CHINA DAN AMERIKA SERIKAT DI PASIFIK: NOT A ZERO SUM GAME? (I)

Oleh  Willy F. Sumakul*

1. Latar belakang

“Pacific century” is coming, demikian pendapat para pengamat ekonomi dan politik terutama di negara-negara kawasan rim Pasifik. Ungkapan inimemang tidak salah, karena fakta menunjukkan dewasa ini kawasan Asia Pasifik merupakan bagian dunia yang paling dinamis dalam pembangunan ekonomi dan perdagangan. Ekonomi  negara-negara Asia sedang menjadi motor penggerak baru bagi pertumbuhan global, yang menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia akan mencapai separuh dari seluruh ekonomi global menjelang tahun 2050.

Tidak dapat dipungkiri China dan Amerika Serikat (AS) mempunyai kepentingan yang bersinggungan melebihi kepentingan negara manapun di kawasan ini. Adanya persaingan maupun kerjasama antara kedua negara besar tersebut akan selalu mengarah pada beberapa isu hangat di wilayah Pasifik, dan mempunyai pengaruh langsung terhadap stabilitas keamanan regional. Kedua negara saat ini menyadari bahwa Asia Pasifik merupakan faktor penentu dalam kelangsungan pembangunan dan pencapaian kemakmuran.

Sekalipun di Asia Pasifik terdapat beberapa negara yang mempunyai peranan besar dalam ekonomi global seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan serta beberapa Negara yang sedang muncul menjadi kekuatan baru, namun perkembangan dan pembangunannya tak akan terlepas bahkan terkait erat dengan perkembangan hubungan antara China dan Amerika Serikat. Namun dilain pihak negara-negara lain juga memiliki bargaining yang cukup kuat yang senantiasa membawa pengaruh terhadap hubungan China –AS. Hubungan interaktif kedua belah pihak akan menjadi faktor penting penentu hubungan China- AS di masa depan.

Dewasa ini, negara-negara di Asia Pasifik memusatkan perhatian pada bagaimana pembangunan ekonomi untuk mencapai kemakmuran dapat terjamin , dan bagaimana momentum pertumbuhan dan kerjasama regional dapat dipertahankan.

Almarhum Presiden Richard Nixon berkata :” This handshake comes across the vast Pacific Ocean”, ketika dia menjabat tangan almarhum Perdana Menteri China Zhou Enlai dalam kunjungannya yang pertama ke China 40 tahun yang lalu.Suatu peristiwa yang menandai dilakukannya pendekatan kembali antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat China setelah beberapa dekade membeku. Sekarang — 40 tahun kemudian — Wakil Presiden China Xi Jinping melakukan kunjungan ke Amerika Serikat di saat wilayah rim Pasifik yang begitu luas telah menjadi arena persaingan dan perebutan hegemoni antara kedua negara besar  sehingga ungkapan “Pacific century is coming” telah bergema. Hubungan China – AS akan menentukan arah ke mana abad ini melalui fenomena-fenomena yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat. Akankah salah satu mengambil keuntungan sebesar-besarnya dan yang lain tidak mendapat apa-apa atau seperti apa? Akan ditentukan dalam perkembangan selanjutnya seiring dengan berjalannya waktu.

2. Lingkungan Keamanan Asia Pasifik

Keseimbangan kekuatan (balanced of power) Kontinental vs Maritim yang telah berlangsung semenjak berakhirnya perang Vietnam pada tahun 1975, nampaknya akan segera berakhir. Kekuatan kontinental yang diwakili oleh Soviet Union dan Republik Rakyat China serta kekuatan Maritim yang diwakili oleh Amerika Serikat dan beberapa negara litoral sekutunya, telah memberikan “ keuntungan“ bagi negara-negara Asia Pasifik yaitu kesempatan untuk memusatkan perhatian pada pembenahan stabilitas politik dalam negeri dan pembangunan ekonomi.

Peta geopolitik sedang berubah yang dibarengi dengan bidang ekonomi dan militer yang dalam banyak hal melampaui kemampuan negara-negara besar sekalipun untuk merespon dengan tepat kemudian melakukan tindakan proaktif terhadap perkembangan situasi. Paling tidak terdapat 4 (empat) pilar pokok perubahan yang dapat kita saksikan saat ini.

Pertama, Asia Pasifik sedang muncul menjadi pemain utama di bidang politik dan mesin ekonomi global. Negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara hampir menempati sepertiga penduduk dunia, menghasilkan kurang lebih seperempat produksi dunia dan memproduksi hampir seperempat ekspor global. Pemerintah dan institusi di bawah kontrol pemerintah di Asia menguasai dua pertiga dari cadangan devisa dunia yang berjumlah $ 6 triliun. Sekalipun dunia mengalami krisis finansial, pertumbuhan rata-rata Asia pada dekade terakhir mencapai dua digit. Sistim ekonomi yang menganut orientasi pasar dan keterlibatan secara global ditunjang oleh teknologi yang maju, telah memungkinkan Asia memberikan kontribusi yang besar dalam  mengatasi  masalah-masalah dunia saat ini. Sejalan dengan hal itu, ancaman dari Asia juga semakin besar seperti tindakan kriminal, penyebaran penyakit dapat juga nmenyebar dengan cepat.

Tuntutan akan kebutuhan energi dan sumber-sumber lain yang makin besar telah menimbulkan ketegangan antar-negara. Sebagai perbandingan, perdagangan barang antara Asia dan AS saat ini mencapai $1 triliun setahun, atau 27 % dari seluruh perdagangan barang AS ke seluruh dunia, berbanding hanya 19 % dengan Uni Eropa. Pertumbuhan serta saling ketergantungan ekonomi memunculkan kesepakatan-kesepakatan (agreements) yaitu perdagangan bebas regional (FTA). Hampir seluruh negara di kawasan ini telah menandatangani atau sedang dalam proses negosiasi secara bilateral maupun regional menuju pada perjanjian perdagangan. Perjanjian ini merupakan ekspresi dari geopolotik negara yang ingin menciptakan hubungan damai, sekaligus sebagai sarana komersial. Perjanjian China-ASEAN FTA yang ditandatangani tahun 200, merupakan yang paling menonjol, karena bila diimplementasikan secara penuh, akan menjadi perjanjian perdagangan terbesar ketiga sesudah Uni Eropa dan North American Free Trade Area (NAFTA).

Kedua, yang berhubungan langsung dengan yang pertama adalah: perkembangan ekonomi China dan modernisasi kekuatan militernya. Ketika China meningkatkan kemampuan militernya untuk menjamin keamanannya dan menyebarkan instalasi-instalasi militernya secara luas sebagaimana layaknya suatu kekuatan besar, maka keadaan ini akan mengancam keseimbangan kekuatan kontinental-maritim yang selama ini eksis. Dan ketika kekuatan militer dikombinasikan dengan pertumbuhan ekonomi, didukung oleh komitmen diplomatik, maka jadilah China sebagai pemain utama dalam semua aspek keamanan di Asia. Keberhasilan dramatis Beijing dalam “reform and opening up” kebijakan ekonominya telah menghasilkan keuntungan yang sangat berarti untuk membiayai modernisasi secara menyeluruh dalam segala bidang di dalam Peoples Liberation Army (PLA).

Secara bertahap China memperbaiki kemampuan militernya di lepas pantai/di laut, yang sekalipun bertujuan untuk pertahanan strategis, di wilayah yang sudah  setengah abad didominasi oleh Amerika Serikat  bersama sekutu-sekutunya. Oleh AS keadaan ini dipandang akan berakibat pada rusaknya perimbangan kekuatan kontinental-maritim sebagai pola lama yang selama ini terpelihara di kawasan. Daya atau kemampuan  mempertahankan posisi strategis AS di Asia sangat bergantung pada kemampuannya menggunakan laut  dan menjamin keamanan para sekutunya di Asia Timur dan Asia Tenggara dan mempertahankan kepentingan nasional Amerika. By attempting to  achieve security on it’s maritime frontier, Beijing is creating a potentially dangerous dynamic: as its security situation improves it makes the security environment for many of its neighbors worse. Hal ini membawa arti bagi Washington bahwa elemen inti dari strategi China adalah; seandainya terjadi konflik : to keep US power as far from East Asia as possible.

Sejak tahun 2001 Departemen Pertahanan Amerika telah memberikan ciri pendekatan China ini sebagai “Anti- Access” konsep operasi. Tujuan utama Anti Access Strategy dari Beijing adalah membatasi atau mencegah kemampuan AS melakukan campur tangan melalui ancaman ataupun menggunakan kekuatan militer secara nyata untuk menangkal atau merespon bila Taiwan mendeklarasikan kemerdekaannya. Dalam kaitan dengan masalah Taiwan, (salah satu ganjalan utama hubungan China- AS),  AS mengharapkan agar Taiwan tidak memainkan sinyal-sinyal politik yang dapat membangkitkan amarah China sehingga akan berakibat pada tergangggunya  stabilitas keamanan di Selat Taiwan.

Pendekatan baru presiden Taiwan Ma Ying dengan semboyan “No unification, no independence, no use of force” mengamanatkan bahwa Taiwan akan mempertahankan status quo di Selat Taiwan sehingga berpotensi merubah hubungan China Taiwan dari konfrontasi militer ke hubungan politik yang lebih lunak. Kebijakan baru Taiwan ini karena presiden Ma Ying agaknya lebih pro China karena dia kelahiran Kanton, sehingga pendekatannya lebih mementingkan normalisasi dengan China. Dalam masalah Taiwan pandangan politik kedua negara AS dan China sangat bertolak belakang.  China menganggap   Taiwan adalah bagian dari teritorinya sehingga unifikasi tinggal menunggu waktu saja. Sementara AS berpegang pada aliansi yang tertuang dalam Taiwan Act, sehingga harus dibela tanpa syarat. Jadi yang kita saksikan adalah permusuhan China-Taiwan adalah juga permusuhan China-AS.

Di samping itu hubungan ekonomi tiap negara di Asia dengan China juga merupakan hal yang sangat penting untuk mencapai kesejahteraan bersama dan hubungan bilateral yang erat dengan Beijing akan meningkatkan saling ketergantungan secara ekonomi. Agaknya hubungan ekonomi ini, dijadikan alat (tool) oleh China untuk lebih mempererat hubungan diplomatic dengan negara-negara tetanggganya.

Ketiga, masalah aktifitas senjata  nuklir beserta penyebarannya, yang telah menyita perhatian berbagai pihak di kawasan ini selama satu dekade belakangan. Ada kecenderungan peningkatan pembuatan senjata nuklir seperti halnya di masa perang dingin, (di Asia dan global) di saat AS dan Rusia menarik diri dari taktikal senjata nuklir di kawasan ini, sebagai bagian dari Presidensial Nuclear Initiatives (PNIs) dan pengurangan kekuatan strategis di bawah Strategic Arms Reduction Talks (START).

Negara-negara Asia saat ini yang memiliki senjata nuklir dan telah mencobanya adalah India, Pakistan, Korea Utara dan China. Negara-negara ini  berlomba-lomba meningkatkan kemampuan senjata nuklirnya bahkan jangkauannya jauh melampaui wilayahnya sendiri. China telah memodernisasi kemampuan peluru kendali balistiknya baik untuk jarak pendek maupun untuk intercontinental (ICBM). Terungkap bahwa saat ini terdapat organisasi bernama A.Q Khan network di Pakistan, serta kegiatan perdagangan ilegal terhadap bahan-bahan pembuat senjata nuklir yang justru dilakukan oleh “Negara-negara dengan senjata nuklir kelas dua”. Pada saat yang sama organisasi teroris Al-Qaeda melakukan upaya merekrut ahli-ahli nuklir dari Negara simpati dan berusaha memperoleh material nuklir beserta teknologinya untuk membuat senjata nuklir.

Sementara itu Rusia tengah mempertimbangkan untuk mengabaikan perjanjian tentang senjata nuklir jarak sedang (INF) dengan dalih sebagai upaya penangkalan bagi Asia. Singkatnya, isu senjata nuklir telah kembali mengusik keamanan di Asia walaupun masalahnya berbeda dengan pada masa Perang Dingin.

Keempat, berkembangnya kerjasama multilateral di Asia Pasifik. Dalam satu dekade terakhir, keinginan untuk melakukan kerjasama multilateral termasuk di bidang keamanan di antara negara-negara Asia Pasifik telah berkembang dengan pesat. Fenomena ini harus diakui telah dimotori oleh Negara-negara anggota ASEAN. Sekalipun AS memegang peran penting dalam pembentukan APEC meeting, namun inisiatif lain seperti ARF, ASEAN plus Three,East Asia Summit semuanya disponsori oleh ASEAN. Walaupun keberadaan kerjasama ini banyak mendapat kritik karena terlalu banyak berkutat pada dialog dan kurang menangani masalah-masalah yang substantif, harus diakui juga organisasi ini telah banyak memberikan kontribusi pada penciptaan perdamaian dan stabilitas di kawasan ini.

Trend mekanisme ini kelihatannya tidak dapat dibendung sejak China melakukan pendekatan diplomatik melaui cara merangkul negara-negara Asia tetangganya. Masalah yang muncul dan menjadi perhatian terutama oleh negara besar adalah ketika kerjasama ekonomi ini kemudian berkembang menjadi kerjasama keamanan dan pertahanan. Jepang dan China telah memperbaharui hubungan, demikian pula Korea Selatan dengan Negara-negara tetanggganya (kecuali Korea Utara). Paham regionalisme semakin berkembang didorong oleh adanya kesadaran untuk mencari suatu platform baru kerjasama agar dapat mengatasi problem yang dihadapi bersama pula. Kawasan ini sekarang dipercaya telah menjadi “noodle bowl” secara multilateral dalam politik, ekonomi dan keamanan.

3. Kebijakan politik Amerika Serikat

Sejarah mencatat bahwa lautan Mediterania adalah pusat kehidupan masa lalu, Lautan Atlantik adalah masa kini dan Lautan  Pasifik adalah pusat kehidupan masa datang. Memasuki tahun 2012 telah terjadi perobahan mendasar dalam kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang kemudian diikuti dengan kebijakan strategi keamanan nasionalnya (National Security Strategy). Presiden Barrack Obama di awal tahun ini telah menegaskan bahwa Amerika telah kembali ke Asia, suatu pernyataan yang seolah-olah ingin mengatakan bahwa selama ini (katakanlah selama 2 dekade), Amerika Serikat tidak memperhatikan Asia dan tepian Pasifik pada umumnya. Namun dalam pernyataannya tersirat juga bahwa AS sesungguhnya tidak pernah meninggalkan Asia. Faktanya selama dua masa jabatan pemerintahan Presiden George Bush, AS  tetap memelihara hubungan baik dengan Negara-negara sekutu maupun teman di Asia Pasifik sekalipun sedang menghadapi perang di dua front yaitu di Timur Tengah dan di Asia Selatan.

Masih membekas dalam ingatan para pemimpin negara-negara ASEAN yang mengesankan kekurang-perhatian AS khususnya dalam masalah keamanan di Asia Pasifik adalah ketika Mantan Menteri Luar Negeri Condoleza Rice, menolak hadir selama dua kali dalam sidang ASEAN Regional Forum (ARF). Namun, fakta menunjukkan bahwa Presiden Bush juga selama masa jabatannya telah berusaha memelihara dan mempertahankan equilibrium di Asia Pasifik yang telah berlangsung selama 50 tahun. Posisi AS seperti ini tidak juga terlepas dari dukungan negara sekutunya di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Philipina dan Singapura. Negara-negara ini secara tetap menyediakan wilayahnya menjadi pangkalan militer AS, baik darat,laut maupun udara yang tergabung dalam US Pacom.

Untuk bisa memahami bagaimana kebijakan politik maupun strategi keamanan AS di Asia Pasifik, ada baiknya kita mengetahui Kepentingan Keamanan Nasional Amerika (US National Security Interest). Terdapat 6 (enam) point di dalamnya, namun yang kira-kira mempunyai kaitan erat dengan bahasan ini yaitu:

  1. Regional stability and the absence of any dominant power that would threaten or impede US access or interests.
  2. Regional prosperity and the promotion of free trade and market access.
  3. A stable, secure, proliferation-free global nuclear order.
  4. Ensuring freedom of navigation, which is an essential prerequisite for regional stability and the protection of American interests.

Kita hendaknya memahami bahwa apapun langkah diplomatik maupun keamanan (termasuk militer) yang dilakukan AS, akan senantiasa mengacu pada strategi Keamanan Nasional di atas, tidak terkecuali terhadap kawasan Asia Pasifik. Titik satu di atas,  jelas menggambarkan bahwa Amerika mempunyai kepentingan yang besar di Pasifik dan akan mencegah sedapat mungkin kekuatan lain mendominasi situasi dan daerah tersebut. Adanya kekuatan lain yang ingin masuk, akan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas keamanan dan eksistensi AS. Hal ini dapat dipahami dari sudut pandang Strategi sebagai “ a comprehensive direction of power to control the situation and area”. Suatu kebijakan keamanan tidak bermakna apa-apa apabila tidak diikuti dengan tindakan militer, yang dalam hal ini telah diimplementasikan dalam wujud organisasi Militer Gabungan US PACOM (Pacific Command).

Wilayah tanggung jawab PACOM sangat luas, meliputi seluruh lautan Pasifik sampai ke lautan India dan Australia. Titik kedua dan keempat, sangat berkaitan erat dengan komitmen Amerika dalam masalah ekonomi yaitu perdagangan bebas dan pasar terbuka yang telah terbukti menjadi kunci sukses meningkatkan kemakmuran  Amerika dan Negara-negara sekutunya di Asia Pasifik. Dalam kaitan ini keamanan dan keselamatan SLOC(Sea Lane Of Communication) khususnya dari laut China Selatan terus ke utara dan sebaliknya, harus senantiasa terjamin. Hambatan dan gangguan serius terhadap SLOC ini dapat dipastikan akan memicu pertentangan politik dan dapat berujung pada pengerahan kekuatan miliiter. Sedangkan pada titik terakhir, jelas adanya penentangan Amerika terhadap penyebaran senjata nuklir serta alat pendorongnya termasuk material pembuatnya.

PSI (Proliferation Security Initiative) adalah salah satu langkah pelaksanaannya. Khusus dalam memandang China, salah satu pendapat pejabat dalam pemerintahan presiden Obama yaitu Wakil Menteri Luar Negeri William Burns, mengatakan: “ The two countries have a “deep, wide-ranging and complex relationship. A healthy China-US relationship is central to the future of the Asia Pacific region and  the global economy, and mutual trust and understanding are essential to the security and prosperity of both countries” Walaupun pejabat pemerintah AS berulang kali mengatakan bahwa mereka menyambut baik suatu China yang kuat dan sejahtera, namun banyak pengamat dan politikus AS punya pendapat yang berbeda. Misalnya Robert Art, Prof dari Brandeis University berpendapat, ketika kekuatan ekonomi dan militer China terus meningkat, maka gap antara kekuatan China dan US semakin menyempit sehingga diperlukan strategi baru untuk menghadapinya. Strategi tersebut terbagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu:

Pertama, “menerima dengan biasa saja” dengan asumsi bahwa China tidak berniat membangun tata dunia internasional, karena itu AS harus membangun hubungan baik dengan China, membawanya kedalam sistem internasional dan menjadi pemangku kepentingan yang bertanggung jawab.

Kedua,  “Konflik yang tak terelakkan” berpendapat,  kebangkitan satu kekuatan baru biasanya tidak pernah berniat damai, sehingga konflik antara kedua negara merupakan keniscayaan. Kebangkitan China akan menggoyang sistem internasional yang sudah ada, karena itu AS harus membendung China,terutama mencegahnya menjadi kekuatan dominan di Asia.

Ketiga, “Optimistis-realistis”, percaya bahwa perdamaian tidak dapat dicapai secara otomatis, tetapi juga konflik bukan tidak mungkin dicegah. Sebab itu AS harus menjalankan diplomasi dan kebijakan yang arif untuk menangani hubungan kedua Negara.

Sekarang dunia sedang menyaksikan perobahan kebijakan keamanan global Amerika setelah lebih dari satu dekade terlibat dalam perang di Timur Tengah dan Asia Selatan. “A policy shift towards Asia Pacific” sebenarnya hanyalah penegasan kembali akan komitmen AS sejalan dengan Strategi Keamanan Nasionalnya di kawasan ini seperti yang sudah diuraikan di atas, hanya saat ini lebih banyak ditujukan kepada China. Presiden Barack  Obama awal Januari 2012 mengumumkan pergeseran strategi pertahanan AS yang akan berfokus ke kawasan Asia Pasifik, tidak berarti akan menarik semua pasukannya dari Eropa maupun dari bagian dunia yang lain.

Duta besar AS untuk Indonesia mengatakan bahwa AS sudah sejak lama selalu terlibat aktif dalam kerjasama di kawasan ini, karenanya perobahan ini bukanlah sesuatu yang baru, karena memang AS adalah bagian dari kawasan Pasifik. Selain dari itu AS berupaya menggalang hubungan yang lebih erat lagi dengan negara-negara Asia, terbukti dengan kunjungan Presiden Barack Obama ke beberapa Negara Asia Pasifik baru-baru ini seperti Australia dan  Indonesia. Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengunjungi Philipina, Thailand dan Myanmar. Di Philipina Menlu Clinton menandatangani deklarasi penegasan kembali perjanjian pertahanan antara kedua negara. Sedangkan di Thailand Clinton berjanji memberikan bantuan sebesar $10 juta serta pelibatan kapal perang untuk membantu menanggulangi korban akibat banjir.

Dengan Australia, AS telah menempatkan Pasukan Marinir sebanyak 2500 personil di Darwin di akhir Maret lalu, sebagai pemenuhan pernyataan Presiden Obama ketika mengunjungi Australia beberapa waktu lalu. Rencana AS untuk memasang ‘tameng’ pertahanan peluru kendali di Asia yang rencananya akan ditempatkan di Korea Selatan, Jepang dan Australia, telah mengundang banyak reaksi terutama dari China. Dampak negatif rencana ini antara lain akan memicu China meningkatkan kemampuan misil balistiknya, baik jarak menengah maupun jarak jauh sebagai antisipasi. “ The US is creating waves in Asia, the region may see more conflicts intensify in the future. China should make utmost efforts to prevent it but prepare for the worst.” Akibat lanjutnya akan membawa AS dan China ke dalam situasi Perang Dingin di kawasan Pasifik.

4. Kebijakan Politik China

Berbeda dengan AS, kebijakan strategi kemananan Nasional China tidak banyak dipublikasikan dalam bentuk tertulis, namun hanya bisa diperoleh lewat pernyataan-pernyataan resmi pejabat  Pemerintah China maupun melalui analisis para pengamat dengan melihat kecenderungan dan kenyataan yang terjadi. Terhadap kawasan Pasifik rim dan Lautan Pasifik pada umumnya,  telah banyak diulas oleh para politisi, akademisi maupun pengamat. Bagaimana hubungan China dengan Negara-negara maju tetangganya seperti Jepang, Korea Selatan, Rusia  maupun dengan Negara-negara ASEAN. Dunia saat ini menyaksikan peningkatan dan pembangunan kekuatan militer China (PLA) baik dalam kualitas maupun kuantitas, namun pembangunan ini belum jelas benar arahnya/tujuannya. Pembangunan ekonomi perdagangan jauh lebih menonjol dan agresif. Ekonomi China telah merambah ke segala penjuru dunia, baik dengan negara maju maupun negara berkembang, bahkan dengan negara-negara yang sangat miskin.

Namun satu hal yang menarik adalah perhatian yang begitu besar China terhadap negara-negara kepulauan kecil yang tersebar di lautan Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF). Mengingat banyak sekali perbedaan antara negara-negara tersebut dengan China baik dari segi luas wilayah, jumlah penduduk, budaya, potensi ekonomi, tingkat kemakmuran dan lain sebagainya. Pada tahun 2003 pemerintah PRC mengumumkan bahwa China akan meningkatkan hubungan diplomatik dengan negara-negara PIF dan akan segera memperbesar bantuan ekonomi kepada mereka. Disusul pada tahun 2006, Perdana Menteri Wen Jiabao menyatakan akan menambah bantuan ekonomi, menghapuskan tarif ekspor dari Pasifik, menghapus hutang , memberi bantuan gratis obat anti malaria dan bantuan pendidikan bagi pegawai pemerintah.

Pada tahun yang sama Wen menjadi Perdana Menteri China pertama yang mengunjungi Negara di Pasifik Selatan kemudian disusul dengan kunjungan timbal balik para pemimpin PIF ke China. ”There have been more Pacific Islands Minister visit to China than any other countries.” Mereka kemudian menyatakan kegembiraan mereka atas kedermawanan China kepada mereka serta mengharapkan peningkatan kerjasama di masa mendatang. Dr. John Lee dari majalah Islands Magazine berpendapat mengenai perhatian China di Pasifik, sepertinya didorong oleh persaingannya dengan Taiwan untuk memperoleh pengakuan diplomatik dengan memainkan apa yang disebut  ”Checquebook Diplomacy”. Karena masalah Taiwan adalah masalah yang paling krusial yang dihadapi China saat ini. Ternyata Taiwan juga melakukan hal yang sama dengan China yaitu berebut pengaruh di Pasifik terutama Pasifik Selatan, bahkan telah melangkah lebih dulu dari China. Taiwan telah mempunyai sekutu dengan negara-negara di Pasifik Selatan yaitu Marshall Islands, Tuvalu, Nauru, Palau, Solomon Islands dan Kiribati.

Pertemuan Puncak Pertama dilakukan pada September 2006 yang diadakan di Koror Kepulauan Palau dihadiri oleh para Kepala Negara dan Pemerintahan. Inilah yang menjadi motivasi utama China yaitu bersaing dengan Taiwan berebut pengaruh di Pasifik Selatan.  Perlu dicermati bahwa hubungan China dengan negara-negara PIF sejauh ini hanya terbatas pada kerjasama ekonomi dan sosial semata dan agaknya belum mengarah pada bidang politik apalagi militer. Pendapat ini diperkuat dalam The final Report of the April 2008 Australia 2020 Summit: “ It was noted that so far China did not seem interested in exporting its political values. Its intraction with the region was economically focused or motivated by rivalry with Taiwan. Memang ada kekuatiran para penduduk asli yang merasa lama kelamaan akan kehilangan mata pencaharian mereka karena diambil alih oleh etnis China pendatang.

Masalah ini juga yang memicu kegaduhan dan demonstrasi di Tonga dan Solomon beberapa tahun lalu. Namun berbeda dengan keadaan di Fiji dan Vanuatu di mana penduduk asli mempunyai hubungan yang harmonis, saling pengertian dengan etnis China termasuk di bidang budaya dan bahasa. Kekuatiran terhadap kekuatan militer China akan berperan di kawasan ini, antara lain bertujuan untuk melindungi keselamatan etnis China, juga ditepis oleh Pejabat China di Fiji yang mengatakan bahwa China tidak akan melakukan tekanan dan ancaman  militer terhadap negara manapun, sebaliknya menentang setiap bentuk hegemoni dan politik kekuatan. Walaupun ada juga aksi militer China pertama yaitu ketika pada Agustus dan September 2010, PLA Navy melakukan suatu “goodwill  visit” ke Pasifik Selatan mengunjungi Papua Nugini, Vanuatu, Tonga , New Zealand dan Australia.

Sejauh ini yang dapat dipantau, tujuan bantuan China ke Pasifik Selatan semata-mata untuk mendorong dan mempengaruhi negara-negara di kawasan tersebut untuk tidak memberikan pengakuan diplomatik kepada Taiwan, sekalipun belum nampak adanya upaya China meningkatkan pengaruh militernya. Laporan Lowy Institute pada April 2011 menyebutkan bahwa Chequebook Diplomacy China yang telah merobah pemberian bantuan hibah ke pinjaman lunak, akan menempatkan negara-negara peminjam pada posisi yang rentan terhadap tekanan politik Beijing, karena negara-negara tersebut akan berjuang keras membayar pinjamannya dalam satu jangka waktu tertentu yang pada gilirannya akan terikat dengan Beijing. Klaim teritorial China di laut Cina Selatan termasuk gugusan kepulauan di daerah itu (detailnya sudah dibahas dalam beberapa penerbitan QuarterDeck) telah menimbulkan pertanyaan mendasar akan sistim teritori negara yang dianut China. Umumnya negara bangsa menganut sistim teritori negara sesuai dengan perjanjian Westphalia pada tahun 1648, yaitu batas wilayah dan kedaulatan Negara yang tegas dan jelas, serta tidak adanya campur tangan negara lain dalam masalah internal negara tertentu.

Seperti kita ketahui terdapat friksi antara Beijing dan Washington terkait dengan sengketa China dengan 5 negara Asia Tenggara atas kepemilikan gugusan kepulauan Spratley dan Paracel di Laut Cina Selatan. Meskipun AS bukan Negara claimant, tetapi secara terbuka AS menyatakan bahwa sengketa tersebut berada dalam kepentingan nasional AS sehubungan dengan jalur laut vital yang melewati daerah tersebut. Karena itu AS mendorong penyelesaian konflik oleh semua pihak secara damai.

Tentang hubungan China dengan Amerika Serikat (AS), sering kali lebih menarik jika diukur dari kemampuan militernya. Harus diakui untuk kondisi saat ini, kekuatan dan kemampuan militer China belum mampu mengimbangi AS. Sekalipun sejak1990 China telah meningkatkan biaya militernya dengan rata-rata 10% pertahun untuk memodernisasi kekuatan pertahanannya. Sebagai contoh, China sekarang memiliki kapal selam tenaga diesel modern sebanyak 50 buah, dan sedang membangun sebuah kapal selam bertenaga nuklir.China juga memiliki peluru kendali (rudal) balistik jarak pendek, sedang dan jauh, baik konvensional maupun nuklir, di mana rudal jarak menengahnya saja dapat menjangkau Jepang dan beberapa pangkalan udara AS di Asia. (Bersambung)

*) Kolonel Laut (Purn), alumni AAL XV, U.S. Naval War College (Naval Command College) 1933, U.K. Royal College of Defence Studies (Lemhannas Inggris) 1997. Saat ini menjabat Sekretaris FKPM merangkap analis.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap