PEMBANGUNAN KEKUATAN UDARA TNI ANGKATAN LAUT KE DEPAN: SUATU WACANA

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan

Kekuatan udara sejak awal abad ke-20 merupakan bagian tidak terpisahkan dari kekuatan Angkatan Laut secara keseluruhan. Seiring dengan kemajuan teknologi, peran kekuatan udara Angkatan Laut dalam operasi-operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut di berbagai negara semakin signifikan. Apabila di negara-negara maju kekuatan udara Angkatan Laut mempunyai kekuatan dan kemampuan yang tidak kalah dengan Angkatan Udara, di negara-negara berkembang pembangunan kekuatan udara Angkatan Laut lebih berfokus pada kemampuan patroli maritim.

Kekuatan udara Angkatan Laut pada dasarnya mempunyai sejumlah kemampuan khusus sesuai dengan ciri khas operasi Angkatan Laut, seperti early warning, peperangan anti kapal selam, peperangan ranjau dan peperangan amfibi. Di samping itu, kekuatan udara Angkatan Laut juga dapat melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan humanitarian relief dan search and rescue (SAR). Kemampuan-kemampuan itu apabila dieksploitasi secara optimal akan meningkatkan daya pukul Angkatan Laut secara keseluruhan.

Perkembangan lingkungan strategis kawasan Asia Pasifik dewasa ini menunjukkan bahwa ancaman dan tantangan pada domain maritim semakin dinamis. Pada satu sisi, pembangunan kekuatan konvensional Angkatan Laut masih terus berlangsung dan tidak jarang pembangunan itu dipandang dengan kewaspadaan oleh negara-negara lain di sekitarnya. Sedang pada sisi lain, ancaman dan tantangan terhadap keamanan maritim yang terkait dengan good order at sea masih signifikan sehingga mempengaruhi pula pertimbangan-pertimbangan dalam pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

Terkait dengan kekuatan udara Angkatan Laut, dalam satu dekade terakhir terdapat kecenderungan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara, yang mulai mencurahkan sumber daya lebih banyak untuk meningkatkan kemampuannya untuk memperkuat penerbangan Angkatan Lautnya masing-masing. Misalnya Tentara Laut Diraja Malaysia yang berencana melengkapi enam korvet kelas Kedah dengan enam helikopter anti kapal selam. Sedangkan Angkatan Laut Republik Singapura telah menerima enam heli H-70 Seahawk dari Amerika Serikat yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Republik Singapura dan berkedudukan di kapal fregat kelas Formidable.

Kekuatan udara TNI Angkatan Laut yang dikenal sebagai Pusat Penerbangan Angkatan Laut (Puspenerbal) telah eksis sejak 17 Juni 1956 dan dalam perkembangan terkini dihadapkan pada beragam tantangan. Sebagai bagian dari sistem senjata armada terpadu (SSAT), kekuatan udara TNI Angkatan Laut ditantang untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap tugas-tugas TNI Angkatan Laut secara keseluruhan. Kontribusi tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja TNI Angkatan Laut sebagai Angkatan Laut negara kepulauan. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini akan menyumbang gagasan tentang pengembangan kekuatan udara TNI Angkatan Laut ke depan dengan bertolak pada kondisi nyata saat ini.

2. Dinamika Lingkungan Strategis

Kawasan Asia Pasifik mempunyai dinamika tersendiri dari sudut pandang politik, ekonomi dan keamanan. Dinamika keamanan di kawasan ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kawasan lainnya di dunia, sebab hubungan antar aktor negara di wilayah ini bersifat sangat kompleks. Kerjasama dan sekaligus konflik merupakan dua hal antagonis yang bisa mewarnai hubungan antar aktor negara di sini.

Sementara itu, peran aktor non negara dalam isu keamanan kawasan juga tidak dapat diabaikan. Aktor non negara masa kini mampu melaksanakan peperangan konvensional untuk menghadapi aktor negara, seperti dicontohkan oleh gerilyawan Macan Tamil dan Hizbullah. Apapun dinamika keamanan yang terjadi di kawasan Asia Pasifik, selalu tidak dapat dilepaskan pula dari karakteristik maritim sebab sebagian besar wilayah ini didominasi oleh perairan. Untuk kaitan dengan dinamika kekuatan udara Angkatan Laut di kawasan, terdapat beberapa isu yang patut untuk dicermati.

Pertama, ancaman dan tantangan keamanan. Kawasan Asia Pasifik masih menyimpan sejumlah flash points antar negara yang membentang dari Semenanjung Korea hingga Samudera India. Namun pada wilayah yang sama pula, negara-negara kawasan menghadapi pula ancaman dan tantangan asimetris yang sebagian di antaranya berada pada domain maritim. Merespon dinamika demikian, pembangunan kekuatan Angkatan Laut selalu memperhatikan dinamikan ancaman dan tantangan simetris dan asimetris sekaligus.

Kedua, proliferasi teknologi. Dalam satu dekade terakhir, proliferasi teknologi maju Angkatan Laut merambah kawasan Asia Pasifik dengan cepat dibandingkan masa sebelumnya. Seperti penyebaran rudal jelajah jarak jauh yang dipasang di kapal permukaan dan proliferasi kapal selam. Sehingga bila dibandingkan dengan era peralihan dari abad ke-20 ke abad ke-21, dalam dekade pertama abad ke-21 teknologi Angkatan Laut yang menyebar di kawasan ini jauh lebih maju sekaligus lebih merusak.

Ketiga, modernisasi kekuatan Angkatan Laut. Proliferasi teknologi maju Angkatan Laut yang pesat di kawasan ini tidak lepas dari adanya peluang pasar yaitu modernisasi kekuatan Angkatan Laut kawasan. Alasan utama modernisasi itu adalah untuk menggantikan sistem senjata lama yang menggunakan teknologi 1980-an, di samping untuk memelihara keunggulan teknologi terhadap negara-negara lain di sekitarnya. Adanya sejumlah flash points menjadi pertimbangan lain pula dalam modernisasi kekuatan tersebut.

3. Implikasi Terhadap Kekuatan Udara Angkatan Laut

Ketiga isu yang kini mewarnai dinamika keamanan kawasan Asia Pasifik mempunyai benang merah terhadap perkembangan kekuatan udara Angkatan Laut di kawasan. Kekuatan udara Angkatan Laut di kawasan sebagian besar didominasi oleh pesawat patroli maritim, baik sayap tetap maupun sayap putar, dan hanya Angkatan Laut tertentu yang mengoperasikan kekuatan udaranya dari platform kapal induk lengkap dengan pesawat tempurnya. Kecuali Amerika Serikat, India dan Thailand, kekuatan udara Angkatan Laut di wilayah ini kemampuannya operasinya tergantung pada pangkalan di darat dan lebih difokuskan pada kemampuan pengamatan maritim.

Apabila diperhatikan dengan seksama, aset kekuatan udara Angkatan Laut di kawasan ini didesain untuk melaksanakan tugas pengamatan maritim, khususnya sasaran-sasaran permukaan laut. Namun demikian, dalam dua tahun terakhir mulai tercipta arus baru dalam pembangunan kekuatan udara Angkatan Laut. Yaitu pengadaan pesawat patroli maritim yang dilengkapi dengan kemampuan peperangan anti kapal selam.

Arus baru itu bisa dilihat dari rencana Malaysia untuk membeli pesawat anti kapal selam sekelas CN-235ASW, begitu pula rencana kekuatan laut Indonesia membeli sejumlah CN-235 ASW. Sementara Singapura yang sejak 1990-an telah mengoperasikan pesawat patroli maritim F-50 (oleh Angkatan Udaranya), tahun ini telah menerima enam heli anti kapal selam H-70 Seahawk dari Amerika Serikat yang akan onboard di fregat kelas Formidable. Adapun India telah sepakat mengakuisisi pesawat Boeing P-8A Poseidon multi mission aircraft (MMA) dari Amerika Serikat untuk kepentingan Angkatan Lautnya, sedangkan Australia besar kemungkinan akan membeli pesawat sejenis guna menggantikan pesawat P-3C Orion.

Setelah ditelusuri lebih jauh, arus balik itu terjadi penyebab utamanya bukan karena makin meningkatnya ancaman asimetris pada domain maritim, tetapi lebih pada meningkatnya ancaman kapal selam. Bergabungnya beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik dalam klub kapal selam rupanya menimbulkan hirauan dan kekhawatiran tersendiri dari negara-negara lain di sekitarnya. Berdasarkan hal itu, sulit untuk menghindari kesan bahwa beberapa Angkatan Laut di kawasan tengah membangun dan atau menyempurnakan kemampuan peperangan anti kapal selamnya, di antaranya dengan mengadopsi pesawat patroli maritim berkemampuan anti kapal selam.

Seperti diketahui, beberapa Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik yang telah lama mengoperasikan pesawat udara selama ini lebih banyak memfokuskan kemampuan untuk pengamatan maritim dan sangat sedikit yang mampu untuk menghadapi ancaman peperangan kapal selam. Bahkan kalau ditelisik lebih jauh, paling banyak hanya tiga negara yang mempunyai kemampuan peperangan anti kapal selam yang mumpuni, termasuk menggunakan pesawat udara, yaitu Angkatan Laut Amerika Serikat, Australia dan Jepang.

Modernisasi lainnya di lingkungan Angkatan Laut kawasan adalah mulai diadopsinya penggunaan kapal-kapal pendarat yang mampu mengangkut beberapa pesawat udara sekaligus, khususnya helikopter. Contohnya adalah pengadaan LPD atau sejenisnya oleh beberapa Angkatan Laut di Asia Tenggara, yang mana kapal jenis ini mempunyai heli deck yang cukup untuk menampung helikopter antara empat sampai enam buah. Kapal jenis ini dapat difungsikan untuk berbagai macam keperluan, baik untuk operasi militer perang maupun operasi militer selain perang seperti bantuan kemanusiaan di wilayah bencana.

Kasus gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 rupanya telah memberikan pelajaran bagi Angkatan Laut di kawasan. Dalam operasi humanitarian assistance and disaster relief (HADR) yang dilaksanakan, manfaat dari kapal amfibi serbaguna seperti LPD sangat terasa. Dengan adanya heli yang onboard di kapal tersebut, daya jangkau operasi HADR mampu mencapai wilayah-wilayah pedalaman yang terkena dampak bencana itu. Sehingga distribusi logistik bagi korban maupun pertolongan kesehatan dapat dilaksanakan lebih cepat.

Berdiskusi tentang pesawat patroli maritim tidak dapat dilepaskan pula dari kemajuan teknologi yang melandasi pesawat tersebut. Dalam perkembangan terkini, pesawat patroli maritim telah berevolusi dari maritime patrol aircraft (MPA) menjadi multi mission aircraft (MMA). Pesawat patroli maritim masa kini mempunyai kemampuan yang luas, seperti pengamatan terhadap battlespace, baik di laut maupun di daratan, intelijen dan pengintaian, namun tetap mempertahankan kemampuan utama untuk peperangan anti kapal selam dan anti kapal permukaan. Dengan ungkapan lain, pesawat patroli maritim dirancang untuk mampu mendukung berbagai operasi di permukaan bumi tanpa menanggalkan kemampuan peperangan yang terkait dengan domain maritim.

Evolusi pesawat patroli maritim dari MPA menjadi MMA tidak lepas dari operasi militer negara-negara NATO pasca serangan 11 September 2001. Sebagai ilustrasi, armada P-3C Orion milik Angkatan Laut Amerika Serikat dioperasikan di atas daratan Afghanistan dan Irak guna mendukung kekuatan darat. Padahal sebenarnya masih ada beberapa pesawat militer lainnya yang kemampuannya lebih bagus dari P-3C Orion yang dirancang untuk beroperasi pada domain maritim, misalnya pesawat AWACS E-3 Sentry.

Pesawat patroli maritim dewasa ini digunakan pula untuk kepentingan early warning, peperangan anti kapal selam dan peperangan amfibi. Untuk kepentingan tersebut, pesawat itu dilengkapi dengan berbagai mission equipments. Dengan demikian, pesawat patroli maritim memberikan kontribusi yang besar dari aspek sensing dan fire power bagi Angkatan Laut secara keseluruhan.

Masih terkait dengan evolusi pesawat patroli maritim adalah kecenderungan pemilihan pesawat turbofan guna menggantikan pesawat turboprop. Secara dimensi, pesawat bertenaga turbofan lebih besar daripada pesawat turboprop, sehingga berimplikasi pula daya jangkau dan endurance. Namun demikian, masih banyak Angkatan Laut di dunia yang lebih mengandalkan kekuatan udaranya pada pesawat turboprop, sebab biaya operasionalnya lebih murah dan mampu beroperasi dari landasan yang tidak dipersiapkan dengan baik. Terlebih lagi dari sisi produsen pesawat udara, hanya segelintir pabrik pesawat terbang yang menawarkan produk bertenaga turbofan dibandingkan dengan produsen yang menawarkan pesawat turboprop kepada calon konsumen.

Berdiskusi tentang pesawat patroli maritim pada umumnya akan menyentuh pula dengan pilihan kemampuan pesawat, apakah pesawat konvensional yang hanya mampu tinggal landas dan mendarat di darat ataukah menggunakan pesawat amfibi. Bagi sebagian negara seperti Kanada, Jepang dan Rusia, pesawat amfibi masih menjadi salah satu pilihan untuk mendukung patroli maritim maupun misi-misi lainnya.

4. Tantangan Kekuatan Udara TNI Angkatan Laut

Sebagai bagian tidak terpisahkan dari TNI Angkatan Laut, kekuatan udara TNI Angkatan Laut menghadapi berbagai tantangan yang terkait dengan tugas pokoknya. Ancaman dan tantangan yang dihadapi saat ini TNI Angkatan Laut bersumber dari sumber simetris dan asimetris. Dalam realita, ancaman dan tantangan yang berasal dari sumber asimetris potensinya lebih besar daripada yang bersumber dari simetris. Setidaknya ada empat tantangan nyata yang dihadapi oleh kekuatan udara TNI Angkatan Laut saat ini.

Pertama, unsur kekuatan. Seiring dengan berjalannya waktu, kekuatan udara TNI Angkatan Laut yang sejak 1970-an bertumpu pada pesawat N-22/24 Nomad kini telah memasuki ambang batas usia pakainya. Terlebih lagi di negara asalnya pesawat itu sudah tidak diproduksi lagi dan populasinya di dunia internasional terus berkurang. Situasi demikian tentu saja harus direspon agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kekuatan udara TNI Angkatan Laut, misalnya kelumpuhan operasional.

Kedua, komposisi kekuatan. Pesawat udara yang memperkuat kekuatan udara TNI Angkatan Laut belum proporsional, sehingga belum sepenuhnya menunjukkan kekhasan yang membedakan dengan kekuatan udara di matra TNI lainnya. Sebagai contoh, kekuatan helikopter yang ada di jajaran Puspenerbal belum berimbang antara heli angkut dengan heli berkemampuan anti kapal selam dan anti kapal permukaan. Padahal dinamika di kawasan menunjukkan bahwa seiring makin banyak negara yang membeli kapal selam, direspon oleh negara lainnya dengan memperkuat kemampuan anti kapal selam, termasuk di dalamnya pesawat anti kapal selam.

Ketiga, gelar kekuatan. Gelar kekuatan operasional kekuatan udara TNI Angkatan Laut secara permanen berada di Tanjung Pinang dan Surabaya yang berfungsi sebagai pangkalan induk. Di sejumlah wilayah lain di Indonesia terdapat beberapa Pangkalan Udara TNI Angkatan Laut yang menjadi tumpuan operasional pesawat-pesawat udara yang tengah melaksanakan operasi. Menilik gelar kekuatan saat ini, khususnya gelar pangkalan belum semuanya mampu mendukung kebutuhan operasional pesawat udara, misalnya di sekitar pantai barat Sumatera dan di wilayah Nusa Tenggara.

Keempat, tantangan operasional. Tantangan operasional yang dihadapi kekuatan udara TNI Angkatan Laut tidak terbatas pada ancaman dan tantangan yang penegakan hukum di laut, tetapi terkait pula dengan penegakan kedaulatan di laut. Terkait dengan hal yang terakhir, kekuatan udara TNI Angkatan Laut menghadapi tantangan tersendiri. Misalnya meningkatkan kemampuan deteksi sasaran di atas permukaan laut menggunakan peralatan elektronika yang memadai. Begitu pula dengan sasaran di bawah air yang mengacu kecenderungan di kawasan, akan terus meningkat ancamannya.

5. Langkah Ke Depan

Sejumlah tantangan terhadap kekuatan udara TNI Angkatan Laut seperti yang telah diuraikan sebelumnya perlu direspon, antara lain melalui pembangunan kekuatan. Pembangunan kekuatan bagi kekuatan TNI Angkatan Laut ke depan tentu saja harus mengacu pada kebijakan minimum essential force (MEF) yang telah digariskan oleh pemerintah. Menurut hemat penulis, MEF memberikan ruang yang cukup lebar kepada kekuatan udara TNI Angkatan Laut untuk mengembangkan kekuatannya, sebab dari sisi kualitas alutsista penerbangan yang ada saat ini sebagian di antaranya sudah sepantasnya digantikan oleh alutsista baru dengan kualitas sepantasnya lebih maju dan modern. Artinya, ke depan secara kuantitas jumlah pesawat udara TNI Angkatan Laut bisa jadi lebih sedikit dibandingkan saat ini apabila pola penggantiannya tidak menggunakan pola 1:1, namun dari aspek kualitas harus meningkat berlipat ganda. Berkaitan dengan tantangan yang dihadapi saat ini, berikut sumbang pemikiran untuk menjawab tantangan tersebut.

Pertama, unsur kekuatan. Kebijakan memilih pesawat CN-235 ASW sebagai pengganti N-22/N-24 Nomad patut diapresiasi. Secara teknis, CN-235 ASW mempunyai endurance dan loiter yang lebih lama daripada N-22/N-24, sehingga sektor patroli dapat diliput dalam satu sorti penerbangan jauh lebih luas. Faktor kritis yang sebaiknya diantisipasi TNI Angkatan Laut menyangkut CN-235 ASW adalah jaminan layanan purna jual, termasuk menyangkut mission equipments di dalamnya. Adapun secara kuantitas, secara nyata kebutuhan CN-235 ASW TNI Angkatan Laut cukup banyak untuk menggantikan armada N-22/N-24.

Sebagai kekuatan penerbangan matra laut dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, perlu dikaji secara matang ke depan untuk mengadopsi pesawat udara berkemampuan amfibi guna memperkuat kekuatan udara TNI Angkatan Laut. Dengan menggunakan pesawat amfibi, fleksibilitas operasional akan lebih meningkat karena bisa tinggal landas dan mendarat di laut, selain nyaris tidak ada Lanal yang tidak dapat dijangkau oleh pesawat ini. Ditinjau dari aspek teknis, endurance dan loiter pesawat amfibi tidak jauh berbeda dengan pesawat yang berpangkalan di darat.

Kombinasi antara pesawat yang berpangkalan di darat dengan pesawat amfibi akan meningkatkan kemampuan operasional kekuatan TNI Angkatan Laut dibandingkan saat ini. Memang jumlah produsen pesawat amfibi di dunia tidak banyak, namun kehandalan pabrikan yang sedikit tersebut sudah terbukti. Selain Rusia, Jerman dan Kanada adalah produsen pesawat amfibi handal, termasuk pesawat bertenaga turboprop.

Kedua, komposisi kekuatan. Mengingat bahwa pada hakikatnya kekuatan udara TNI Angkatan Laut merupakan kekuatan udara taktis namun dapat berdampak strategis, ke depan perlu disusun ulang perimbangan komposisi pesawat udara yang memperkuatnya. Komposisi kekuatan udara TNI Angkatan Laut ke depan sebaiknya mencerminkan kekhasannya sebagai penerbangan matra laut. Dengan kata lain, pesawat udara yang memperkuat TNI Angkatan Laut sebaiknya pesawat yang didesain secara khusus untuk melaksanakan misi-misi Angkatan Laut, seperti patroli maritim, operasi amfibi, dukungan logistik dari dan ke kapal perang dan lain sebagainya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesawat angkut, baik sayap tetap maupun sayap putar, juga dibutuhkan dalam susunan tempur, namun sebaiknya ada perimbangan antara pesawat angkut dengan pesawat lainnya yang dirancang untuk misi-misi tertentu terkait tugas pokok TNI Angkatan Laut.

Dalam pembangunan kekuatan TNI Angkatan beberapa tahun terakhir, pada kapal permukaan antara lain dibangun kapal LPD dan pengadaan sejumlah korvet yang mempunyai dek heli. Pembangunan tersebut berimplikasi pada kekuatan udara TNI Angkatan Laut ke depan, yaitu dibutuhkan lebih banyak helikopter yang mampu beroperasi bersama kapal permukaan. Secara teoritis, helikopter yang dibutuhkan adalah yang didesain sejak awal untuk beroperasi dari atas kapal permukaan, bukan sekedar helikopter yang di-maritimized. Terkait dengan kecenderungan pembangunan kapal permukaan yang demikian, sudah sepantasnya diimbangi dengan pengadaan helikopter yang dirancang untuk beroperasi dari kapal tersebut.

Dengan perkembangan terkini di kawasan yang mulai berfokus pada peningkatan kemampuan anti kapal selam, perlu direspon Indonesia dengan menempatkan heli onboard yang tentu saja harus berkemampuan anti kapal selam. Pola seperti ini dulunya dianut oleh fregat kelas Van Speijk yang dilengkapi dengan heli Wasp HAS.1. Untuk mewujudkan hal tersebut, sejak dini rancang bangun kapal perusak kawal rudal sebaiknya mempertimbangkan perkembangan helikopter anti kapal selam yang tersedia di pasaran dengan desain dek heli nantinya. Sebagai ilustrasi, helikopter berkemampuan anti kapal selam yang tersedia di pasaran rata-rata tonasenya sekitar 10 ton dan hanya bisa muat pada kapal jenis fregat.

Ketiga, gelar kekuatan. Gelar kekuatan permanen dengan dua pangkalan induk seperti yang dianut saat ini masih tetap relevan. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian, seperti perlunya mempertimbangkan kehadiran pangkalan udara baru guna mendukung operasi di di sekitar pantai barat Sumatera dan di wilayah Nusa Tenggara. Gelar kekuatan di sekitar pantai barat Sumatera khususnya tentu saja harus diimbangi oleh kehadiran patroli kapal perang yang lebih rutin di perairan tersebut, sebab tantangan yang dihadapi di perairan tersebut tidak sekedar pelanggaran hukum, namun terkait pula dengan penegakan kedaulatan seiring dinamika geopolitik Samudera India.

Selain itu, ada baiknya dipertimbangkan pula kehadiran kekuatan secara permanen pada sejumlah chokepoints di luar Selat Malaka. Selama ini, kekuatan udara TNI Angkatan Laut yang hadir secara permanen dalam bentuk patroli maritim di chokepoints baru di Selat Malaka, sebab terkait dengan kerjasama multilateral pengamanan perairan strategis tersebut. Masih ada tiga chokepoints lainnya yang juga vital bagi kepentingan nasional Indonesia yang harus senantiasa diamankan, yaitu Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar. Seiring makin bertambahnya populasi kapal ultra-large crude carrier (ULCC) di dunia, dipastikan kapal jenis itu hanya bisa lewat di Selat Lombok dalam pelayaran dari Timur Tengah ke Asia Barat.

Di situlah relevansi pentingnya kehadiran permanen patroli maritim di tiga chokepoints lainnya. Pemikiran yang berkembang selama ini tentang perlunya kekuatan udara TNI Angkatan Laut membangun pangkalan udara di kawasan Nusa Tenggara mempunyai relevansi di sini. Di samping itu, perairan di kawasan Nusa Tenggara juga memiliki keterkaitan dengan kepentingan Australia yang membutuhkan akses untuk menuju ke utara.

Keempat, tantangan operasional. Tantangan operasional yang dihadapi kekuatan udara TNI Angkatan Laut berkisar pada penegakan hukum dan penegakan kedaulatan. Untuk isu yang terkait, kecenderungannya ke depan akan mengalami peningkatan seiring dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Tantangan sedemikian sudah sewajarnya direspon secara proporsional, antara lain dengan pembangunan kekuatan.

Dalam konteks kekuatan udara TNI Angkatan Laut, kemampuan-kemampuan yang terkait dengan peperangan laut konvensional sudah waktunya dikembangkan. Misalnya untuk kemampuan ealy warning, peperangan kapal selam dan anti kapal selam, peperangan amfibi dan lain sebagainya. Untuk bisa mengeksploitasi kemampuan itu, diperlukan pesawat udara dengan mission equipment yang memadai. Walaupun saat ini ancaman asimetris masih tetap mendominasi, akan tetapi situasi itu bukan pembenaran untuk mengabaikan kemungkinan munculnya ancaman simetris di masa depan dalam lingkungan strategis yang penuh ketidakpastian.

Berikutnya, perlu dibangun pula interoperability antara kekuatan udara TNI Angkatan Laut dengan TNI Angkatan Udara, khususnya dalam operasi di domain maritim. Memang terdapat perbedaan antara keduanya, yang mana kekuatan udara TNI Angkatan Laut merupakan kekuatan udara taktis, sedangkan TNI Angkatan Udara adalah kekuatan udara strategis, namun persinggungan tugas antara keduanya pasti ada. Termasuk pula dalam hal patroli maritim, yang mana selama ini patroli maritim antar kedua unsur belum terkoordinasi dengan baik.

6. Penutup

Dinamika lingkungan strategis dan kondisi internal kekuatan udara TNI Angkatan Laut memunculkan sejumlah tantangan. Tantangan tersebut sudah sepantasnya direspon, antara lain melalui pembangunan kekuatan yang realistis sesuai dengan kondisi saat ini dan ke depan. Pembangunan kekuatan itu harus mencerminkan ciri khas Puspenerbal sebagai penerbangan matra laut, sehingga output dari pembangunan kekuatan adalah mampu dilaksanakannya tugas pokok TNI Angkatan Laut. Dalam pembangunan kekuatan, perlu pendekatan yang berimbang antara desain untuk menghadapi ancaman dan tantangan asimetris dengan ancaman dan tantangan simetris, sebab dinamika lingkungan strategis saat ini dan ke depan di kawasan diwarnai dengan ketidakpastian.

. Koda, VAdm Yoji, The Emerging Republic of Korea Navy: A Japanese Perspective. Naval War College Review, Spring 2010, Vol.63, No.2, hal.25
. Asia Defense Journal, Maritime Patrol Aircraft—From Hunting Submarines to Multi Mission Capable. December 2009, hal.20-23

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap