah dunia membuktikan bahwa kemampuan asimetrik mampu memberikan pukulan terhadap pihak yang lebih kuat.