ALTERNATIF PEMBANGUNAN KEKUATAN

1. Pendahuluan

Reformasi TNI yang dicanangkan tujuh tahun lalu—salah satu “outcome” yang diharapkan adalah TNI professional. Tanpa isyarat reformasi-pun, universal mengakui militer merupakan  pusat percontohan manajemen modern—konon publik menyebutnya sebagai revolusi urusan militer. Di negara berkembang, militer berkembang mula-mula dalam kelompok-kelompok “warrior atau warlord” yang muncul di mana-mana, kemudian bergabung menjadi tentara nasional. Setelah kemerdekaan, mendominasi kekuasaan dan kekuatan negara (sementara) dilanjutkan melalui tahapan transisi demokratisasi militer dan akhirnya kembali ke-fungsi asasinya sebagai tentara profesional. Dalam tahapan transisi demokratisasi biasanya  timbul isu-isu hubungan sipil-militer, sampai sekarang pun, termasuk di negara maju.

2. Diskusi

Dalam perjalanannya TNI terus membangun kekuatannya, meski di sana-sini muncul   intervensi “politik”, utamanya dalam sistem akuisisi yang tentu saja sering menjadi hambatan. Meski di satu sisi menunjukkan perhatian pemerintah untuk memodernisasi. Rencana pembangunan kekuatan yang betul-betul murni beorientasi kepada ancaman di era modernisasi tersebut mungkin hanya terjadi sewaktu konflik Dwikora dan Trikora. Selanjutnya TNI hanya menghadapi konflik sekala kecil (LIC), bukan perang dengan rencana pembangunan kekuatan yang  belum mengarah kepada kriteria gabungan.

Sekurang-kurangnya mengacu pada struktur strategi pertahanan nasional, yang akan diturunkan menjadi  strategi  militer  nasional. Idealnya strategi militer nasional (kalau ada) selanjutnya akan didukung kebijakan Kas Angkatan untuk membangun kekuatan yang menjamin obyektif strategi militer nasional dan strategi pertahanan nasional tercapai.

Ketidakberadaan 2 blok strategi nasional  tersebut, menjadikan masing-masing Angkatan cenderung berpikir dan merencanakan kekuatan parsial, tanpa arahan yang jelas,utamanya menghadapi skala operasi gabungan. Padahal tuntutan effektivitas operasi militer berada dalam liputan operasi gabungan. Di sisi lain ketidak jelasan profil ancaman semakin mengaburkan basis rencana pembangunan kekuatan dengan pendekatan ancaman. Ditambah belum membaiknya pertumbuhan ekonomi nasional.

Di era global sekarang ini, kecenderungan skala ancaman simetrik (oleh state-actor) berkurang sejalan menguatnya sanksi internasional, perangkat kendali “polisi dunia”, koalisi ekonomi dan perdagangan,proliferasi dan kendali persenjataan (arms-control)serta insiatif keamanan regional. Sebaliknya ancaman asimetrik kelompok organisasi non-negara, (non-state actor) menguat  plus minus “negara nakal”(rouges states) dan kejahatan transnasional. Oleh karena itu  hampir sebagian negara maju mendeklarasikan resmi ancaman  asimetrik sebagai bobot dan prioritas ancaman nasionalnya.

Populernya Threat Based Planning adalah di era Perang Dingin, indikatornya adalah perlombaan senjata yang hampir menjadi santapan berita dunia sehari-hari. Seusai Perang Dingin AS dan sekutunya meninggalkan konsep rencana pembangunan kekuatan (force-structuring) berbasis ancaman (simetrik) tersebut  dan berevolusi (RMA) menggunakan basis  kapabelitas baik versus simetrik maupun asimetrik. Alasannya, pendekatan Threat Based Planning yang pernah dilakukan dirasakan sangat mahal dan kurang realistik. Menilik definisi Capability Based Planning, sebagai berikut:

“Capabilities-Based Planning (CPB) is planning,under uncertainty,to provide capabilities suitable for a wide range of modern-day challenges and circumstances,while working within an economics framework”. (”Analytic Architecture for Capabilities–Based Planning,Mission-System Analysis, and Transformation”, Dr Paul K Davis, NDRI,Rand Corpt, 2003, Introduction).

Klausul pertama tentang “ketidakpastian” dalam bentuk profil ancaman, prediksi area pelibatan, waktu untuk dibutuhkan untuk pelibatan akan memerlukan teknik rekayasa tersendiri untuk mengatasinya. Pengalaman NATO maupun Pakta Warsawa dengan Threat Based Planning—saling mencari keseimbangan kekuatan mutlak, sehingga akhirnya terjadi perlombaan senjata. Basis ini justru menampilkan sejumlah alut dan personil yang sangat besar disiapkan untuk menghadapi pelibatan di setiap area, karena kalkulasi pelibatan akan meliput—mulai pelibatan satu lawan satu (one on one engagement), satu lawan dua,dst sampai dengan kelompok lawan kelompok. Sedangkan mandala perang terbentang berpusat di daratan Eropah (perbatasan Jerman) dan kawasan Samudra Pasifik. Dua titik sentra tersebut dikenal sebagai dua standar (trouble spot) MTW (major theatre war).

Klausul kedua untuk mengembangkan dan menemukan “kapabilitas” apa yang diperlukan, dengan teknik rekayasa tertentu mengalir dari analisis klausul pertama. Perbedaannya, Capability Based Planing tidak meninggalkan samasekali faktor ancaman, karena sudah diliput dalam analisis awal dalam setiap alternative skenario. Inilah yang membedakan antara Capability Based Planning dengan Threat Based Planning.

Klausul ketiga dalam bingkai “analisis-ekonomik”. Masalahnya menjadi rumit dengan sekian banyak skenario yang muncul untuk menjawab  analisis “sistem misinya” dari sekian skenario  pelibatan  terhadap ancaman yang mungkin muncul,versus desain kapabilitas dan dihadapkan dengan analisis efektivitas-biaya dan kenyataan kocek negara yang terbatas. Ketiga klausul tersebut akan memunculkan konflik pemilihan kapabilitas, strategi dan anggaran. Ketiga-tiganya tetap sama pentingnya, karena itu diperlukan analisis “geser (trade-off)” atau dalam bingkai manajemen portofolio.

3. Penutup

Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan masukan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap