ANALISIS TERHADAP DEFENDING AUSTRALIA IN THE ASIA PACIFIC CENTURY: FORCE 2030

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan 

Sesuai dengan janji Perdana Menteri Australia Kevin Rudd di awal pemerintahannya, Departemen Pertahanan Australia pada 2 Mei 2009 telah menerbitkan Buku Putih Pertahanan berjudul Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030. Terakhir kali Australia menerbitkan Buku Putih Pertahanan bertajuk Defence 2000: Our Future Defence Force pada November 2000, tidak lama setelah munculnya kasus Timor Timur yang melibatkan kekuatan militer negeri itu. Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 mencerminkan kebijakan pemerintahanAustralia di bawah Partai Buruh dalam menangani masalah pertahanan dalam rangka mengamankanAustralia dan kepentingannya.

Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australiadan sekaligus mempunyai posisi geografis yang sangat strategis, membuat dinamika pasang surut dalam hubungan kedua negara, termasuk dalam isu pertahanan. Kepentingan kedua negara yang terkadang sama memunculkan kerjasama, akan tetapi tidak jarang pula kepentingan keduanya yang berbeda menimbulkan ketegangan yang mengarah pada konflik terbatas. Terkait dengan hal itu, dipandang perlu untuk mengulas Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 dari perspektif kepentingan nasionalIndonesia, khususnya yang terkait dengan domain maritim.

2. Ringkasan Singkat 

Buku Putih Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 apabila dibandingkan Defence 2000: Our Future Defence Force memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu adanya benang merah antara pemerintahan Partai Liberal dengan Partai Buruh menyangkut kepentingan nasional Australia. Sedangkan perbedaannya lebih pada masalah-masalah teknis seperti pembangunan kekuatan dan pembinaan kekuatan. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan ends antara Buku Putih Pertahanan Australia 2000 dengan Buku Putih Pertahanan 2009, yang tidak sama cuma bagaimana means untuk mencapai ends. Adapun ways-nya pun tetap sama, yaitu penggunaan kekuatan pertahanan.

Dinamika lingkungan keamanan yang kompleks mempengaruhi terjadinya perubahan means. Apabila dalam Defence 2000: Our Future Defence Force fokus munculnya ancaman masih dititikberatkan pada aktor negara, maka dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 aktornya meluas. Sebab selama periode 2000-2008 ancaman terorisme, instabilitas kawasan dan bencana alam mewarnai dinamika lingkungan keamanan Australia.

Buku Putih Pertahanan Australia 2009 terdiri dari 140 halaman dan terbagi atas 18 bab. Sebagai perbandingan, Buku Putih Pertahanan Australia 2000 halamannya berjumlah 122 halaman plus 18 halaman tambahan dan mempunyai 11 bab. Jumlah bab yang lebih banyak dalam  Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 disebabkan penambahan beberapa bab baru yang pada Defence 2000: Our Future Defence Force belum ada dan atau merupakan bagian dari bab lainnya. Misalnya tentang Defence Intelligence yang kini menjadi bab tersendiri.

Bab I The Government’s Approach To Defence Planning menjelaskan tentang latar belakang Buku Putih Pertahanan 2009 beserta segenap faktor yang terkait di dalamnya. Bab II Defence and National Security mengupas tentang tentang konflik dalam negara, ancaman yang ditimbulkan oleh aktor non negara serta menghadapi bencana alam dan isu keamanan internal Australia. Bab III Managing Strategic Risk In Defence Planning menguraikan panjang lebar tentang perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan Australia, yang menuntut kompromi antara ends dengan means untuk menghadapi risk yang muncul dari situasi lingkungan keamanan.

Bab IV Australia’s Strategic Outlook mengulas tentang situasi lingkungan keamanan dari perspektif kepentingan nasional Australia. Bab V Australia’s Strategic Interests mendeskripsikan kepentingan strategis Australia di tingkat regional dan global. Bab VI Australia’s Defence Policy berisi uraian menyangkut kebijakan pertahanan Australia.

Bab VII Principal Tasks For The ADF membahas tentang tugas-tugas pokok Australian Defence Force saat ini dan ke depan, baik di dalam negeri maupun untuk penugasan internasional. Bab VIII The Future Development of ADF menceritakan secara panjang lebar tentang pembangunan kekuatan Australian Defence Force di masa depan merupakan salah satu bab inti dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030.

Bab IX Capability Priorities For Force 2030 berfokus pada kemampuan yang harus dimiliki oleh Australian Defence Force selaku kekuatan pertahanan pada tahun 2030. Bab X How Prepared Does The ADF Need To Be? bahasannya tentang kesiapan Australian Defence Force untuk mengamankan Australia dan kepentingannya.  Bab XI Alliances And International Defence Relationships berisi tentang aliansi dan hubungan pertahanan Australia dengan berbagai negara di beberapa kawasan di dunia.

Bab XII Defence Intelligence difokuskan pada peran intelijen pertahanan untuk merespon  lingkungan keamanan  yang berpengaruh terhadap upaya mempertahankan Australia dan kepentingannya. Bab XIII Defence Management And Reform muatannya bercerita tentang manajemen pertahanan Australia dan reformasi yang dilaksanakan untuk merespon tantangan yang berkembang. Bab XIV People In Defence isinya menyangkut pembinaan sumber daya manusia di dalam Australia Defence Force, baik perekrutan, pelibatan personel kontraktor maupun aspek kesejahteran personel.

Bab XV Supporting The ADF cakupannya tentang peran unsur-unsur pendukung dalam Australian Defence Force, seperti Information and Communication Technology, sarana dan prasarana fasilitas pangkalan dan logistik gabungan. Bab XVI Procurement, Sustainment And Industry Support ruang lingkupnya tentang pengadaan, pemeliharaan, kebijakan tentang industri pertahanan dan kerjasama internasional dalam rangka mendukung pengadaan sistem senjata bagi Australian Defence Force. Bab XVII Defence Science And Technology mendeskripsikan tentang peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mendukung pembangunan kekuatan pertahanan Australia. Bab XIX Funding Defence In The Future berisi dukungan pendanaan jangka panjang pemerintahAustralia guna mewujudkan semua program pembangunan kekuatan yang tercantum dalam Buku Putih Pertahanan 2009.

3. Beberapa Isu Strategis 

Setelah mempelajari dengan seksama Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, terdapat beberapa isu strategis yang sudah sepatutnya mendapat perhatian dari Indonesia sebagai negara yang sangat sering kepentingan nasionalnya bersentuhan dengan Australia. Meskipun perencanaan dan pembangunan kekuatan pertahanan Australia tidak dirancang secara khusus untuk menghadapi Indonesia,   akan   tetapi   tidak   ada   jaminan   kekuatan  itu  tidak   akan   bersikap bermusuhan suatu ketika nanti sebagai bagian dari implementasi melindungiAustraliadan kepentingannya. Isu-isu strategis yang dimaksud meliputi aspek kebijakan, strategi dan perencanaan dan pembangunan kekuatan.

Pertama, aspek kebijakan. Perumusan kebijakan pertahanan tidak akan lepas dari kondisi lingkungan keamanan. Dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 Bab IV ditulis bahwa kondisi lingkungan keamanan internasional dan kawasan saat ini diwarnai oleh isu-isu krisis ekonomi, lingkungan hidup, demografi, akses terhadap sumber daya, konfik antar negara dan dalam negara dalam situasi dunia yang multipolar dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan utama.[i] Menurut persepsi Australia, krisis ekonomi global saat ini selain menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi di banyak negara di dunia, juga potensial bagi kelompok ekstrimis di Asia Tenggara dan Asia Selatan untuk mengumpulkan modal kemarahan yang dipicu oleh krisis tersebut. Sebab krisis itu selain membuat banyak pemerintahan memotong anggaran pada sektor krusial seperti kesehatan, subsidi makanan dan bahan bakar, juga pada kegiatan-kegiatan lawan terorisme.

Menyangkut kawasan Asia Pasifik, selain masih adanya sejumlah konflik antar negara yang akan mempengaruhi kepentingan strategis Australia, perhatian juga diberikan pada kebangkitan Cina. Dari sudut pandang Australia, kebangkitan Cina termasuk dalam aspek kekuatan militer, memunculkan hirauan besar apabila arah, ruang lingkup dan struktur modernisasi militer Cina tidak dijelaskan.[ii] Ketidakjelasan demikian menimbulkan perdebatan internal di Australia belakangan ini antara pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu apakah Cina merupakan ancaman terhadapAustralia atau tidak?

Tentang kawasan Asia Tenggara, dinyatakan dengan gamblang bahwa Asia Tenggara yang aman dan stabil merupakan kepentingan strategis Australia.[iii] Secara khusus Australia menyoroti meningkatnya kehadiran dan pengaruh Cina di kawasan ini melalui kekuatan ekonomi. Isu lainnya yang disorot yaitu terorisme, yang mana serangan teroris di Asia Tenggara yang berpotensi mempengaruhi kepentingan Australiaatau mengancam Australia akan tetap menjadi hirauan dalam jangka waktu ke depan.[iv]

Indonesia memperoleh perhatian khusus dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009, tercermin ditempatkan sebab sub dari sub bab tentang kawasan Asia Tenggara. Tidak ada negara lain di Asia Tenggara yang mendapat perlakuan serupa selain Indonesiadalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030. MenyangkutIndonesia  isu yang disorot meliputi keberhasilanIndonesia melewati transisi demokrasi, reformasi ekonomi dan mitraAustralia dalam memerangi terorisme.

Berikutnya kemungkinan (kecil) Indonesiamengalami fragmentasi yang dipandang mengancam keamanan Australiadan negara-negara lain di sekitarnya. Begitu pula dengan (kemungkinan) munculnya rezim pemerintahan yang otoritarian atau nasionalistik yang dari persepsi Australiaakan memunculkan resiko strategis bagi negara-negara tetangga. Oleh karena itu, Australiasangat menyambut perkembangan Indonesiayang demokratis, sebab akan selaras dengan kepentingan strategisnya.[v]

Kawasan Pasifik Selatan dan Timor Timur, Timur Tengah dan Afrika, Asia Selatan, terorisme kelompok Islam serta kemampuan militer masa depan di kawasan Asia Pasifik juga tak luput dari perhatian Australia. Begitu pula dengan isu proliferasi senjata pemusnah  massal dan perubahan iklim dan keamanan sumber daya. Tentang kemampuan militer masa depan di kawasan ini, secara tersurat Australiasenantiasa waspada (alert), sebab bisa menimbulkan resiko strategis serta tantangan signifikan terhadap kegiatan-kegiatan Australian Defence Force pada wilayah-wilayah tertentu.[vi]

Kondisi lingkungan keamanan yang demikian mempengaruhi kebijakan pertahanan Australia. Setiap bangsa mempunyai kepentingan nasional yang mutlak untuk diamankan, termasuk melalui penggunaan instrumen pertahanan. Kepentingan nasional Australiayang dalam Bab V disebut sebagai strategic interest, yaitu a secure Australia in secure region. [vii] Berbeda dengan Defence 2000: Our Future Defence Force yang titik berat ancaman difokuskan pada aktor negara, dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009 ada penyeimbangan dalam memandang sumber ancaman dengan memperhitungkan pula potensi dan kemampuan aktor non negara.

Dinyatakan bahwa kepentingan paling strategis Australiaadalah mempertahankan negeri itu dari serangan bersenjata langsung.[viii] Untuk mencapai kepentingan itu, Australia memiliki kepentingan mendasar untuk mengendalikan jalur pendekat udara dan laut menuju wilayahnya.[ix] Terkait dengan kepentingan strategis Australia, maka kebijakan pertahanan yang diambil berpegang pada prinsip self-reliance yang apabila diperlukan akan berbagi beban dengan negara-negara lain.[x] Oleh karena itu, menjaga aliansi dan hubungan pertahanan internasional untuk memperkuat keamananAustralia merupakan bagian dari kebijakan pertahanan.

Isu aliansi Australiadan hubungan pertahanan internasional diulas secara mendalam pada Bab XI. Aliansi dengan Amerika Serikat dipandang sebagai hubungan pertahanan paling penting bagi Australia. Dalam wujud operasional, aliansi itu memberikan akses signifikan untuk Australiaguna mengakses material, intelijen, riset dan pengembangan, sistem komunikasi dan keahlian yang secara substansial memperkuat Australian Defence Force. Ke depan, aliansi kedua negara akan diperdalam guna menghadapi tantangan keamanan bersama, termasuk operasi gabungan untuk humanitarian assistance and disaster relief.[xi]

Selain  dengan  Amerika  Serikat, aliansi  juga  dijalin dalam bentuk Five Power Defence Arrangement (FPDA). Pakta pertahanan ini dipandang sebagai mekanisme yang berguna untuk menghadapi tantangan-tantangan tradisional dan yang tengah muncul.[xii] Berikutnya adalah kemitraan strategis antaraAustralia dengan Jepang, yang tidak dapat dilepaskan dari hubungan segitiga Amerika Serikat-Australia-Jepang. Hubungan segitiga itu kian penting ketikaAustralia semakin hirau dengan kebangkitan Cina di panggung dunia dan kawasan.

India dan Indonesia juga dipandang sebagai negara yang strategis bagi hubungan pertahanan dengan Australia. Kebangkitan Indiasebagai aktor regional di Asia Pasifik dipandang memberikan peluang bagi Australiauntuk meningkatkan kerjasama pertahanan. Salah satu shared strategic interest antara kedua negara adalah di bidang keamanan maritim, khusus di SamuderaIndia. Perairan itu merupakan salah satu jalur pendekat menujuAustralia, sehingga wajar apabilaAustralia berkepentingan meningkatkan kerjasama pertahanan dengan India.

Indonesia yang merupakan negara yang mempunyai jalur pendekat maritim dan udara terhadap Australia dipandang strategis, sehingga ketidakstabilan Indonesiadipersepsikan ancaman dan tantangan terhadap negara itu. Oleh sebab itu, Indonesiayang stabil, bersatu dan demokratis yang didukung oleh militer profesional merupakan kepentingan mendasar Australia.[xiii] Terkait dengan hal tersebut, Perjanjian Lombok bernilai strategis bagi Australia untuk menciptakan stabilitas di jalur pendekat maritim dan udaranya.

Dengan demikian, dari ditarik kesimpulan bahwa kebijakan pertahanan Australiaguna mencapai a secure Australia in secure region menggunakan dua pendekatan sekaligus. Yaitu kemandirian pada satu sisi dan aliansi dan hubungan pertahanan dengan negara-negara lain pada sisi berikutnya. Kerjasama tersebut tidak terbatas pada aspek operasional, namun juga menyentuh aspek teknologi.

Kedua, aspek strategi. Mengacu pada aspek kebijakan, strategi militer Australiaadalah to deter and defeat attacks on Australia. Wujudnya berupa preemptive strategy dengan menyerang musuh sejauh mungkin dari wilayahnya. Strategi tersebut difokuskan pada kebisaan melaksanakan operasi gabungan di jalur-jalur pendekat menuju Australia.[xiv] Tujuan strategi militer Australia dalam menciptakan dan mempertahankan pengendalian laut dan udara adalah untuk memungkinkan manuver dan penggunaan (employment) unsur-unsur gabungan Australian Defence Force di lingkungan operasional utama dan khususnya di jalur-jalur pendekat maritim dan littoral menuju benua tersebut.

Terkait dengan hal tersebut, strategi maritim menjadi fokus utama dalam pertahanan Australia. Untuk melaksanakan strategi maritim, keterpaduan antar ketiga matra dalam Australian Defence Force sangat penting. Selain Royal Australian Air Force, Australian Army juga mendapat peran dalam strategi maritim negeri itu. Peran Australian Army adalah mengendalikan jalur-jalur pendekatan, mengamankan wilayah-wilayah di seberang lautan dan beragam fasilitas, mengalahkan serangan mendadak ke wilayah Australia, melindungi pangkalan-pangkalan yang menjadi basis operasi Royal Australian Navy dan Royal Australian Air Force dan menolak (deny) akses lawan ke pangkalan aju.[xv]

Di samping prioritas utama untuk mempertahankanAustraliadari serangan bersenjata langsung, kekuatan pertahananAustraliajuga dirancang untuk melaksanakan operasi-operasi terkait untuk mendukung keamanan domestik dan upaya-upaya respon terhadap situasi darurat. Seperti diketahui, isu keamanan terhadapAustraliatidak cuma didominasi isu-isu yang berasal dari luar, tetapi juga masalah-masalah domestik dan beberapa bencana alam yang kerap melandas seperti kebakaran semak-semak, banjir dan hawa panas.

Terkait dengan isu stabilitas kawasan yang secara langsung atau tidak berpengaruh terhadap kepentingan strategis Australia, kekuatan pertahanan disiapkan pula untuk menciptakan stabilitas dan keamanan di Pasifik Selatan dan Timor Timur. Begitu pula dengan kontinjensi militer di, kawasan Asia Pasifik serta kawasan lainnya di dunia. Strategi pertahanan Australiayang bersifat preemptive menjadi alasan utama mengapa militer negeri itu banyak diproyeksikan ke beberapa kawasan dunia saat ini, khususnya menghadapi isu instabilitas dan ancaman terorisme internasional.

Ketiga, aspek perencanaan dan pembangunan kekuatan. Strategi pertahanan Australiaseperti telah dijelaskan sebelumnya menjadi rujukan dalam merancang struktur kekuatan pertahanan. Struktur kekuatan pertahanan dirancang untuk mempertahankan Australiadan tugas-tugas lain terkait strategi yang telah diuraikan. Dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, struktur kekuatan yang dibangun lebih menitikberatkan pada kekuatan maritim, dalam hal ini Angkatan Laut dan didukung oleh kekuatan udara dan kekuatan darat. Paduan ketiga kekuatan itu dibangun untuk mampu melaksanakan serangan strategis, keunggulan informasi, proyeksi kekuatan serta tugas-tugas domestik dan pertahanan rudal balistik.[xvi]

Karena strategi maritim adalah tulang punggung dalam pertahanan Australiaterkait dengan pertimbangan geografis, pembangunan kekuatan laut difokuskan pada kemampuan peperangan bawah air, dengan tambahan kemampuan peperangan udara dan peperangan amfibi.[xvii] Untuk kemampuan peperangan bawah air, hingga tahun 2030 Royal Australian Navy didesain mempunyai 12 kapal selam nuklir pengganti kapal selam konvensional kelas Collins yang dilengkapi dengan rudal permukaan, delapan fregat anti kapal selam untuk menggantikan fregat kelas Anzac dengan dimensi yang lebih besar dan 24 heli anti kapal selam.

Adapun  kemampuan   peperangan   udara   masih  terkait  dengan program SEA 4000/Air Warfare Destroyer (AWD) kelas Hobart. Tiga kapal perusak pertama yang telah dipesan oleh pemerintah Australia akan dilengkapi dengan rudal anti pesawat jarak jauh Standard Missile 6 (SM-6), selain Aegis Combat System. Sistem sensor Cooperative Engagement Capability (CEC) yang akan terpasang pula di kapal itu, sehingga nantinya interoperable dengan sensor serupa pada pesawat udara AEW&C yang tengah dipesan oleh Royal Australian Air Force. Di masa depan, terbuka kemungkinan pemerintahAustralia untuk memesan kapal perusak keempat dengan kemampuan yang lebih di tingkat dari tiga kapal pendahulunya sesuai dengan hasil penilaian strategis.

Sedangkan untuk kemampuan peperangan amfibi, programnya adalah kelanjutan dari program pemerintahan Partai Liberal. Yaitu pengadaan dua Landing Helicopter Dock (LHD) bertonase 27.000 ton dari galangan Navantia, Spanyol. Pengadaan lainnya adalah sejumlah kapal baru yang belum ditentukan jumlahnya, dengan tonase 10.000-15.000 ton, mempunyai landasan helikopter dan mampu menurunkan kendaraan dan kargo lainnya tanpa membutuhkan dukungan infrastruktur pelabuhan. Di samping itu, enam heavy landing craft dengan kemampuan ocean-going yang telah ditingkatkan akan turut diakuisisi oleh pemerintah Australia.

Selain pengadaan heli anti kapal selam, pembangunan kekuatan maritim ditunjang pula oleh pembelian enam heli MRH-90 guna menggantikan heli Sea King milik Royal Australian Navy, sementara tujuh heli sejenis akan dioperasikan bersama Australian Army. Fungsi asasi heli ini adalah untuk kepentingan angkutan dan diharapkan pada 2010 sudah berdinas. Sebenarnya akuisisi heli MRH-90 merupakan program lanjutan dari pemerintahan Perdana Menteri John Howard.

Untuk kepentingan patroli, survei hidrografi dan oseanografi, lawan peranjauan,  direncanakan   kekuatan   laut    Australia   akan  menerima 20 Offshore Combatant Vessel serbaguna. Kapal yang bertonase 2.000 ini akan menggunakan konsep single modular, sehingga diharapkan memberikan efisiensi operasional yang signifikan. Dengan demikian akan terjadi pengurangan jenis kelas dalam susunan tempur Royal Australian Navy, karena dengan konsep single modular maka perbedaan kapal hanya pada fungsi asasinya saja.

Guna mendukung kemampuan proyeksi kekuatan, kekuatan lautAustraliaakan menerima sebuah kapal bantu logistik baru pada akhir dekade berikut, untuk menggantikan dua kapal suplai yang tercantum dalam susunan tempur saat ini. Kapal bantu logistik baru tersebut akan memperkuat kemampuan proyeksi kekuatanAustraliadi kawasan Asia Pasifik. PengalamanAustraliaberoperasi di Timor Timur sejak 1999 hingga kini menjadi salah satu pertimbangan dalam pengadaan kapal bantu logistik baru.

Mengacu pada strategi militer Australia, kekuatan udara Australiaharus mampu mengamankan jalur pendekat maritim dan udara menuju negeri itu. Untuk mempertahankan superioritas udara terhadap negara-negara di sekitar Australia, negara itu akan membeli satu skadron F/A-18F Super Hornet sebagai jembatan sebelum mengoperasikan F-35 Joint Strike Fighter (JSF).[xviii] F/A-18F Super Hornet dijadwalkan akan masuk dalam status operasional pada 2010, dilengkapi pula dengan kemampuan serangan maritim menggunakan rudal Harpoon.

Menurut rencana, Royal Australian Air Force akan dibelikan 100 F-35 dalam dekade mendatang, dengan 72 pesawat pada tahap awal. Sedangkan sisanya akan masuk dalam susunan tempur bersamaan dengan pensiunnya F/A-18F Super Hornet. 100 F-35 yang nantinya akan dibagi dalam empat skadron operasional, kemampuannya termasuk pula untuk melaksanakan serangan maritim dengan senjata yang lebih baru.

Armada   pesawat   patroli  maritim  P-3C  Orion  yang berada di bawah kendali Royal Australian Air Force akan digantikan oleh delapan pesawat patroli maritim baru. Besar kemungkinan penggantinya adalah P-8 Poseidon yang saat ini tengah diujicoba sebelum diproduksi secara massal guna menggantikan armada serupa milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Pesawat baru itu selain memiliki kemampuan mendeteksi kapal selam dan peperangan elektronika, dirancang pula agar mampu melaksanakan pengisian bahan bakar di udara, sehingga menambah endurance-nya. Hal berikut yang patut dicermati adalah semakin meluasnya penggunaan wahana tak berawak untuk mendukung patroli maritimAustralia, khususnya pada jalur-jalur pendekat maritim.

Dalam operasi pertahanan yang bersifat interoperability, eksistensi pesawat peringatan dini sangat penting. Kekuatan udara Australia akan memperoleh enam pesawat AEW&C Wedgetail yang direncanakan mulai memperkuat pada 2011. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sistem sensor pada pesawat ini akan diintegrasikan dengan sistem serupa pada kapal perusak kelas Hobart. Wedgetail pada dasarnya satu paket dengan program peningkatan kemampuan superioritas informasi dan situational awareness Australia secara keseluruhan yang mengintegrasikan berbagai sistem berbeda dari beragam platform.

Superioritas informasi akan terkait pula dengan kemampuan intelligence, surveillance and reconnaissance (ISR).[xix] Untuk meraih kemampuan itu, prioritas tinggi ditempatkan pada akses yang terjamin untuk memperoleh gambar-gambar berkualitas tinggi dari wahana pengintai di ruang angkasa yang dibutuhkan bagi kepentingan pemetaan, charting, navigasi dan data sasaran. Oleh karena itu, Australia memanfaatkan aliansi dengan Amerika Serikat, selain terus meningkatkan kemampuan Jindalee over-the-horizon Radar System.

Peningkatan kemampuan peperangan elektronika turut pula mendapat prioritas tinggi dari pemerintah Australia. Menurut Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, ke depan akan didirikan Pusat Peperangan Elektronika Gabungan melalui penempatan pada lokasi yang sama terhadap beberapa satuan kerja yang terkait dengan peperangan elektronika di dalam organisasi Australian Defense Force saat ini. Berikutnya adalah pembangunan kemampuan di bidang network-centric warfare, yang mencakup domain maritim, darat, laut dan ISR, yang menggabungkan antara sensor, senjata dan sistem lainnya guna menciptakan situational awareness.

Terkait dengan isu situational awareness, Australia akan mendorong peningkatan kerjasama dengan Amerika Serikat, khususnya dengan U.S. Pacific Command untuk wilayah Asia Pasifik. Sesuai dengan kesepakatan dalam Australia-United States Ministerial Consultations (AUSMIN) pada April 2009, kedua negara sepakat pada prinsip-prinsip yang akan menuntun kerjasama yang lebih luas pada ISR.[xx] OlehAustralia, kerjasama itu diarahkan pada pengumpulan informasi aktivitas pada wilayah jalur-jalur pendekat maritim dan seluruh kawasan melalui pembagian informasi pengamatan dan kemampuan.

Dengan makin meluasnya spektrum peperangan saat ini, membuat Australiamemberikan hirauan terhadap isu cyber warfare. Isu ini mendapat perhatian yang proporsional sebab dalam beberapa tahun terakhir ditengarai ada sejumlah negara yang giat melaksanakan cyber warfare terhadap Australia. Merespon perkembangan itu, pemerintah Australia telah memutuskan menginvestasikan sejumlah besar dana pada kemampuan cyber warfare kekuatan pertahanannya. Berikutnya adalah rencana mendirikan The Cyber Security Operations Center yang berada di dalam Defence Signals Directorate (DSD).

Defence Signal Directorate merupakan salah satu satuan kerja di bidang intelijen  pertahanan  di Australia. Defending  Australia  In  The  Asia Pacific Century: Force 2030 membahas panjang lebar mengenai kemampuan intelijen pertahanan dalam satu bab tersendiri. Pembangunan kemampuan intelijen pertahanan ke depan diarahkan pada penggunaan teknologi baru untuk mengumpulkan, menganalisis dan melakukan penilaian terhadap informasi, seperti Di antaranya pengadaan satelit mata-mata baru guna melengkapi kemampuan imagery intelligence yang berbasis pada pesawat udara.[xxi] Australia memanfaatkan pula kerjasama intelijennya dengan Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Selandia Baru guna memperkuat kemampuan intelijen pertahanan.

Tentang pembangunan kekuatan Australian Army, dari aspek struktur dan ukuran kekuatan tidak ada perubahan dari kondisi saat ini.[xxii] Perubahan terjadi pada peningkatan kemampuan, khususnya menyangkut kemampuan bertahan, mobilitas dan komunikasi. Begitu pula dengan dukungan mobilitas udara di medan tempur, dukungan tembakan dan kemampuan pasukan khusus. Berdasarkan hal itu, kekuatan konvensional Australian Army akan tetap terdiri dari tiga brigade tempur yang masing-masing berkekuatan 4.000 pasukan, sedangkan penambahan dua batalyon infanteri di bawah inisiatif Enhanced Land Force akan terus dilanjutkan.[xxiii]

Masih terkait dengan perencanaan dan pembangunan kekuatan, Departemen Pertahanan Australiaterus melaksanakan The Strategic Reform Program yang bertujuan untuk memperbaiki akuntabilitas, memperbaiki perencanaan dan meningkatkan produktivitas.[xxiv] Semua itu dilakukan untuk terus memperbaiki manajemen pertahanan, sebab pertahanan merupakan salah satu bidang yang membutuhkan biaya besar. Dengan besarnya kebutuhan sistem persenjataan dalam perencanaan dan pembangunan kekuatan, maka evaluasi terhadap manajemen pertahanan harus senantiasa dilaksanakan.

4. Implikasi Terhadap Indonesia 

Apapun kebijakan pertahanan Australia, dapat dipastikan mempunyai implikasi terhadap Indonesiasebagai negara yang terletak pada jalur pendekat maritim dan udara negeri itu. Begitu pula dengan Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, sehingga sudah sewajarnyaIndonesia memberikan perhatian khusus terhadap kebijakan itu. Berdasarkan analisis penulis, terdapat beberapa implikasi dari kebijakan pertahanan Australia terkini terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Pertama, implikasi politik. Hendaknya dipahami dengan betul bahwa kebijakan pertahanan Australiaberpegang pada kata kunci yaitu a secure Australia in secure region. ArtinyaAustralia tidak menginginkan terjadinya instabilitas di kawasan Asia Pasifik, khususnya pada jalur-jalur pendekat maritim.

Indonesia memiliki dua choke points yang merupakan jalur pendekat maritim terhadap Australia, yaitu SelatLombok dan Selat Wetar. Untuk memastikan kedua perairan tidak menjadi sumber instabilitas bagiAustralia, negara itu tidak akan pernah ragu melaksanakan pengendalian laut dan proyeksi kekuatan di wilayah-wilayah jalur pendekat maritim. Instabilitas di wilayah jalur pendekat sumbernya tidak terbatas pada aktor negara, tetapi bisa pula aktor non negara. Hal ini penting untuk diperhatikan dengan seksama sekaligus diwaspadai oleh Indonesia.

Sebab mengacu pada strategi maritim,Indonesiasecara alamiah mempunyai potensi untuk melaksanakan strategi anti akses. Potensi tersebut dapat saja dieksploitasi oleh aktor non negara yang menjadikanAustraliadan kepentingannya sebagai sasaran. Misalnya melakukan serangan terorisme maritim, peranjauan dan taktik-taktik asimetris lainnya.

Di samping itu,Indonesia hendaknya menyimak dari sejumlah kasus konflik di dalam  negara yang terjadi  10 tahun  lalu  di wilayah-wilayah jalur  pendekat maritim Australia. Konflik-konflik serupa di masa depan bukan tidak mungkin akan mengundang intervensi langsungAustraliadi kawasan Indonesia Timur dengan alasan menjagaAustraliadan kepentingannya serta mengamankan stabilitas kawasan. Skenario demikian mempunyai peluang tercipta apabilaIndonesiatidak dengan segera merespon konflik yang terjadi. Sebab ada baiknya diingat bahwa kawasan Indonesia Timur diproyeksikan sebagai wilayah dalam pengaruhAustralia, antara lain bisa dilihat dari besarnya bantuan pembangunan negeri itu untuk kawasan tersebut.

Implikasi politik lainnya adalah pada kebijakan pertahananIndonesia. Dengan kebijakan pertahananAustraliaseperti telah diuraikan sebelumnya, lalu apa respon dariIndonesia. Apakah Strategi Pertahanan Negara dan Postur Pertahanan Negara 2010-2029 yang diterbitkan oleh Departemen Pertahanan sudah mengantisipasi dan atau sekaligus menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh kebijakan pertahanan Australia? Bila belum, kebijakan apa yang hendak diambil menyikapi kondisi lingkungan keamanan termutakhir?

Memang betul bahwa Indonesiadan Australiasekarang terikat pada Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia On The Framework For Security Cooperation atau lebih dikenal sebagai Perjanjian Lombok. Bahkan pada tingkat Angkatan Bersenjata kedua negara telah menyepakati Joint Statement On Defence Cooperation. Namun demikian, perjanjian itu hendaknya tidak membuai Indonesia dalam kebijakan pertahanannya dengan mengabaikan kemungkinan permusuhan kedua negara suatu ketika nanti. Kasus Agreement On Maintaining Security yang pernah mengikat kedua negara hendaknya dijadikan pelajaran bagiIndonesia agar siap menghadapi skenario terburuk.

Juga menjadi pertanyaan apakah minimum essential force yang digariskan oleh Departemen  Pertahanan   mampu   menjawab   tantangan   yang  ditimbulkan sebagai implikasi dari kebijakan pertahanan Australia? Dalam konteks ini, minimum essential force hendaknya dilihat dalam bingkai operasi gabungan antar ketiga matra TNI. Berdasarkan telaahan penulis, memang probabilitas konflik terbuka yang meluas Indonesia-Australia dalam beberapa tahun ke depan tidak besar. Namun tidak demikian dengan konflik terbuka yang terbatas pada wilayah tertentu saja, seperti di wilayah-wilayah jalur pendekat maritim.

Minimum essential force yang saat ini dalam proses akhir penyusunan akhir ada baiknya dapat diuji validalitasnya, sehingga bisa diketahui kekurangan dan kelebihannya. Uji validitas ini dalam bingkai operasi gabungan, bukan per matra TNI. Mungkin saja asumsi dalam menyusun minimum essential force belum memperhatikan dengan seksama tantangan keamanan dari Australia, namun demikian karena rentang waktu masa pencapaian minimum essential force yang tidak pendek, maka perubahan lingkungan keamanan merupakan suatu keniscayaan. Perubahan demikian harus diantisipasi sejak dini, agar dapat mengurangi unsur pendadakan.

Berikutnya, apakah kebijakan pertahananIndonesiayang cenderung mengandalkan pada kemampuan sendiri pada ranah diplomasi internasional masih relevan atau tidak?Australiayang secara kualitas kemampuan pertahanannya berada di atasIndonesia, masih menganggap penting sekutu atau kawan dalam mempertahakan kepentingan strategisnya. Lalu bagaimana denganIndonesiayang kemampuan pertahanannya masih terbatas?

Isu ini perlu didalami dalam pengambilan kebijakan pertahanan ke depan, sebab kebijakan yang dianut saat ini sepertinya tidak akan mampu mengamankan kepentingan nasional Indonesia. Sebab dengan kecenderungan kebijakan pertahanan Australiayang memperkuat kemampuan peperangan bawah air, dapat ditengarai bahwa tantangan keamanan yang dihadapi negeri itu melampaui (beyond) Indonesia dan cenderung diarahkan untuk menetralisasi kebangkitan militer Cina. Sebab secara tersurat Australiamemberikan perhatian mendalam terhadap pembangunan kekuatan militer Cina dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030.

Australia bersama dengan Amerika Serikat, Jepang dan India makin intensif menjalin kerjasama keamanan dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya dapat dilihat dari partisipasi negara-negara itu dalam Latihan MALABAR. Mudah ditebak bahwa semua itu ditujukan untuk membendung kebangkitan militer Cina. Dihadapkan pada kondisi demikian,Indonesianampaknya berada pada posisi terjepit. Situasi ini secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kepentingan nasionalIndonesia, termasuk di bidang pertahanan.

Misalnya menyangkut dukungan teknologi alutsista. Lepas dari kebijakan pemerintah untuk mulai beralih pada alutsista buatan dalam negeri, TNI Angkatan Laut masih akan tetap mengandalkan teknologi alutsista asing dalam pembangunan kekuatannya. Sebab kandungan teknologi tinggi alutsista TNI Angkatan Laut sangat besar dan sulit untuk mengandalkan dukungan dari industri dalam negeri. Sebagai perbandingan,Australiayang mencanangkan pembangunan kekuatan maritim, khususnya kemampuan peperangan bawah air, sangat mengandalkan pada bantuan teknologi dari Amerika Serikat.

Kedua, implikasi militer. Strategi militer Australiadengan jelas menunjuk primary operational environment-nya yaitu jalur-jalur pendekat maritim dan udara. Sangat jelas bahwa yang dimaksud adalah kawasan Indonesia. Dengan demikian kebijakan pertahanan Australia memunculkan implikasi militer terhadap Indonesia yang sudah sepatutnya direspon secara proporsional. Walaupun sebelumnya telah disebutkan bahwa tantangan keamanan yang dihadapi Australia beyondIndonesia, akan tetapi bukan berartiIndonesia tidak akan terkena implikasinya.

Untuk menjamin kepentingan strategisnya,Australiatidak akan pernah ragu untuk menduduki wilayah-wilayahIndonesiayang berada pada jalur pendekat maritim apabila terdapat ancaman terhadapnya. Sebagai antisipasi terhadap skenario itu, strategi militerIndonesiasebaiknya memasukkan faktor ini dalam perhitungan. Atau apabila ditarik ke dalam ranah operasional, kawasan yang terbentang dariBalisampai Papua harus mendapat prioritas. Prioritas yang dimaksud mencakup pengembangan infrastruktur pertahanan maupun penyebaran kekuatan TNI secara gabungan di wilayah tersebut.

Tantangan bagi TNI adalah bagaimana menangkal dan menolak (to deter and deny) proyeksi kekuatan militerAustralia ke wilayah yang dimaksud apabila terjadi kontinjensi. Tentu di sini harus dikembangkan strategi militer yang dapat merespon situasi demikian. Dengan mengindentifikasi strategi militer yang digunakan, dapat direka sistem senjata apa saja yang dibutuhkan.

Mengingat area pelibatannya didominasi oleh domain maritim, maka strategi maritim sudah sepantasnya menjadi pilihan utama. Dalam strategi itu, tentu saja terdapat peran yang dilaksanakan oleh matra lain selain TNI Angkatan Laut. Misalnya peran kekuatan darat agar jangan sampai wilayah-wilayah daratan di sekitar jalur pendekat maritim direbut dan diduduki oleh pihak asing. Begitu pula peran kekuatan udara untuk merebut keunggulan udara dan mendukung satuan-satuan yang beroperasi di permukaan.

Gelar kekuatan TNI secara keseluruhan dan TNI Angkatan Laut secara khusus, di wilayah-wilayah perairan yang diidentifikasi oleh Australiasebagai jalur-jalur pendekat maritim perlu dikaji dengan seksama. Apakah gelar kekuatan saat ini dapat menghadapi kontinjensi di wilayah-wilayah itu dalam konteks kontinjensi militer konvensional? Bagaimana pula interoperability antar matra TNI disana? Demikian juga dengan kesiapan logistik.

Terkait dengan susunan tempur TNI Angkatan Laut saat ini dan kemungkinan skenario yang dihadapi di perairan jalur-jalur pendekat maritim, nampaknya kemampuan peperangan bawah air dan peperangan udara pada kapal-kapal atas air perlu mendapat perhatian khusus. Sebab dua ancaman itu akan dihadapi oleh unsur-unsur TNI Angkatan Laut ketika mengamankan kepentingan nasional di perairan-perairan strategis yang terhubungkan dengan wilayah Australia. Tantangan bagi TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan pengendalian laut dan sea denial di perairan-perairan tersebut cukup berat bila dihadapkan pada kondisi kesiapan unsur saat ini. Menurut hemat penulis, dibutuhkan modernisasi kekuatan untuk dapat menjawab tantangan tersebut.

5. Penutup 

Kebijakan pertahanan Australiasebagaimana dituangkan dalam Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 secara prinsipil tidak berbeda dengan kebijakan sebelumnya. Australia tetap beraspirasi ingin menjadi aktor utama di kawasan, baik dari aspek politik maupun militer, melalui penciptaan a secure Australia in secure region. Kalau pun terdapat perbedaan dalam kebijakan pertahanan saat ini dengan di masa lalu, lebih pada ranah teknis seperti kemampuan pertahanan apa saja yang hendak dibangun dalam kurun waktu tertentu.

Bagi Indonesia, kebijakan pertahanan Australia termutakhir terus memunculkan tantangan dalam mengamankan kepentingan nasionalnya. Realisasi kebijakan pertahanan tersebut melalui perencanaan dan pembangunan kekuatan berimplikasi signifikan terhadap Indonesia, sebab Indonesia berada pada jalur strategis menuju Australia. Dikaitkan dengan minimum essential force, menjadi pertanyaan apakah kekuatan itu dirancang dengan memperhitungkan pula faktorAustralia. Lepas dari perdebatan apakahAustralia ancaman atau tidak terhadap kepentingan nasionalIndonesia, namun potensi pergesekan kepentingan nasional antaraIndonesia denganAustraliamerupakan suatu keniscayaan.

[i]. Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, hal.30-33
[ii]. Ibid, hal.34
[iii]. Ibid
[iv]. Ibid,
[v]. Ibid,
[vi]. Ibid, hal.39
[vii]. Ibid, hal.41-45
[viii]. Ibid, hal.41
[ix]. Ibid
[x]. Ibid, hal.48
[xi]. Ibid, hal.94
[xii]. Ibid, hal.97
[xiii]. Ibid, hal.96
[xiv]. Ibid, hal.53
[xv]. Ibid, hal.54
[xvi]. Ibid, hal.58-62
[xvii]. Ibid, hal.70-74
[xviii]. Ibid, hal.78-79
[xix]. Ibid, hal.81-82
[xx]. Ibid, hal.82
[xxi]. Ibid, hal.105
[xxii]. Ibid, hal.74
[xxiii]. Ibid
[xxiv]. Ibid, hal.108

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
choirul anam
choirul anam
9 years ago

mohon penjelasannya, apakah Australias maritime identification system pada tahun 2005 yang dengan jangkauan 1000 mil laut masih berlaku sampai sekarang? terimakasih.

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap